"Mugi-mugi iso lama ngontraknya."
Kalimat ibu penjual mie ayam terus menggema di dalam benakku. Aku hendak memanggil dan bertanya. Akan tetapi, ibu-ibu yang belum aku tahu namanya itu sudah tampak sibuk melayani pembeli yang lain. Ya ... Terpaksa aku urungkan niatku. Memendam rasa penasaran dalam diriku. "Yo weslah, nanti saja. Sekarang gue lapar. Gue isi tenaga dulu," gumamku sambil mengaduk-ngaduk mie ayam yang siap aku santap. Tring! Suara notifikasi dari grup aplikasi hijau menghentikan aktivitas makanku, ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan benda pipih yang berbunyi tadi. [Nara, lo udah di rumah kontrakan'kan? Gue sama yang lain lagi nungguin mobil nih!] pesan dari Ranti. Aku mendesah pelan membaca pesan dari temanku. Mereka yang mengontrak rumah bareng aku memang ada empat orang. Dua perempuan, termasuk aku jadinya tiga perempuan. Dan duanya lagi adalah laki-laki. Mereka adalah teman-teman satu provinsi, beda kabupaten, dan berbeda kampus. Kami bertemu saat ada perayaan organisasi daerah dan kami pun berkenalan lalu menjadi dekat. Aku dengan cepat membalas. [Plis, jangan lama-lama. Sumpah ya, nih rumah auranya gelap banget!] Tring! [Yaelah, jangan lebay. Lo kan nggak percaya hantu. Dah! Kalo tuh dedemit muncul, kita ajak nobar.] balas Amira. [Cewek-cewek, kalem. Gue masih ada mata kuliah tambahan. Ntar kalo dah selesai, gue langsung cabut ke kontrakan. Buat lo, Nara, jangan ngadi-ngadi. Ini masih sore! Take care.] balas Andi. Aku membaca pesan-pesan dari teman-temanku. Ya sih, dari dulu aku emang nggak percaya sama hal yang berbau mistis. Wajar kalau mereka mengira aku berlebihan. Jari-jariku dengan cepat menari di atas layar ponsel. [Okelah. Pokoknya, jangan sampai malam. Kalo kalian belum juga datang, gue pergi. Konci gue bawa!] balasku dengan sedikit mengancam. Tring! [Oke!] serempak dalam grup itu teman-temanku membalas. Aku meletakkan benda pipih tersebut di atas meja. Kutatap mie ayam di mangkukku, satu tanganku mengaduk-ngaduk. "Longo! Ojo tinggal neng keneh!" Sial! Bulu-bulu halus di tubuhku berdiri sendiri saat mengingat wanita dengan luka yang mengeluarkan belatung dalam mimpiku. "Apaan sih, kok wanita itu lagi. Itu tuh cuma mimpi. Nggak ada yang perlu di khawatirin, Nara!" aku menggerutu. Saat menatap mie ayamku, napsu makanku langsung saja hilang. Ada sesuatu yang membuat tenggorokanku terasa kering, seakan ada yang mengganjal di sana. Padahal sebelumnya aku sangat lapar, tapi sekarang mie ayam di depanku malah terlihat tidak menggugah selera sama sekali. Aku meletakkan sumpitku, menarik napas panjang. "Longo... Ojo tinggal neng keneh..." Kata-kata dalam mimpiku itu terus menggema, seolah-olah suara wanita dengan luka di wajahnya tadi benar-benar ada di sekitarku. Belatung yang keluar dari pipinya dan cara dia menatapku dengan sorot mata yang penuh amarah—semua itu terasa sangat nyata, lebih dari sekadar mimpi buruk biasa. Aku menggigil lagi, meskipun udara sore tidak dingin. Kenapa mimpi itu bisa mempengaruhi pikiran gue seperti ini? Napa gue terus ngerasa seperti ada yang mengancam diri gue? Aku mencoba memfokuskan diri, mengalihkan perhatian pada suara hiruk-pikuk di sekitar warung mie. Orang-orang yang berlalu-lalang, bunyi klakson sepeda motor, suara deting bel di pos kereta api. Semua tidak ada yang bisa menghapus kegelisahan yang terus menggantung di benakku. Belum lagi, benda aneh yang aku bakar tadi. Semuanya malah menjadi beban pikiranku. "Nok, kok melamun?! Apa mienya nggak enak ya?" Aku terhenyak dari lamunan, aku menoleh dan mendapati ibu penjual mie ayam itu sudah berdiri di sisi tubuhku. Dengan kaku, aku mencoba tersenyum. Meski sangatlah kentara jika senyumku itu sungguh terpaksa. "E... nggak kok, Bu. Enak banget malah," jawabku sambil mengulum senyum. Aku merasa harus cepat-cepat menyelesaikan makananku dan kembali ke kontrakan sebelum ada hal lain yang membuatku tambah gelisah. Ibu penjual mie ayam itu menatapku lekat-lekat, seakan sedang mencoba membaca pikiranku. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa tidak nyaman. Ibu dengan kantung mata yang dalam itu seolah tahu lebih banyak dari yang kukira. "Kalau enak, dimakan dong, jangan diaduk-aduk saja," kata ibu itu sambil tersenyum tipis. "Tapi kalau memang lagi nggak enak badan atau ada pikiran, ya istirahat dulu saja, Nok." Aku hanya mengangguk, tidak ingin memperpanjang percakapan. Tapi sebelum aku sempat kembali fokus ke mie ayamku, ibu itu berbicara lagi, suaranya sedikit lebih pelan, hampir berbisik. "Mimpi buruk, ya?" Aku menatap ibu-ibu itu dengan membelalak. "Kok Ibu tahu?" Ibu setengah abad itu tersenyum samar, kemudian melirik ke arah warungnya sejenak, memastikan tidak ada pelanggan yang memanggilnya. "Ibu jualan di sini sudah lama, Mbak. Nah, beberapa anak kuliahan pernah ngontrak di rumah yang kamu sewa itu. Tapi, mereka bertahan paling lama ya cuma tiga bulan. Katanya sih, mereka sering mimpi aneh sama sering digangguin. Tapi Ibu nggak tahu pasti detailnya," ujar ibu mie ayam itu. Aku merinding mendengar penuturan ibu itu. Tiba-tiba perasaan gelisah yang tadi kurasakan semakin kuat. "Tapi... kenapa mereka nggak cerita apa yang mereka alami, Bu?" tanyaku pelan, penasaran tapi sekaligus takut dengan jawaban yang mungkin kudengar. Ibu penjual mie ayam itu menghela napas pelan. "Mungkin mereka takut, atau nggak mau kelihatan penakut. Anak-anak muda biasanya begitu. Tapi yang jelas, mereka bilang kalau rumah itu punya aura yang berat." Dia memandangku sejenak, lalu menambahkan, "Kalau kamu merasa ada yang aneh, sebaiknya cepat pindah. Nggak usah dipaksakan." Kata-kata ibu itu membuat pikiranku berkecamuk. Aku baru saja pindah ke kontrakan itu, dan tiba-tiba harus memikirkan untuk pindah lagi? Selain repot, pasti akan makan banyak biaya. Tapi kalau apa yang ibu ini katakan benar, apa aku berani tinggal lebih lama? Ah... Hantu ya? Mereka itu hanya bullshit! Ilusi dan halusinasi yang kita buat sendiri dalam otak kita. Aku berusaha menenangkan diri. "Ya, mungkin cuma sugesti aja, Bu. Nggak apa-apa, saya baik-baik saja," kataku mencoba tersenyum meski dalam hati ada rasa takut yang tak bisa ku abaikan. Aku juga enggan menceritakan apa yang aku temukan barusan. Tidak ingin jika pembicaraan ini semakin lebar. Ibu tersebut tersenyum kecil, seakan mengerti kebimbanganku. "Semoga memang begitu ya, Mbak. Tapi, kalau suatu hari kamu lihat sesuatu yang nggak masuk akal, jangan diabaikan. Kadang, mereka cuma ingin didengar." Mendengar itu, tenggorokanku terasa semakin kering. Siapa 'mereka' yang ibu ini maksud? Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi aku takut dengan jawabannya. "Terima kasih, Bu. Saya ingat pesan Ibu," jawabku akhirnya. Aku segera menyelesaikan pembayaran dengan tangan sedikit gemetar, lalu segera beranjak dari warung mie ayam itu, berharap perasaan tidak nyaman ini akan menghilang saat aku berjalan menjauh. Namun, sepanjang perjalanan kembali ke kontrakan, suara ibu itu terus terngiang di telingaku. "Kadang, mereka cuma ingin didengar." Apa maksudnya? Apakah benar ada sesuatu di rumah itu? Apa ada rahasia yang belum aku ketahui? Kini langit sore mulai berubah menjadi gelap, dan perasaan gelisahku semakin menjadi-jadi. Aku mempercepat langkah, berharap teman-temanku segera tiba di kontrakan. Tapi semakin dekat aku berjalan ke arah kontrakan, semakin kuat perasaan bahwa aku tidak akan menemukan kenyamanan ketika kembali. Seolah ada sesuatu yang menungguku di dalam, menunggu untuk dilihat... dan didengar. Tiba-tiba... "Astaghfirullah!" aku menjerit sembari menghindar."Aduh, Pak! Kalau mau nyiram itu lihat-lihat, dong!" teriakku, refleks. Aku kesal dan bahkan sangat kesal. Bagaimana nggak kesal? Seorang bapak-bapak yang usianya kisaran 50 tahun itu sengaja menyiramiku dengan air bekas cucian piring yang mungkin, sudah disimpan selama berhari-hari. Bau dari bekas air cucian itu langsung menyeruak ke hidungku, membuatku mual. Bau amis dan busuk bercampur, seakan-akan ada sesuatu yang membusuk di dalam air yang disiramkan itu. Aku cepat-cepat mengibas-ngibaskan tanganku, berusaha menghindari percikan yang masih menetes dari rambutku. Bapak dengan wajah datar dan tatapan kosong, hanya menatapku tanpa ada rasa bersalah. Dia kemudian meletakkan ember di sampingnya dan berbalik, seperti tidak ada yang terjadi. Aku semakin kesal, tapi juga bingung. Mengapa pria tua yang masih berdiri di ambang pintu itu bersikap seperti ini? "Pak, kalau mau nyiram kayak gitu, jangan sembarangan. Apa Bapak nggak lihat saya sedang jalan?!" Aku coba mengeraskan
"Duar! Kaget kan lo?!" Aku seketika memejamkan mata, detak jantungku seakan berhenti sejenak. Ingin ku lontarkan tujuh sumpah serapah kepada temanku, Amira. Ternyata, itu adalah teman laknat yang berada di dalam bilik sebelah. Dengan sebuah ponsel yang mengeluarkan suara tangisan kuntilanak. "Hahaha... Wajah lo kenapa, Nara? Lo habis lihat demit? Sumpah! Wajah lo Lucu banget tau nggak?" ledek Amira. Aku membuka mata perlahan dan menatap Amira dengan tatapan yang pasti tampak lebih seram dari suara kuntilanak yang dia putar di ponselnya. "Amira! Lo pikir ini lucu, hah? Gue hampir aja pingsan! Mau mati lo?!" Aku mendekatinya dengan niat ingin memberi satu pukulan untuk membalaskan dendam. "Hahaha!" Amira malah tertawa terbahak-bahak sambil mundur, menutup pintu kamar mandi di belakangnya dengan santai. "Ih, lo parno banget, sih! Nara yang pemberani ternyata bisa takut juga," ucapnya sambil memamerkan cengiran lebar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan dir
Aku merasakan ada sesuatu yang jatuh dari atas langit-langit plafon di mana aku sedang terbaring. Rasanya tidak nyaman ketika sesuatu itu menimpa wajahku. "Apaan sih? Kok rasanya geli?" gumamku, meski mataku terasa amat berat, aku memaksakan kelopak mataku agar terbuka lebih lebar. Deg! Jantungku berhenti berdetak saat melihat belatung-belatung seukuran butir nasi itu jatuh satu per satu, menumpuk di wajahku. Aku tertegun, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Duk, duk, duk! Bunyi aneh seperti hentakan kaki tiba-tiba terdengar di atas palafon, di sela-sela plafon, keluar belatung yang tercurah seperti hujan. "Akkkh..." aku berusaha menjerit, ingin mengeluarkan suara, namun suaraku tercekat. Belatung-belatung mulai bergerak, menggeliat di pipi, hidung, bahkan masuk ke dalam sudut mataku. Aku mencoba mengusapnya dengan cepat, lagi-lagi tangan ini terasa berat, seolah ada yang menahannya. "Apa-apaan ini...? Menyingkir!" bisikku, nyaris tanpa suara. Aku merasa peru
"Loh, ini kayak kain ya?" pikirku ketika tanganku menyentuh sesuatu. Karena panik dan terburu-buru, benda yang terselip di sela ventilasi itu pun terjatuh ke lantai karena gesekan oleh tanganku sendiri. Deg! Aku menyipitkan mata menatap benda yang jatuh itu. Sebuah kain putih, tampak kumal berwarna coklat. Hmm... Bisa dibilang seperti kain yang lama dipendam dalam tanah. Kotor dan bau amis. Aku segera turun dari kursi, kupungut benda yang seukuran dus sabun mandi tersebut. Ya, ini kain yang dibutalkan, ada lilitan kain putih yang sudah kecoklatan diikat seperti sebuah kado. "Apa isinya? Kok rasanya kayak ada sesuatu di dalam?" rasa penasaranku sudah tak tertolong, aku gegas membuka kain kotor itu perlahan, mencoba mengabaikan bau amis yang semakin menusuk hidungku. Tanganku gemetar saat aku meraih ujung kain yang dililitkan, perlahan mengurai ikatan yang rapat. “Ya Allah, ini apa sih sebenarnya?” gumamku, berbisik. Entah kenapa, meski merasa cemas, ada dorongan kuat dal