Beranda / Thriller / Simfoni Tanpa Nada / Bab 5: Melodi dari Kegelapan

Share

Bab 5: Melodi dari Kegelapan

Penulis: Png
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-09 21:59:31

Malam di Desa Sukamundur terasa seperti menahan napas. Kabut menyelimuti setiap sudut desa, menebarkan hawa dingin yang menembus kulit. Di aula Gedung Konser Midanget Sunyata, Saras, Harjo, dan Aditya berdiri memandangi partitur bertuliskan "Simfoni No. 8 – Gerakan 3.". Cahaya lampu yang temaram semakin menambah suasana mencekam.

"Kita harus berhati-hati," ucap Harjo dengan nada tegas. "Setiap kali musik ini dimainkan, sesuatu dari sisi lain merespons. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."

Aditya mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi jika kita tidak memainkannya, bagaimana kita bisa memecahkan misteri ini? Jejak kaki besar di luar, bayangan-bayangan yang Saras lihat—semuanya terkait dengan simfoni ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri."

Harjo menggelengkan kepala, kerutan di dahinya semakin dalam. "Aryawiguna memperingatkan kita tentang hal ini. Musiknya bukan sekadar seni; ia adalah pintu ke tempat yang tidak boleh disentuh manusia."

Namun, Saras, yang sejak tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. "Kalau begitu, biarkan saya memainkannya."

Semua mata tertuju padanya. "Saras, jangan!" seru Aditya. "Ini terlalu berbahaya. Musik ini bukan untuk dimainkan sembarangan."

Saras menatap Aditya dengan sorot mata penuh tekad. "Jika kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu. Simfoni ini mungkin satu-satunya cara untuk menghentikan mereka. Saya akan mengambil risiko."

Aditya menatap gadis muda itu dengan ragu. Ia tahu Saras berani, tetapi keberanian itu bisa menghancurkannya. Namun, ia juga sadar tidak ada pilihan lain.

"Baiklah," ucap Aditya akhirnya. "Tapi kita harus siap menghadapi apa pun yang terjadi."

Saras duduk di depan piano hitam itu. Jemarinya gemetar saat membuka partitur. Di sampingnya, Aditya berdiri dengan senter di tangan, siap berjaga. Harjo berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung.

Ketika Saras menekan tuts pertama, ruangan itu terasa bergetar. Nada rendah mengalun, mengisi setiap sudut aula dengan melodi yang tidak biasa. Udara menjadi dingin, dan kabut mulai merambat masuk melalui celah-celah pintu dan jendela.

Melodi itu berlanjut, membangun crescendo yang membuat bulu kuduk berdiri. Dari dalam kabut, terdengar suara bisikan—tidak jelas, seperti bahasa dari dunia lain. Saras tetap fokus, matanya terpaku pada tuts piano, meskipun jemarinya semakin berat untuk bergerak.

Aditya mengarahkan senter ke arah pintu ketika melihat sesuatu bergerak di balik kabut. Bayangan-bayangan tinggi tanpa wujud jelas mulai muncul, berdiri diam seperti menunggu.

"Berhenti, Saras!" teriak Aditya.

Namun, Saras tidak mendengar. Ia seolah terperangkap dalam melodi yang ia mainkan. Matanya kosong, dan tubuhnya bergerak seperti bukan miliknya sendiri.

Ketika Saras menekan nada terakhir, piano itu mengeluarkan suara keras seperti ledakan kecil. Gadis itu terjatuh dari kursi, terengah-engah, sementara bayangan-bayangan di luar mulai memudar.

Di atas piano, sebuah kertas muncul entah dari mana. Kertas itu tertulis dengan tinta hitam:

"Di hutan itu, temukan kebenaran. Yang tersembunyi di antara pepohonan adalah akhir dan awal."

"Ini pasti petunjuk dari Aryawiguna," gumam Harjo, suaranya hampir tak terdengar.

Aditya mengambil kertas itu dan membacanya dengan seksama. "Hutan... Itu pasti tempat di mana suara cello berasal. Kita harus ke sana sekarang. Semakin lama kita menunggu, semakin besar bahaya yang kita hadapi."

Malam itu, mereka bertiga berjalan menuju hutan di pinggir desa. Langit gelap tanpa bintang, dan hanya cahaya senter Aditya yang menerangi jalan mereka. Suara malam yang biasanya diisi oleh jangkrik atau angin kini digantikan oleh keheningan yang menyesakkan.

"Saya ingat Aryawiguna sering mengunjungi hutan ini," kata Harjo, memecah keheningan. "Dia bilang dia menemukan inspirasi di sini. Tapi sekarang saya mulai berpikir dia menemukan sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak seharusnya ditemukan."

Saras berjalan di belakang mereka, sesekali menoleh ke belakang dengan gelisah. "Apa menurut kalian... mereka masih mengawasi kita?" tanyanya pelan.

Aditya tidak menjawab, tetapi ia merasakan hal yang sama. Bayangan-bayangan dari aula tadi seolah mengikuti mereka, meskipun tidak terlihat.

Setelah berjalan beberapa menit, mereka tiba di sebuah pohon besar di tengah hutan. Pohon itu berbeda dari yang lain, dengan ukiran-ukiran aneh di batangnya. Ukiran itu tampak seperti simbol-simbol musik, tetapi juga menyerupai sesuatu yang lebih kuno.

Aditya mengarahkan senternya ke salah satu ukiran. "Ini mirip dengan simbol yang saya temukan di ruang latihan Raka," katanya.

Harjo menyentuh salah satu ukiran dengan ragu. Saat ia melakukannya, tanah di bawah mereka mulai bergetar. Sebuah pintu batu muncul di akar pohon, tersembunyi oleh dedaunan dan tanah.

"Pintu ini," kata Harjo, suaranya bergetar, "adalah jalan ke dunia lain. Aryawiguna pasti pernah melewati sini."

Aditya memeriksa pintu itu. "Kita harus masuk. Jika ini adalah sumber semua kejadian aneh ini, kita perlu mengetahuinya."

Saras menelan ludah, wajahnya pucat. "Tapi bagaimana kalau kita tidak bisa kembali?"

Aditya menatapnya. "Kalau kita tidak mencoba, desa ini akan hancur. Pilihan ada di tangan kita."

Dengan berat hati, Saras mengangguk. Mereka bertiga melangkah masuk ke dalam pintu itu, menuruni tangga batu yang gelap dan berliku.

Tangga itu membawa mereka ke sebuah ruangan besar dengan dinding batu yang dipenuhi ukiran simbol. Di tengah ruangan, ada sebuah podium dengan partitur lain tergeletak di atasnya. Di sekeliling podium, ada instrumen musik yang tampak seperti peninggalan dari masa lalu.

Aditya mendekati podium itu dengan hati-hati. Partitur itu bertuliskan: "Simfoni No. 9 – Gerakan 1.".

"Ini... ini simfoni terakhir Aryawiguna," gumam Harjo, matanya melebar.

Ketika Aditya menyentuh partitur itu, ruangan mulai bergema dengan suara musik—bukan dari mereka, tetapi dari instrumen di sekitar mereka yang mulai bergerak sendiri. Melodi itu asing, tetapi memiliki pola yang sama dengan ”Simfoni No. 8.”

"Musik ini... seolah memanggil sesuatu," kata Saras, suaranya bergetar.

Tiba-tiba, suara berat terdengar dari salah satu sudut ruangan. Bayangan besar muncul, bergerak perlahan ke arah mereka. Tidak ada mata atau wajah, tetapi kehadirannya membuat udara di ruangan itu terasa lebih berat.

"Kita harus keluar!" seru Aditya, tetapi pintu di belakang mereka telah tertutup.

Bayangan itu mendekat, dan suara musik semakin keras. Harjo, yang berdiri paling dekat dengan podium, mengambil tongkat konduktornya dan mencoba melawan bayangan itu dengan mengarahkan musiknya.

"Musik ini adalah kunci!" teriak Harjo. "Kita harus menyelesaikan simfoni ini di sini, atau kita tidak akan pernah bisa kembali!"

Aditya dan Saras membantu Harjo memainkan instrumen yang ada. Mereka tidak tahu apa yang sedang mereka mainkan, tetapi melodi itu terasa mengalir secara alami, seolah-olah Aryawiguna sendiri memandu mereka.

Bayangan itu mulai mundur saat musik mencapai klimaksnya. Namun, semakin keras mereka bermain, semakin besar energi yang terkumpul di ruangan itu. Cahaya terang mulai muncul di sekeliling mereka, memecah kegelapan.

Ketika mereka memainkan nada terakhir, bayangan itu menghilang, dan ruangan kembali sunyi. Pintu batu terbuka perlahan, memberi mereka jalan keluar.

Saras terjatuh ke lantai, terengah-engah. "Apakah kita berhasil?"

Aditya mengangguk, tetapi di dalam hatinya ia tahu ini belum berakhir. Simfoni itu belum selesai.

Bab terkait

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 6: Harmoni Terakhir

    Cahaya pagi yang suram menerobos masuk melalui celah-celah daun di Desa Sukamundur. Suara angin menggetarkan ranting pohon-pohon tua di sekitar desa, menciptakan melodi alami yang selaras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Aditya Arya berdiri di tengah aula gedung konser Midanget Sunyata, memandangi piano hitam yang kini terasa seperti jantung dari semua misteri ini. Di sampingnya, Saras duduk di salah satu kursi penonton, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian mengerikan di hutan semalam.“Simfoni ini masih belum selesai,” ucap Aditya, memecah keheningan. Tatapannya tertuju pada partitur yang ditemukan di ruangan bawah tanah semalam: “Simfoni No. 9 – Gerakan 1.”Harjo, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengangguk perlahan. “Aryawiguna mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menyusun simfoni ini. Tapi dia tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Dan sekarang, kita harus melakukannya. Jika tidak, pintu yang dia buka tidak akan pernah tertutup.”Saras mengangkat wajahn

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 1: Panggilan Keheningan

    Hujan mengguyur deras, memukul kaca jendela kantor kecil milik Aditya Arya. Irama hujan yang berulang-ulang itu seperti musik tanpa akhir, monoton, tapi tak sepenuhnya sunyi. Kantor Aditya, yang lebih menyerupai gudang dengan meja kayu tua, lampu neon berkedip, dan tumpukan dokumen berdebu, menjadi tempatnya menghabiskan malam.Dia memandang secangkir kopi di mejanya. Kopi itu sudah dingin, mencerminkan hidupnya yang belakangan ini terasa datar. Sebagai detektif swasta, kebanyakan kasusnya adalah rutinitas belaka—perselingkuhan, penyelidikan kecil, dan pencurian rumah tangga. Tidak ada yang cukup menantang otaknya seperti dulu, ketika dia masih aktif di kepolisian.Namun, malam itu membawa sesuatu yang berbeda. Sebuah amplop merah tergeletak di antara tumpukan dokumen di mejanya, mencolok di antara segala yang kusam. Amplop itu tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan dia tidak ingat siapa yang meletakkannya di sana.Aditya mengamati amplop itu dengan hati-hati. Namanya tertulis di bagi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 2: Jejak Bayangan

    Malam di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dibandingkan malam mana pun yang pernah Aditya rasakan. Keheningan itu hampir terasa menghimpit, seolah-olah desa ini memiliki jiwa yang mengawasi setiap langkahnya. Tiupan angin malam hanya terdengar samar di antara pepohonan. Tidak ada suara burung malam, tidak ada suara jangkrik. Keheningan seperti ini bukanlah sesuatu yang biasa. Setelah insiden bayangan di aula, Aditya memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam setiap tindakannya. Sebuah firasat kuat mengatakan kepadanya bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik insiden ini. Partitur kosong bertuliskan “Simfoni No. 8.” yang ditemukan di atas piano tadi malam kini tersimpan rapi di dalam tas kulit tuanya. Dia tahu, setiap detail kecil dalam kasus ini bisa menjadi kunci penting. Partitur itu menggelitik rasa ingin tahunya—apakah ini sekadar kebetulan atau sebuah pesan? Pagi harinya, dengan sinar matahari yang temaram menerobos celah awan mendung, Aditya memutuskan untuk kembal

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 3: Simfoni Senyap

    Hujan tipis membasahi Desa Sukamundur pagi itu. Awan kelabu menggantung rendah, membentuk langit yang seolah menekan desa kecil itu ke dalam keheningan abadi. Aditya Arya berdiri di aula utama gedung konser Midanget Sunyata, memandang piano hitam di panggung. Bayangan malam sebelumnya masih membekas dalam pikirannya—kehadiran sosok misterius, hilangnya bayangan secara tiba-tiba, dan partitur kosong bertuliskan ”Simfoni No. 8.”Dia melangkah pelan ke panggung, membiarkan derit lantai kayu mengisi ruangan yang kosong. Dengan hati-hati, dia membuka penutup piano. Tuts-tutsnya bersih, hampir terlalu bersih untuk instrumen yang terlihat tua dan usang dari luar. Aditya menyentuh salah satu tuts, menghasilkan nada yang terdengar janggal—nada itu tidak selaras, seperti ada ketidakseimbangan di dalam piano.“Tidak ada yang memainkan piano ini sejak Aryawiguna pergi,” suara berat tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Aditya menoleh. Maestro Harjo berdiri di pintu masuk aula, tangannya memegang

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 4: Kehadiran di Balik Bayangan

    Langit malam di Desa Sukamundur terasa lebih berat dari biasanya. Kabut begitu tebal menyelimuti setiap sudut Desa Sukamundur, seperti selimut abu-abu yang menghimpit. Di kejauhan, terlihat bayangan pohon tampak seperti siluet makhluk tinggi yang mengintai untuk menyergap mangsanya. Gedung konser Midanget Sunyata berdiri di tengah desa, megah tapi menyeramkan dan terkenal tapi terlihat suram, dengan cat dinding mulai kusam dan pilar-pilar besar yang menjulang seperti penjaga bisu. Terlihat bangunan yang seperti tak pernah dipakai selama bertahun-tahun.Di aula utama Gedung konser Midanget Sunyoto, Saras berdiri terengah-engah setelah berlari masuk menuju aula utama. Wajahnya memucat, seluruh tubuhnya gemetar, mengisyaratkan gentingnya keadaan. Matanya yang penuh ketakutan beralih dari Aditya ke jendela besar aula, seolah-olah sesuatu di luar masih mengintainya.“Mereka datang, mereka datang, mereka datang...” katanya dengan suara gemetar.Aditya, yang berdiri tak jauh darinya, memirin

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06

Bab terbaru

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 6: Harmoni Terakhir

    Cahaya pagi yang suram menerobos masuk melalui celah-celah daun di Desa Sukamundur. Suara angin menggetarkan ranting pohon-pohon tua di sekitar desa, menciptakan melodi alami yang selaras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Aditya Arya berdiri di tengah aula gedung konser Midanget Sunyata, memandangi piano hitam yang kini terasa seperti jantung dari semua misteri ini. Di sampingnya, Saras duduk di salah satu kursi penonton, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian mengerikan di hutan semalam.“Simfoni ini masih belum selesai,” ucap Aditya, memecah keheningan. Tatapannya tertuju pada partitur yang ditemukan di ruangan bawah tanah semalam: “Simfoni No. 9 – Gerakan 1.”Harjo, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengangguk perlahan. “Aryawiguna mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menyusun simfoni ini. Tapi dia tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Dan sekarang, kita harus melakukannya. Jika tidak, pintu yang dia buka tidak akan pernah tertutup.”Saras mengangkat wajahn

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 5: Melodi dari Kegelapan

    Malam di Desa Sukamundur terasa seperti menahan napas. Kabut menyelimuti setiap sudut desa, menebarkan hawa dingin yang menembus kulit. Di aula Gedung Konser Midanget Sunyata, Saras, Harjo, dan Aditya berdiri memandangi partitur bertuliskan "Simfoni No. 8 – Gerakan 3.". Cahaya lampu yang temaram semakin menambah suasana mencekam."Kita harus berhati-hati," ucap Harjo dengan nada tegas. "Setiap kali musik ini dimainkan, sesuatu dari sisi lain merespons. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."Aditya mendesah pelan, mencoba menenangkan pikirannya. "Tapi jika kita tidak memainkannya, bagaimana kita bisa memecahkan misteri ini? Jejak kaki besar di luar, bayangan-bayangan yang Saras lihat—semuanya terkait dengan simfoni ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri."Harjo menggelengkan kepala, kerutan di dahinya semakin dalam. "Aryawiguna memperingatkan kita tentang hal ini. Musiknya bukan sekadar seni; ia adalah pintu ke tempat yang tidak boleh disentuh manusia."Namun, Saras, yang s

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 4: Kehadiran di Balik Bayangan

    Langit malam di Desa Sukamundur terasa lebih berat dari biasanya. Kabut begitu tebal menyelimuti setiap sudut Desa Sukamundur, seperti selimut abu-abu yang menghimpit. Di kejauhan, terlihat bayangan pohon tampak seperti siluet makhluk tinggi yang mengintai untuk menyergap mangsanya. Gedung konser Midanget Sunyata berdiri di tengah desa, megah tapi menyeramkan dan terkenal tapi terlihat suram, dengan cat dinding mulai kusam dan pilar-pilar besar yang menjulang seperti penjaga bisu. Terlihat bangunan yang seperti tak pernah dipakai selama bertahun-tahun.Di aula utama Gedung konser Midanget Sunyoto, Saras berdiri terengah-engah setelah berlari masuk menuju aula utama. Wajahnya memucat, seluruh tubuhnya gemetar, mengisyaratkan gentingnya keadaan. Matanya yang penuh ketakutan beralih dari Aditya ke jendela besar aula, seolah-olah sesuatu di luar masih mengintainya.“Mereka datang, mereka datang, mereka datang...” katanya dengan suara gemetar.Aditya, yang berdiri tak jauh darinya, memirin

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 3: Simfoni Senyap

    Hujan tipis membasahi Desa Sukamundur pagi itu. Awan kelabu menggantung rendah, membentuk langit yang seolah menekan desa kecil itu ke dalam keheningan abadi. Aditya Arya berdiri di aula utama gedung konser Midanget Sunyata, memandang piano hitam di panggung. Bayangan malam sebelumnya masih membekas dalam pikirannya—kehadiran sosok misterius, hilangnya bayangan secara tiba-tiba, dan partitur kosong bertuliskan ”Simfoni No. 8.”Dia melangkah pelan ke panggung, membiarkan derit lantai kayu mengisi ruangan yang kosong. Dengan hati-hati, dia membuka penutup piano. Tuts-tutsnya bersih, hampir terlalu bersih untuk instrumen yang terlihat tua dan usang dari luar. Aditya menyentuh salah satu tuts, menghasilkan nada yang terdengar janggal—nada itu tidak selaras, seperti ada ketidakseimbangan di dalam piano.“Tidak ada yang memainkan piano ini sejak Aryawiguna pergi,” suara berat tiba-tiba terdengar dari belakangnya.Aditya menoleh. Maestro Harjo berdiri di pintu masuk aula, tangannya memegang

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 2: Jejak Bayangan

    Malam di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dibandingkan malam mana pun yang pernah Aditya rasakan. Keheningan itu hampir terasa menghimpit, seolah-olah desa ini memiliki jiwa yang mengawasi setiap langkahnya. Tiupan angin malam hanya terdengar samar di antara pepohonan. Tidak ada suara burung malam, tidak ada suara jangkrik. Keheningan seperti ini bukanlah sesuatu yang biasa. Setelah insiden bayangan di aula, Aditya memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam setiap tindakannya. Sebuah firasat kuat mengatakan kepadanya bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik insiden ini. Partitur kosong bertuliskan “Simfoni No. 8.” yang ditemukan di atas piano tadi malam kini tersimpan rapi di dalam tas kulit tuanya. Dia tahu, setiap detail kecil dalam kasus ini bisa menjadi kunci penting. Partitur itu menggelitik rasa ingin tahunya—apakah ini sekadar kebetulan atau sebuah pesan? Pagi harinya, dengan sinar matahari yang temaram menerobos celah awan mendung, Aditya memutuskan untuk kembal

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 1: Panggilan Keheningan

    Hujan mengguyur deras, memukul kaca jendela kantor kecil milik Aditya Arya. Irama hujan yang berulang-ulang itu seperti musik tanpa akhir, monoton, tapi tak sepenuhnya sunyi. Kantor Aditya, yang lebih menyerupai gudang dengan meja kayu tua, lampu neon berkedip, dan tumpukan dokumen berdebu, menjadi tempatnya menghabiskan malam.Dia memandang secangkir kopi di mejanya. Kopi itu sudah dingin, mencerminkan hidupnya yang belakangan ini terasa datar. Sebagai detektif swasta, kebanyakan kasusnya adalah rutinitas belaka—perselingkuhan, penyelidikan kecil, dan pencurian rumah tangga. Tidak ada yang cukup menantang otaknya seperti dulu, ketika dia masih aktif di kepolisian.Namun, malam itu membawa sesuatu yang berbeda. Sebuah amplop merah tergeletak di antara tumpukan dokumen di mejanya, mencolok di antara segala yang kusam. Amplop itu tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan dia tidak ingat siapa yang meletakkannya di sana.Aditya mengamati amplop itu dengan hati-hati. Namanya tertulis di bagi

DMCA.com Protection Status