"Aduh, Pak! Kalau mau nyiram itu lihat-lihat, dong!" teriakku, refleks.
Aku kesal dan bahkan sangat kesal. Bagaimana nggak kesal? Seorang bapak-bapak yang usianya kisaran 50 tahun itu sengaja menyiramiku dengan air bekas cucian piring yang mungkin, sudah disimpan selama berhari-hari. Bau dari bekas air cucian itu langsung menyeruak ke hidungku, membuatku mual. Bau amis dan busuk bercampur, seakan-akan ada sesuatu yang membusuk di dalam air yang disiramkan itu. Aku cepat-cepat mengibas-ngibaskan tanganku, berusaha menghindari percikan yang masih menetes dari rambutku. Bapak dengan wajah datar dan tatapan kosong, hanya menatapku tanpa ada rasa bersalah. Dia kemudian meletakkan ember di sampingnya dan berbalik, seperti tidak ada yang terjadi. Aku semakin kesal, tapi juga bingung. Mengapa pria tua yang masih berdiri di ambang pintu itu bersikap seperti ini? "Pak, kalau mau nyiram kayak gitu, jangan sembarangan. Apa Bapak nggak lihat saya sedang jalan?!" Aku coba mengeraskan suaraku, berharap bapak-bapak itu sadar kalau yang bapak itu lakukan sungguh menyebalkan. Apa yang terjadi? Bukannya minta maaf atau menjelaskan, bapak tersebut malah melangkah masuk ke dalam rumah. Bam! Bapak-bapak itu membanting pintu dengan keras, membuat tubuhku tersentak. Aku menatap pintu yang sudah tertutup itu dengan tak percaya. "Hais, sedeng kali nih bapak-bapak! Ada masalah apa dengan bapak botak ini? Sewot banget!" aku menggerutu kesal sambil berusaha mengibaskan butir-butir nasi yang menempel di tubuhku. Rumah kontrakan yang kami sewa memang posisinya agak aneh. Rumah kontrakan itu dikelilingi oleh dua rumah kosong di kiri—kanan. Di depan rumah, tepatnya di teras berponi rumah yang aku tinggal ada sebuah rumah gedongan. Tapi anehnya, pintu rumah bagian belakang bapak-bapak tadi berada tepat di depan teras dan menghadap langsung dengan pintu utama kontrakanku. Jadi rumah yang kami kontrak, bentuk bangunannya itu berdiri menyamping. Dan lagi, rumah kontrakan berdiri di pojokan terhimpit oleh dua bangunan rumah yang membuat jalan menuju rumah berbentuk seperti lorong—gang. "Bau banget lagi! Kalo begini, gue mesti mandi!" dengan perasaan dongkol, aku melangkah ke arah kontrakan sambil mengomel. Saat tiba di depan pintu, entah mengapa aku menjadi parno. Perasaan takut itu tiba-tiba saja menjalar. Padahal, aku nggak seperti ini sebelumnya. "Plis, Nara, lo itu nggak percaya dengan hal yang begenian. Mereka itu nggak nyata! Lo hanya parno atas apa yang lo mimpiin," aku mencoba mensugestikan diriku sendiri, meski perasaan was-was itu masih saja bersemayam. Dengan menarik napas lalu membuangnya secara perlahan, tanganku terulur meraih gagang pintu. Krek! bunyi pintu yang terbuka itu terasa nyaring, membuat telingaku langsung menangkap setiap gesekan kecil antara engsel yang sudah berkarat. Wus! "Astagfirullah...!" aku memejamkan mata sambil beristighfar saat merasakan terpaan angin yang tiba-tiba berhembus kencang menerpa wajahku. Entah mengapa, angin yang datang itu terasa panas. Panas yang berbeda. Seharusnya, angin itu adem, sejuk. Sementara ini? Membawa firasat buruk. Aku lagi-lagi menghembuskan napas perlahan. "Persetan!" aku membuka mata dan langsung melangkah masuk ke dalam rumah yang suram itu. Aku menuju ke ransel yang tergeletak asal di lantai. Cepat-cepat aku mengambil handuk. Setelah itu, aku pun menuju ke arah kamar mandi. Sebelum mencapai kamar mandi, kesekian kalinya aku meneguk ludahku sendiri saat netraku menatap sumur kerek tua di depan kamar mandi. "Selama merantau, baru kali ini gue dibuat ketakutan setengah mati. Kalo emang setan, demit, atau apalah itu ada dan nyata, gue pengen lihat dengan mata kepala gue sendiri." tantangku. Aku pun segera melangkah ke kamar mandi, menutup pintu kamar mandi yang terbuat dari seng yang di lapis kayu dari dalam. Di dalam kamar mandi, suasana tak kalah mencekam. Bau lembab dan lumut disertai cahaya kuning dari lampu bohlam kini menambah kesan suram. "Apes. Gue lupa beli alat mandi. Mana gue tinggalin di kostan lama lagi—" Brak! "Astagfirullah!" aku kaget setengah mati, ada yang melempari atap kamar mandi. Dan bunyi lemparan tersebut nyaring sekali. "Apaan sih?" kepalaku mendongak ke atas, sepasang netraku menyisir langit-langit kamar mandi. Tidak ada yang aneh. Semua tampak biasa. "Hmm... Kalo ada yang sengaja, pasti seng di atas ini kena dampak dari lemparan tadi," pikirku. Tentu saja. Lihatlah seng karatan ini? Kena gempuran sedikit pasti bocor. Aneh bukan? Rumah gaya klasik yang bahkan saking klasiknya, dapur dan kamar mandi mirip seperti bangunan tua yang sudah jarang dijamah perbaikan. Semua terkesan seadanya, seolah-olah pemilik rumah tidak pernah peduli pada kondisi fisik bangunan yang aku dan teman-temanku sewa. "Aduh, Nara, jangan terlalu parno," gumamku lagi. Namun, perasaan tak nyaman masih saja bersarang. Aku melanjutkan mandi, berusaha mengabaikan keanehan-keanehan yang baru saja terjadi. Air dari bak mandi memang terasa sejuk dan sedikit menenangkan, namun di tengah kesegaran itu, aku tak bisa menepis firasat buruk yang terus mmenghantuku. "Nggih, Bu. Mangga, milih-milih nggih." "Wah, cabai iki apik tenan, Pak. Seger. Pinten regane?" "Sepuluh ewu, Bu. Seger, baru panen." Tiba-tiba, telingaku menangkap suara samar-samar dari luar kamar mandi. Tepatnya, di tembok kamar mandi. Di balik tembok itu, ada tembok lagi. Jelas ini terdengar seperti aktivitas pasar dengan bahasa jawa. Aku mengerutkan dahi, ku tempelkan telingaku pada dinding. Deg! Jantungku berdetak keras saat mendengar suara-suara yang datang dari balik tembok itu. Suara orang bercakap-cakap dalam bahasa Jawa terdengar jelas, seakan mereka berada di balik dinding, berdagang seperti di pasar. "Nggak mungkin. Di balik tembok ini kan pekarangan tetangga yang rumahnya nggak ditempatin? Orang-orang dari mana ini? Nggak mungkin dari alam bawah sadar atau alam lain, kan?" gumamku, aku menerka-nerka. Detak jantungku semakin cepat. Kuempelkan telinga lebih dekat ke dinding untuk memastikan, sementara tubuhku mulai merasakan bulu kuduk yang mulai meremang. Suara-suara itu masih terdengar: tawa kecil, tawar-menawar harga, dan langkah-langkah kaki ramai. “Ini pasti cuma halusinasi… nggak mungkin beneran ada orang di balik dinding,” bisikku, mencoba meyakinkan diri sendiri. Tapi suaranya terasa begitu nyata—terlalu nyata untuk diabaikan. Aku menelan ludah, mencoba memutuskan apakah harus mengabaikannya atau mencari tahu lebih jauh. Tepat saat aku hendak menepis perasaan penasaran itu. Tiba-tiba.... "Huhuhu...." Aku mendengar suara tangisan seorang perempuan di kamar mandi sebelah. Ya, rumah ini memiliki dua bilik kamar mandi. Satu untuk kloset, satu biliknya untuk mandi. Detak jantungku semakin menggila, tak kuasa menyembunyikan rasa takut yang mulai menguasai diriku. Suara tangisan itu terdengar begitu memilukan, membuat bulu kudukku berdiri seketika. Tangisan tersebut terdengar lirih namun dalam, seakan menggambarkan kesedihan yang tak berujung, menyayat telinga dan memunculkan sejuta tanda tanya di benakku. "S-siapa di sebelah..." ucapanku terhenti. Napasku tertahan di tenggorokan, seolah tubuhku menolak untuk mengeluarkan kata-kata lebih jauh. Suara tangisan itu masih berlanjut, bahkan kini semakin jelas, seakan sosok di balik dinding kamar mandi sedang meratap kesedihan yang mendalam. Aku mencoba menguatkan diriku, “H-helo?” panggilku dengan suara sedikit bergetar, tetapi tetap tak ada jawaban. Hanya suara tangis yang terus mengalun. Saat itu juga, aku berusaha mencari jawaban logis. "Mungkin cuma suara tetangga yang masuk lewat dinding ini..." pikirku, memaksa diriku untuk bersikap tenang meskipun tak ada yang rasional dari apa yang kudengar. Tetangga? Mana mungkin, toh kamar mandi ini dikelilingi tembok tebal dan pekarangan kosong. Aku menghela napas panjang, mencoba memberanikan diri. Entah kenapa, langkah kakiku terasa berat. Seakan ada sesuatu yang menghalangi, menahan tubuhku untuk menjauh dari tempat ini. Dengan rasa takut yang mulai membesar, aku meraih bajuku dan mengenakannya lagi. Krek! Ku buka pintu kamar mandi dan menatap pintu bilik sebelah yang masih tertutup dengan perasaan takut yang luar biasa. "Gue harus ngecek. Gue udah bilang, gue nggak takut!" aku melangkah, meraih hendle pintu bilik itu. Krek!"Duar! Kaget kan lo?!" Aku seketika memejamkan mata, detak jantungku seakan berhenti sejenak. Ingin ku lontarkan tujuh sumpah serapah kepada temanku, Amira. Ternyata, itu adalah teman laknat yang berada di dalam bilik sebelah. Dengan sebuah ponsel yang mengeluarkan suara tangisan kuntilanak. "Hahaha... Wajah lo kenapa, Nara? Lo habis lihat demit? Sumpah! Wajah lo Lucu banget tau nggak?" ledek Amira. Aku membuka mata perlahan dan menatap Amira dengan tatapan yang pasti tampak lebih seram dari suara kuntilanak yang dia putar di ponselnya. "Amira! Lo pikir ini lucu, hah? Gue hampir aja pingsan! Mau mati lo?!" Aku mendekatinya dengan niat ingin memberi satu pukulan untuk membalaskan dendam. "Hahaha!" Amira malah tertawa terbahak-bahak sambil mundur, menutup pintu kamar mandi di belakangnya dengan santai. "Ih, lo parno banget, sih! Nara yang pemberani ternyata bisa takut juga," ucapnya sambil memamerkan cengiran lebar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan dir
Aku merasakan ada sesuatu yang jatuh dari atas langit-langit plafon di mana aku sedang terbaring. Rasanya tidak nyaman ketika sesuatu itu menimpa wajahku. "Apaan sih? Kok rasanya geli?" gumamku, meski mataku terasa amat berat, aku memaksakan kelopak mataku agar terbuka lebih lebar. Deg! Jantungku berhenti berdetak saat melihat belatung-belatung seukuran butir nasi itu jatuh satu per satu, menumpuk di wajahku. Aku tertegun, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Duk, duk, duk! Bunyi aneh seperti hentakan kaki tiba-tiba terdengar di atas palafon, di sela-sela plafon, keluar belatung yang tercurah seperti hujan. "Akkkh..." aku berusaha menjerit, ingin mengeluarkan suara, namun suaraku tercekat. Belatung-belatung mulai bergerak, menggeliat di pipi, hidung, bahkan masuk ke dalam sudut mataku. Aku mencoba mengusapnya dengan cepat, lagi-lagi tangan ini terasa berat, seolah ada yang menahannya. "Apa-apaan ini...? Menyingkir!" bisikku, nyaris tanpa suara. Aku merasa peru
"Loh, ini kayak kain ya?" pikirku ketika tanganku menyentuh sesuatu. Karena panik dan terburu-buru, benda yang terselip di sela ventilasi itu pun terjatuh ke lantai karena gesekan oleh tanganku sendiri. Deg! Aku menyipitkan mata menatap benda yang jatuh itu. Sebuah kain putih, tampak kumal berwarna coklat. Hmm... Bisa dibilang seperti kain yang lama dipendam dalam tanah. Kotor dan bau amis. Aku segera turun dari kursi, kupungut benda yang seukuran dus sabun mandi tersebut. Ya, ini kain yang dibutalkan, ada lilitan kain putih yang sudah kecoklatan diikat seperti sebuah kado. "Apa isinya? Kok rasanya kayak ada sesuatu di dalam?" rasa penasaranku sudah tak tertolong, aku gegas membuka kain kotor itu perlahan, mencoba mengabaikan bau amis yang semakin menusuk hidungku. Tanganku gemetar saat aku meraih ujung kain yang dililitkan, perlahan mengurai ikatan yang rapat. “Ya Allah, ini apa sih sebenarnya?” gumamku, berbisik. Entah kenapa, meski merasa cemas, ada dorongan kuat dal
"Mugi-mugi iso lama ngontraknya." Kalimat ibu penjual mie ayam terus menggema di dalam benakku. Aku hendak memanggil dan bertanya. Akan tetapi, ibu-ibu yang belum aku tahu namanya itu sudah tampak sibuk melayani pembeli yang lain. Ya ... Terpaksa aku urungkan niatku. Memendam rasa penasaran dalam diriku. "Yo weslah, nanti saja. Sekarang gue lapar. Gue isi tenaga dulu," gumamku sambil mengaduk-ngaduk mie ayam yang siap aku santap. Tring! Suara notifikasi dari grup aplikasi hijau menghentikan aktivitas makanku, ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan benda pipih yang berbunyi tadi. [Nara, lo udah di rumah kontrakan'kan? Gue sama yang lain lagi nungguin mobil nih!] pesan dari Ranti. Aku mendesah pelan membaca pesan dari temanku. Mereka yang mengontrak rumah bareng aku memang ada empat orang. Dua perempuan, termasuk aku jadinya tiga perempuan. Dan duanya lagi adalah laki-laki. Mereka adalah teman-teman satu provinsi, beda kabupaten, dan berbeda kampus. Kami bertemu saat ada pera