Home / Thriller / Simfoni Tanpa Nada / Bab 3: Simfoni Senyap

Share

Bab 3: Simfoni Senyap

Author: Png
last update Last Updated: 2024-12-01 21:03:38

Hujan tipis membasahi Desa Sukamundur pagi itu. Awan kelabu menggantung rendah, membentuk langit yang seolah menekan desa kecil itu ke dalam keheningan abadi. Aditya Arya berdiri di aula utama gedung konser Midanget Sunyata, memandang piano hitam di panggung. Bayangan malam sebelumnya masih membekas dalam pikirannya—kehadiran sosok misterius, hilangnya bayangan secara tiba-tiba, dan partitur kosong bertuliskan ”Simfoni No. 8.”

Dia melangkah pelan ke panggung, membiarkan derit lantai kayu mengisi ruangan yang kosong. Dengan hati-hati, dia membuka penutup piano. Tuts-tutsnya bersih, hampir terlalu bersih untuk instrumen yang terlihat tua dan usang dari luar. Aditya menyentuh salah satu tuts, menghasilkan nada yang terdengar janggal—nada itu tidak selaras, seperti ada ketidakseimbangan di dalam piano.

“Tidak ada yang memainkan piano ini sejak Aryawiguna pergi,” suara berat tiba-tiba terdengar dari belakangnya.

Aditya menoleh. Maestro Harjo berdiri di pintu masuk aula, tangannya memegang tongkat konduktor yang tipis. Wajahnya keras seperti batu, tetapi matanya menyimpan sesuatu yang tidak bisa dibaca.

“Piano ini milik Aryawiguna?” tanya Aditya.

Harjo mengangguk, melangkah mendekat. “Dia menghabiskan berjam-jam di sini, menciptakan melodi yang tidak bisa dimengerti oleh orang biasa. Setelah dia pergi, kami meninggalkan piano ini, seolah-olah menyimpan sisa-sisa ingatannya di tempat ini.”

Aditya menatap piano itu lagi. “Apa Anda tahu tentang partitur yang ditinggalkan di sini? ’Simfoni No. 8.’?”

Harjo terlihat kaku sesaat sebelum menjawab. “Aryawiguna mulai menulis simfoni itu beberapa bulan sebelum dia menghilang. Dia berkata bahwa itu akan menjadi karya terbesarnya, tapi dia tidak pernah menyelesaikannya.”

“Kenapa dia berhenti?”

Harjo terdiam, mengarahkan pandangan ke jendela besar aula. Hujan masih turun, menciptakan pola-pola samar di kaca. “Aryawiguna percaya bahwa musik memiliki jiwa. Dia mulai mendengar suara-suara aneh saat mencoba menyusun ”Simfoni No. 8.” Dia bilang, suara-suara itu bukan miliknya, tapi sesuatu yang lain… sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.”

Aditya mencatat penjelasan itu dalam pikirannya. Ada pola yang mulai terbentuk, tetapi dia masih belum bisa merangkainya dengan jelas. Dia tahu satu hal: Aryawiguna memegang kunci misteri ini.

Setelah percakapannya dengan Harjo, Aditya memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh. Dia ingat Saras menyebut bahwa beberapa anggota orkestra mendengar musik di malam hari, meskipun tidak ada yang memainkan instrumen. Hal itu membuatnya bertanya-tanya apakah sumber suara itu ada di luar gedung konser.

Dengan lampu senter di tangannya, Aditya berjalan ke arah hutan yang mengelilingi desa. Hutan itu gelap, meskipun matahari masih berada di langit. Cabang-cabang pohon menjulur seperti tangan-tangan kurus, mencoba meraih siapa pun yang berani melintasinya.

Langkahnya terhenti ketika dia mendengar sesuatu—nada rendah yang menyerupai suara cello, bergetar lembut di udara. Aditya memutar tubuhnya, mencari asal suara. Itu bukan suara dari hutan, melainkan dari bawah.

Dia menunduk dan menemukan penutup tanah yang terbuat dari papan kayu, tersembunyi di bawah dedaunan. Dengan hati-hati, dia membuka penutup itu, memperlihatkan pintu masuk ke sebuah ruangan bawah tanah. Tangga kayu yang curam mengarah ke kegelapan.

Aditya menyalakan senter dan mulai turun. Suara cello semakin jelas, menciptakan melodi yang tidak utuh, seperti lagu yang belum selesai. Ketika dia mencapai dasar tangga, dia menemukan sebuah ruangan kecil dengan dinding batu. Di tengah ruangan, ada gramofon tua dengan piringan hitam yang berputar perlahan.

Dia mematikan gramofon itu dan memeriksa piringan hitamnya. Tulisan tangan di tepinya berbunyi: ”Simfoni No. 8 – Gerakan 2.”

Aditya merasakan bulu kuduknya berdiri. Bagaimana bagian kedua dari simfoni ini bisa berada di tempat tersembunyi seperti ini? Siapa yang meletakkannya di sini? Dia membungkus piringan hitam itu dan memasukkannya ke dalam tasnya, lalu mematikan senter dan meninggalkan ruangan itu dengan langkah tergesa-gesa.

Malam itu, Aditya menemui Saras di rumah kecilnya yang terletak di pinggir desa. Gadis itu menyambutnya dengan senyum lemah dan menawarkan secangkir teh hangat.

“Saras, aku butuh bantuanmu,” kata Aditya, mencoba menggunakan nada yang meyakinkan.

Saras meletakkan cangkir tehnya. “Apa yang bisa saya lakukan, Pak?”

Aditya mengeluarkan piringan hitam yang dia temukan di ruangan bawah tanah dan meletakkannya di atas meja. “Apa kamu pernah melihat ini sebelumnya?”

Wajah Saras langsung pucat. Tangannya gemetar ketika dia menyentuh piringan itu. “Ini… ini bagian dari simfoni yang dimainkan Aryawiguna sebelum dia menghilang. Tapi saya tidak tahu bagaimana ini bisa sampai ke sini.”

“Aryawiguna memainkan ini? Apa yang terjadi saat itu?”

Saras menarik napas dalam, mencoba mengendalikan dirinya. “Saya masih anak-anak ketika itu terjadi, tapi saya ingat semua orang di desa berbicara tentang simfoni ini. Mereka bilang Aryawiguna membuat sesuatu yang melampaui batas musik. Tapi saat dia memainkan gerakan kedua ini untuk pertama kalinya, sesuatu yang aneh terjadi. Lampu di aula padam, dan beberapa orang mendengar suara-suara dari luar, seolah-olah ada sesuatu yang datang.”

Aditya memperhatikan ekspresi Saras yang semakin tegang. “Dan setelah itu?”

“Aryawiguna berhenti bermain. Dia berkata bahwa musiknya terlalu berbahaya untuk dilanjutkan. Tidak lama setelah itu, dia menghilang. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi.”

Keesokan paginya, Aditya kembali ke gedung konser. Dia membawa piringan hitam itu ke ruangan kecil di belakang panggung, tempat Raka ditemukan. Saat dia memutar piringan itu di gramofon lama yang dia temukan di sana, melodi gelap mulai memenuhi ruangan.

Namun, kali ini Aditya menyadari sesuatu. Di tengah melodi, ada jeda kecil—sebuah celah yang tampak disengaja. Dia memutar ulang bagian itu beberapa kali, lalu mencoba mencatat notasi yang terdengar di jeda tersebut. Ketika dia selesai, dia menyadari bahwa notasi itu membentuk pola, seperti kode Morse.

Dengan bantuan buku catatan lamanya, Aditya mulai menerjemahkan kode itu. Kata-kata yang muncul membuatnya terdiam: “Jangan percaya pada mereka.”

Saat malam tiba, Aditya memutuskan untuk berbicara dengan Harjo sekali lagi. Maestro itu sedang duduk di aula utama, menatap panggung dengan mata kosong.

“Tuan Harjo, saya menemukan sesuatu,” kata Aditya, suaranya tegas.

Harjo berbalik, tetapi tidak ada emosi di wajahnya. “Apa yang Anda temukan?”

“Saya tahu ada sesuatu yang Anda sembunyikan. Anda tahu lebih banyak tentang Aryawiguna dan simfoninya daripada yang Anda ceritakan.”

Harjo menghela napas panjang, lalu berdiri. “Aryawiguna memang seorang jenius, tetapi dia juga berbahaya. Musiknya membuka pintu ke sesuatu yang seharusnya tidak pernah disentuh manusia.”

“Pintu ke apa?” desak Aditya.

Harjo tidak menjawab. Sebaliknya, dia berjalan ke piano di panggung dan mulai memainkan nada-nada rendah. Musik itu terdengar seperti awal dari sebuah lagu, tetapi tidak pernah selesai.

Aditya menyadari sesuatu: Harjo tahu lebih banyak daripada yang dia katakan, dan mungkin, dia juga terlibat dalam hilangnya Aryawiguna.

Di saat itu, pintu aula terbuka, dan Saras masuk dengan wajah penuh ketakutan. “Pak Aditya, ada sesuatu di luar. Mereka datang.”

Aditya menoleh ke arah pintu. Bayangan gelap bergerak di balik kabut, mendekati gedung konser.

Related chapters

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 4: Kehadiran di Balik Bayangan

    Langit malam di Desa Sukamundur terasa lebih berat dari biasanya. Kabut begitu tebal menyelimuti setiap sudut Desa Sukamundur, seperti selimut abu-abu yang menghimpit. Di kejauhan, terlihat bayangan pohon tampak seperti siluet makhluk tinggi yang mengintai untuk menyergap mangsanya. Gedung konser Midanget Sunyata berdiri di tengah desa, megah tapi menyeramkan dan terkenal tapi terlihat suram, dengan cat dinding mulai kusam dan pilar-pilar besar yang menjulang seperti penjaga bisu. Terlihat bangunan yang seperti tak pernah dipakai selama bertahun-tahun.Di aula utama Gedung konser Midanget Sunyoto, Saras berdiri terengah-engah setelah berlari masuk menuju aula utama. Wajahnya memucat, seluruh tubuhnya gemetar, mengisyaratkan gentingnya keadaan. Matanya yang penuh ketakutan beralih dari Aditya ke jendela besar aula, seolah-olah sesuatu di luar masih mengintainya.“Mereka datang, mereka datang, mereka datang...” katanya dengan suara gemetar.Aditya, yang berdiri tak jauh darinya, memirin

    Last Updated : 2024-12-06
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 5: Melodi dari Kegelapan

    Malam di Desa Sukamundur terasa seperti menahan napas. Kabut menyelimuti setiap sudut desa, menebarkan hawa dingin yang menembus kulit. Di aula Gedung Konser Midanget Sunyata, Saras, Harjo, dan Aditya berdiri memandangi partitur bertuliskan "Simfoni No. 8 – Gerakan 3.". Cahaya lampu yang temaram semakin menambah suasana mencekam."Kita harus berhati-hati," ucap Harjo dengan nada tegas. "Setiap kali musik ini dimainkan, sesuatu dari sisi lain merespons. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."Aditya mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi jika kita tidak memainkannya, bagaimana kita bisa memecahkan misteri ini? Jejak kaki besar di luar, bayangan-bayangan yang Saras lihat—semuanya terkait dengan simfoni ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri."Harjo menggelengkan kepala, kerutan di dahinya semakin dalam. "Aryawiguna memperingatkan kita tentang hal ini. Musiknya bukan sekadar seni; ia adalah pintu ke tempat yang tidak boleh disentuh manusia."Namun, Saras, yang s

    Last Updated : 2024-12-09
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 6: Harmoni Terakhir

    Cahaya pagi yang suram menerobos masuk melalui celah-celah daun di Desa Sukamundur. Suara angin menggetarkan ranting pohon-pohon tua di sekitar desa, menciptakan melodi alami yang selaras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Aditya Arya berdiri di tengah aula gedung konser Midanget Sunyata, memandangi piano hitam yang kini terasa seperti jantung dari semua misteri ini. Di sampingnya, Saras duduk di salah satu kursi penonton, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian mengerikan di hutan semalam.“Simfoni ini masih belum selesai,” ucap Aditya, memecah keheningan. Tatapannya tertuju pada partitur yang ditemukan di ruangan bawah tanah semalam: “Simfoni No. 9 – Gerakan 1.”Harjo, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengangguk perlahan. “Aryawiguna mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menyusun simfoni ini. Tapi dia tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Dan sekarang, kita harus melakukannya. Jika tidak, pintu yang dia buka tidak akan pernah tertutup.”Saras mengangkat wajahn

    Last Updated : 2024-12-20
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 7: Nada yang Tersisa

    Pagi di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari yang hangat menyinari jalanan berbatu, tetapi keheningan aneh menggantung di udara. Setelah kejadian di gedung konser, desa itu seperti ditelan rasa takut yang tidak terlihat. Aditya Arya duduk di depan sebuah pondok kecil di ujung desa, menggenggam fragmen partitur yang ia temukan di reruntuhan. Tulisan tangan di sudutnya masih terngiang di pikirannya: "Musik ini tidak pernah berhenti. Mereka akan kembali."Saras mendekat pelan, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya masih pucat, tetapi ia mencoba tersenyum. "Apa yang Anda temukan di fragmen itu?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.Aditya mengangkat fragmen itu, menunjukkannya padanya. "Ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. ”Simfoni No. 9.” belum selesai, dan meskipun Harjo sudah mengorbankan dirinya, ada sesuatu yang masih tersisa. Ini seperti peringatan bahwa ancaman itu belum benar-benar hilang."Saras duduk di sampingnya, memandang fragmen itu d

    Last Updated : 2024-12-29
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 8: Pintu Harmoni

    Langkah kaki Aditya dan Saras bergema di tangga batu menuju ruang bawah tanah yang baru mereka temukan. Cahaya senter mereka menari di dinding yang lembap, menyoroti ukiran-ukiran aneh yang terukir dengan presisi. Setiap langkah terasa membawa mereka semakin jauh dari dunia nyata, masuk ke dalam misteri yang ditinggalkan Aryawiguna.Ketika mereka mencapai dasar tangga, udara terasa lebih dingin. Sebuah ruangan besar terbuka di depan mereka, diterangi oleh cahaya lembut yang tidak jelas dari mana sumbernya. Di tengah ruangan berdiri podium batu besar yang menahan sebuah kotak kaca. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah partitur lengkap bertuliskan: "Simfoni No. 9 – Gerakan Akhir."Saras menelan ludah, pandangannya terpaku pada partitur itu. "Ini... ini pasti yang kita cari," katanya dengan suara bergetar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat bayangan yang bergerak di sudut ruangan.Aditya segera mengarahkan senternya. "Siapa di sana?" tanyanya tegas.Bayangan itu tetap diam, tetapi so

    Last Updated : 2025-01-06
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 9: Gema yang Tersisa

    Langit Desa Sukamundur perlahan berubah dari kelabu menjadi biru cerah. Udara pagi membawa kesejukan yang terasa berbeda, seperti beban berat yang selama ini menekan desa telah terangkat. Aditya Arya berdiri di tepi hutan, memandangi partitur lengkap ”Simfoni No. 9.” yang kini berada di tangannya. Sementara itu, Saras berdiri tak jauh di belakangnya, matanya tertuju pada desa yang mulai bangkit dari keheningan panjang.“Semua terlihat damai sekarang,” gumam Saras pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.Aditya mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh kekhawatiran. “Ya, tapi aku tidak bisa berhenti berpikir tentang kata-kata pria tua itu. Musik ini memiliki kekuatan lebih besar daripada yang kita bayangkan. Apa yang kita lakukan bukan hanya menutup pintu, tapi mungkin membuka jalan baru.”Saras menatap Aditya, bingung. “Apa maksud Anda?”Aditya mengangkat partitur itu, memperlihatkan halaman-halaman penuh notasi yang tampak seperti kode rahasia. “Aryawiguna tidak hanya me

    Last Updated : 2025-01-20
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 10: Panggung Terakhir

    Matahari pagi menyinari Desa Sukamundur dengan kehangatan yang langka. Seolah-olah kehadiran bayangan yang menghantui desa ini selama bertahun-tahun yang diharapkan masyarakat desa segera menghilang akhirnya sirna bersama selesainya "Simfoni No. 9." Namun, di hati Aditya Arya, ada sesuatu yang masih mengganjal dengan segala pertanyaan dibelakangnya. Surat tanpa nama yang ia terima semalam membuat ia berpikir keras sekaligus menyadari ruwetnya teka-teki "Simfoni No. 9.", menjadi tanda bahwa misteri ini belum sepenuhnya usai.Aditya duduk di meja kecil di penginapan, membaca kembali isi surat itu:“Anda mungkin berpikir bahwa semuanya telah selesai, tetapi ’Simfoni No. 9.’ hanya permulaan. Dunia telah mendengar suaranya, dan sekarang banyak yang ingin menemukannya. Jika Anda ingin kebenaran sesungguhnya, temui aku di gedung konser lama sebelum semuanya terlambat.”Saras, yang berdiri di dekat jendela, menatapnya dengan raut cemas dan kebingungan. “Anda benar-benar ingin pergi?”Aditya m

    Last Updated : 2025-02-01
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 11: Jejak Nada yang Hilang

    Kabut pekat menyelimuti malam ketika Aditya, Saras, dan Clara kembali ke ruang bawah tanah gedung konser Midanget Sunyata. Setiap langkah mereka bergema di lorong batu yang lembap dan berbau tanah basah. Meski Aditya dan Saras sudah pernah datang ke tempat ini melalui petunjuk yang tidak sengaja ditemukan mereka, suasana dingin yang menyelinap ke tulang mereka tetap terasa sama—seolah tempat ini menolak kehadiran mereka.Lampu senter Aditya berpendar di dinding batu yang tertutup lumut. Di salah satu sudut, tersembunyi dalam bayangan, ada ukiran berbentuk lingkaran dengan pola musik yang rumit. Notasi-notasi itu terlihat berbeda, seperti sebuah kode rahasia yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.Clara, yang berdiri di belakang Aditya, menyipitkan mata seranya memfokuskan pandangannya dan menyentuh pola spiral di dinding itu dengan sangat hati-hati.“Ini bukan sekadar hiasan, atau sekedar pola yang diukir seseorang untuk melampiaskan hobi, atau semacamnya” gumamnya. “Bisa jadi ini

    Last Updated : 2025-02-10

Latest chapter

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 12: Simbol dalam Nada

    Malam itu, hujan turun rintik-rintik di kota tempat Aditya memiliki kantor kecilnya. Suasana terasa suram, seolah langit ikut menyimpan rahasia yang hendak mereka pecahkan. Di dalam ruangan yang remang-remang, sebuah meja kayu panjang menjadi saksi bisu diskusi yang akan menentukan arah dari misteri ini.Aditya duduk di ujung meja dengan ekspresi serius. Di sekelilingnya, berkumpul orang-orang yang kini menjadi bagian dari kisah ini: Clara, Arjuna Wiryawan, Wisanggeni, Saras, serta para musisi yang telah terlibat dalam perjalanan ini—Bima, Dira, Lila, Rendra, dan Ayu.Di tengah meja, Clara meletakkan selembar kertas tua yang sudah menguning. Gambar di atasnya tampak rumit: lingkaran-lingkaran dengan garis-garis bersilangan, menyerupai pola musik, tetapi memiliki elemen yang lebih dalam daripada sekadar partitur.“Ini,” kata Clara dengan nada tegas, “adalah peta harmoni. Simbol esoteris yang ditemukan dalam catatan lama Aryawiguna. Ini bukan hanya musik, tetapi juga kode yang menggamba

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 11: Jejak Nada yang Hilang

    Kabut pekat menyelimuti malam ketika Aditya, Saras, dan Clara kembali ke ruang bawah tanah gedung konser Midanget Sunyata. Setiap langkah mereka bergema di lorong batu yang lembap dan berbau tanah basah. Meski Aditya dan Saras sudah pernah datang ke tempat ini melalui petunjuk yang tidak sengaja ditemukan mereka, suasana dingin yang menyelinap ke tulang mereka tetap terasa sama—seolah tempat ini menolak kehadiran mereka.Lampu senter Aditya berpendar di dinding batu yang tertutup lumut. Di salah satu sudut, tersembunyi dalam bayangan, ada ukiran berbentuk lingkaran dengan pola musik yang rumit. Notasi-notasi itu terlihat berbeda, seperti sebuah kode rahasia yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.Clara, yang berdiri di belakang Aditya, menyipitkan mata seranya memfokuskan pandangannya dan menyentuh pola spiral di dinding itu dengan sangat hati-hati.“Ini bukan sekadar hiasan, atau sekedar pola yang diukir seseorang untuk melampiaskan hobi, atau semacamnya” gumamnya. “Bisa jadi ini

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 10: Panggung Terakhir

    Matahari pagi menyinari Desa Sukamundur dengan kehangatan yang langka. Seolah-olah kehadiran bayangan yang menghantui desa ini selama bertahun-tahun yang diharapkan masyarakat desa segera menghilang akhirnya sirna bersama selesainya "Simfoni No. 9." Namun, di hati Aditya Arya, ada sesuatu yang masih mengganjal dengan segala pertanyaan dibelakangnya. Surat tanpa nama yang ia terima semalam membuat ia berpikir keras sekaligus menyadari ruwetnya teka-teki "Simfoni No. 9.", menjadi tanda bahwa misteri ini belum sepenuhnya usai.Aditya duduk di meja kecil di penginapan, membaca kembali isi surat itu:“Anda mungkin berpikir bahwa semuanya telah selesai, tetapi ’Simfoni No. 9.’ hanya permulaan. Dunia telah mendengar suaranya, dan sekarang banyak yang ingin menemukannya. Jika Anda ingin kebenaran sesungguhnya, temui aku di gedung konser lama sebelum semuanya terlambat.”Saras, yang berdiri di dekat jendela, menatapnya dengan raut cemas dan kebingungan. “Anda benar-benar ingin pergi?”Aditya m

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 9: Gema yang Tersisa

    Langit Desa Sukamundur perlahan berubah dari kelabu menjadi biru cerah. Udara pagi membawa kesejukan yang terasa berbeda, seperti beban berat yang selama ini menekan desa telah terangkat. Aditya Arya berdiri di tepi hutan, memandangi partitur lengkap ”Simfoni No. 9.” yang kini berada di tangannya. Sementara itu, Saras berdiri tak jauh di belakangnya, matanya tertuju pada desa yang mulai bangkit dari keheningan panjang.“Semua terlihat damai sekarang,” gumam Saras pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.Aditya mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh kekhawatiran. “Ya, tapi aku tidak bisa berhenti berpikir tentang kata-kata pria tua itu. Musik ini memiliki kekuatan lebih besar daripada yang kita bayangkan. Apa yang kita lakukan bukan hanya menutup pintu, tapi mungkin membuka jalan baru.”Saras menatap Aditya, bingung. “Apa maksud Anda?”Aditya mengangkat partitur itu, memperlihatkan halaman-halaman penuh notasi yang tampak seperti kode rahasia. “Aryawiguna tidak hanya me

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 8: Pintu Harmoni

    Langkah kaki Aditya dan Saras bergema di tangga batu menuju ruang bawah tanah yang baru mereka temukan. Cahaya senter mereka menari di dinding yang lembap, menyoroti ukiran-ukiran aneh yang terukir dengan presisi. Setiap langkah terasa membawa mereka semakin jauh dari dunia nyata, masuk ke dalam misteri yang ditinggalkan Aryawiguna.Ketika mereka mencapai dasar tangga, udara terasa lebih dingin. Sebuah ruangan besar terbuka di depan mereka, diterangi oleh cahaya lembut yang tidak jelas dari mana sumbernya. Di tengah ruangan berdiri podium batu besar yang menahan sebuah kotak kaca. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah partitur lengkap bertuliskan: "Simfoni No. 9 – Gerakan Akhir."Saras menelan ludah, pandangannya terpaku pada partitur itu. "Ini... ini pasti yang kita cari," katanya dengan suara bergetar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat bayangan yang bergerak di sudut ruangan.Aditya segera mengarahkan senternya. "Siapa di sana?" tanyanya tegas.Bayangan itu tetap diam, tetapi so

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 7: Nada yang Tersisa

    Pagi di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari yang hangat menyinari jalanan berbatu, tetapi keheningan aneh menggantung di udara. Setelah kejadian di gedung konser, desa itu seperti ditelan rasa takut yang tidak terlihat. Aditya Arya duduk di depan sebuah pondok kecil di ujung desa, menggenggam fragmen partitur yang ia temukan di reruntuhan. Tulisan tangan di sudutnya masih terngiang di pikirannya: "Musik ini tidak pernah berhenti. Mereka akan kembali."Saras mendekat pelan, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya masih pucat, tetapi ia mencoba tersenyum. "Apa yang Anda temukan di fragmen itu?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.Aditya mengangkat fragmen itu, menunjukkannya padanya. "Ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. ”Simfoni No. 9.” belum selesai, dan meskipun Harjo sudah mengorbankan dirinya, ada sesuatu yang masih tersisa. Ini seperti peringatan bahwa ancaman itu belum benar-benar hilang."Saras duduk di sampingnya, memandang fragmen itu d

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 6: Harmoni Terakhir

    Cahaya pagi yang suram menerobos masuk melalui celah-celah daun di Desa Sukamundur. Suara angin menggetarkan ranting pohon-pohon tua di sekitar desa, menciptakan melodi alami yang selaras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Aditya Arya berdiri di tengah aula gedung konser Midanget Sunyata, memandangi piano hitam yang kini terasa seperti jantung dari semua misteri ini. Di sampingnya, Saras duduk di salah satu kursi penonton, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian mengerikan di hutan semalam.“Simfoni ini masih belum selesai,” ucap Aditya, memecah keheningan. Tatapannya tertuju pada partitur yang ditemukan di ruangan bawah tanah semalam: “Simfoni No. 9 – Gerakan 1.”Harjo, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengangguk perlahan. “Aryawiguna mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menyusun simfoni ini. Tapi dia tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Dan sekarang, kita harus melakukannya. Jika tidak, pintu yang dia buka tidak akan pernah tertutup.”Saras mengangkat wajahn

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 5: Melodi dari Kegelapan

    Malam di Desa Sukamundur terasa seperti menahan napas. Kabut menyelimuti setiap sudut desa, menebarkan hawa dingin yang menembus kulit. Di aula Gedung Konser Midanget Sunyata, Saras, Harjo, dan Aditya berdiri memandangi partitur bertuliskan "Simfoni No. 8 – Gerakan 3.". Cahaya lampu yang temaram semakin menambah suasana mencekam."Kita harus berhati-hati," ucap Harjo dengan nada tegas. "Setiap kali musik ini dimainkan, sesuatu dari sisi lain merespons. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."Aditya mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi jika kita tidak memainkannya, bagaimana kita bisa memecahkan misteri ini? Jejak kaki besar di luar, bayangan-bayangan yang Saras lihat—semuanya terkait dengan simfoni ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri."Harjo menggelengkan kepala, kerutan di dahinya semakin dalam. "Aryawiguna memperingatkan kita tentang hal ini. Musiknya bukan sekadar seni; ia adalah pintu ke tempat yang tidak boleh disentuh manusia."Namun, Saras, yang s

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 4: Kehadiran di Balik Bayangan

    Langit malam di Desa Sukamundur terasa lebih berat dari biasanya. Kabut begitu tebal menyelimuti setiap sudut Desa Sukamundur, seperti selimut abu-abu yang menghimpit. Di kejauhan, terlihat bayangan pohon tampak seperti siluet makhluk tinggi yang mengintai untuk menyergap mangsanya. Gedung konser Midanget Sunyata berdiri di tengah desa, megah tapi menyeramkan dan terkenal tapi terlihat suram, dengan cat dinding mulai kusam dan pilar-pilar besar yang menjulang seperti penjaga bisu. Terlihat bangunan yang seperti tak pernah dipakai selama bertahun-tahun.Di aula utama Gedung konser Midanget Sunyoto, Saras berdiri terengah-engah setelah berlari masuk menuju aula utama. Wajahnya memucat, seluruh tubuhnya gemetar, mengisyaratkan gentingnya keadaan. Matanya yang penuh ketakutan beralih dari Aditya ke jendela besar aula, seolah-olah sesuatu di luar masih mengintainya.“Mereka datang, mereka datang, mereka datang...” katanya dengan suara gemetar.Aditya, yang berdiri tak jauh darinya, memirin

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status