Share

Bagian 47

Author: Isna Arini
last update Last Updated: 2025-02-08 18:48:03

"Saya pulang," ucapku berpamitan.

Tak ingin tahu lebih banyak lagi tentang Saga dan Nala, jika aku terus berada di sini berbincang dengan pria ini. Aku yakin mereka berdua memang bisa menjaga diri, hanya saja membayangkan mereka saling memendam perasaan membuatku sakit hati.

"Tunggu dulu, Pak. Bapak baru saja datang," cegah Saga.

"Tidak apa-apa, bagaimana saya bisa bersantai di sini sedangkan istri dan anak entah berada di mana. Saya harus segera menemukan mereka."

Aku tak peduli dengan perkataan Saga dan memilih untuk berdiri dari Sofa. Namun, tiba-tiba aku merasa kepalaku berputar, mataku berkunang-kunang. Apa karena aku melewatkan makan siang, bahkan tadi pagi aku hanya makan buah-buahan di restoran hotel. Aku memegangi kepala sambil bersandar kembali ke sofa.

"Bapak tidak apa-apa?" tanya Saga.

"Tidak, saya hanya pusing. Nanti juga sembuh saat di jalan."

"Tunggu, biar saya antar."

Aku langsung menatap Saga dengan pandangan penuh tanya. "Kamu mau mengantar saya pulang, padahal jar
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Mamahnya Rayhan
...️...️...️...️...️
goodnovel comment avatar
Jusnah
dikit amat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 48

    POV NalaWaktu berlalu dengan sangat cepat, seakan tidak ingin menyisakan banyak kenangan. Memang, tak ada kenangan indah maupun sedih selama satu setengah tahun yang aku lalui, tanpa Saga, tanpa Bian. Hidupku datar, hanya ada aku dan Hafizah. Tapi aku merasa tenang menjalani semua ini. Kadang kala, aku mengingat Bian dan Cenna. Penasaran dengan keadaan mereka. Tapi saat membayangkan mereka sudah bahagia dengan Mbak Ivanka, membuatku segera berusaha melupakan dua orang itu. Biarlah mereka bahagia dengan keluarganya, dan aku bahagia dengan Hafizah.Tak terasa, usia Hafizah sudah menginjak dua tahun. Dia sudah pandai berbicara, banyak kosa kata yang bisa dia ucapkan. Kata Ibu adalah kata pertama yang dia bisa. "Bu." Aku terharu saat pertama kali dia mengatakan kata itu. Hanya saja, dia tak mengenal kosa kata pasangannya. Ayah, papa, atau semisalnya. Hingga usianya menginjak dua tahun, Hafizah tak mengenal sosok ayahnya. Dia hanya tahu ada wanita yang selalu bersama dan menyayanginya,

    Last Updated : 2025-02-12
  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 49

    "Hai Boy, ngapain ke toko bunga?" tanya Pak Ardi pada Cenna Cenna menatap pada Pak Ardi lalu padaku. "Om sendiri ngapain ke sini?" Cenna balik bertanya. "Cari bunga, tentu saja," jawab Pak Ardi.Cenna lantas menatap padaku. "Cenna mau cari sesuatu," balasnya, sembari berlalu dari hadapan kami. Bocah itu terlihat mengelilingi ruangan seakan mencari sesuatu. "Pak Ardi kenal dia?" tanyaku. "Kenal, daddynya satu kampus denganku dulu saat kuliah. Perusahaan kami ada kerja sama, kebetulan hari ini ada rapat jadi dia datang ke sini," terang Pak Ardi panjang lebar. "Oh." Aku membalas singkat perkataannya. Pandanganku kembali teralihkan ke arah Cenna yang terus mengelilingi toko bungaku yang memang cukup luas. Bocah itu berhenti di depan meja kasir seakan mencari sesuatu. "Cari apa, Nak?" tanyaku sambil berjalan mendekat padanya. Kutinggalkan Pak Ardi yang masih sibuk memilih bunga. Dan mendekat pada Cenna yang sedang sibuk mencari sesuatu."Bisa ketemu dengan pemilik toko bunga ini?"

    Last Updated : 2025-02-12
  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 50

    "Maaf, Nyonya, sepertinya anda salah." Aku berkata lirih sambil mengurai pelukannya. "Kok Nyonya, sih. Tante, atau mama juga boleh," tegas wanita itu, mengoreksi panggilanku. "Iya, Tante salah. Saya hanya tukang bunga, tadi ke sini mau mengantarkan bunga ini." Aku berkata sembari memberikan bunga padanya. "Ah, jangan merendah begitu. Hanya tukang bunga tapi lihat ini auranya." Beliau menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ayolah, Mam. Jangan bikin Shaynala tidak nyaman," sela Pak Ardi."Benar kan, Bi. Lihat ini, wanita yang mempesona. Tertutup dan terjaga, siapa yang gak mau punya mantu dan istri seperti ini." Mama Pak Ardi berbicara pada Bian. "Ah, iya Tante," balas Bian, tergagap. Pandangan matanya masih menatap tajam padaku tadi, langsung berubah saat menjawab pertanyaan mama Pak Ardi "Maaf, Tante. Tapi saya sudah punya anak. Bagaimana jadi calon istrinya Pak Ardi, Tante benar-benar salah orang."Mendengar perkataanku barusan, wanita itu seperti terkejut dan tak ber

    Last Updated : 2025-02-12
  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 51

    Dia sudah bercerai jauh sebelum kami bercerai. Tapi kenapa dia tetap saja menceraikanku. Ah, sudahlah. Waktu itu aku yang mau. Kenapa sekarang aku harus bertanya. "Pulanglah, anak-anak butuh kita berdua. Cenna butuh kamu, dia pernah sakit karena sangat ingin bertemu denganmu. Aku sampai mencarimu ke yayasan segala," papar Bian."Kamu ke yayasan?" Aku bertanya sambil menatapnya. Mencari kebenaran dari perkataannya. "Iya, tapi hanya bertemu dengan Saga. Saga sudah menikah dengan Fatimah."Akhirnya pria itu menikah juga dengan wanita yang pantas. Aku merasa lega. "Kamu tahu ucapan Cenna yang paling membuatku sedih. Apakah aku ini anak yang merepotkan, selalu sakit-sakitan, hingga ibuku tak mau mengakuiku. Bahkan Mommy yang kukira mommyku, juga membuangku." Bian menirukan ucapan putranya."Bukan aku yang tidak mengakuinya. Tapi kalian semua yang membuatku melakukan semua ini," protesku, membela diri."Iya, iya. Aku tahu. Aku yang salah."Sakit sekali rasanya membayangkan hal itu, kupik

    Last Updated : 2025-02-13
  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 52

    "Semua ini gara-gara kamu," keluhku pada Bian. Kami berjalan menaiki tangga satu persatu dengan Bian berada di sampingku. Setelah kepergian Cenna, aku dan Bian berencana untuk membujuknya berdua. Hafizah langsung nyaman bersama dengan omanya. Mungkin karena biasa hanya ada aku dan Mia saja, sekarang dia begitu senang saat ada banyak orang. "Aku suka kalau kamu marah padaku, teruslah marah," balas Bian."Hah?" Aku menghentikan langkahku sesaat saat mendengar perkataannya. Dasar aneh."Katanya, wanita semakin perhatian semakin sering marah. Begitupula kalau cinta, makin sayang makin posesif. Kalau kamu marah padaku, artinya kamu perhatian dan sebentar lagi sayang," tutur Bian. Seakan menjawab keherananku.Teori sesat darimana yang Bian katakan itu. Tak mau menggubris perkataannya, aku kembali melangkah. Daripada berdebat dengan dia lebih baik aku segera membujuk Cenna. Dia terlihat sangat terluka dengan semua ini."Mana kamarnya?" Aku bertanya pada Bian setelah sampai di lantai atas.

    Last Updated : 2025-02-14
  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 52 B

    "Papa kemana, Ma?" tanyaku pada Mama.Setelah kami selesai makan malam, aku dan Mama berbincang di ruang santai. Hafizah, Cenna, dan Bian pergi ke kamar Bian dan mungkin bermain bersama. Sejak tadi kami datang, mereka bertiga terus menghabiskan waktu bersama. "Pergi ke luar kota, ada urusan pekerjaan. Hari ini harusnya pulang, mungkin agak malam. Tadi katanya kena macet di jalan," terang Mama. "Tapi Papa sudah tahu kalau kamu akan pulang hari ini," sambungnya. "Papa masih gak suka sama Nala, Ma?" tanyaku ragu-ragu."Papa bukan gak suka, Sayang. Papa memang begitu, kaku dan tak bisa mengungkapkan perasaan dan perhatiannya. Kamu lihat Bian, apa pernah Papa terlihat sayang padanya?" Mama benar, Bian pun tak pernah terlihat dekat dengan Papa. Papa memang dingin, kaku, dan serius, bagiku terlihat menyeramkan. Apalagi aku bukan anak kandungannya, rasanya semakin takut saja padanya. Kupikir dulu aku anaknya karena aku memanggil istrinya Mama. Namun, saat kecil aku berlarian ingin memeluk

    Last Updated : 2025-02-14
  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 53

    "Berhentilah meracau dan tidurlah," kataku sembari menarik tanganku dari genggamannya."Aku tidak meracau, Na. Aku serius dengan semua perkataanku," tutur Bian sambil menatap padaku. Aku langsung membuang pandangan, tak mau jatuh dalam pesona matanya yang selalu menghujam jantungku."Tidurlah, Bi. Biar Hafizah juga tidur, aku tak mau terlalu lama di sini. Takut dikira kita ngapa-ngapain. Aku pasti yang salah kalau keluar dari kamarmu malam-malam begini.""Makanya, ayo menikah. Tidak akan ada yang peduli kita mau ngapain juga di dalam kamar kalau suami istri. Nikah, nikah, apa isi kepalanya cuma pernikahan. "Kamu pikir semudah itu kembali menikah?""Apa susahnya?""Kamu bilang apa susahnya. Apa yang kamu lakukan padaku, kau anggap tidak berdampak apa-apa padaku?" tanyaku dengan emosi tertahan. Bisa-bisa Hafizah tidak tidur-tidur jika kami terus berdebat."Tapi aku sudah berusaha membayarnya dengan berbuat baik padamu. Mengikuti semua maumu, termasuk bercerai. Aku sebenarnya tak ingi

    Last Updated : 2025-02-14
  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 53 B

    Aku segera pergi ke kolam renang saat sudah selesai dengan beres-beres kamar. Dari kejauhan kulihat ada Mama sedang duduk memperhatikan Bian dan dua anaknya. Aku bisa melihat Hafizah begitu senang dan menikmati bermain air bersama kakak dan juga daddynya. Aku memang tak pernah mengajaknya berenang, hanya pernah sekali waktu pergi ke baby spa saja. "Sudah sarapan?" tanya Mama."Belum, Ma, belum ingin," balasku. "Lihatlah mereka begitu bahagia. Mama akan lebih bahagia jika kamu mau menikah lagi dengan Bian. Jika kamu menikah dengannya, kamu bisa merawat anak-anak tanpa ada batasan. Apakah menikah dengan Bian bukan menjadi salah satu hal yang akan membuatmu bahagia?" Mama berkata panjang lebar diakhiri dengan pertanyaan. "Maaf, Ma. Nala masih belum bisa menjawab pertanyaan Mama. Saat ini, Nala belum yakin dengan perasaan Bian maupun perasaan Nala sendiri," balasku apa adanya. Apakah Bian ingin menikah denganku hanya karena anak-anak atau karena ingin dan ada perasaan padaku. Aku tak

    Last Updated : 2025-02-14

Latest chapter

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 59

    POV Nala Aku menunggu Bian berganti pakaian sambil duduk di sisi ranjang seperti biasanya. Bian berganti pakaian di ruangan khusus yang ada di kamarnya. Nanti dia akan keluar dari sana setelah rapi dan kami akan pergi bersama ke ruang makan untuk sarapan. Sejak tinggal di sini, aku selalu melakukan hal seperti ini. Pura-pura ke kamar Bian, menantinya berganti pakaian, seolah semalam aku tidur bersamanya. Ini kulakukan demi Cenna, aku kucing-kucingan dengan anak itu. Bertingkah seolah aku dan Daddy-nya tidur di kamar yang sama. Kami bertingkah layaknya suami istri pada umumnya. Sesungguhnya ini sangat merepotkan. Namun, demi Cenna akan kulakukan apa saja. Aku dengar bocah itu pernah masuk rumah sakit hanya gara-gara terlalu banyak pikiran. Apalagi kini Cenna semakin dewasa semakin tahu segalanya. Aku benar-benar tak bisa tidur semalaman, setelah mendapat ancaman dari Bian di ruang keluarga. Malam tadi, aku hanya bisa mengangguk dan tak berkata apa-apa. Mungkin dari mulutnya keluar k

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 58

    POV BianPonselku benar-benar berdering saat tengah berkendara, aku harap itu benar-benar telepon dari Ardi yang namanya sudah kuganti dengan nama Ivanka. Nala mengambil ponsel tersebut, dengan ekor mata, aku bisa melihat jika dia terkejut saat melihat layar ponselku dan aku semakin yakin itu adalah Ardi yang menelepon. "Siapa?" Aku pura-pura bertanya. "Mbak Ivanka," jawab Nala, dia terlihat tak bersemangat menyebut nama itu. "Oh." Pura-pura tak peduli saja, aku sudah bilang pada Ardi untuk menelpon setidaknya dua sampai tiga kali, agar terlihat begitu penting dan butuh. "Ini, kamu gak mau angkat?" tanya Nala."Biarin saja."Panggilan telepon kubiarkan hingga berakhir dengan sendirinya. Dan seperti yang aku minta, ponsel itu kembali berdering."Dia masih menelpon lagi," ucap Nala sambil memperlihatkan layar ponsel padaku "Terima saja, mungkin penting. kamu bisa menepi," sambungnya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku segera menepi. Jangan sampai Ardi tak mau menelpon lagi dan

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 57

    POV Bian."Mau kemana?" tanyaku, saat melihat Nala terlihat rapi dan keluar dari kamarnya.Aku sendiri juga baru keluar dari kamar, hari ini aku tidak bekerja karena hari Minggu. Aku tak pernah tahu rutinitas Nala di rumah, ini. Dia tak pernah mengatakan apapun padaku. Tentu saja, siapa aku hingga dia harus membuat laporan hendak kemana dan mau apa. "Mau ke toko bunga," jawab Nala. "Toko bunga?" tanyaku memastikan. "Iya."Toko bunga Nala masih berada di tempat yang sama dengan kantor Ardi. Nala bilang lebih baik di sana daripada pindah lagi, karena kalau pindah seperti memulai dari awal, mencari pelanggan baru begitu katanya. Mendengar kata toko bunga aku langsung meraih tangan Nala dan membawanya masuk kembali ke dalam kamarnya. Tidak ada yang boleh tahu kalau aku berdebat dengan wanita ini, terutama Cenna. Dia selalu waspada kalau sedikit saja aku dan Nala berdebat, sepertinya dia masih ingat hari-hari dimana aku banyak menghabiskan waktu berdebat dengan Ivanka hingga akhirnya k

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 56

    "Sampai kapan seperti ini?" tanyaku kesal. Tentu dengan bisikan juga."Sampai Cenna pergi," balas Bian."Memangnya dia masih di sana mengawasi kita," tanyaku. "Iya."Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dipeluk olehnya. Jika sudah berhubungan dengan Cenna, rasanya aku tak bisa membedakan salah dan benar. Tatapan matanya yang terluka itu selalu membuatku luluh. Dia sepertiku jika sedang bersedih."Kamu biasa begini dengan Mbak Ivanka?" "Kenapa, kamu cemburu?" Bian balik bertanya."Bukan begitu, bagaimana bisa kau umbar kemesraan di depan anakmu.""Biar dia tahu, bagaimana memperlakukan seorang wanita, seorang istri. Jangan kira aku tidak menjelaskan mana yang boleh dan mana yang tidak." Aku terdiam, kurasa Bian berusaha memberi contoh pada putranya bagaimana dia memperlakukan perempuan. Pasti Bian lembut dan manis pada Mbak Ivanka. Jauh beda denganku kala itu, hanya setelah aku hamil Hafizah saja dia bersikap baik padaku. Lalu kenapa dia bercerai dengan Mbak Ivanka jika keh

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 55

    Papa menatap padaku, entah apa makna tatapan itu. Meminta jawaban dari pertanyaan Bian? "Kamu serius ingin menikah lagi dengan Nala, apa alasannya?" tanya Papa pada Bian setelah mengalihkan pandangannya dariku."Sepertinya Bian jatuh cinta pada Nala, Pa. Jadi Bian yakin dan serius," balas mantan suamiku itu.Eh, kenapa dia bilang begitu. Jatuh cinta di usia setua ini. Maksudnya, sudah punya dua anak, tentu saja sudah tua. Lalu kenapa dia bilang jatuh cinta, bikin malu saja."Papa tak bisa menjawabnya, meskipun Papa adalah papamu, tapi tidak akan memihak pada siapapun. Semua papa serahkan pada Nala karena ini menyangkut kehidupannya. Bukan begitu, Ma?" Papa bertanya kepada Mama di ujung kalimatnya."Mama setuju dengan Papa. Selama ini, Nala selalu melakukan apa yang kami minta dan katakan. Kali ini biar dia melakukan dan memilih apa yang dia inginkan," sahut Mama sambil menatap padaku."Tapi sebelum menjawab, kamu perlu tahu sesuatu, Na," ucap Papa sambil menatap padaku. Aku merasa j

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 54 B

    "Bi, apa-apaan sih kamu ini," seruku tak suka. Bagaimana bisa dia melakukan ini, pria ini semakin sesuka hatinya saja padaku."Papa bilang apa?" tanyanya sambil menatap padaku. "Tanya begitu doang haruskah seperti ini, memasukkanku ke dalam kamar. Kamu bisa tanya nanti, dimana kek, bukan masuk ke ruangan tertutup begini," sungutku.Aku jadi ingat perkataan Papa, bagaimana jika kami lupa diri kalau keseringan masuk ke ruangan hanya berdua saja. "Aku penasaran, katakan sekarang," pinta Bian. "Papa gak bilang apa-apa, cuma bilang selamat datang," balasku singkat."Lama sekali." Bian terlihat tidak percaya."Memangnya harus secepat apa? Udah ah, aku mau keluar, mau makan. Lapar!" Aku berlalu menuju ke arah pintu."Aaaaa, satu lagi. Papa bilang, aku harus hati-hati padaku," ucapku saat aku sudah membuka pintu. "Apa maksudnya?" tanya Bian. Aku tak menjawab, memilih langsung pergi dengan setengah berlari, meninggalkan pria yang kurasa makin hari makin aneh saja. ***"Mbak, dipanggil I

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 54

    "Santai aja, ngapain harus takut. Papa hanya ingin bicara denganmu karena kangen," ucap Bian saat melihat kegelisahanku."Ngawur kamu, Bi.""BTW, kayaknya lebih enak di panggil Mas deh," sela Bian. "Tau ah, sana aku mau pergi. Keburu papa kelamaan nungguin." Aku kembali berusaha keluar kolam Bian kembali meraih pergelangan tanganku. "Bi ....""Na, untuk sekarang ini jangan takut apapun. Ada aku, jika Papa mengatakan hal yang menyakiti hatimu, kita bisa pergi dari sini. Kita bawa anak-anak bersama kita. Ayo kita bangun keluarga baru yang sesungguhnya." Bian berkata sambil membingkai wajahku.Untuk beberapa saat, aku kembali tengelam dalam tatapan dan kata-katanya. "Aku tak mau kabur dari siapapun lagi, aku akan hadapi semuanya," ucapku sambil mengurai tangannya dari wajahku. "Jika kamu ingin membangun keluarga denganku, minta ijinlah pada Papa. Mungkin Papa bukan orang tua kandungku, mungkin Papa tak pernah menuntun dan memegang tanganku, tapi lewat kerja keras tangannya aku bisa

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 53 B

    Aku segera pergi ke kolam renang saat sudah selesai dengan beres-beres kamar. Dari kejauhan kulihat ada Mama sedang duduk memperhatikan Bian dan dua anaknya. Aku bisa melihat Hafizah begitu senang dan menikmati bermain air bersama kakak dan juga daddynya. Aku memang tak pernah mengajaknya berenang, hanya pernah sekali waktu pergi ke baby spa saja. "Sudah sarapan?" tanya Mama."Belum, Ma, belum ingin," balasku. "Lihatlah mereka begitu bahagia. Mama akan lebih bahagia jika kamu mau menikah lagi dengan Bian. Jika kamu menikah dengannya, kamu bisa merawat anak-anak tanpa ada batasan. Apakah menikah dengan Bian bukan menjadi salah satu hal yang akan membuatmu bahagia?" Mama berkata panjang lebar diakhiri dengan pertanyaan. "Maaf, Ma. Nala masih belum bisa menjawab pertanyaan Mama. Saat ini, Nala belum yakin dengan perasaan Bian maupun perasaan Nala sendiri," balasku apa adanya. Apakah Bian ingin menikah denganku hanya karena anak-anak atau karena ingin dan ada perasaan padaku. Aku tak

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 53

    "Berhentilah meracau dan tidurlah," kataku sembari menarik tanganku dari genggamannya."Aku tidak meracau, Na. Aku serius dengan semua perkataanku," tutur Bian sambil menatap padaku. Aku langsung membuang pandangan, tak mau jatuh dalam pesona matanya yang selalu menghujam jantungku."Tidurlah, Bi. Biar Hafizah juga tidur, aku tak mau terlalu lama di sini. Takut dikira kita ngapa-ngapain. Aku pasti yang salah kalau keluar dari kamarmu malam-malam begini.""Makanya, ayo menikah. Tidak akan ada yang peduli kita mau ngapain juga di dalam kamar kalau suami istri. Nikah, nikah, apa isi kepalanya cuma pernikahan. "Kamu pikir semudah itu kembali menikah?""Apa susahnya?""Kamu bilang apa susahnya. Apa yang kamu lakukan padaku, kau anggap tidak berdampak apa-apa padaku?" tanyaku dengan emosi tertahan. Bisa-bisa Hafizah tidak tidur-tidur jika kami terus berdebat."Tapi aku sudah berusaha membayarnya dengan berbuat baik padamu. Mengikuti semua maumu, termasuk bercerai. Aku sebenarnya tak ingi

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status