Share

2

Penulis: Kuldesak
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-04 13:18:13

"Loh, ini kayak kain ya?" pikirku ketika tanganku menyentuh sesuatu.

Karena panik dan terburu-buru, benda yang terselip di sela ventilasi itu pun terjatuh ke lantai karena gesekan oleh tanganku sendiri.

Deg!

Aku menyipitkan mata menatap benda yang jatuh itu. Sebuah kain putih, tampak kumal berwarna coklat.

Hmm... Bisa dibilang seperti kain yang lama dipendam dalam tanah. Kotor dan bau amis.

Aku segera turun dari kursi, kupungut benda yang seukuran dus sabun mandi tersebut.

Ya, ini kain yang dibutalkan, ada lilitan kain putih yang sudah kecoklatan diikat seperti sebuah kado.

"Apa isinya? Kok rasanya kayak ada sesuatu di dalam?" rasa penasaranku sudah tak tertolong, aku gegas membuka kain kotor itu perlahan, mencoba mengabaikan bau amis yang semakin menusuk hidungku.

Tanganku gemetar saat aku meraih ujung kain yang dililitkan, perlahan mengurai ikatan yang rapat.

“Ya Allah, ini apa sih sebenarnya?” gumamku, berbisik.

Entah kenapa, meski merasa cemas, ada dorongan kuat dalam diriku untuk melihat apa yang tersembunyi di balik kain itu. Seolah-olah benda tersebut menyimpan sesuatu yang ingin kutemukan, meski hatiku berteriak untuk berhenti.

Saat lilitan terakhir terbuka, aku tertegun. Isi di dalam kain tersebut adalah tanah kering dengan berbagai kembang yang juga sudah mengering.

Wus...

"Astagfirullah!" aku merasa ada hawa dingin yang tiba-tiba meniup tengkukku.

Dengan cepat aku berbalik. "Siapa?!" teriakku.

Hening, tak ada apa-apa. Mataku mulai nanar menelisik ke sekeliling, aku yang tak percaya dengan hal-hal gaib dibuat ketakutan oleh kejadian ini.

"Ya Allah, kenapa gue ngerasa kayak ada yang merhatiin gue dari tadi?" pikirku.

Ketika pertama kali masuk ke rumah ini saat survei, aku memang sudah merasa ada yang aneh. Udara di dalam rumah terasa lebih dingin, meski di luar cuaca cerah. Aroma lembap dan pengap menyergap hidungku, seolah rumah ini sudah lama tidak dihuni.

Dinding-dinding di rumah ini dipenuhi coretan-coretan aneh, lambang-lambang yang tidak kupahami, dan beberapa gambar yang sepertinya bukan sekadar seni graffiti biasa.

Aku pikir, mungkin ini cuma karya iseng penghuni sebelumnya. Lagian, aku tidak percaya hal-hal mistis—tahayul. Jadi aku tidak ambil pusing.

Aku kembali menatap benda yang baru saja kutemukan.

"Nak, kalau kamu temukan hal yang aneh atau kamu merasa terancam, bakar saja. Jangan lupa, di Syahadatin."

Tiba-tiba suara ibuku bergema di dalam kepalaku. "Mana bisa setan nyakitin manusia?" gumamku, menggeleng, menepis pikiran yang mulai diliputi ketakutan.

"Jangan ngeyel, Kinara! Jangan merasa mereka tidak ada di sekeliling kita."

Untuk kesekian kali, suara ibuku seakan berusaha memperingatkan, memberikan dorongan agar aku tidak meremehkan apa yang baru saja kutemukan.

Aku memandang bungkusan kain itu lagi, kini dengan rasa waswas yang lebih dalam.

“Bakar?” ulangku pelan, mencoba mencerna maksud dari pesan yang tiba-tiba terlintas di benakku.

Aku menggigit bibir, ragu. Apa benar ini harus kubakar? Atau hanya ketakutan berlebihan saja?

Kupandangi lagi tanah dan kembang kering di dalam kain itu. Aku baru sadar, bunga-bunga itu bukan sembarang bunga.

Ada mawar hitam, melati, dan bunga kantil. Sepertinya benda ini sengaja dirangkai untuk tujuan tertentu. Mendadak hatiku terasa makin tidak tenang.

“Ah, sudahlah. Mungkin ini cuma kebetulan.” Aku berusaha menghibur diri, berusaha mencari penjelasan logis. Tapi aku tahu betul, ada sesuatu yang menggelisahkan di dalam rumah ini sejak awal aku masuk.

Entah suara-suara bisikan halus yang terdengar di sela-sela keheningan, atau bayangan yang sesekali melintas di sudut mataku. Semua itu tidak bisa hanya dianggap kebetulan.

"Yaudah, gue bakar aja. Daripada ribet!" aku pun membawa kain putih berisi tanah dan kembang itu menuju dapur.

Rumah ini terbilang luas, ada sumur kerek tua berlumut di dapur. Di sisi kanan sumur tersebut, ada dua kamar mandi, ada lahan yang ditumbuhi rumput liar sebagai tempat jemuran.

Di balik pintu yang berada di dapur ada ruas jalan seluas lima jengkal berbentuk later L dengan tembok bata merah menjual tinggi yang sudah ditumbuhi tanaman merambat.

Rumah ini tampak seperti terisolasi dari dunia luar, meski siang hari, rasanya seakan-akan aku berada di tempat lain. Cahaya matahari yang menyusup dari sela-sela ventilasi di dapur tampak redup dan berwarna pucat, hampir seperti cahaya senja yang suram, bukan siang hari. Seolah ada sesuatu yang menelan kecerahan hari ini, menyelimutinya dengan kegelapan tipis yang tidak biasa.

Aku mendekati sumur tua itu, berdiri di bibirnya. Sumur ini pasti sudah lama sekali tak digunakan; tali kereknya berkarat dan ember yang tergantung terlihat rapuh, seolah siap terurai kapan saja.

Aku menggenggam kain di tanganku erat-erat, masih mencoba meyakinkan diri bahwa membakarnya akan menyelesaikan semuanya.

“Ayo, Kinara, bakar aja. Setelah ini semua bakal beres,” gumamku, berusaha terdengar lebih yakin dari yang sebenarnya kurasakan.

Sampai di tepi halaman, aku mengeluarkan korek api gas yang kubawa. "Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, lahaula walakuata illabillah. Ya... Allah, jika barang ini membawa sesuatu yang buruk, maka bakar juga keburukan itu," ucapku, memohon karamah dari doa yang ku rapalkan.

Aku pun mematik korek tersebut dan mengarahkan api yang tengah meliuk-liuk itu ke arah kain.

Wus!

Saat api itu bersentuhan dengan kain, api langsung membesar, seolah kain tersebut mengandung minyak.

"Aw...!" aku menjerit dan dengan refleks melempar kain yang menyala itu saat kobaran api menyambar ujung jari-jariku.

Kain itu jatuh di tanah, api menjilat cepat dan membakar seluruh permukaannya, menciptakan asap tebal yang bergulung naik, membentuk pola yang aneh dan berputar-putar seakan menggambarkan sesuatu.

"Aneh banget. Sebenarnya, ada apa dengan rumah ini?" aku bergumam sambil mundur beberapa langkah, terperangah.

"Ahh... Gue ke warung mie ayam saja di dekat rel. Kebetulan, gue belum makan. Sekalian nunggu anak-anak. Lama-lama di dalam rumah ini, kayaknya gue bakalan gila!" dengan cepat, aku pun bergegas meninggalkan kain yang terbakar itu.

Sesampainya di depan rumah, aku segera mengunci pintu dan berjalan melewati gang. Di sebelah rumah yang baru saja aku dan teman-temanku sewa, ada juga sebuah rumah kosong tak berpenghuni.

Ya... Sama-sama menyeramkan.

Tak butuh waktu lama, setelah berjalan kaki lima puluh langkah, aku pun tiba di warung penjual mie ayam tepat bersebelahan dengan rel kereta dan pos kereta api.

"Bu, satu mie ayam ya!" seruku sambil duduk di salah satu bangku panjang di warung yang sederhana itu.

Suasana di sini sedikit menghibur—orang-orang berlalu-lalang, suara hiruk-pikuk motor yang lewat, dan bunyi lonceng pos kereta yang sesekali terdengar saat palang pintu mulai turun.

"Iya, sebentar ya, Mbak!" jawab ibu penjual mie ayam dengan senyum ramah.

Aku menghela napas, mencoba mengendurkan ketegangan yang menggulung sejak tadi. Setidaknya di sini, aku bisa merasa sedikit lebih normal, tidak seperti di rumah itu yang seakan-akan menelanku hidup-hidup oleh rasa takut.

"Mimpi belatung dan wanita dengan pipi terluka. Dan ... Kain putih berisikan tanah...."

Saat aku sedang menunggu mie ayamku datang, tiba-tiba rekap ulang adegan mimpi dan penemuan kain tadi kembali berputar di kepalaku. Entah mengapa, rasanya seperti ada yang menarik-narik ingatanku untuk terus kembali ke momen-momen itu.

Padahal aku sedang berusaha melupakannya, setidaknya untuk sesaat.

"Mbak, mie ayamnya sudah siap," kata ibu penjual sambil meletakkan semangkuk mie ayam panas yang masih mengepul di hadapanku.

"Matur Nuwun, Bu," aku menjawab sambil tersenyum.

Ibu itu tak langsung pergi, ia berdiri di sampingku. "Mbak, Mbak ini yang baru ngontrak di rumah pak Kirman, ya?" tanya ibu penjual mie ayam, suara ibu itu terdengar waspada.

Aku yang sedang mengaduk-ngaduk mie pun menoleh lalu memberikan senyum terbaik. "Inggih, Bu. Baru aja masuk tadi pagi. Tapi saya lagi nungguin teman-teman yang lain. Jadi sekalian makan," jawabku.

"Oh... Semoga betah, ya! Mugi-mugi iso lama ngontraknya," ucap ibu itu yang kemudian berlalu.

Bab terkait

  • Penghuni    3

    "Mugi-mugi iso lama ngontraknya." Kalimat ibu penjual mie ayam terus menggema di dalam benakku. Aku hendak memanggil dan bertanya. Akan tetapi, ibu-ibu yang belum aku tahu namanya itu sudah tampak sibuk melayani pembeli yang lain. Ya ... Terpaksa aku urungkan niatku. Memendam rasa penasaran dalam diriku. "Yo weslah, nanti saja. Sekarang gue lapar. Gue isi tenaga dulu," gumamku sambil mengaduk-ngaduk mie ayam yang siap aku santap. Tring! Suara notifikasi dari grup aplikasi hijau menghentikan aktivitas makanku, ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan benda pipih yang berbunyi tadi. [Nara, lo udah di rumah kontrakan'kan? Gue sama yang lain lagi nungguin mobil nih!] pesan dari Ranti. Aku mendesah pelan membaca pesan dari temanku. Mereka yang mengontrak rumah bareng aku memang ada empat orang. Dua perempuan, termasuk aku jadinya tiga perempuan. Dan duanya lagi adalah laki-laki. Mereka adalah teman-teman satu provinsi, beda kabupaten, dan berbeda kampus. Kami bertemu saat ada pera

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-04
  • Penghuni    4

    "Aduh, Pak! Kalau mau nyiram itu lihat-lihat, dong!" teriakku, refleks. Aku kesal dan bahkan sangat kesal. Bagaimana nggak kesal? Seorang bapak-bapak yang usianya kisaran 50 tahun itu sengaja menyiramiku dengan air bekas cucian piring yang mungkin, sudah disimpan selama berhari-hari. Bau dari bekas air cucian itu langsung menyeruak ke hidungku, membuatku mual. Bau amis dan busuk bercampur, seakan-akan ada sesuatu yang membusuk di dalam air yang disiramkan itu. Aku cepat-cepat mengibas-ngibaskan tanganku, berusaha menghindari percikan yang masih menetes dari rambutku. Bapak dengan wajah datar dan tatapan kosong, hanya menatapku tanpa ada rasa bersalah. Dia kemudian meletakkan ember di sampingnya dan berbalik, seperti tidak ada yang terjadi. Aku semakin kesal, tapi juga bingung. Mengapa pria tua yang masih berdiri di ambang pintu itu bersikap seperti ini? "Pak, kalau mau nyiram kayak gitu, jangan sembarangan. Apa Bapak nggak lihat saya sedang jalan?!" Aku coba mengeraskan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-04
  • Penghuni    5

    "Duar! Kaget kan lo?!" Aku seketika memejamkan mata, detak jantungku seakan berhenti sejenak. Ingin ku lontarkan tujuh sumpah serapah kepada temanku, Amira. Ternyata, itu adalah teman laknat yang berada di dalam bilik sebelah. Dengan sebuah ponsel yang mengeluarkan suara tangisan kuntilanak. "Hahaha... Wajah lo kenapa, Nara? Lo habis lihat demit? Sumpah! Wajah lo Lucu banget tau nggak?" ledek Amira. Aku membuka mata perlahan dan menatap Amira dengan tatapan yang pasti tampak lebih seram dari suara kuntilanak yang dia putar di ponselnya. "Amira! Lo pikir ini lucu, hah? Gue hampir aja pingsan! Mau mati lo?!" Aku mendekatinya dengan niat ingin memberi satu pukulan untuk membalaskan dendam. "Hahaha!" Amira malah tertawa terbahak-bahak sambil mundur, menutup pintu kamar mandi di belakangnya dengan santai. "Ih, lo parno banget, sih! Nara yang pemberani ternyata bisa takut juga," ucapnya sambil memamerkan cengiran lebar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan dir

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-04
  • Penghuni    6

    "Lo ngapa Ranti?" tanya Heru. Aku dan ke empat temanku tiba di dapur ketika mendengar teriakkan Ranti. Wanita berkacamata itu menutup kedua mata dan telinga seperti ketakutan. "Itu loh, ada kecoa ngesot di dalam kloset," ucap Ranti. "Yeee ...!" kami semua berseru mendengar jawaban Ranti, berpikir jika wanita itu melihat sesuatu atau mungkin ia terpeleset. "Gue kira lo lihat ular kayang apa gimana. Kecoa doang lo teriak kayak lihat setan!" celetuk Andi. "Iya nih, lo balikin aja tubuhnya. Paling tuh kecoa joget-joget kayak Sadbor," ujar Mira menimpali sambil menirukan tarian yang sedang viral. "Udah, udah, gue mau buang air. Apa lo pada mau nungguin gue berak, hah?!" Ranti berkata. "Najis!" seru Heru. Aku hanya memperhatikan interaksi teman-temanku itu sambil tersenyum kecil merasakan kehangatan dari gurauan mereka. Tetapi perasaanku tak luput dari kata tenang, aku masih merasa jika beberapa mata sedang memperhatikan kami dari segala sudut. Aku pun berusaha m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Penghuni    7

    "Heh, Mir, nyebut-nyebut. Lo liatin apaan sih?!" aku mencengkram kedua pundak Mira, wanita itu tegang. Ranti panik ketakutan melihat Mira yang seperti melihat sesuatu yang membuat Mira shack-shock. "Mir, lo jangan nakuti gue. Hantu apaan?" ujar Ranti. "Lo ... Nggak pada ngeliat? Itu di tembok bawah pohon rambutan...," ucap Mira terbata-bata, menunjuk.Aku berbalik, ku alihkan pandanganku ke arah yang ditunjuk Mira, tak ada apapun di sana. Hanya gelap dan bayangan ranting pohon rambutan yang menari tertiup angin malam. "Nggak ada apa-apa. Apa sih yang lo liat?" aku kembali mengalihkan pandanganku kepada Mira. Aku begitu penasaran dengan apa yang Mira lihat hingga membuat wanita itu ketakutan hingga berkeringat dingin. Pocong, 'kah?Ranti pun sama, ia clengak-clenguk melihat ke arah pohon rambutan. "Iya, nggak ada apa-apa —" "Noh, dia mendekat!" teriak Mira, tubuhnya gemetar. Bruk! Tubuh Mira lunglai jatuh dalam pelukan Ranti. "Mir, woilah, jangan becanda!" teriak Ranti, mencob

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Penghuni    8

    "Kiikik ... Kiikik ...!"Aku dan ke-4 temanku menutup telinga saat Mira mengeluarkan tawa melengking, menusuk gendang telinga.Suara tawa Mira yang terdengar begitu tajam, menusuk. Seperti seekor kuda yang ditarik tali kekangnya. "Mira... Lo apa-apaan sih, ketawa kayak gitu? Lo pikir ini lucu?!" sergahku, menatap Mira jengkel. Mira yang duduk tegak itu membuang pandangannya ke arahku, matanya putih. Untuk saat ini dalam benakku jika ia sengaja menakuti kami ketika suasana rumah sedang tegang. Apalagi waktu siang tadi, Mira yang sengaja memutar suara tangisan kuntilanak di dalam bilik kloset WC. Membuat diri ini begitu tak percaya jika ia sedang kesurupan. "Kowe!" Mira menunjukku, suaranya tegas. Aku terkesiap, bingung. 'Kenapa? Ada yang salah dengan gue?' batinku. Semua mata sontak tertuju padaku, seakan meminta jawaban. Aku melangkah mundur sedikit, menatap Mira yang masih dengan senyum aneh di wajah Mira. Dan mata Mira yang putih sepenuhnya itu membuatku merinding. "K—kowe?"

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Penghuni    9

    "Mungkin yang lo temuin itu santet tanah kuburan." Aku yang sudah berada di dalam ruang perkuliahan masih terngiang-ngiang ucapan Heru. Semalam, setelah menenangkan Mira, aku menjelaskan bagaimana aku mendapatkan bungkusan tanah di atas ventilasi. 'Santet? Buat apa coba? Jaman gini masih ada hal begituan? Norak banget, dan siapa yang meletakkan bungkusan itu?' pikirku. Hari ini mata kuliah psikologi, karena aku mengambil jurusan kesehatan masyarakat. Saat mengemudi sepeda motor pun, pikiranku masih terfokus pada ucapan Heru. 'Santet tanah kuburan?' aku merenung.Rasanya aneh, seperti sesuatu yang nggak mungkin ada di dunia nyata. Tapi semalam, melihat kondisi Mira yang tiba-tiba berubah begitu drastis, entah kenapa aku mulai ragu. Semua kejadian aneh ini—dimulai dari suara tangisan kuntilanak di WC, lalu bungkusan tanah yang aku temui—terasa semakin nyata.Aku menatap papan tulis di ruang kuliah, tetapi pikiranku tetap melayang jauh. Pembicaraan tentang teori-teori psikologi yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Penghuni    10

    Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diriku. Dengan tangan gemetar, aku menggeser ikon hijau di layar ponselku dan menjawab panggilan itu."H—halo? Mira?" suaraku bergetar, nyaris tak keluar.Hening. Hanya ada suara statis di ujung telepon. Kemudian, sebuah suara terdengar—bukan suara Mira yang biasa. Lebih berat, lebih serak, dan terdengar seperti berasal dari kedalaman yang tak terjamah manusia."Kinara... tanggung jawab... saiki!" suara itu bergema, membuat bulu kudukku meremang. Napasku tercekat, dan aku hampir menjatuhkan ponsel dari tanganku."Mira? Ini lo?" tanyaku panik, berharap ini semua hanya kesalahpahaman atau semacam prank yang sering Mira lakukan.Namun, suara itu tidak menjawab. Hanya ada desisan aneh seperti seseorang yang sedang menarik napas dalam-dalam. Di tengah keheningan itu, suara lain muncul—tangisan lirih, seperti anak kecil yang menangis, perlahan berubah menjadi tawa cekikikan yang memekakkan telinga.Aku langsung menutup telepon, napasku memburu. "Sial!

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02

Bab terbaru

  • Penghuni    Bab 11

    Kupacu sepeda motor maticku dengan kecepatan sedang setelah berteleponan dengan Mira. Meski pikiranku carut-marut, aku berusaha tetap fokus. "Tadi Mira di Warnet apa ya?" aku bergumam. Nggak, pokoknya nggak mau aku kembali ke kontrakan itu sendirian. Sungguh mati, disambar petir bareng-bareng juga aku mau.Mengingat hal aneh yang terjadi, aku lebih memilih untuk menjemput Mira saja. Aku tepikan sepeda motorku di bahu jalan, aku kemudian mengambil ponselku dan mencari nomor Mira di aplikasi hijau. "Mir, lo di warnet mana? Bareng aja ya ke kontrakan." Kirim. Aku menunggu balasan, sesekali aku memperhatikan jalanan yang masih ramai oleh lalu lalang kendaraan. "Nduk...." "Astaghfirullah, ya Allah!" aku terkesiap, mendengar suara dari belakang. Aku pun menoleh. Seorang wanita paruh baya seperti pengemis itu sudah berada di belakang tubuhku. Wajah wanita tersebut tampak serius kala ia menatapku. "Ya Allah, Bu, saya kaget. Ada apa, Bu?" tanyaku dengan suara masih terguncang, beru

  • Penghuni    10

    Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diriku. Dengan tangan gemetar, aku menggeser ikon hijau di layar ponselku dan menjawab panggilan itu."H—halo? Mira?" suaraku bergetar, nyaris tak keluar.Hening. Hanya ada suara statis di ujung telepon. Kemudian, sebuah suara terdengar—bukan suara Mira yang biasa. Lebih berat, lebih serak, dan terdengar seperti berasal dari kedalaman yang tak terjamah manusia."Kinara... tanggung jawab... saiki!" suara itu bergema, membuat bulu kudukku meremang. Napasku tercekat, dan aku hampir menjatuhkan ponsel dari tanganku."Mira? Ini lo?" tanyaku panik, berharap ini semua hanya kesalahpahaman atau semacam prank yang sering Mira lakukan.Namun, suara itu tidak menjawab. Hanya ada desisan aneh seperti seseorang yang sedang menarik napas dalam-dalam. Di tengah keheningan itu, suara lain muncul—tangisan lirih, seperti anak kecil yang menangis, perlahan berubah menjadi tawa cekikikan yang memekakkan telinga.Aku langsung menutup telepon, napasku memburu. "Sial!

  • Penghuni    9

    "Mungkin yang lo temuin itu santet tanah kuburan." Aku yang sudah berada di dalam ruang perkuliahan masih terngiang-ngiang ucapan Heru. Semalam, setelah menenangkan Mira, aku menjelaskan bagaimana aku mendapatkan bungkusan tanah di atas ventilasi. 'Santet? Buat apa coba? Jaman gini masih ada hal begituan? Norak banget, dan siapa yang meletakkan bungkusan itu?' pikirku. Hari ini mata kuliah psikologi, karena aku mengambil jurusan kesehatan masyarakat. Saat mengemudi sepeda motor pun, pikiranku masih terfokus pada ucapan Heru. 'Santet tanah kuburan?' aku merenung.Rasanya aneh, seperti sesuatu yang nggak mungkin ada di dunia nyata. Tapi semalam, melihat kondisi Mira yang tiba-tiba berubah begitu drastis, entah kenapa aku mulai ragu. Semua kejadian aneh ini—dimulai dari suara tangisan kuntilanak di WC, lalu bungkusan tanah yang aku temui—terasa semakin nyata.Aku menatap papan tulis di ruang kuliah, tetapi pikiranku tetap melayang jauh. Pembicaraan tentang teori-teori psikologi yang

  • Penghuni    8

    "Kiikik ... Kiikik ...!"Aku dan ke-4 temanku menutup telinga saat Mira mengeluarkan tawa melengking, menusuk gendang telinga.Suara tawa Mira yang terdengar begitu tajam, menusuk. Seperti seekor kuda yang ditarik tali kekangnya. "Mira... Lo apa-apaan sih, ketawa kayak gitu? Lo pikir ini lucu?!" sergahku, menatap Mira jengkel. Mira yang duduk tegak itu membuang pandangannya ke arahku, matanya putih. Untuk saat ini dalam benakku jika ia sengaja menakuti kami ketika suasana rumah sedang tegang. Apalagi waktu siang tadi, Mira yang sengaja memutar suara tangisan kuntilanak di dalam bilik kloset WC. Membuat diri ini begitu tak percaya jika ia sedang kesurupan. "Kowe!" Mira menunjukku, suaranya tegas. Aku terkesiap, bingung. 'Kenapa? Ada yang salah dengan gue?' batinku. Semua mata sontak tertuju padaku, seakan meminta jawaban. Aku melangkah mundur sedikit, menatap Mira yang masih dengan senyum aneh di wajah Mira. Dan mata Mira yang putih sepenuhnya itu membuatku merinding. "K—kowe?"

  • Penghuni    7

    "Heh, Mir, nyebut-nyebut. Lo liatin apaan sih?!" aku mencengkram kedua pundak Mira, wanita itu tegang. Ranti panik ketakutan melihat Mira yang seperti melihat sesuatu yang membuat Mira shack-shock. "Mir, lo jangan nakuti gue. Hantu apaan?" ujar Ranti. "Lo ... Nggak pada ngeliat? Itu di tembok bawah pohon rambutan...," ucap Mira terbata-bata, menunjuk.Aku berbalik, ku alihkan pandanganku ke arah yang ditunjuk Mira, tak ada apapun di sana. Hanya gelap dan bayangan ranting pohon rambutan yang menari tertiup angin malam. "Nggak ada apa-apa. Apa sih yang lo liat?" aku kembali mengalihkan pandanganku kepada Mira. Aku begitu penasaran dengan apa yang Mira lihat hingga membuat wanita itu ketakutan hingga berkeringat dingin. Pocong, 'kah?Ranti pun sama, ia clengak-clenguk melihat ke arah pohon rambutan. "Iya, nggak ada apa-apa —" "Noh, dia mendekat!" teriak Mira, tubuhnya gemetar. Bruk! Tubuh Mira lunglai jatuh dalam pelukan Ranti. "Mir, woilah, jangan becanda!" teriak Ranti, mencob

  • Penghuni    6

    "Lo ngapa Ranti?" tanya Heru. Aku dan ke empat temanku tiba di dapur ketika mendengar teriakkan Ranti. Wanita berkacamata itu menutup kedua mata dan telinga seperti ketakutan. "Itu loh, ada kecoa ngesot di dalam kloset," ucap Ranti. "Yeee ...!" kami semua berseru mendengar jawaban Ranti, berpikir jika wanita itu melihat sesuatu atau mungkin ia terpeleset. "Gue kira lo lihat ular kayang apa gimana. Kecoa doang lo teriak kayak lihat setan!" celetuk Andi. "Iya nih, lo balikin aja tubuhnya. Paling tuh kecoa joget-joget kayak Sadbor," ujar Mira menimpali sambil menirukan tarian yang sedang viral. "Udah, udah, gue mau buang air. Apa lo pada mau nungguin gue berak, hah?!" Ranti berkata. "Najis!" seru Heru. Aku hanya memperhatikan interaksi teman-temanku itu sambil tersenyum kecil merasakan kehangatan dari gurauan mereka. Tetapi perasaanku tak luput dari kata tenang, aku masih merasa jika beberapa mata sedang memperhatikan kami dari segala sudut. Aku pun berusaha m

  • Penghuni    5

    "Duar! Kaget kan lo?!" Aku seketika memejamkan mata, detak jantungku seakan berhenti sejenak. Ingin ku lontarkan tujuh sumpah serapah kepada temanku, Amira. Ternyata, itu adalah teman laknat yang berada di dalam bilik sebelah. Dengan sebuah ponsel yang mengeluarkan suara tangisan kuntilanak. "Hahaha... Wajah lo kenapa, Nara? Lo habis lihat demit? Sumpah! Wajah lo Lucu banget tau nggak?" ledek Amira. Aku membuka mata perlahan dan menatap Amira dengan tatapan yang pasti tampak lebih seram dari suara kuntilanak yang dia putar di ponselnya. "Amira! Lo pikir ini lucu, hah? Gue hampir aja pingsan! Mau mati lo?!" Aku mendekatinya dengan niat ingin memberi satu pukulan untuk membalaskan dendam. "Hahaha!" Amira malah tertawa terbahak-bahak sambil mundur, menutup pintu kamar mandi di belakangnya dengan santai. "Ih, lo parno banget, sih! Nara yang pemberani ternyata bisa takut juga," ucapnya sambil memamerkan cengiran lebar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan dir

  • Penghuni    4

    "Aduh, Pak! Kalau mau nyiram itu lihat-lihat, dong!" teriakku, refleks. Aku kesal dan bahkan sangat kesal. Bagaimana nggak kesal? Seorang bapak-bapak yang usianya kisaran 50 tahun itu sengaja menyiramiku dengan air bekas cucian piring yang mungkin, sudah disimpan selama berhari-hari. Bau dari bekas air cucian itu langsung menyeruak ke hidungku, membuatku mual. Bau amis dan busuk bercampur, seakan-akan ada sesuatu yang membusuk di dalam air yang disiramkan itu. Aku cepat-cepat mengibas-ngibaskan tanganku, berusaha menghindari percikan yang masih menetes dari rambutku. Bapak dengan wajah datar dan tatapan kosong, hanya menatapku tanpa ada rasa bersalah. Dia kemudian meletakkan ember di sampingnya dan berbalik, seperti tidak ada yang terjadi. Aku semakin kesal, tapi juga bingung. Mengapa pria tua yang masih berdiri di ambang pintu itu bersikap seperti ini? "Pak, kalau mau nyiram kayak gitu, jangan sembarangan. Apa Bapak nggak lihat saya sedang jalan?!" Aku coba mengeraskan

  • Penghuni    3

    "Mugi-mugi iso lama ngontraknya." Kalimat ibu penjual mie ayam terus menggema di dalam benakku. Aku hendak memanggil dan bertanya. Akan tetapi, ibu-ibu yang belum aku tahu namanya itu sudah tampak sibuk melayani pembeli yang lain. Ya ... Terpaksa aku urungkan niatku. Memendam rasa penasaran dalam diriku. "Yo weslah, nanti saja. Sekarang gue lapar. Gue isi tenaga dulu," gumamku sambil mengaduk-ngaduk mie ayam yang siap aku santap. Tring! Suara notifikasi dari grup aplikasi hijau menghentikan aktivitas makanku, ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan benda pipih yang berbunyi tadi. [Nara, lo udah di rumah kontrakan'kan? Gue sama yang lain lagi nungguin mobil nih!] pesan dari Ranti. Aku mendesah pelan membaca pesan dari temanku. Mereka yang mengontrak rumah bareng aku memang ada empat orang. Dua perempuan, termasuk aku jadinya tiga perempuan. Dan duanya lagi adalah laki-laki. Mereka adalah teman-teman satu provinsi, beda kabupaten, dan berbeda kampus. Kami bertemu saat ada pera

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status