Home / Horor / Penghuni / Chapter 1 - Chapter 5

All Chapters of Penghuni : Chapter 1 - Chapter 5

5 Chapters

1

Aku merasakan ada sesuatu yang jatuh dari atas langit-langit plafon di mana aku sedang terbaring. Rasanya tidak nyaman ketika sesuatu itu menimpa wajahku. "Apaan sih? Kok rasanya geli?" gumamku, meski mataku terasa amat berat, aku memaksakan kelopak mataku agar terbuka lebih lebar. Deg! Jantungku berhenti berdetak saat melihat belatung-belatung seukuran butir nasi itu jatuh satu per satu, menumpuk di wajahku. Aku tertegun, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Duk, duk, duk! Bunyi aneh seperti hentakan kaki tiba-tiba terdengar di atas palafon, di sela-sela plafon, keluar belatung yang tercurah seperti hujan. "Akkkh..." aku berusaha menjerit, ingin mengeluarkan suara, namun suaraku tercekat. Belatung-belatung mulai bergerak, menggeliat di pipi, hidung, bahkan masuk ke dalam sudut mataku. Aku mencoba mengusapnya dengan cepat, lagi-lagi tangan ini terasa berat, seolah ada yang menahannya. "Apa-apaan ini...? Menyingkir!" bisikku, nyaris tanpa suara. Aku merasa peru
Read more

2

"Loh, ini kayak kain ya?" pikirku ketika tanganku menyentuh sesuatu. Karena panik dan terburu-buru, benda yang terselip di sela ventilasi itu pun terjatuh ke lantai karena gesekan oleh tanganku sendiri. Deg! Aku menyipitkan mata menatap benda yang jatuh itu. Sebuah kain putih, tampak kumal berwarna coklat. Hmm... Bisa dibilang seperti kain yang lama dipendam dalam tanah. Kotor dan bau amis. Aku segera turun dari kursi, kupungut benda yang seukuran dus sabun mandi tersebut. Ya, ini kain yang dibutalkan, ada lilitan kain putih yang sudah kecoklatan diikat seperti sebuah kado. "Apa isinya? Kok rasanya kayak ada sesuatu di dalam?" rasa penasaranku sudah tak tertolong, aku gegas membuka kain kotor itu perlahan, mencoba mengabaikan bau amis yang semakin menusuk hidungku. Tanganku gemetar saat aku meraih ujung kain yang dililitkan, perlahan mengurai ikatan yang rapat. “Ya Allah, ini apa sih sebenarnya?” gumamku, berbisik. Entah kenapa, meski merasa cemas, ada dorongan kuat dal
Read more

3

"Mugi-mugi iso lama ngontraknya." Kalimat ibu penjual mie ayam terus menggema di dalam benakku. Aku hendak memanggil dan bertanya. Akan tetapi, ibu-ibu yang belum aku tahu namanya itu sudah tampak sibuk melayani pembeli yang lain. Ya ... Terpaksa aku urungkan niatku. Memendam rasa penasaran dalam diriku. "Yo weslah, nanti saja. Sekarang gue lapar. Gue isi tenaga dulu," gumamku sambil mengaduk-ngaduk mie ayam yang siap aku santap. Tring! Suara notifikasi dari grup aplikasi hijau menghentikan aktivitas makanku, ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan benda pipih yang berbunyi tadi. [Nara, lo udah di rumah kontrakan'kan? Gue sama yang lain lagi nungguin mobil nih!] pesan dari Ranti. Aku mendesah pelan membaca pesan dari temanku. Mereka yang mengontrak rumah bareng aku memang ada empat orang. Dua perempuan, termasuk aku jadinya tiga perempuan. Dan duanya lagi adalah laki-laki. Mereka adalah teman-teman satu provinsi, beda kabupaten, dan berbeda kampus. Kami bertemu saat ada pera
Read more

4

"Aduh, Pak! Kalau mau nyiram itu lihat-lihat, dong!" teriakku, refleks. Aku kesal dan bahkan sangat kesal. Bagaimana nggak kesal? Seorang bapak-bapak yang usianya kisaran 50 tahun itu sengaja menyiramiku dengan air bekas cucian piring yang mungkin, sudah disimpan selama berhari-hari. Bau dari bekas air cucian itu langsung menyeruak ke hidungku, membuatku mual. Bau amis dan busuk bercampur, seakan-akan ada sesuatu yang membusuk di dalam air yang disiramkan itu. Aku cepat-cepat mengibas-ngibaskan tanganku, berusaha menghindari percikan yang masih menetes dari rambutku. Bapak dengan wajah datar dan tatapan kosong, hanya menatapku tanpa ada rasa bersalah. Dia kemudian meletakkan ember di sampingnya dan berbalik, seperti tidak ada yang terjadi. Aku semakin kesal, tapi juga bingung. Mengapa pria tua yang masih berdiri di ambang pintu itu bersikap seperti ini? "Pak, kalau mau nyiram kayak gitu, jangan sembarangan. Apa Bapak nggak lihat saya sedang jalan?!" Aku coba mengeraskan
Read more

5

"Duar! Kaget kan lo?!" Aku seketika memejamkan mata, detak jantungku seakan berhenti sejenak. Ingin ku lontarkan tujuh sumpah serapah kepada temanku, Amira. Ternyata, itu adalah teman laknat yang berada di dalam bilik sebelah. Dengan sebuah ponsel yang mengeluarkan suara tangisan kuntilanak. "Hahaha... Wajah lo kenapa, Nara? Lo habis lihat demit? Sumpah! Wajah lo Lucu banget tau nggak?" ledek Amira. Aku membuka mata perlahan dan menatap Amira dengan tatapan yang pasti tampak lebih seram dari suara kuntilanak yang dia putar di ponselnya. "Amira! Lo pikir ini lucu, hah? Gue hampir aja pingsan! Mau mati lo?!" Aku mendekatinya dengan niat ingin memberi satu pukulan untuk membalaskan dendam. "Hahaha!" Amira malah tertawa terbahak-bahak sambil mundur, menutup pintu kamar mandi di belakangnya dengan santai. "Ih, lo parno banget, sih! Nara yang pemberani ternyata bisa takut juga," ucapnya sambil memamerkan cengiran lebar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan dir
Read more
DMCA.com Protection Status