Home / Romansa / Memar Termanis / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Memar Termanis: Chapter 31 - Chapter 40

63 Chapters

30. Kehancuran Yang Diharapkan

Satu bulan berlalu sejak kabar pernikahan Rachquela tersebar. Hari itu, pesta pernikahan digelar dengan megah di sebuah aula penuh hiasan bunga putih dan kristal. Tapi di tengah kemegahan itu, wajah Rachquela tampak muram, jauh dari kebahagiaan yang diharapkan orang-orang.Dia berdiri di tengah aula, gaunnya yang berkilauan tampak sempurna, tetapi tatapannya kosong. Orang-orang di sekitarnya memuji penampilannya.“Gaun ini benar-benar membuatmu terlihat seperti bidadari,” ucap seorang tamu dengan senyum lebar.Namun, Rachquela hanya mengangguk kecil, senyum tipis yang dipaksakan menghiasi wajahnya. Dalam pikirannya, hanya ada Andreas, pria yang telah mencuri hatinya. Kenangan tentangnya terus menghantui, membuat perasaan kecewa dan hampa semakin nyata.Di sisi lain pesta, dalam sebuah sudut yang lebih tenang, dua wanita paruh baya tampak berbincang. Erica, ibu Valentine, memandang Elisabeth, ibu Jexon, dengan tatapan penuh harapan.“Kau tahu, Jexon dan Valentine akan menjadi pasangan
last updateLast Updated : 2024-12-14
Read more

31. Perjodohan

📍 J&T Entertainment- Ruang Latihan -Paula berjalan mondar-mandir di ruang latihan, sesekali melirik ke arah pintu masuk. Wajahnya memancarkan kegelisahan, tapi juga harapan. Ia melipat tangannya di dada, lalu menghela napas panjang sebelum kembali mengintip ke arah pintu.Tak lama, suara langkah kaki terdengar di koridor. Ketika sosok Jexon muncul, Paula langsung menghentikan langkahnya.“Ah, akhirnya datang juga,” gumamnya pelan sebelum mendekati Jexon.Jexon tersenyum tipis. “Kamu latihan pagi-pagi begini?”Paula mengangguk sambil tersenyum cerah. Ia berlari kecil ke sudut ruangan, mengambil termos stainless yang sudah ia siapkan.“Saya buat air rebusan bunga chamomile untuk Bapak,” katanya sambil menyerahkan termos itu dengan kedua tangan.Jexon menatap termos itu sejenak, lalu mengangkat alis. “Untuk saya?”“Hm.” Paula mengangguk yakin. “Supaya Bapak bisa tidur nyenyak. Saya khawatir soal semalam.”Jexon menghela napas ringan, lalu tersenyum lembut. “Terima kasih. Kamu selalu
last updateLast Updated : 2024-12-15
Read more

32. Jembatan Kehancuran

📍SekolahSaat pelajaran olahraga, Rean memandang baju olahraganya yang penuh dengan noda lumpur. Tangannya gemetar saat memegangnya, matanya suram memantulkan rasa kecewa yang mendalam. Dari kejauhan, Dk berjalan mendekat, alisnya terangkat ketika melihat Rean.“Apa yang terjadi?” tanya Dk, suaranya tajam penuh perhatian.Rean mengangkat bahunya lemah, menghela napas sebelum menjawab. “Aku gak tahu… Tadi bajuku bersih, sekarang lihatlah.” Ia memperlihatkan noda lumpur yang menyelimuti kausnya. “Entah siapa yang melakukan ini.”Dk memicingkan mata, memperhatikan wajah Rean yang terlihat tertekan. “Siapa pun yang melakukannya, mereka keterlaluan,” gumamnya.Tatapan Dk menyisir sekeliling lapangan. Di sudut jauh, dua anak tertawa cekikikan sambil sesekali melirik ke arah Rean. Dk mengepalkan tangan.Mendadak ia bergerak cepat menuju kedua anak itu. Tanpa peringatan, Dk menyiram mereka dengan botol minum yang dibawanya.“Heh! Apa-apaan kamu?!” seru salah satu dari mereka, terkejut sambil
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

33. Pertemuan Kedua Kalinya

📍Wang’s House-Ruangan Kerja Jexon-Jexon duduk di balik meja kerjanya, dikelilingi tumpukan berkas yang belum tersentuh. Lampu meja menyinari wajahnya yang terlihat lelah, namun matanya tetap fokus menatap layar laptop. Tangannya dengan gesit mengetik, sementara pikirannya terus berputar, memikirkan strategi baru untuk mengembangkan para talent di bawah perusahaan milik ayahnya, Nicholas Wang.Sampai tiba-tiba, setetes darah jatuh ke atas dokumen yang sedang ia baca. Ia tertegun, lalu menyentuh hidungnya. Cairan merah itu kembali mengalir. Dengan cepat, Jexon meraih tisu dan menekan hidungnya untuk menghentikan pendarahan.Dia berdiri, menghela napas panjang sambil melirik jam di dinding. Sudah lewat tengah malam. Pikirannya mendesaknya untuk menyelesaikan pekerjaannya, tetapi tubuhnya mulai memberikan tanda-tanda kelelahan. Perlahan, ia melangkah keluar dari ruang kerjanya, berniat mencari udara segar.Di saat yang bersamaan, Elisabeth muncul dari arah tangga. Rambutnya yang sedik
last updateLast Updated : 2024-12-17
Read more

34. Sujud Untuk Permintaanku

📍Rumah SakitCeline mendadak menghentikan langkahnya saat melihat sosok itu. “P-Paula… k-kamu di sini?” tanyanya dengan nada panik, seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah. Matanya berusaha menghindari tatapan Paula, tapi tubuhnya tak bisa berpindah.Paula berdiri terpaku sejenak. “O-oh… k-kamu juga di sini, Celine,” jawabnya, suara terdengar goyah, meskipun ia mencoba terlihat tenang. Namun, sorot matanya berbicara lain—kecurigaan bercampur kebingungan.Sementara itu, Andreas yang semula berdiri di hadapan Paula, beranjak pergi. Tanpa sepatah kata, ia berjalan keluar dengan langkah tergesa-gesa. Celine, tanpa pikir panjang, langsung mengekor di belakangnya. Mereka pergi begitu saja, meninggalkan Paula yang terdiam di tempat.Tatapan Paula terpaku pada punggung Andreas yang menjauh. Namun, seketika ia menyadari sesuatu—bekas darah di pergelangan tangan Andreas, jelas terlihat. Pandangannya melekat pada luka kecil di mana infusnya dipaksa lepas. Dadanya bergemuruh.Saat Paul
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

35. Serena Lauw

Setahun yang lalu.📍 Shangri-La, Hotel-Di Dalam Kamar-Suasana di dalam kamar hotel itu terasa begitu tegang. Udara seolah-olah berat untuk dihirup, menciptakan atmosfer serius yang memenuhi ruangan. Nicholas duduk di kursi dengan punggung tegak, pandangannya tajam menatap Paula yang duduk di hadapannya.Ia menghela napas panjang sebelum menoleh ke Albert yang berdiri tak jauh darinya. “Albert, tinggalkan kami berdua,” perintahnya tegas.Albert, yang mengenakan setelan rapi, langsung menunduk dengan hormat. “Baik, Pak Presedir.” Tanpa banyak kata, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar, membiarkan suasana sunyi kembali mengambil alih ruangan.Setelah pintu tertutup, Nicholas memusatkan perhatian sepenuhnya pada Paula. Ia tampak mencoba membaca ekspresi wanita di depannya.“Bagaimana kabarmu, Paula?” tanyanya akhirnya, suaranya dalam namun terdengar hati-hati.Paula menatapnya, matanya suram seperti menyimpan beban berat yang tak bisa ia ungkapkan sepenuhnya. “Berat,” jawabny
last updateLast Updated : 2024-12-19
Read more

36. Gelang Merah

📍Berlin, Jerman-Taman Apartemen-Serena baru saja melangkahkan kakinya keluar dari apartemen. Hari ini dia selesai belajar bersama seorang teman di sana. Langkahnya ringan, hampir seperti tarian kecil di atas paving taman. Wajahnya polos, tanpa make-up, tapi kecantikan naturalnya sulit disangkal.Di sisi taman, Abex berdiri bersedekap, mengamati Jexon yang duduk diam di bangku kayu dengan wajah suram.“Kan udah gue bilang,” suara Abex memecah keheningan. Ia berdiri berkacak pinggang, tatapannya penuh penekanan. “Jangan respon cewek terlalu baik!”Jexon mendongak, alisnya bertaut menahan frustrasi. “Maksud lo? Gue harus maki-maki mereka gitu?” tanyanya ketus.“Bukan maki!” Abex mendesah panjang, seperti berbicara dengan anak kecil. “Tapi secukupnya aja. Kalau mau main sama cewek, gak usah kasih perhatian lebih, apalagi pakai word of affirmation segala.”“Ck!” Jexon menggerutu, menyandarkan tubuhnya ke bangku. “Lo ini mau bantu gue apa malah ceramahin, sih?”“Dua-duanya!” Abex menunj
last updateLast Updated : 2024-12-20
Read more

37. Obsesi

📍ApartemenSore itu, Serena kembali bertemu dengan Jexon di taman apartemen. Langkahnya pelan, namun sorot matanya langsung menangkap sosok pria itu yang tengah duduk santai di bangku kayu, memandangi burung-burung kecil yang beterbangan di atas pohon.“Gege sendirian? Abex gege mana?” Serena bertanya sambil berdiri di dekatnya.Jexon menoleh, senyum kecil terulas di wajahnya. “Dia masih ada kuliah.”Serena mengangguk pelan, memahami jawaban itu. Namun, ia mendapati pandangan Jexon tertuju ke pergelangan tangannya yang kosong. Sorot mata pria itu berubah serius.“Lo… gak suka gelang yang gue kasih?” tanyanya tanpa basa-basi.Serena tersentak, buru-buru menyembunyikan pergelangan tangannya di balik punggung. “S-suka kok,” ujarnya, suaranya terdengar gugup.“Kalau suka, kenapa gak dipakai?” desak Jexon, suaranya terdengar tenang tapi menekan.Serena mencoba tersenyum, meski canggung. “Eung… gpp, kan? Aku pikir, karena itu hadiah, aku harus menyimpannya.”Jexon mengernyitkan dahi, tida
last updateLast Updated : 2024-12-21
Read more

38. Obsesi - 02

📍Teater OperaTeater itu dipenuhi gemuruh suara pemain opera yang sedang latihan. Sorotan lampu panggung membuat Serena terlihat menonjol di antara semua orang. Namun, di sudut ruangan, Clara duduk dengan raut wajah gelisah, berbicara kepada Abex yang hanya mendengarkan tanpa banyak kata.“Akhir-akhir ini Serena jadi pendiam. Aku nggak ngerti kenapa. Dia juga sering ribut sama Andreas di rumah,” kata Clara, suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Jemarinya sibuk melipat-lipat tisu di tangan.Abex mengangguk kecil, masih diam. Pandangannya tertuju pada panggung, tetapi telinganya mendengarkan curahan hati Clara.“Aku nggak tahu sejak kapan dia berubah. Serena biasanya ceria, selalu punya cerita,” lanjut Clara, kali ini lebih emosional.Abex akhirnya bersuara, nada suaranya pelan namun tegas. “Manusia kan nggak mungkin sama terus. Ada kalanya mereka berubah.”Clara mendesah panjang. “Tapi ini beda, Abex. Aku bener-bener khawatir. Dia berubah terlalu jauh.”Percakapan itu terganggu oleh
last updateLast Updated : 2024-12-22
Read more

39. Rasa Sakit Itu

📍House-Di Dalam Kamar Mandi-Serena duduk dilantai kamar mandi punggungnya bersandar pada dinding dingin yang tak memberikan rasa nyaman. Di tangannya, sebuah test pack yang baru saja menunjukkan hasil positif. Garis-garis merah itu begitu jelas, begitu nyata, dan Jexon menghancurkan segalanya dalam sekejap.Air matanya mulai mengalir, pelan pada awalnya, tapi segera berubah menjadi tangisan tanpa suara. Ia menutupi mulutnya dengan tangan gemetar, berusaha menahan isakannya agar tak terdengar ke luar kamar mandi. Hatinya terasa berat, seolah beban yang tak tertahankan menghimpit dadanya.“Kenapa hal ini harus terjadi padaku?” pikirnya, dengan ribuan emosi yang berkecamuk. Ia terlalu muda—baru 17 tahun. Sekolahnya belum selesai. Karirnya yang baru saja mulai dirintis sebagai model remaja masih jauh dari puncaknya.Serena meletakkan test pack itu di lantai dengan gerakan lemah, lalu memeluk kedua lututnya. Kepalanya tertunduk dalam, sementara pikiran-pikiran buruk mulai menguasainya.
last updateLast Updated : 2024-12-23
Read more
PREV
1234567
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status