Share

2

"Loh, ini kayak kain ya?" pikirku ketika tanganku menyentuh sesuatu.

Karena panik dan terburu-buru, benda yang terselip di sela ventilasi itu pun terjatuh ke lantai karena gesekan oleh tanganku sendiri.

Deg!

Aku menyipitkan mata menatap benda yang jatuh itu. Sebuah kain putih, tampak kumal berwarna coklat.

Hmm... Bisa dibilang seperti kain yang lama dipendam dalam tanah. Kotor dan bau amis.

Aku segera turun dari kursi, kupungut benda yang seukuran dus sabun mandi tersebut.

Ya, ini kain yang dibutalkan, ada lilitan kain putih yang sudah kecoklatan diikat seperti sebuah kado.

"Apa isinya? Kok rasanya kayak ada sesuatu di dalam?" rasa penasaranku sudah tak tertolong, aku gegas membuka kain kotor itu perlahan, mencoba mengabaikan bau amis yang semakin menusuk hidungku.

Tanganku gemetar saat aku meraih ujung kain yang dililitkan, perlahan mengurai ikatan yang rapat.

“Ya Allah, ini apa sih sebenarnya?” gumamku, berbisik.

Entah kenapa, meski merasa cemas, ada dorongan kuat dalam diriku untuk melihat apa yang tersembunyi di balik kain itu. Seolah-olah benda tersebut menyimpan sesuatu yang ingin kutemukan, meski hatiku berteriak untuk berhenti.

Saat lilitan terakhir terbuka, aku tertegun. Isi di dalam kain tersebut adalah tanah kering dengan berbagai kembang yang juga sudah mengering.

Wus...

"Astagfirullah!" aku merasa ada hawa dingin yang tiba-tiba meniup tengkukku.

Dengan cepat aku berbalik. "Siapa?!" teriakku.

Hening, tak ada apa-apa. Mataku mulai nanar menelisik ke sekeliling, aku yang tak percaya dengan hal-hal gaib dibuat ketakutan oleh kejadian ini.

"Ya Allah, kenapa gue ngerasa kayak ada yang merhatiin gue dari tadi?" pikirku.

Ketika pertama kali masuk ke rumah ini saat survei, aku memang sudah merasa ada yang aneh. Udara di dalam rumah terasa lebih dingin, meski di luar cuaca cerah. Aroma lembap dan pengap menyergap hidungku, seolah rumah ini sudah lama tidak dihuni.

Dinding-dinding di rumah ini dipenuhi coretan-coretan aneh, lambang-lambang yang tidak kupahami, dan beberapa gambar yang sepertinya bukan sekadar seni graffiti biasa.

Aku pikir, mungkin ini cuma karya iseng penghuni sebelumnya. Lagian, aku tidak percaya hal-hal mistis—tahayul. Jadi aku tidak ambil pusing.

Aku kembali menatap benda yang baru saja kutemukan.

"Nak, kalau kamu temukan hal yang aneh atau kamu merasa terancam, bakar saja. Jangan lupa, di Syahadatin."

Tiba-tiba suara ibuku bergema di dalam kepalaku. "Mana bisa setan nyakitin manusia?" gumamku, menggeleng, menepis pikiran yang mulai diliputi ketakutan.

"Jangan ngeyel, Kinara! Jangan merasa mereka tidak ada di sekeliling kita."

Untuk kesekian kali, suara ibuku seakan berusaha memperingatkan, memberikan dorongan agar aku tidak meremehkan apa yang baru saja kutemukan.

Aku memandang bungkusan kain itu lagi, kini dengan rasa waswas yang lebih dalam.

“Bakar?” ulangku pelan, mencoba mencerna maksud dari pesan yang tiba-tiba terlintas di benakku.

Aku menggigit bibir, ragu. Apa benar ini harus kubakar? Atau hanya ketakutan berlebihan saja?

Kupandangi lagi tanah dan kembang kering di dalam kain itu. Aku baru sadar, bunga-bunga itu bukan sembarang bunga.

Ada mawar hitam, melati, dan bunga kantil. Sepertinya benda ini sengaja dirangkai untuk tujuan tertentu. Mendadak hatiku terasa makin tidak tenang.

“Ah, sudahlah. Mungkin ini cuma kebetulan.” Aku berusaha menghibur diri, berusaha mencari penjelasan logis. Tapi aku tahu betul, ada sesuatu yang menggelisahkan di dalam rumah ini sejak awal aku masuk.

Entah suara-suara bisikan halus yang terdengar di sela-sela keheningan, atau bayangan yang sesekali melintas di sudut mataku. Semua itu tidak bisa hanya dianggap kebetulan.

"Yaudah, gue bakar aja. Daripada ribet!" aku pun membawa kain putih berisi tanah dan kembang itu menuju dapur.

Rumah ini terbilang luas, ada sumur kerek tua berlumut di dapur. Di sisi kanan sumur tersebut, ada dua kamar mandi, ada lahan yang ditumbuhi rumput liar sebagai tempat jemuran.

Di balik pintu yang berada di dapur ada ruas jalan seluas lima jengkal berbentuk later L dengan tembok bata merah menjual tinggi yang sudah ditumbuhi tanaman merambat.

Rumah ini tampak seperti terisolasi dari dunia luar, meski siang hari, rasanya seakan-akan aku berada di tempat lain. Cahaya matahari yang menyusup dari sela-sela ventilasi di dapur tampak redup dan berwarna pucat, hampir seperti cahaya senja yang suram, bukan siang hari. Seolah ada sesuatu yang menelan kecerahan hari ini, menyelimutinya dengan kegelapan tipis yang tidak biasa.

Aku mendekati sumur tua itu, berdiri di bibirnya. Sumur ini pasti sudah lama sekali tak digunakan; tali kereknya berkarat dan ember yang tergantung terlihat rapuh, seolah siap terurai kapan saja.

Aku menggenggam kain di tanganku erat-erat, masih mencoba meyakinkan diri bahwa membakarnya akan menyelesaikan semuanya.

“Ayo, Kinara, bakar aja. Setelah ini semua bakal beres,” gumamku, berusaha terdengar lebih yakin dari yang sebenarnya kurasakan.

Sampai di tepi halaman, aku mengeluarkan korek api gas yang kubawa. "Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, lahaula walakuata illabillah. Ya... Allah, jika barang ini membawa sesuatu yang buruk, maka bakar juga keburukan itu," ucapku, memohon karamah dari doa yang ku rapalkan.

Aku pun mematik korek tersebut dan mengarahkan api yang tengah meliuk-liuk itu ke arah kain.

Wus!

Saat api itu bersentuhan dengan kain, api langsung membesar, seolah kain tersebut mengandung minyak.

"Aw...!" aku menjerit dan dengan refleks melempar kain yang menyala itu saat kobaran api menyambar ujung jari-jariku.

Kain itu jatuh di tanah, api menjilat cepat dan membakar seluruh permukaannya, menciptakan asap tebal yang bergulung naik, membentuk pola yang aneh dan berputar-putar seakan menggambarkan sesuatu.

"Aneh banget. Sebenarnya, ada apa dengan rumah ini?" aku bergumam sambil mundur beberapa langkah, terperangah.

"Ahh... Gue ke warung mie ayam saja di dekat rel. Kebetulan, gue belum makan. Sekalian nunggu anak-anak. Lama-lama di dalam rumah ini, kayaknya gue bakalan gila!" dengan cepat, aku pun bergegas meninggalkan kain yang terbakar itu.

Sesampainya di depan rumah, aku segera mengunci pintu dan berjalan melewati gang. Di sebelah rumah yang baru saja aku dan teman-temanku sewa, ada juga sebuah rumah kosong tak berpenghuni.

Ya... Sama-sama menyeramkan.

Tak butuh waktu lama, setelah berjalan kaki lima puluh langkah, aku pun tiba di warung penjual mie ayam tepat bersebelahan dengan rel kereta dan pos kereta api.

"Bu, satu mie ayam ya!" seruku sambil duduk di salah satu bangku panjang di warung yang sederhana itu.

Suasana di sini sedikit menghibur—orang-orang berlalu-lalang, suara hiruk-pikuk motor yang lewat, dan bunyi lonceng pos kereta yang sesekali terdengar saat palang pintu mulai turun.

"Iya, sebentar ya, Mbak!" jawab ibu penjual mie ayam dengan senyum ramah.

Aku menghela napas, mencoba mengendurkan ketegangan yang menggulung sejak tadi. Setidaknya di sini, aku bisa merasa sedikit lebih normal, tidak seperti di rumah itu yang seakan-akan menelanku hidup-hidup oleh rasa takut.

"Mimpi belatung dan wanita dengan pipi terluka. Dan ... Kain putih berisikan tanah...."

Saat aku sedang menunggu mie ayamku datang, tiba-tiba rekap ulang adegan mimpi dan penemuan kain tadi kembali berputar di kepalaku. Entah mengapa, rasanya seperti ada yang menarik-narik ingatanku untuk terus kembali ke momen-momen itu.

Padahal aku sedang berusaha melupakannya, setidaknya untuk sesaat.

"Mbak, mie ayamnya sudah siap," kata ibu penjual sambil meletakkan semangkuk mie ayam panas yang masih mengepul di hadapanku.

"Matur Nuwun, Bu," aku menjawab sambil tersenyum.

Ibu itu tak langsung pergi, ia berdiri di sampingku. "Mbak, Mbak ini yang baru ngontrak di rumah pak Kirman, ya?" tanya ibu penjual mie ayam, suara ibu itu terdengar waspada.

Aku yang sedang mengaduk-ngaduk mie pun menoleh lalu memberikan senyum terbaik. "Inggih, Bu. Baru aja masuk tadi pagi. Tapi saya lagi nungguin teman-teman yang lain. Jadi sekalian makan," jawabku.

"Oh... Semoga betah, ya! Mugi-mugi iso lama ngontraknya," ucap ibu itu yang kemudian berlalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status