"Duar! Kaget kan lo?!"
Aku seketika memejamkan mata, detak jantungku seakan berhenti sejenak. Ingin ku lontarkan tujuh sumpah serapah kepada temanku, Amira. Ternyata, itu adalah teman laknat yang berada di dalam bilik sebelah. Dengan sebuah ponsel yang mengeluarkan suara tangisan kuntilanak. "Hahaha... Wajah lo kenapa, Nara? Lo habis lihat demit? Sumpah! Wajah lo Lucu banget tau nggak?" ledek Amira. Aku membuka mata perlahan dan menatap Amira dengan tatapan yang pasti tampak lebih seram dari suara kuntilanak yang dia putar di ponselnya. "Amira! Lo pikir ini lucu, hah? Gue hampir aja pingsan! Mau mati lo?!" Aku mendekatinya dengan niat ingin memberi satu pukulan untuk membalaskan dendam. "Hahaha!" Amira malah tertawa terbahak-bahak sambil mundur, menutup pintu kamar mandi di belakangnya dengan santai. "Ih, lo parno banget, sih! Nara yang pemberani ternyata bisa takut juga," ucapnya sambil memamerkan cengiran lebar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Gue beneran udah siap ngecek bilik sebelah, tau gak lo. Sumpah, lo berlebihan!" Mira menyeringai puas, “Berarti prank-nya berhasil, dong?” Aku hanya menggeleng sambil nyengir kesal. "Oke, Mira Liat aja nanti! Gue bakal balas!" ancamku dengan senyum licik. "Yaudah sih. Dari tadi gue manggilin. Tapi nggak ada yang nyautin. Pas dengar ada yang mandi ya, ide gue langsung muncul buat ngerjain lo!" ujar Mira. Aku memijat pangkal hidungku. Kepalaku masih pening oleh kejadian-kejadian aneh yang menimpaku. Sampai-sampai, kehadiran Mira pun tak aku rasakan. "Nara, lo nggak apa-apa? Wajah lo pucet banget. Maafin gue ya, dah buat lo jantungan. Beneran gue nggak ada niat buat lo takut," ujar Mira. "Ah... Gue nggak apa-apa. Mungkin karena gue kecapean jadi kurang fokus. Ya udah, lo milih kamar gih! Anak-anak yang lain belum pada datang ya?" Mira mengangguk sambil menatapku sedikit khawatir, "Belum. Tapi katanya mereka bakal nyusul abis magrib." Aku melirik ke arah luar, langit sudah mulai menggelap. Di luar suasananya sunyi sekali, hanya terdengar derik serangga malam. Sebenarnya aku belum sepenuhnya tenang setelah prank Mira, dan pikiranku masih berkecamuk dengan suasana rumah kontrakan yang sedikit mencekam ini. "Gue beneran nggak nyangka rumahnya begini sepi dan... agak serem, ya?" Mira bersandar di dinding dengan wajah sedikit ragu. "Herannya, kenapa pemilik kontrakan nggak renovasi ya?" ujar Mira. “Serem? Emang iya, sih,” aku mengiyakan ucapan Mira, masih sedikit gagal fokus. “Tapi, lo tau nggak, tadi pas gue mandi, gue denger suara kayak pasar gitu dari balik tembok kamar mandi.” Mira mengerutkan keningnya. “Pasar? Maksud lo?” “Iya, kayak suara orang jualan, tawar-menawar, ramai gitu. Bahasa Jawa, jelas banget. Gue kira halusinasi, tapi… beneran kedengeran.” Aku masih merinding mengingat suara itu. Bayangan suara tawar-menawar harga cabai dan teriakan penjual masih bergema di telingaku. Mira menatapku dengan mata membulat. “Serius? Di sini ada pasar? Gue nggak denger apa-apa.” temanku itu tampak ragu, ekspresinya bercampur antara tak percaya dan sedikit takut. Melihat reaksi Mira yang tampak ketakutan, aku memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian aneh yang menimpaku. Takut membuatnya kabur dan tak jadi mengontrak sama-sama lagi. "Udah, nggak usah dipikirin. Gue mau ambil baju sekalian mau beli alat mandi. Ke depan yuk!" ajakku mengalihkan pembicaraan. Mira mengangguk dan kami pun berjalan ke arah ruang tengah. Saat melangkah, aku memperhatikan Mira. Sorot mata Mira kelihatan memperhatikan nuansa yang ada di dalam rumah. "Nara, emang nih rumah nggak di cat atau di renovasi gitu? Kesannya kok kotor banget sih. Kita kan udah bayar!" celutuk Mira. "Gue mikir juga gitu sih awal nyampe. Tapi kalo dipikir-pikir, harga segini dapat dua tingkat ya sydah untung tahu!" "Iya juga sih. Tapi setidaknya harus ada perawatan sedikit lah. Ini kesan pertamanya kayak rumah angker," Mira menjawab sambil mengedarkan pandangan, seolah-olah mencari sesuatu yang tidak terlihat. Aku hanya mengangguk sambil menyusuri dinding yang dipenuhi dengan gambar-gambar acak. Drrt, drrt, drrt! Aku dan Mira terkesiap. Saking parnonya, dering ponsel yang berbunyi membuat kami terloncat. Mira segera meraih ponselnya dari saku. "Ini dari ibu kontrakan!" seru Mira. "Yaudah angkat." Gegas, Mira menggeser tombol hijau. "Halo...," sapa Mira. Aku buru-buru ke ruang tengah. Membiarkan Mira berbicara dengan pemilik kontrakan. Tapi... Di pembatas tembok antara ruang makan dan tengah, netraku sekilas menangkap sekelabat sosok hitam. Sosok itu sangat cepat. Melesat tembus ke dinding kamar belakang yang ada di ruang makan. "Astagfirullah," gumamku, menggeleng dan segera menuju ke arah ranselku. Aku dengan cepat mengeluarkan baju dan uang yang sengaja aku simpan di dalam amplop, ku sisipkan di sela-sela pakaian. Tap, tap, tap! Dari arah luar rumah, aku mendengar suara riuh disertai langkah kaki. "Welcome to rumah baru! Akhirnya, uang jajan gue bisa nambah berkat dapat rumah murah." "Heru, Andi! Lo berdua jangan dulu masuk. Tungguin mobil pickup yang nganterin barang-barang kita dulu!" "Bentar. Gue taroh dulu ransel gue. Lagian gue belum makan. Tuh, depan samping rel ada warung mie ayam. Entar gue sama Heru nungguin di warung aja." Aku segera berdiri. Itu pasti teman-teman lain yang baru tiba. Suara mereka sedikit melegakan suasana. Dengan langkah cepat, aku menuju ke ruang depan untuk menemui mereka. Heru dan Andi sudah berdiri di ambang pintu, masing-masing membawa ransel besar di pundak mereka. Wajah mereka terlihat bersemangat, seakan tempat ini bukanlah rumah dengan aura menakutkan yang aku rasakan sejak tadi pagi. “Nah, akhirnya kita lengkap juga!” seruku, mencoba menyambut mereka dengan senyum. Andi menatap ke arah ruang tengah dengan heran. “Nara, kenapa rumahnya kayak gini? Temboknya kotor banget, sih. Kayak belum pernah diurus,” ucap Andi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mira bergabung dengan kami, menutup teleponnya. “Baru aja gue dapet kabar dari ibu kontrakan. Katanya, suaminya sakit masuk rumah sakit pas nyari tukang buat bersihin rumah ini. Jadi, mereka belum sempat urus apa-apa. Dia janji bakal ada yang datang minggu depan buat bantu bersih-bersih, tapi kita sementara harus tahan dulu sama kondisinya.” Heru cengengesan, "Ah, kecil itu mah. Gue sama Andi nanti bisa bantu ngepel dan ngelap-ngelap. Betul kan, Andi?" Andi mengangguk, walaupun jelas wajahnya menunjukkan rasa ragu. "Ya, asal nggak ketemu tikus, gue oke-oke aja." Ranti buru-buru merangsek masuk. "Misi-misi, gue pengen kencing!" ujar gadis berkacamata yang langsung berlari kecil ke arah dapur. Aku dan Mira hanya saling tatap lalu tersenyum kecil melihat kelakuan Ranti yang selalu ceroboh dan terburu-buru. Tapi, tak lama kemudian, suara Ranti terdengar dari arah dapur. "Eh, ini kamar mandinya sebelah mana, ya? Kok nggak nemu-nemu?" Ranti berteriak sambil celingukan, suaranya sedikit menggema di rumah yang masih cukup kosong. “Di sebelah kanan, Ran, di deket pintu kecil dekat dapur!” teriakku. “Oh, oke!” Suara langkah Ranti terdengar buru-buru. Baru beberapa detik setelah aku menjawab, tiba-tiba suara teriakan melengking pecah dari sana. "AAAAHH!!" teriak Ranti melengking, membuat kami semua yang di ruang tengah terkejut dan langsung menoleh. “Ranti!” seru kami semua. Tanpa pikir panjang, kami semua berlari ke arah dapur untuk melihat apa yang terjadi.Aku merasakan ada sesuatu yang jatuh dari atas langit-langit plafon di mana aku sedang terbaring. Rasanya tidak nyaman ketika sesuatu itu menimpa wajahku. "Apaan sih? Kok rasanya geli?" gumamku, meski mataku terasa amat berat, aku memaksakan kelopak mataku agar terbuka lebih lebar. Deg! Jantungku berhenti berdetak saat melihat belatung-belatung seukuran butir nasi itu jatuh satu per satu, menumpuk di wajahku. Aku tertegun, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Duk, duk, duk! Bunyi aneh seperti hentakan kaki tiba-tiba terdengar di atas palafon, di sela-sela plafon, keluar belatung yang tercurah seperti hujan. "Akkkh..." aku berusaha menjerit, ingin mengeluarkan suara, namun suaraku tercekat. Belatung-belatung mulai bergerak, menggeliat di pipi, hidung, bahkan masuk ke dalam sudut mataku. Aku mencoba mengusapnya dengan cepat, lagi-lagi tangan ini terasa berat, seolah ada yang menahannya. "Apa-apaan ini...? Menyingkir!" bisikku, nyaris tanpa suara. Aku merasa peru
"Loh, ini kayak kain ya?" pikirku ketika tanganku menyentuh sesuatu. Karena panik dan terburu-buru, benda yang terselip di sela ventilasi itu pun terjatuh ke lantai karena gesekan oleh tanganku sendiri. Deg! Aku menyipitkan mata menatap benda yang jatuh itu. Sebuah kain putih, tampak kumal berwarna coklat. Hmm... Bisa dibilang seperti kain yang lama dipendam dalam tanah. Kotor dan bau amis. Aku segera turun dari kursi, kupungut benda yang seukuran dus sabun mandi tersebut. Ya, ini kain yang dibutalkan, ada lilitan kain putih yang sudah kecoklatan diikat seperti sebuah kado. "Apa isinya? Kok rasanya kayak ada sesuatu di dalam?" rasa penasaranku sudah tak tertolong, aku gegas membuka kain kotor itu perlahan, mencoba mengabaikan bau amis yang semakin menusuk hidungku. Tanganku gemetar saat aku meraih ujung kain yang dililitkan, perlahan mengurai ikatan yang rapat. “Ya Allah, ini apa sih sebenarnya?” gumamku, berbisik. Entah kenapa, meski merasa cemas, ada dorongan kuat dal
"Mugi-mugi iso lama ngontraknya." Kalimat ibu penjual mie ayam terus menggema di dalam benakku. Aku hendak memanggil dan bertanya. Akan tetapi, ibu-ibu yang belum aku tahu namanya itu sudah tampak sibuk melayani pembeli yang lain. Ya ... Terpaksa aku urungkan niatku. Memendam rasa penasaran dalam diriku. "Yo weslah, nanti saja. Sekarang gue lapar. Gue isi tenaga dulu," gumamku sambil mengaduk-ngaduk mie ayam yang siap aku santap. Tring! Suara notifikasi dari grup aplikasi hijau menghentikan aktivitas makanku, ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan benda pipih yang berbunyi tadi. [Nara, lo udah di rumah kontrakan'kan? Gue sama yang lain lagi nungguin mobil nih!] pesan dari Ranti. Aku mendesah pelan membaca pesan dari temanku. Mereka yang mengontrak rumah bareng aku memang ada empat orang. Dua perempuan, termasuk aku jadinya tiga perempuan. Dan duanya lagi adalah laki-laki. Mereka adalah teman-teman satu provinsi, beda kabupaten, dan berbeda kampus. Kami bertemu saat ada pera
"Aduh, Pak! Kalau mau nyiram itu lihat-lihat, dong!" teriakku, refleks. Aku kesal dan bahkan sangat kesal. Bagaimana nggak kesal? Seorang bapak-bapak yang usianya kisaran 50 tahun itu sengaja menyiramiku dengan air bekas cucian piring yang mungkin, sudah disimpan selama berhari-hari. Bau dari bekas air cucian itu langsung menyeruak ke hidungku, membuatku mual. Bau amis dan busuk bercampur, seakan-akan ada sesuatu yang membusuk di dalam air yang disiramkan itu. Aku cepat-cepat mengibas-ngibaskan tanganku, berusaha menghindari percikan yang masih menetes dari rambutku. Bapak dengan wajah datar dan tatapan kosong, hanya menatapku tanpa ada rasa bersalah. Dia kemudian meletakkan ember di sampingnya dan berbalik, seperti tidak ada yang terjadi. Aku semakin kesal, tapi juga bingung. Mengapa pria tua yang masih berdiri di ambang pintu itu bersikap seperti ini? "Pak, kalau mau nyiram kayak gitu, jangan sembarangan. Apa Bapak nggak lihat saya sedang jalan?!" Aku coba mengeraskan