Semua Bab Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti : Bab 41 - Bab 50

68 Bab

Bagian 41

Bian berjalan perlahan ke arahku, dia tidak menuju ke arah Saga dan ingin mengamuk padanya. Apa sekarang dia akan marah padaku."Tenang saja, kamu tak perlu lagi khawatir pada Nala. Ada aku yang akan menjaganya," ucap Bian sambil merangkul pinggangku dan memeluknya dengan erat. "Mulai sekarang, kamu bisa fokus pada kehidupanmu sendiri. Aku dengar setelah ini kamu akan berhenti dari profesi ini, bukan begitu, Sayang?" Ujar Bian lagi sambil mengeratkan pelukannya dan menatap padaku.Aku yang tidak menyangka Bian akan melakukan hal itu padaku hanya bisa melongo dibuatnya. "Hah?!" Aku berkata sambil menatap pada Bian. "Mulai sekarang Saga harus fokus pada kehidupannya sendiri." Bian mengulang perkataannya tanpa mengalihkan pandangan dariku. Aku menganggukkan kepala samar. Mungkin lebih baik memang seperti ini, Saga mengira aku dan Bian sudah baik-baik saja sehingga pria itu tak akan lagi mengkhawatirkanku. Saga terlihat tak nyaman dengan kemesraan yang diperlihatkan oleh Bian. "Bagu
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-03
Baca selengkapnya

Bagian 42

"Maaf, Ma, aku gak mau. Nala tidak bisa melakukan hal itu," jawabku tanpa berpikir lagi.Kali ini aku tak ingin melakukan apa yang Mama katakan, apapun itu. Biarlah aku jadi anak durhaka sekarang."Kenapa?" Aku diam tak menjawab pertanyaan Mama, tak mungkin kukatakan karena Mbak Ivanka. Bagaimanapun, wanita itu lebih berhak segala-galanya daripada aku. "Apa karena Ivanka, jangan pikirkan dia. Wanita itu ....""Ooweee ... oowee ...."Perkataan Mama terjeda karena tangisan Hafizah. "Maaf, Ma. Hafizah nangis. Dia belum makan apapun selain ASI, jadi bentar-bentar bangun dan minta disusui.""Ya udah, nanti mama telpon lagi yaa. Kamu susui Hafizah dulu," sahut mama, wanita itu lantas mematikan sambungan teleponnya. Aku meletakkan ponsel Bian ke atas tempat tidur begitu saja, lalu segera menghampiri Hafizah yang sedang menangis. Sepertinya bayi itu tak hanya menangis karena lapar, tapi juga karena buang air besar. Tercium olehku aroma khas kotoran anak bayi saat aku dekati Hafizah. "Ana
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-01
Baca selengkapnya

Bagian 43

POV Bian "Shaynala Azkayra, aku ceraikan kamu dengan talak satu. Mulai hari ini, kamu bukan istriku lagi." Ragaku rasanya seperti tercabut dalam badan, aku merasa hampa setelah mengucapkan ikrar talak itu. Ini sangat berbeda jauh saat aku bercerai dengan Ivanka. Bahkan aku merasa lega melepaskan wanita itu. Nala, wanita di depanku yang sekarang sudah menjadi mantan istriku tampak biasa saja. Apa dia memang begitu menginginkan perpisahan ini. Ya tentu saja, sejak dulu dia ingin. Sejak pertama kali diminta hamil lagi, dia mengajukan syarat itu. Pasti sekarang dia bahagia karena sudah terlepas dariku, pria kejam tak berperasaan. Padahal itu dulu, selama ini aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk perhatian dan menyayanginya. Bodoh sekali kamu, Bi. Kenapa kau lepaskan dia. Bukankah harusnya kamu berjuang untuk meyakinkan Nala. Tidak, Nala bahagia jika berpisah denganku. Mencintai tak harus memiliki. Jika aku memang mencintai Nala, maka harus rela melepasnya asal dia bahagia. Seperti
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-01
Baca selengkapnya

Baguan 44

"Mommy, Cenna kangen!" Putraku berseru sambil berlarian ke arah Ivanka yang tengah bersantai di ruang tamu. Sengaja kubawa pulang Cenna setelah begitu lama dia tinggal di rumah Mama, berharap memperbaiki hubungan dengan Ivanka. Aku tak berharap hubungan kami masih seperti dulu, mungkin hanya menjadi pasangan suami istri di atas kertas. Aku akan membiarkan dia berbuat sesuka hatinya, tapi tidak akan bercerai dengannya. Cenna yang menganggapnya sebagai wanita yang sudah melahirkannya tentu saja menjadi salah satu alasan. Meskipun tidak terlalu dekat, tapi Cenna begitu sayang pada Ivanka. Bocah itu selalu mengatakan, "Aku akan menjaga dan menyayangi Mommy seperti yang Daddy lakukan." Aku memang selalu menunjukkan kemesraan dan perhatian pada istriku itu meskipun di depan putraku. Bocah itu melihat kami sebagai pasangan yang harmonis dan bahagia. "Jangan dekati aku, aku bukan mommymu," seru Ivanka dengan tangan terulur di depan dadanya. Bocah itu langsung berhenti di depan Ivanka. Di
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-02
Baca selengkapnya

Bagian 45

"Ayo Cenna sekolah dulu, diantar sama supir," ucap Mama, memotong pembicaraan kami. Aku bahkan tak tahu lagi mau berkata apa pada Cenna. Aku tak mau memberinya banyak harapan lagi, khawatir dia semakin kecewa. Kupikir bocah itu tak akan pernah mengalami bagaimana rasanya kehilangan saat kedua orang tuanya berpisah. Namun ternyata, Cenna harus mengalami hal ini juga. "Cenna sekolah dulu ya, Sayang. Banyak teman kan di sana," bujukku. Harusnya tahun depan dia mulai sekolah, tapi karena merasa sudah sehat bocah itu begitu menginginkan untuk mengikuti kegiatan prasekolah. "Ayo," ajak Mama lagi.Cenna menganggukkan kepala, lalu mengikuti omanya dengan kepala tertunduk dan wajah tertekuk. Aku hanya bisa menghela nafas melihat Cenna seperti itu. Setelah kepergian Cenna, aku kembali ke kamar, membersihkan diri dan berganti pakaian. Hari ini aku tak berniat pergi bekerja. Harusnya memang aku bekerja dari rumah karena masih di rumah Nala, jadwalnya begitu. Tapi kenyataannya aku sudah kemb
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-02
Baca selengkapnya

Bagian 46

Aku segera pergi ke rumah Nala seperti yang diminta Mama. Kalaupun tidak rujuk, setidaknya kubawa saja dia ke rumah. Pertama-tama kubawa dia ke rumah dengan alasan Cenna, lalu berikutnya tinggal meyakinkan dia untuk mau menikah lagi denganku. Gampang, semua terlihat begitu mudah saat aku bayangkan. Aku hanya bisa terus berharap di sepanjang jalan, agar Nala belum pergi dari rumahnya. Harusnya belum, Hafizah masih bayi, apa iya dia kan langsung pergi begitu saja.Pagi-pagi sekali aku sudah berada di depan pintu gerbang rumah Nala. Semalam, aku tidak langsung ke rumahnya saat sampai karena hari sudah beranjak malam. Kami bukan lagi pasangan suami istri jadi kuputuskan untuk menginap di hotel saja. Aku memencet bel yang tersedia di pintu gerbang rumah Nala berulang kali. Entah kenapa setelah tak jadi suaminya, aku juga tak ingin masuk rumah yang begitu saja seperti biasanya. Beberapa saat menunggu akhirnya pintu terbuka. Terlihat seorang wanita keluar dari rumah Nala. Tapi dia bukan Bi
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-08
Baca selengkapnya

Bagian 47

"Saya pulang," ucapku berpamitan.Tak ingin tahu lebih banyak lagi tentang Saga dan Nala, jika aku terus berada di sini berbincang dengan pria ini. Aku yakin mereka berdua memang bisa menjaga diri, hanya saja membayangkan mereka saling memendam perasaan membuatku sakit hati."Tunggu dulu, Pak. Bapak baru saja datang," cegah Saga. "Tidak apa-apa, bagaimana saya bisa bersantai di sini sedangkan istri dan anak entah berada di mana. Saya harus segera menemukan mereka."Aku tak peduli dengan perkataan Saga dan memilih untuk berdiri dari Sofa. Namun, tiba-tiba aku merasa kepalaku berputar, mataku berkunang-kunang. Apa karena aku melewatkan makan siang, bahkan tadi pagi aku hanya makan buah-buahan di restoran hotel. Aku memegangi kepala sambil bersandar kembali ke sofa. "Bapak tidak apa-apa?" tanya Saga."Tidak, saya hanya pusing. Nanti juga sembuh saat di jalan.""Tunggu, biar saya antar."Aku langsung menatap Saga dengan pandangan penuh tanya. "Kamu mau mengantar saya pulang, padahal jar
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-08
Baca selengkapnya

Bagian 48

POV NalaWaktu berlalu dengan sangat cepat, seakan tidak ingin menyisakan banyak kenangan. Memang, tak ada kenangan indah maupun sedih selama satu setengah tahun yang aku lalui, tanpa Saga, tanpa Bian. Hidupku datar, hanya ada aku dan Hafizah. Tapi aku merasa tenang menjalani semua ini. Kadang kala, aku mengingat Bian dan Cenna. Penasaran dengan keadaan mereka. Tapi saat membayangkan mereka sudah bahagia dengan Mbak Ivanka, membuatku segera berusaha melupakan dua orang itu. Biarlah mereka bahagia dengan keluarganya, dan aku bahagia dengan Hafizah.Tak terasa, usia Hafizah sudah menginjak dua tahun. Dia sudah pandai berbicara, banyak kosa kata yang bisa dia ucapkan. Kata Ibu adalah kata pertama yang dia bisa. "Bu." Aku terharu saat pertama kali dia mengatakan kata itu. Hanya saja, dia tak mengenal kosa kata pasangannya. Ayah, papa, atau semisalnya. Hingga usianya menginjak dua tahun, Hafizah tak mengenal sosok ayahnya. Dia hanya tahu ada wanita yang selalu bersama dan menyayanginya,
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-12
Baca selengkapnya

Bagian 49

"Hai Boy, ngapain ke toko bunga?" tanya Pak Ardi pada Cenna Cenna menatap pada Pak Ardi lalu padaku. "Om sendiri ngapain ke sini?" Cenna balik bertanya. "Cari bunga, tentu saja," jawab Pak Ardi.Cenna lantas menatap padaku. "Cenna mau cari sesuatu," balasnya, sembari berlalu dari hadapan kami. Bocah itu terlihat mengelilingi ruangan seakan mencari sesuatu. "Pak Ardi kenal dia?" tanyaku. "Kenal, daddynya satu kampus denganku dulu saat kuliah. Perusahaan kami ada kerja sama, kebetulan hari ini ada rapat jadi dia datang ke sini," terang Pak Ardi panjang lebar. "Oh." Aku membalas singkat perkataannya. Pandanganku kembali teralihkan ke arah Cenna yang terus mengelilingi toko bungaku yang memang cukup luas. Bocah itu berhenti di depan meja kasir seakan mencari sesuatu. "Cari apa, Nak?" tanyaku sambil berjalan mendekat padanya. Kutinggalkan Pak Ardi yang masih sibuk memilih bunga. Dan mendekat pada Cenna yang sedang sibuk mencari sesuatu."Bisa ketemu dengan pemilik toko bunga ini?"
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-12
Baca selengkapnya

Bagian 50

"Maaf, Nyonya, sepertinya anda salah." Aku berkata lirih sambil mengurai pelukannya. "Kok Nyonya, sih. Tante, atau mama juga boleh," tegas wanita itu, mengoreksi panggilanku. "Iya, Tante salah. Saya hanya tukang bunga, tadi ke sini mau mengantarkan bunga ini." Aku berkata sembari memberikan bunga padanya. "Ah, jangan merendah begitu. Hanya tukang bunga tapi lihat ini auranya." Beliau menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ayolah, Mam. Jangan bikin Shaynala tidak nyaman," sela Pak Ardi."Benar kan, Bi. Lihat ini, wanita yang mempesona. Tertutup dan terjaga, siapa yang gak mau punya mantu dan istri seperti ini." Mama Pak Ardi berbicara pada Bian. "Ah, iya Tante," balas Bian, tergagap. Pandangan matanya masih menatap tajam padaku tadi, langsung berubah saat menjawab pertanyaan mama Pak Ardi "Maaf, Tante. Tapi saya sudah punya anak. Bagaimana jadi calon istrinya Pak Ardi, Tante benar-benar salah orang."Mendengar perkataanku barusan, wanita itu seperti terkejut dan tak ber
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-12
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status