Aku merasakan ada sesuatu yang jatuh dari atas langit-langit plafon di mana aku sedang terbaring. Rasanya tidak nyaman ketika sesuatu itu menimpa wajahku.
"Apaan sih? Kok rasanya geli?" gumamku, meski mataku terasa amat berat, aku memaksakan kelopak mataku agar terbuka lebih lebar. Deg! Jantungku berhenti berdetak saat melihat belatung-belatung seukuran butir nasi itu jatuh satu per satu, menumpuk di wajahku. Aku tertegun, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Duk, duk, duk! Bunyi aneh seperti hentakan kaki tiba-tiba terdengar di atas palafon, di sela-sela plafon, keluar belatung yang tercurah seperti hujan. "Akkkh..." aku berusaha menjerit, ingin mengeluarkan suara, namun suaraku tercekat. Belatung-belatung mulai bergerak, menggeliat di pipi, hidung, bahkan masuk ke dalam sudut mataku. Aku mencoba mengusapnya dengan cepat, lagi-lagi tangan ini terasa berat, seolah ada yang menahannya. "Apa-apaan ini...? Menyingkir!" bisikku, nyaris tanpa suara. Aku merasa perutku sudah sangat mual, jijik dan ingin muntah. "Nggak, ini nggak beres. Ini pasti cuma mimpi, gue harus bangun!" aku membatin, sekuat tenaga aku berusaha bangun. Tetapi aku seperti dipaksa untuk terus terbaring dan menatap ke arah palafon. "Ya Allah, tubuh gue kenapa? Kok gue nggak bisa nge gerakin tubuh gue?" batinku meracau. Tiba-tiba plafon yang terbuat dari triplek itu patah, mengeluarkan suara. "Krek!" sontak saja sebuah kepala keluar dari patahan plafon tersebut. "Astaghfirullah, Ya Allah!" aku refleks beristighfar saat melihat rambut seorang wanita terjuntai, menutupi wajah. Perlahan, makhluk di atas plafon itu mengangkat wajahnya perlahan, kepala itu posisinya ke bawah disusul dengan suara tawa yang membuat bulu kudukku seketika meremang. "Hihihi... Longo...!" makhluk itu berdesis, suaranya serak dan berat, seperti batu gerinda yang bergesekan dengan baja. Aku tertegun melihat wajah nun pucat kini menatapku dari plafon, rambutnya yang kusut menjuntai seperti akar pohon yang berayun-ayun. Mata mahkluk jelmaan wanita tampak hitam pekat, tidak ada putihnya sama sekali. Bukan hanya itu saja, cairan hitam pun menetes dari sudut bibir mahkluk tersebut yang merekah lebar, tertawa tanpa suara. Mulutnya sedikit terbuka, memamerkan gigi-gigi runcing dan hitam yang membuat tenggorokanku nyaris tercekik karena ketakutan. "Metu... Ojo ninggal ing kene..." lagi, suara wanita misterius tersebut berdesis. Aku tidak tahu apa yang dimaksud oleh mahkluk jelek di atas sana, tapi suara tersebut sudah berhasil membuat bulu-bulu halus di tubuhku berdiri, seakan ada ribuan jarum menusuk kulitku. "Ya Allah, ini mahkluk apaan? Nggak, ini bukan hantu. Pasti gue lagi sedang berhalusinasi!" Aku bergumam dalam hati, mencoba menggerakkan bibirku yang gemetar. "Hihihi..." wanita menyeramkan itu tertawa lagi. Aku terus memberontak, berupaya agar tubuhku yang lumpuh ini bisa bergerak. "Kinara ayo, lo harus maksa bangun, ini tuh cuma mimpi. Sadar!" yakinku pada diri sendiri, tapi tubuhku sama sekali tak mau bergerak. Aku tidak menyerah, aku mulai merapal doa dalam hati, "A'udzu billahi min ash-shaytan ir-rajim..." mencoba menenangkan diriku, berharap makhluk itu segera pergi. Namun, wanita seram tersebut tetap berada di sana, semakin mendekat. Belatung-belatung masih terus jatuh dari plafon, mengotori wajahku dan seolah menyusup ke pori-pori kulitku. Kini tangan kiriku terasa lemas, dengan sisa-sisa tenaga, aku mencoba mengangkat tanganku untuk mengusir belatung yang kini hampir masuk ke mulutku. "Allahu Akbar... Ya Allah, lindungi hamba," ucapku sambil menahan mual yang semakin kuat. Kepala wanita menyeramkan itu meluncur turun lebih rendah, wajahnya sekarang hanya beberapa inci dari wajahku. Deg, deg, deg! Jantungku seperti maraton, aku bisa melihat dengan jelas luka busuk di pipi kanan mahkluk itu yang menganga, mengeluarkan cairan merah kental, lebih ke hitam dan belatung. Mulut wanita menyeramkan itu bergerak, mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang sama sekali tidak kumengerti, itu terdengar seperti mantra yang tidak henti-hentinya berdengung di telingaku. "Pergi! Menjauh! Lo pikir lo bisa menakutin gue, hah! Wajah lo itu jelek! Lo pikir lo cantik? Dasar mahkluk menjijikkan!" desahku lemah, berusaha memberanikan diri meski sekujur tubuhku gemetar hebat. Dengan sekuat tenaga, aku menggerakkan bibirku untuk melantunkan doa, "Bismillahirrahmanirrahim... Qul a'udzu birabbin nas..." Aku terus membacanya meski suaraku terdengar parau. Tiba-tiba semuanya berhenti. Belatung-belatung itu tidak lagi bergerak, dan suara tawa itu perlahan memudar. Aku terbangun dengan napas tersengal, tubuhku basah oleh keringat. "Haah... Astaghfirullah," aku berucap dengan refleks. Aku langsung duduk, memeriksa wajah dan tangan, memastikan tidak ada belatung yang tersisa. Ruang tengah di mana aku berbaring tampak normal, tapi detak jantungku masih menggila. “Ya Allah ... cuma mimpi,” bisikku sambil menyeka keringat di dahiku. Aku melihat jam di ponselku—baru pukul dua siang. “Tapi, kenapa mimpinya terasa begitu nyata?” tanyaku pada diri sendiri, masih terhanyut dalam perasaan takut yang belum benar-benar hilang. Aku bangkit dari lantai, mencoba menenangkan diri. Awalnya, aku baru saja tiba di rumah kontrakan ini tadi pagi. Aku datang lebih awal karena ingin membersihkan rumah sebelum teman-temanku yang lain datang. Kami semua sepakat untuk pindah ke sini setelah menemukan rumah dengan harga sewa yang terjangkau, meski kesan pertama rumah ini cukup menyeramkan. Rumah dua lantai bergaya klasik era 90-an itu tampak sunyi dan agak usang, dengan cat yang sudah mulai pudar di beberapa tempat dan dinding yang terlihat lembab. Kami tidak terlalu memikirkannya, karena harga sewa tujuh juta setahun untuk rumah sebesar ini benar-benar menggiurkan bagi mahasiswa seperti kami. Saat tiba pagi tadi, aku juga membawa peralatan kebersihan dan mulai menyapu serta mengepel lantai. Aku ingin memastikan rumah ini setidaknya layak sebelum teman-temanku tiba. Setelah hampir dua jam membersihkan, aku merasa lelah. Aku pun memutuskan untuk berbaring sebentar di lantai ruang tengah, menggunakan pashmina yang kubawa sebagai alas karena rumah ini kosong dan bahkan tak di cat oleh pemiliknya. Tiba-tiba rasa kantuk menyerangku, dan tanpa sadar aku pun tertidur. Dan sekarang, aku terbangun dari mimpi buruk yang begitu nyata—mimpi tentang wanita seram di plafon yang memanggilku dengan suara berdesis, "Longo..." Seolah-olah makhluk itu mencoba memanggilku, atau mungkin memperingatkanku tentang sesuatu yang tidak kuketahui. Sial! Aku menggigil hanya dengan memikirkan kejadian barusan, meskipun saat ini sinar matahari masih menembus jendela, menerangi ruangan dengan cahaya hangat, tetap saja ada perasaan ganjil yang tidak bisa kuabaikan, seolah ada yang tidak beres di rumah ini. “Seharusnya gue nggak langsung tidur tadi,” gumamku, sambil merapikan pashmina yang tadi kugunakan sebagai alas. "Mungkin karena capek, jadi mimpi aneh." Aku mencoba menenangkan diri sendiri, tapi entah kenapa, perasaan itu tidak mau hilang. Seperti ada sesuatu yang masih mengawasi, menunggu aku lengah lagi. Kupikir, mungkin lebih baik aku menunggu di luar saja sampai teman-temanku datang. Setidaknya, di luar rumah ini aku tidak akan merasa sesak seperti di dalam sini. Saat hendak menuju pintu depan, mataku terpaku pada ventilasi di atas pintu. Perasaan tidak nyaman itu kembali muncul, seperti ada bisikan yang memaksaku untuk memeriksa ventilasi itu. Aku terhenti sejenak, merasakan jantungku mulai berdebar lagi. “Apa sih, Kinara, kenapa lo tiba-tiba jadi parno kayak gini?” Aku menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Pada akhirnya, rasa penasaran lebih kuat daripada ketakutanku. "Ngapa gue malah gergetan sendiri sama ventilasi itu? Haah... Nggak bisa, Yura! Gue harus ngecek!" aku pun segera mencari kursi plastik yang ada di sudut ruangan, dan dengan sedikit ragu, aku menaiki kursi itu, mengulurkan tangan untuk meraba sela-sela ventilasi. Deg! Aku merasa tanganku menyentuh sesuatu. "Benda apa ini?" gumamku, alisku mengernyit."Loh, ini kayak kain ya?" pikirku ketika tanganku menyentuh sesuatu. Karena panik dan terburu-buru, benda yang terselip di sela ventilasi itu pun terjatuh ke lantai karena gesekan oleh tanganku sendiri. Deg! Aku menyipitkan mata menatap benda yang jatuh itu. Sebuah kain putih, tampak kumal berwarna coklat. Hmm... Bisa dibilang seperti kain yang lama dipendam dalam tanah. Kotor dan bau amis. Aku segera turun dari kursi, kupungut benda yang seukuran dus sabun mandi tersebut. Ya, ini kain yang dibutalkan, ada lilitan kain putih yang sudah kecoklatan diikat seperti sebuah kado. "Apa isinya? Kok rasanya kayak ada sesuatu di dalam?" rasa penasaranku sudah tak tertolong, aku gegas membuka kain kotor itu perlahan, mencoba mengabaikan bau amis yang semakin menusuk hidungku. Tanganku gemetar saat aku meraih ujung kain yang dililitkan, perlahan mengurai ikatan yang rapat. “Ya Allah, ini apa sih sebenarnya?” gumamku, berbisik. Entah kenapa, meski merasa cemas, ada dorongan kuat dal
"Mugi-mugi iso lama ngontraknya." Kalimat ibu penjual mie ayam terus menggema di dalam benakku. Aku hendak memanggil dan bertanya. Akan tetapi, ibu-ibu yang belum aku tahu namanya itu sudah tampak sibuk melayani pembeli yang lain. Ya ... Terpaksa aku urungkan niatku. Memendam rasa penasaran dalam diriku. "Yo weslah, nanti saja. Sekarang gue lapar. Gue isi tenaga dulu," gumamku sambil mengaduk-ngaduk mie ayam yang siap aku santap. Tring! Suara notifikasi dari grup aplikasi hijau menghentikan aktivitas makanku, ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan benda pipih yang berbunyi tadi. [Nara, lo udah di rumah kontrakan'kan? Gue sama yang lain lagi nungguin mobil nih!] pesan dari Ranti. Aku mendesah pelan membaca pesan dari temanku. Mereka yang mengontrak rumah bareng aku memang ada empat orang. Dua perempuan, termasuk aku jadinya tiga perempuan. Dan duanya lagi adalah laki-laki. Mereka adalah teman-teman satu provinsi, beda kabupaten, dan berbeda kampus. Kami bertemu saat ada pera
"Aduh, Pak! Kalau mau nyiram itu lihat-lihat, dong!" teriakku, refleks. Aku kesal dan bahkan sangat kesal. Bagaimana nggak kesal? Seorang bapak-bapak yang usianya kisaran 50 tahun itu sengaja menyiramiku dengan air bekas cucian piring yang mungkin, sudah disimpan selama berhari-hari. Bau dari bekas air cucian itu langsung menyeruak ke hidungku, membuatku mual. Bau amis dan busuk bercampur, seakan-akan ada sesuatu yang membusuk di dalam air yang disiramkan itu. Aku cepat-cepat mengibas-ngibaskan tanganku, berusaha menghindari percikan yang masih menetes dari rambutku. Bapak dengan wajah datar dan tatapan kosong, hanya menatapku tanpa ada rasa bersalah. Dia kemudian meletakkan ember di sampingnya dan berbalik, seperti tidak ada yang terjadi. Aku semakin kesal, tapi juga bingung. Mengapa pria tua yang masih berdiri di ambang pintu itu bersikap seperti ini? "Pak, kalau mau nyiram kayak gitu, jangan sembarangan. Apa Bapak nggak lihat saya sedang jalan?!" Aku coba mengeraskan
"Duar! Kaget kan lo?!" Aku seketika memejamkan mata, detak jantungku seakan berhenti sejenak. Ingin ku lontarkan tujuh sumpah serapah kepada temanku, Amira. Ternyata, itu adalah teman laknat yang berada di dalam bilik sebelah. Dengan sebuah ponsel yang mengeluarkan suara tangisan kuntilanak. "Hahaha... Wajah lo kenapa, Nara? Lo habis lihat demit? Sumpah! Wajah lo Lucu banget tau nggak?" ledek Amira. Aku membuka mata perlahan dan menatap Amira dengan tatapan yang pasti tampak lebih seram dari suara kuntilanak yang dia putar di ponselnya. "Amira! Lo pikir ini lucu, hah? Gue hampir aja pingsan! Mau mati lo?!" Aku mendekatinya dengan niat ingin memberi satu pukulan untuk membalaskan dendam. "Hahaha!" Amira malah tertawa terbahak-bahak sambil mundur, menutup pintu kamar mandi di belakangnya dengan santai. "Ih, lo parno banget, sih! Nara yang pemberani ternyata bisa takut juga," ucapnya sambil memamerkan cengiran lebar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan dir
"Lo ngapa Ranti?" tanya Heru. Aku dan ke empat temanku tiba di dapur ketika mendengar teriakkan Ranti. Wanita berkacamata itu menutup kedua mata dan telinga seperti ketakutan. "Itu loh, ada kecoa ngesot di dalam kloset," ucap Ranti. "Yeee ...!" kami semua berseru mendengar jawaban Ranti, berpikir jika wanita itu melihat sesuatu atau mungkin ia terpeleset. "Gue kira lo lihat ular kayang apa gimana. Kecoa doang lo teriak kayak lihat setan!" celetuk Andi. "Iya nih, lo balikin aja tubuhnya. Paling tuh kecoa joget-joget kayak Sadbor," ujar Mira menimpali sambil menirukan tarian yang sedang viral. "Udah, udah, gue mau buang air. Apa lo pada mau nungguin gue berak, hah?!" Ranti berkata. "Najis!" seru Heru. Aku hanya memperhatikan interaksi teman-temanku itu sambil tersenyum kecil merasakan kehangatan dari gurauan mereka. Tetapi perasaanku tak luput dari kata tenang, aku masih merasa jika beberapa mata sedang memperhatikan kami dari segala sudut. Aku pun berusaha m
"Heh, Mir, nyebut-nyebut. Lo liatin apaan sih?!" aku mencengkram kedua pundak Mira, wanita itu tegang. Ranti panik ketakutan melihat Mira yang seperti melihat sesuatu yang membuat Mira shack-shock. "Mir, lo jangan nakuti gue. Hantu apaan?" ujar Ranti. "Lo ... Nggak pada ngeliat? Itu di tembok bawah pohon rambutan...," ucap Mira terbata-bata, menunjuk.Aku berbalik, ku alihkan pandanganku ke arah yang ditunjuk Mira, tak ada apapun di sana. Hanya gelap dan bayangan ranting pohon rambutan yang menari tertiup angin malam. "Nggak ada apa-apa. Apa sih yang lo liat?" aku kembali mengalihkan pandanganku kepada Mira. Aku begitu penasaran dengan apa yang Mira lihat hingga membuat wanita itu ketakutan hingga berkeringat dingin. Pocong, 'kah?Ranti pun sama, ia clengak-clenguk melihat ke arah pohon rambutan. "Iya, nggak ada apa-apa —" "Noh, dia mendekat!" teriak Mira, tubuhnya gemetar. Bruk! Tubuh Mira lunglai jatuh dalam pelukan Ranti. "Mir, woilah, jangan becanda!" teriak Ranti, mencob
"Kiikik ... Kiikik ...!"Aku dan ke-4 temanku menutup telinga saat Mira mengeluarkan tawa melengking, menusuk gendang telinga.Suara tawa Mira yang terdengar begitu tajam, menusuk. Seperti seekor kuda yang ditarik tali kekangnya. "Mira... Lo apa-apaan sih, ketawa kayak gitu? Lo pikir ini lucu?!" sergahku, menatap Mira jengkel. Mira yang duduk tegak itu membuang pandangannya ke arahku, matanya putih. Untuk saat ini dalam benakku jika ia sengaja menakuti kami ketika suasana rumah sedang tegang. Apalagi waktu siang tadi, Mira yang sengaja memutar suara tangisan kuntilanak di dalam bilik kloset WC. Membuat diri ini begitu tak percaya jika ia sedang kesurupan. "Kowe!" Mira menunjukku, suaranya tegas. Aku terkesiap, bingung. 'Kenapa? Ada yang salah dengan gue?' batinku. Semua mata sontak tertuju padaku, seakan meminta jawaban. Aku melangkah mundur sedikit, menatap Mira yang masih dengan senyum aneh di wajah Mira. Dan mata Mira yang putih sepenuhnya itu membuatku merinding. "K—kowe?"
"Mungkin yang lo temuin itu santet tanah kuburan." Aku yang sudah berada di dalam ruang perkuliahan masih terngiang-ngiang ucapan Heru. Semalam, setelah menenangkan Mira, aku menjelaskan bagaimana aku mendapatkan bungkusan tanah di atas ventilasi. 'Santet? Buat apa coba? Jaman gini masih ada hal begituan? Norak banget, dan siapa yang meletakkan bungkusan itu?' pikirku. Hari ini mata kuliah psikologi, karena aku mengambil jurusan kesehatan masyarakat. Saat mengemudi sepeda motor pun, pikiranku masih terfokus pada ucapan Heru. 'Santet tanah kuburan?' aku merenung.Rasanya aneh, seperti sesuatu yang nggak mungkin ada di dunia nyata. Tapi semalam, melihat kondisi Mira yang tiba-tiba berubah begitu drastis, entah kenapa aku mulai ragu. Semua kejadian aneh ini—dimulai dari suara tangisan kuntilanak di WC, lalu bungkusan tanah yang aku temui—terasa semakin nyata.Aku menatap papan tulis di ruang kuliah, tetapi pikiranku tetap melayang jauh. Pembicaraan tentang teori-teori psikologi yang
Kupacu sepeda motor maticku dengan kecepatan sedang setelah berteleponan dengan Mira. Meski pikiranku carut-marut, aku berusaha tetap fokus. "Tadi Mira di Warnet apa ya?" aku bergumam. Nggak, pokoknya nggak mau aku kembali ke kontrakan itu sendirian. Sungguh mati, disambar petir bareng-bareng juga aku mau.Mengingat hal aneh yang terjadi, aku lebih memilih untuk menjemput Mira saja. Aku tepikan sepeda motorku di bahu jalan, aku kemudian mengambil ponselku dan mencari nomor Mira di aplikasi hijau. "Mir, lo di warnet mana? Bareng aja ya ke kontrakan." Kirim. Aku menunggu balasan, sesekali aku memperhatikan jalanan yang masih ramai oleh lalu lalang kendaraan. "Nduk...." "Astaghfirullah, ya Allah!" aku terkesiap, mendengar suara dari belakang. Aku pun menoleh. Seorang wanita paruh baya seperti pengemis itu sudah berada di belakang tubuhku. Wajah wanita tersebut tampak serius kala ia menatapku. "Ya Allah, Bu, saya kaget. Ada apa, Bu?" tanyaku dengan suara masih terguncang, beru
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diriku. Dengan tangan gemetar, aku menggeser ikon hijau di layar ponselku dan menjawab panggilan itu."H—halo? Mira?" suaraku bergetar, nyaris tak keluar.Hening. Hanya ada suara statis di ujung telepon. Kemudian, sebuah suara terdengar—bukan suara Mira yang biasa. Lebih berat, lebih serak, dan terdengar seperti berasal dari kedalaman yang tak terjamah manusia."Kinara... tanggung jawab... saiki!" suara itu bergema, membuat bulu kudukku meremang. Napasku tercekat, dan aku hampir menjatuhkan ponsel dari tanganku."Mira? Ini lo?" tanyaku panik, berharap ini semua hanya kesalahpahaman atau semacam prank yang sering Mira lakukan.Namun, suara itu tidak menjawab. Hanya ada desisan aneh seperti seseorang yang sedang menarik napas dalam-dalam. Di tengah keheningan itu, suara lain muncul—tangisan lirih, seperti anak kecil yang menangis, perlahan berubah menjadi tawa cekikikan yang memekakkan telinga.Aku langsung menutup telepon, napasku memburu. "Sial!
"Mungkin yang lo temuin itu santet tanah kuburan." Aku yang sudah berada di dalam ruang perkuliahan masih terngiang-ngiang ucapan Heru. Semalam, setelah menenangkan Mira, aku menjelaskan bagaimana aku mendapatkan bungkusan tanah di atas ventilasi. 'Santet? Buat apa coba? Jaman gini masih ada hal begituan? Norak banget, dan siapa yang meletakkan bungkusan itu?' pikirku. Hari ini mata kuliah psikologi, karena aku mengambil jurusan kesehatan masyarakat. Saat mengemudi sepeda motor pun, pikiranku masih terfokus pada ucapan Heru. 'Santet tanah kuburan?' aku merenung.Rasanya aneh, seperti sesuatu yang nggak mungkin ada di dunia nyata. Tapi semalam, melihat kondisi Mira yang tiba-tiba berubah begitu drastis, entah kenapa aku mulai ragu. Semua kejadian aneh ini—dimulai dari suara tangisan kuntilanak di WC, lalu bungkusan tanah yang aku temui—terasa semakin nyata.Aku menatap papan tulis di ruang kuliah, tetapi pikiranku tetap melayang jauh. Pembicaraan tentang teori-teori psikologi yang
"Kiikik ... Kiikik ...!"Aku dan ke-4 temanku menutup telinga saat Mira mengeluarkan tawa melengking, menusuk gendang telinga.Suara tawa Mira yang terdengar begitu tajam, menusuk. Seperti seekor kuda yang ditarik tali kekangnya. "Mira... Lo apa-apaan sih, ketawa kayak gitu? Lo pikir ini lucu?!" sergahku, menatap Mira jengkel. Mira yang duduk tegak itu membuang pandangannya ke arahku, matanya putih. Untuk saat ini dalam benakku jika ia sengaja menakuti kami ketika suasana rumah sedang tegang. Apalagi waktu siang tadi, Mira yang sengaja memutar suara tangisan kuntilanak di dalam bilik kloset WC. Membuat diri ini begitu tak percaya jika ia sedang kesurupan. "Kowe!" Mira menunjukku, suaranya tegas. Aku terkesiap, bingung. 'Kenapa? Ada yang salah dengan gue?' batinku. Semua mata sontak tertuju padaku, seakan meminta jawaban. Aku melangkah mundur sedikit, menatap Mira yang masih dengan senyum aneh di wajah Mira. Dan mata Mira yang putih sepenuhnya itu membuatku merinding. "K—kowe?"
"Heh, Mir, nyebut-nyebut. Lo liatin apaan sih?!" aku mencengkram kedua pundak Mira, wanita itu tegang. Ranti panik ketakutan melihat Mira yang seperti melihat sesuatu yang membuat Mira shack-shock. "Mir, lo jangan nakuti gue. Hantu apaan?" ujar Ranti. "Lo ... Nggak pada ngeliat? Itu di tembok bawah pohon rambutan...," ucap Mira terbata-bata, menunjuk.Aku berbalik, ku alihkan pandanganku ke arah yang ditunjuk Mira, tak ada apapun di sana. Hanya gelap dan bayangan ranting pohon rambutan yang menari tertiup angin malam. "Nggak ada apa-apa. Apa sih yang lo liat?" aku kembali mengalihkan pandanganku kepada Mira. Aku begitu penasaran dengan apa yang Mira lihat hingga membuat wanita itu ketakutan hingga berkeringat dingin. Pocong, 'kah?Ranti pun sama, ia clengak-clenguk melihat ke arah pohon rambutan. "Iya, nggak ada apa-apa —" "Noh, dia mendekat!" teriak Mira, tubuhnya gemetar. Bruk! Tubuh Mira lunglai jatuh dalam pelukan Ranti. "Mir, woilah, jangan becanda!" teriak Ranti, mencob
"Lo ngapa Ranti?" tanya Heru. Aku dan ke empat temanku tiba di dapur ketika mendengar teriakkan Ranti. Wanita berkacamata itu menutup kedua mata dan telinga seperti ketakutan. "Itu loh, ada kecoa ngesot di dalam kloset," ucap Ranti. "Yeee ...!" kami semua berseru mendengar jawaban Ranti, berpikir jika wanita itu melihat sesuatu atau mungkin ia terpeleset. "Gue kira lo lihat ular kayang apa gimana. Kecoa doang lo teriak kayak lihat setan!" celetuk Andi. "Iya nih, lo balikin aja tubuhnya. Paling tuh kecoa joget-joget kayak Sadbor," ujar Mira menimpali sambil menirukan tarian yang sedang viral. "Udah, udah, gue mau buang air. Apa lo pada mau nungguin gue berak, hah?!" Ranti berkata. "Najis!" seru Heru. Aku hanya memperhatikan interaksi teman-temanku itu sambil tersenyum kecil merasakan kehangatan dari gurauan mereka. Tetapi perasaanku tak luput dari kata tenang, aku masih merasa jika beberapa mata sedang memperhatikan kami dari segala sudut. Aku pun berusaha m
"Duar! Kaget kan lo?!" Aku seketika memejamkan mata, detak jantungku seakan berhenti sejenak. Ingin ku lontarkan tujuh sumpah serapah kepada temanku, Amira. Ternyata, itu adalah teman laknat yang berada di dalam bilik sebelah. Dengan sebuah ponsel yang mengeluarkan suara tangisan kuntilanak. "Hahaha... Wajah lo kenapa, Nara? Lo habis lihat demit? Sumpah! Wajah lo Lucu banget tau nggak?" ledek Amira. Aku membuka mata perlahan dan menatap Amira dengan tatapan yang pasti tampak lebih seram dari suara kuntilanak yang dia putar di ponselnya. "Amira! Lo pikir ini lucu, hah? Gue hampir aja pingsan! Mau mati lo?!" Aku mendekatinya dengan niat ingin memberi satu pukulan untuk membalaskan dendam. "Hahaha!" Amira malah tertawa terbahak-bahak sambil mundur, menutup pintu kamar mandi di belakangnya dengan santai. "Ih, lo parno banget, sih! Nara yang pemberani ternyata bisa takut juga," ucapnya sambil memamerkan cengiran lebar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan dir
"Aduh, Pak! Kalau mau nyiram itu lihat-lihat, dong!" teriakku, refleks. Aku kesal dan bahkan sangat kesal. Bagaimana nggak kesal? Seorang bapak-bapak yang usianya kisaran 50 tahun itu sengaja menyiramiku dengan air bekas cucian piring yang mungkin, sudah disimpan selama berhari-hari. Bau dari bekas air cucian itu langsung menyeruak ke hidungku, membuatku mual. Bau amis dan busuk bercampur, seakan-akan ada sesuatu yang membusuk di dalam air yang disiramkan itu. Aku cepat-cepat mengibas-ngibaskan tanganku, berusaha menghindari percikan yang masih menetes dari rambutku. Bapak dengan wajah datar dan tatapan kosong, hanya menatapku tanpa ada rasa bersalah. Dia kemudian meletakkan ember di sampingnya dan berbalik, seperti tidak ada yang terjadi. Aku semakin kesal, tapi juga bingung. Mengapa pria tua yang masih berdiri di ambang pintu itu bersikap seperti ini? "Pak, kalau mau nyiram kayak gitu, jangan sembarangan. Apa Bapak nggak lihat saya sedang jalan?!" Aku coba mengeraskan
"Mugi-mugi iso lama ngontraknya." Kalimat ibu penjual mie ayam terus menggema di dalam benakku. Aku hendak memanggil dan bertanya. Akan tetapi, ibu-ibu yang belum aku tahu namanya itu sudah tampak sibuk melayani pembeli yang lain. Ya ... Terpaksa aku urungkan niatku. Memendam rasa penasaran dalam diriku. "Yo weslah, nanti saja. Sekarang gue lapar. Gue isi tenaga dulu," gumamku sambil mengaduk-ngaduk mie ayam yang siap aku santap. Tring! Suara notifikasi dari grup aplikasi hijau menghentikan aktivitas makanku, ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan benda pipih yang berbunyi tadi. [Nara, lo udah di rumah kontrakan'kan? Gue sama yang lain lagi nungguin mobil nih!] pesan dari Ranti. Aku mendesah pelan membaca pesan dari temanku. Mereka yang mengontrak rumah bareng aku memang ada empat orang. Dua perempuan, termasuk aku jadinya tiga perempuan. Dan duanya lagi adalah laki-laki. Mereka adalah teman-teman satu provinsi, beda kabupaten, dan berbeda kampus. Kami bertemu saat ada pera