"Heh, Mir, nyebut-nyebut. Lo liatin apaan sih?!" aku mencengkram kedua pundak Mira, wanita itu tegang.
Ranti panik ketakutan melihat Mira yang seperti melihat sesuatu yang membuat Mira shack-shock. "Mir, lo jangan nakuti gue. Hantu apaan?" ujar Ranti. "Lo ... Nggak pada ngeliat? Itu di tembok bawah pohon rambutan...," ucap Mira terbata-bata, menunjuk. Aku berbalik, ku alihkan pandanganku ke arah yang ditunjuk Mira, tak ada apapun di sana. Hanya gelap dan bayangan ranting pohon rambutan yang menari tertiup angin malam. "Nggak ada apa-apa. Apa sih yang lo liat?" aku kembali mengalihkan pandanganku kepada Mira. Aku begitu penasaran dengan apa yang Mira lihat hingga membuat wanita itu ketakutan hingga berkeringat dingin. Pocong, 'kah? Ranti pun sama, ia clengak-clenguk melihat ke arah pohon rambutan. "Iya, nggak ada apa-apa —" "Noh, dia mendekat!" teriak Mira, tubuhnya gemetar. Bruk! Tubuh Mira lunglai jatuh dalam pelukan Ranti. "Mir, woilah, jangan becanda!" teriak Ranti, mencoba menahan bobot tubuh Mira agar tidak jatuh sepenuhnya ke lantai. Aku segera berlari, membantu Ranti. "Angkat, Ran. Dia liatin apa sih, sampe kayak gini?" ujarku. "Mana gue tau?!" seru Ranti. Aku dan Ranti segera mengangkat tubuh Mira yang tiba-tiba pingsan itu di atas kasur yang hanya terletak asal di atas lantai kamarku. Tok, tok, tok! Terdengar ketukan pintu kamar. "Nara, lo bertiga berisik banget sih, kayak pasar malam. Lo bertiga napa teriak-teriak?!" Suara Heru terdengar di depan pintu kamarku. Aku membuang pandangan ke arah pintu. "Lo berdua masuk aja. Pintu nggak gue konci. Nih, Mira kayaknya kesambet!" teriakku. Kreik! Pintu kamarku terbuka, di sana berdiri Andi dar Heru. Mereka berdua dengan cepat masuk ke dalam kamarku dengan buru-buru, wajah mereka berdua panik. "Mira kenapa?" Tanya Andi. "Kita juga nggak tau. Katanya ada orang di bawah pohon rambutan di balik tembok itu. Tapi orangnya tuh berdiri di tembok," ujar Ranti menjelaskan. Aku mengangguk. "Iya, pas dia bilang tuh orang mau mendekat, dia langsung pingsan!" tambahku menjelaskan. Ranti meremas jemarinya yang dingin, sesekali melirik Mira yang terkulai tak sadarkan diri di atas kasur tipis. Napasnya tersengal, sesak oleh ketegangan yang menggantung di udara. Aku mencoba menenangkan diri, meski suara jantungku berdetak cepat, berpacu dengan suara rintik hujan yang mulai turun di luar. Heru berdiri di depan jendela yang terbuka, mengamati kegelapan di luar. Ia tak mengalihkan pandangannya sedikit pun, seperti mencari sesuatu di sela-sela bayangan pohon rambutan. Ranting-ranting itu bergerak liar, seperti tangan-tangan tak kasat mata yang tengah menari di bawah sorot lampu jalan yang redup. "Andi, tutup jendela itu," perintah Heru tiba-tiba. Andi menatap Heru bingung, lalu menoleh ke arahku. "Kenapa mesti ditutup? Angin doang, kali," ujar Andi, berusaha terdengar santai, meski tangannya sudah menggenggam gagang jendela dengan gemetar. "Pamali," ulang Heru, suaranya nyaris berbisik, namun cukup untuk membuat Andi merinding. Ia segera menutup jendela dengan gerakan cepat, hampir seperti takut sesuatu akan menerobos masuk sebelum jendela itu benar-benar terkunci rapat. Aku mengerutkan dahi, menahan tawa kecil yang terpaksa kukubur karena suasana mencekam. "Pamali? Lo serius, Ru? Kita udah gede, manalah ada yang kayak gitu. Jaman udah modern masih aja berpikir jadul! Paling Mira cuma... capek aja." sangahku. Meski aku sudah merasakan keanehan dari pertama datang ke rumah ini, tapi tak bisa dipungkiri kalau aku masih tidak percaya dengan hal begituan. Ya, meski aku takut. Tapi? Masa gue yang derajatnya lebih tinggi harus kalah sama dedemit? Malu dong! Heru berbalik menghadapku, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. "Lo nggak paham, Ra. Tadi gue ngeliat bayangan di bawah pohon rambutan." Aku menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata Heru yang terlempar seperti petir di tengah malam yang gelap. Bayangan? Pohon rambutan? Ini pasti hanya akal-akalan otaknya yang terlalu terpengaruh cerita horor yang sering kami dengar. Tapi... tatapan mata Heru saat ini berbeda. Tidak ada tanda candaan. Bahkan bibir Heru sedikit bergetar saat mengucapkan kalimat itu. "Bayangan gimana maksud lo?" tanyaku, mencoba terdengar skeptis meski rasa penasaran mulai merayap. Heru tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke Ranti, yang sejak tadi hanya diam sambil memeluk lutut di dekat Mira. Wajah Ranti tampak kaku, seolah menunggu jawaban yang tak ingin ia dengar. "Kayak... orang," ucap Heru, suara pemuda itu nyaris tak terdengar. "Tapi nggak sepenuhnya. Gue cuma ngeliat sekilas, Ra, tapi ... itu nggak berdiri di tanah. Bayangan itu di atas tembok, seperti... nempel." Hawa di ruangan seketika menjadi lebih dingin. Andi melirik ke arah jendela yang tadi ia tutup, matanya penuh waspada. "Nempel di tembok? Maksud lo kayak Spiderman?" Andi tertawa kecil, meski jelas suara itu terdengar dipaksakan. Heru tidak tertawa. Ia justru melangkah mendekat ke kasur, menunduk memperhatikan Mira yang mulai bergerak gelisah. Tangan Mira mencengkeram kain kasur, kukunya menekan begitu dalam hingga hampir merobek kain itu. Dari sela-sela bibirnya, terdengar gumaman samar, seperti merapal sesuatu yang tidak kami mengerti. "Ggrrrr... Ggrrrr...." Mira mengeram. "Gue bilang tutup jendela karena gue tau," lanjut Heru, tatapannya tak lepas dari Mira. "Kalo lo buka jendela malam-malam, apalagi deket pohon yang rimbun ... Lo sama aja kasih undangan buat 'mereka' masuk." Aku mengangkat alis, mencoba melawan rasa takut yang mulai membuncah. "Mereka siapa, Ru? Lo serius percaya sama cerita nenek moyang soal pamali itu?" Heru mendengus pelan, lalu mendekatkan wajahnya ke Mira. "Lo mau percaya atau nggak, itu terserah. Tapi coba lo jelasin kenapa Mira bisa kayak gini? Kenapa dia liat sesuatu yang kita nggak liat?" Aku tidak punya jawaban. Tenggorokanku tercekat saat Mira tiba-tiba membuka matanya. Bukan seperti membuka mata biasa. Kedua bola matanya melotot, putih seluruhnya. Tidak ada iris, tidak ada pupil. Hanya putih yang memantulkan cahaya lampu temaram kamarku. Ranti memekik, melompat mundur hingga punggungnya menabrak tembok. "Astaghfirullah ... Ya Allah! Nara, Nara, liat matanya Mira!" teriak Ranti. Aku tercekat, terperangah melihat Mira yang kini terduduk, tubuh Mira menegang dengan posisi kaku. Bibirnya bergerak pelan, dan suara rendah keluar dari tenggorokannya. "Dia... masih di sana. Dia... menunggu." Heru langsung mundur beberapa langkah, gesturnya seperti orang yang baru saja tersengat listrik. "Apa tadi? Mira... itu lo?" tanya Heru, meski ia jelas tahu jawabannya. Mira tidak menjawab. Matanya yang kosong perlahan beralih ke arah jendela. Lalu, dia tersenyum. Senyum lebar yang tampak tidak wajar, seperti wajahnya ditarik paksa oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Aku bergidik, mengambil langkah mundur tanpa sadar. Jantungku berdegup kencang saat Mira berbicara lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Dia ... datang dan dia masuk ....""Kiikik ... Kiikik ...!"Aku dan ke-4 temanku menutup telinga saat Mira mengeluarkan tawa melengking, menusuk gendang telinga.Suara tawa Mira yang terdengar begitu tajam, menusuk. Seperti seekor kuda yang ditarik tali kekangnya. "Mira... Lo apa-apaan sih, ketawa kayak gitu? Lo pikir ini lucu?!" sergahku, menatap Mira jengkel. Mira yang duduk tegak itu membuang pandangannya ke arahku, matanya putih. Untuk saat ini dalam benakku jika ia sengaja menakuti kami ketika suasana rumah sedang tegang. Apalagi waktu siang tadi, Mira yang sengaja memutar suara tangisan kuntilanak di dalam bilik kloset WC. Membuat diri ini begitu tak percaya jika ia sedang kesurupan. "Kowe!" Mira menunjukku, suaranya tegas. Aku terkesiap, bingung. 'Kenapa? Ada yang salah dengan gue?' batinku. Semua mata sontak tertuju padaku, seakan meminta jawaban. Aku melangkah mundur sedikit, menatap Mira yang masih dengan senyum aneh di wajah Mira. Dan mata Mira yang putih sepenuhnya itu membuatku merinding. "K—kowe?"
Aku merasakan ada sesuatu yang jatuh dari atas langit-langit plafon di mana aku sedang terbaring. Rasanya tidak nyaman ketika sesuatu itu menimpa wajahku. "Apaan sih? Kok rasanya geli?" gumamku, meski mataku terasa amat berat, aku memaksakan kelopak mataku agar terbuka lebih lebar. Deg! Jantungku berhenti berdetak saat melihat belatung-belatung seukuran butir nasi itu jatuh satu per satu, menumpuk di wajahku. Aku tertegun, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Duk, duk, duk! Bunyi aneh seperti hentakan kaki tiba-tiba terdengar di atas palafon, di sela-sela plafon, keluar belatung yang tercurah seperti hujan. "Akkkh..." aku berusaha menjerit, ingin mengeluarkan suara, namun suaraku tercekat. Belatung-belatung mulai bergerak, menggeliat di pipi, hidung, bahkan masuk ke dalam sudut mataku. Aku mencoba mengusapnya dengan cepat, lagi-lagi tangan ini terasa berat, seolah ada yang menahannya. "Apa-apaan ini...? Menyingkir!" bisikku, nyaris tanpa suara. Aku merasa peru
"Loh, ini kayak kain ya?" pikirku ketika tanganku menyentuh sesuatu. Karena panik dan terburu-buru, benda yang terselip di sela ventilasi itu pun terjatuh ke lantai karena gesekan oleh tanganku sendiri. Deg! Aku menyipitkan mata menatap benda yang jatuh itu. Sebuah kain putih, tampak kumal berwarna coklat. Hmm... Bisa dibilang seperti kain yang lama dipendam dalam tanah. Kotor dan bau amis. Aku segera turun dari kursi, kupungut benda yang seukuran dus sabun mandi tersebut. Ya, ini kain yang dibutalkan, ada lilitan kain putih yang sudah kecoklatan diikat seperti sebuah kado. "Apa isinya? Kok rasanya kayak ada sesuatu di dalam?" rasa penasaranku sudah tak tertolong, aku gegas membuka kain kotor itu perlahan, mencoba mengabaikan bau amis yang semakin menusuk hidungku. Tanganku gemetar saat aku meraih ujung kain yang dililitkan, perlahan mengurai ikatan yang rapat. “Ya Allah, ini apa sih sebenarnya?” gumamku, berbisik. Entah kenapa, meski merasa cemas, ada dorongan kuat dal
"Mugi-mugi iso lama ngontraknya." Kalimat ibu penjual mie ayam terus menggema di dalam benakku. Aku hendak memanggil dan bertanya. Akan tetapi, ibu-ibu yang belum aku tahu namanya itu sudah tampak sibuk melayani pembeli yang lain. Ya ... Terpaksa aku urungkan niatku. Memendam rasa penasaran dalam diriku. "Yo weslah, nanti saja. Sekarang gue lapar. Gue isi tenaga dulu," gumamku sambil mengaduk-ngaduk mie ayam yang siap aku santap. Tring! Suara notifikasi dari grup aplikasi hijau menghentikan aktivitas makanku, ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan benda pipih yang berbunyi tadi. [Nara, lo udah di rumah kontrakan'kan? Gue sama yang lain lagi nungguin mobil nih!] pesan dari Ranti. Aku mendesah pelan membaca pesan dari temanku. Mereka yang mengontrak rumah bareng aku memang ada empat orang. Dua perempuan, termasuk aku jadinya tiga perempuan. Dan duanya lagi adalah laki-laki. Mereka adalah teman-teman satu provinsi, beda kabupaten, dan berbeda kampus. Kami bertemu saat ada pera
"Aduh, Pak! Kalau mau nyiram itu lihat-lihat, dong!" teriakku, refleks. Aku kesal dan bahkan sangat kesal. Bagaimana nggak kesal? Seorang bapak-bapak yang usianya kisaran 50 tahun itu sengaja menyiramiku dengan air bekas cucian piring yang mungkin, sudah disimpan selama berhari-hari. Bau dari bekas air cucian itu langsung menyeruak ke hidungku, membuatku mual. Bau amis dan busuk bercampur, seakan-akan ada sesuatu yang membusuk di dalam air yang disiramkan itu. Aku cepat-cepat mengibas-ngibaskan tanganku, berusaha menghindari percikan yang masih menetes dari rambutku. Bapak dengan wajah datar dan tatapan kosong, hanya menatapku tanpa ada rasa bersalah. Dia kemudian meletakkan ember di sampingnya dan berbalik, seperti tidak ada yang terjadi. Aku semakin kesal, tapi juga bingung. Mengapa pria tua yang masih berdiri di ambang pintu itu bersikap seperti ini? "Pak, kalau mau nyiram kayak gitu, jangan sembarangan. Apa Bapak nggak lihat saya sedang jalan?!" Aku coba mengeraskan
"Duar! Kaget kan lo?!" Aku seketika memejamkan mata, detak jantungku seakan berhenti sejenak. Ingin ku lontarkan tujuh sumpah serapah kepada temanku, Amira. Ternyata, itu adalah teman laknat yang berada di dalam bilik sebelah. Dengan sebuah ponsel yang mengeluarkan suara tangisan kuntilanak. "Hahaha... Wajah lo kenapa, Nara? Lo habis lihat demit? Sumpah! Wajah lo Lucu banget tau nggak?" ledek Amira. Aku membuka mata perlahan dan menatap Amira dengan tatapan yang pasti tampak lebih seram dari suara kuntilanak yang dia putar di ponselnya. "Amira! Lo pikir ini lucu, hah? Gue hampir aja pingsan! Mau mati lo?!" Aku mendekatinya dengan niat ingin memberi satu pukulan untuk membalaskan dendam. "Hahaha!" Amira malah tertawa terbahak-bahak sambil mundur, menutup pintu kamar mandi di belakangnya dengan santai. "Ih, lo parno banget, sih! Nara yang pemberani ternyata bisa takut juga," ucapnya sambil memamerkan cengiran lebar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan dir
"Lo ngapa Ranti?" tanya Heru. Aku dan ke empat temanku tiba di dapur ketika mendengar teriakkan Ranti. Wanita berkacamata itu menutup kedua mata dan telinga seperti ketakutan. "Itu loh, ada kecoa ngesot di dalam kloset," ucap Ranti. "Yeee ...!" kami semua berseru mendengar jawaban Ranti, berpikir jika wanita itu melihat sesuatu atau mungkin ia terpeleset. "Gue kira lo lihat ular kayang apa gimana. Kecoa doang lo teriak kayak lihat setan!" celetuk Andi. "Iya nih, lo balikin aja tubuhnya. Paling tuh kecoa joget-joget kayak Sadbor," ujar Mira menimpali sambil menirukan tarian yang sedang viral. "Udah, udah, gue mau buang air. Apa lo pada mau nungguin gue berak, hah?!" Ranti berkata. "Najis!" seru Heru. Aku hanya memperhatikan interaksi teman-temanku itu sambil tersenyum kecil merasakan kehangatan dari gurauan mereka. Tetapi perasaanku tak luput dari kata tenang, aku masih merasa jika beberapa mata sedang memperhatikan kami dari segala sudut. Aku pun berusaha m
"Kiikik ... Kiikik ...!"Aku dan ke-4 temanku menutup telinga saat Mira mengeluarkan tawa melengking, menusuk gendang telinga.Suara tawa Mira yang terdengar begitu tajam, menusuk. Seperti seekor kuda yang ditarik tali kekangnya. "Mira... Lo apa-apaan sih, ketawa kayak gitu? Lo pikir ini lucu?!" sergahku, menatap Mira jengkel. Mira yang duduk tegak itu membuang pandangannya ke arahku, matanya putih. Untuk saat ini dalam benakku jika ia sengaja menakuti kami ketika suasana rumah sedang tegang. Apalagi waktu siang tadi, Mira yang sengaja memutar suara tangisan kuntilanak di dalam bilik kloset WC. Membuat diri ini begitu tak percaya jika ia sedang kesurupan. "Kowe!" Mira menunjukku, suaranya tegas. Aku terkesiap, bingung. 'Kenapa? Ada yang salah dengan gue?' batinku. Semua mata sontak tertuju padaku, seakan meminta jawaban. Aku melangkah mundur sedikit, menatap Mira yang masih dengan senyum aneh di wajah Mira. Dan mata Mira yang putih sepenuhnya itu membuatku merinding. "K—kowe?"
"Heh, Mir, nyebut-nyebut. Lo liatin apaan sih?!" aku mencengkram kedua pundak Mira, wanita itu tegang. Ranti panik ketakutan melihat Mira yang seperti melihat sesuatu yang membuat Mira shack-shock. "Mir, lo jangan nakuti gue. Hantu apaan?" ujar Ranti. "Lo ... Nggak pada ngeliat? Itu di tembok bawah pohon rambutan...," ucap Mira terbata-bata, menunjuk.Aku berbalik, ku alihkan pandanganku ke arah yang ditunjuk Mira, tak ada apapun di sana. Hanya gelap dan bayangan ranting pohon rambutan yang menari tertiup angin malam. "Nggak ada apa-apa. Apa sih yang lo liat?" aku kembali mengalihkan pandanganku kepada Mira. Aku begitu penasaran dengan apa yang Mira lihat hingga membuat wanita itu ketakutan hingga berkeringat dingin. Pocong, 'kah?Ranti pun sama, ia clengak-clenguk melihat ke arah pohon rambutan. "Iya, nggak ada apa-apa —" "Noh, dia mendekat!" teriak Mira, tubuhnya gemetar. Bruk! Tubuh Mira lunglai jatuh dalam pelukan Ranti. "Mir, woilah, jangan becanda!" teriak Ranti, mencob
"Lo ngapa Ranti?" tanya Heru. Aku dan ke empat temanku tiba di dapur ketika mendengar teriakkan Ranti. Wanita berkacamata itu menutup kedua mata dan telinga seperti ketakutan. "Itu loh, ada kecoa ngesot di dalam kloset," ucap Ranti. "Yeee ...!" kami semua berseru mendengar jawaban Ranti, berpikir jika wanita itu melihat sesuatu atau mungkin ia terpeleset. "Gue kira lo lihat ular kayang apa gimana. Kecoa doang lo teriak kayak lihat setan!" celetuk Andi. "Iya nih, lo balikin aja tubuhnya. Paling tuh kecoa joget-joget kayak Sadbor," ujar Mira menimpali sambil menirukan tarian yang sedang viral. "Udah, udah, gue mau buang air. Apa lo pada mau nungguin gue berak, hah?!" Ranti berkata. "Najis!" seru Heru. Aku hanya memperhatikan interaksi teman-temanku itu sambil tersenyum kecil merasakan kehangatan dari gurauan mereka. Tetapi perasaanku tak luput dari kata tenang, aku masih merasa jika beberapa mata sedang memperhatikan kami dari segala sudut. Aku pun berusaha m
"Duar! Kaget kan lo?!" Aku seketika memejamkan mata, detak jantungku seakan berhenti sejenak. Ingin ku lontarkan tujuh sumpah serapah kepada temanku, Amira. Ternyata, itu adalah teman laknat yang berada di dalam bilik sebelah. Dengan sebuah ponsel yang mengeluarkan suara tangisan kuntilanak. "Hahaha... Wajah lo kenapa, Nara? Lo habis lihat demit? Sumpah! Wajah lo Lucu banget tau nggak?" ledek Amira. Aku membuka mata perlahan dan menatap Amira dengan tatapan yang pasti tampak lebih seram dari suara kuntilanak yang dia putar di ponselnya. "Amira! Lo pikir ini lucu, hah? Gue hampir aja pingsan! Mau mati lo?!" Aku mendekatinya dengan niat ingin memberi satu pukulan untuk membalaskan dendam. "Hahaha!" Amira malah tertawa terbahak-bahak sambil mundur, menutup pintu kamar mandi di belakangnya dengan santai. "Ih, lo parno banget, sih! Nara yang pemberani ternyata bisa takut juga," ucapnya sambil memamerkan cengiran lebar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan dir
"Aduh, Pak! Kalau mau nyiram itu lihat-lihat, dong!" teriakku, refleks. Aku kesal dan bahkan sangat kesal. Bagaimana nggak kesal? Seorang bapak-bapak yang usianya kisaran 50 tahun itu sengaja menyiramiku dengan air bekas cucian piring yang mungkin, sudah disimpan selama berhari-hari. Bau dari bekas air cucian itu langsung menyeruak ke hidungku, membuatku mual. Bau amis dan busuk bercampur, seakan-akan ada sesuatu yang membusuk di dalam air yang disiramkan itu. Aku cepat-cepat mengibas-ngibaskan tanganku, berusaha menghindari percikan yang masih menetes dari rambutku. Bapak dengan wajah datar dan tatapan kosong, hanya menatapku tanpa ada rasa bersalah. Dia kemudian meletakkan ember di sampingnya dan berbalik, seperti tidak ada yang terjadi. Aku semakin kesal, tapi juga bingung. Mengapa pria tua yang masih berdiri di ambang pintu itu bersikap seperti ini? "Pak, kalau mau nyiram kayak gitu, jangan sembarangan. Apa Bapak nggak lihat saya sedang jalan?!" Aku coba mengeraskan
"Mugi-mugi iso lama ngontraknya." Kalimat ibu penjual mie ayam terus menggema di dalam benakku. Aku hendak memanggil dan bertanya. Akan tetapi, ibu-ibu yang belum aku tahu namanya itu sudah tampak sibuk melayani pembeli yang lain. Ya ... Terpaksa aku urungkan niatku. Memendam rasa penasaran dalam diriku. "Yo weslah, nanti saja. Sekarang gue lapar. Gue isi tenaga dulu," gumamku sambil mengaduk-ngaduk mie ayam yang siap aku santap. Tring! Suara notifikasi dari grup aplikasi hijau menghentikan aktivitas makanku, ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan benda pipih yang berbunyi tadi. [Nara, lo udah di rumah kontrakan'kan? Gue sama yang lain lagi nungguin mobil nih!] pesan dari Ranti. Aku mendesah pelan membaca pesan dari temanku. Mereka yang mengontrak rumah bareng aku memang ada empat orang. Dua perempuan, termasuk aku jadinya tiga perempuan. Dan duanya lagi adalah laki-laki. Mereka adalah teman-teman satu provinsi, beda kabupaten, dan berbeda kampus. Kami bertemu saat ada pera
"Loh, ini kayak kain ya?" pikirku ketika tanganku menyentuh sesuatu. Karena panik dan terburu-buru, benda yang terselip di sela ventilasi itu pun terjatuh ke lantai karena gesekan oleh tanganku sendiri. Deg! Aku menyipitkan mata menatap benda yang jatuh itu. Sebuah kain putih, tampak kumal berwarna coklat. Hmm... Bisa dibilang seperti kain yang lama dipendam dalam tanah. Kotor dan bau amis. Aku segera turun dari kursi, kupungut benda yang seukuran dus sabun mandi tersebut. Ya, ini kain yang dibutalkan, ada lilitan kain putih yang sudah kecoklatan diikat seperti sebuah kado. "Apa isinya? Kok rasanya kayak ada sesuatu di dalam?" rasa penasaranku sudah tak tertolong, aku gegas membuka kain kotor itu perlahan, mencoba mengabaikan bau amis yang semakin menusuk hidungku. Tanganku gemetar saat aku meraih ujung kain yang dililitkan, perlahan mengurai ikatan yang rapat. “Ya Allah, ini apa sih sebenarnya?” gumamku, berbisik. Entah kenapa, meski merasa cemas, ada dorongan kuat dal
Aku merasakan ada sesuatu yang jatuh dari atas langit-langit plafon di mana aku sedang terbaring. Rasanya tidak nyaman ketika sesuatu itu menimpa wajahku. "Apaan sih? Kok rasanya geli?" gumamku, meski mataku terasa amat berat, aku memaksakan kelopak mataku agar terbuka lebih lebar. Deg! Jantungku berhenti berdetak saat melihat belatung-belatung seukuran butir nasi itu jatuh satu per satu, menumpuk di wajahku. Aku tertegun, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Duk, duk, duk! Bunyi aneh seperti hentakan kaki tiba-tiba terdengar di atas palafon, di sela-sela plafon, keluar belatung yang tercurah seperti hujan. "Akkkh..." aku berusaha menjerit, ingin mengeluarkan suara, namun suaraku tercekat. Belatung-belatung mulai bergerak, menggeliat di pipi, hidung, bahkan masuk ke dalam sudut mataku. Aku mencoba mengusapnya dengan cepat, lagi-lagi tangan ini terasa berat, seolah ada yang menahannya. "Apa-apaan ini...? Menyingkir!" bisikku, nyaris tanpa suara. Aku merasa peru