📍Rumah SakitCeline mendadak menghentikan langkahnya saat melihat sosok itu. “P-Paula… k-kamu di sini?” tanyanya dengan nada panik, seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah. Matanya berusaha menghindari tatapan Paula, tapi tubuhnya tak bisa berpindah.Paula berdiri terpaku sejenak. “O-oh… k-kamu juga di sini, Celine,” jawabnya, suara terdengar goyah, meskipun ia mencoba terlihat tenang. Namun, sorot matanya berbicara lain—kecurigaan bercampur kebingungan.Sementara itu, Andreas yang semula berdiri di hadapan Paula, beranjak pergi. Tanpa sepatah kata, ia berjalan keluar dengan langkah tergesa-gesa. Celine, tanpa pikir panjang, langsung mengekor di belakangnya. Mereka pergi begitu saja, meninggalkan Paula yang terdiam di tempat.Tatapan Paula terpaku pada punggung Andreas yang menjauh. Namun, seketika ia menyadari sesuatu—bekas darah di pergelangan tangan Andreas, jelas terlihat. Pandangannya melekat pada luka kecil di mana infusnya dipaksa lepas. Dadanya bergemuruh.Saat Paul
Setahun yang lalu.📍 Shangri-La, Hotel-Di Dalam Kamar-Suasana di dalam kamar hotel itu terasa begitu tegang. Udara seolah-olah berat untuk dihirup, menciptakan atmosfer serius yang memenuhi ruangan. Nicholas duduk di kursi dengan punggung tegak, pandangannya tajam menatap Paula yang duduk di hadapannya.Ia menghela napas panjang sebelum menoleh ke Albert yang berdiri tak jauh darinya. “Albert, tinggalkan kami berdua,” perintahnya tegas.Albert, yang mengenakan setelan rapi, langsung menunduk dengan hormat. “Baik, Pak Presedir.” Tanpa banyak kata, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar, membiarkan suasana sunyi kembali mengambil alih ruangan.Setelah pintu tertutup, Nicholas memusatkan perhatian sepenuhnya pada Paula. Ia tampak mencoba membaca ekspresi wanita di depannya.“Bagaimana kabarmu, Paula?” tanyanya akhirnya, suaranya dalam namun terdengar hati-hati.Paula menatapnya, matanya suram seperti menyimpan beban berat yang tak bisa ia ungkapkan sepenuhnya. “Berat,” jawabny
📍Berlin, Jerman-Taman Apartemen-Serena baru saja melangkahkan kakinya keluar dari apartemen. Hari ini dia selesai belajar bersama seorang teman di sana. Langkahnya ringan, hampir seperti tarian kecil di atas paving taman. Wajahnya polos, tanpa make-up, tapi kecantikan naturalnya sulit disangkal.Di sisi taman, Abex berdiri bersedekap, mengamati Jexon yang duduk diam di bangku kayu dengan wajah suram.“Kan udah gue bilang,” suara Abex memecah keheningan. Ia berdiri berkacak pinggang, tatapannya penuh penekanan. “Jangan respon cewek terlalu baik!”Jexon mendongak, alisnya bertaut menahan frustrasi. “Maksud lo? Gue harus maki-maki mereka gitu?” tanyanya ketus.“Bukan maki!” Abex mendesah panjang, seperti berbicara dengan anak kecil. “Tapi secukupnya aja. Kalau mau main sama cewek, gak usah kasih perhatian lebih, apalagi pakai word of affirmation segala.”“Ck!” Jexon menggerutu, menyandarkan tubuhnya ke bangku. “Lo ini mau bantu gue apa malah ceramahin, sih?”“Dua-duanya!” Abex menunj
📍ApartemenSore itu, Serena kembali bertemu dengan Jexon di taman apartemen. Langkahnya pelan, namun sorot matanya langsung menangkap sosok pria itu yang tengah duduk santai di bangku kayu, memandangi burung-burung kecil yang beterbangan di atas pohon.“Gege sendirian? Abex gege mana?” Serena bertanya sambil berdiri di dekatnya.Jexon menoleh, senyum kecil terulas di wajahnya. “Dia masih ada kuliah.”Serena mengangguk pelan, memahami jawaban itu. Namun, ia mendapati pandangan Jexon tertuju ke pergelangan tangannya yang kosong. Sorot mata pria itu berubah serius.“Lo… gak suka gelang yang gue kasih?” tanyanya tanpa basa-basi.Serena tersentak, buru-buru menyembunyikan pergelangan tangannya di balik punggung. “S-suka kok,” ujarnya, suaranya terdengar gugup.“Kalau suka, kenapa gak dipakai?” desak Jexon, suaranya terdengar tenang tapi menekan.Serena mencoba tersenyum, meski canggung. “Eung… gpp, kan? Aku pikir, karena itu hadiah, aku harus menyimpannya.”Jexon mengernyitkan dahi, tida
📍Teater OperaTeater itu dipenuhi gemuruh suara pemain opera yang sedang latihan. Sorotan lampu panggung membuat Serena terlihat menonjol di antara semua orang. Namun, di sudut ruangan, Clara duduk dengan raut wajah gelisah, berbicara kepada Abex yang hanya mendengarkan tanpa banyak kata.“Akhir-akhir ini Serena jadi pendiam. Aku nggak ngerti kenapa. Dia juga sering ribut sama Andreas di rumah,” kata Clara, suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Jemarinya sibuk melipat-lipat tisu di tangan.Abex mengangguk kecil, masih diam. Pandangannya tertuju pada panggung, tetapi telinganya mendengarkan curahan hati Clara.“Aku nggak tahu sejak kapan dia berubah. Serena biasanya ceria, selalu punya cerita,” lanjut Clara, kali ini lebih emosional.Abex akhirnya bersuara, nada suaranya pelan namun tegas. “Manusia kan nggak mungkin sama terus. Ada kalanya mereka berubah.”Clara mendesah panjang. “Tapi ini beda, Abex. Aku bener-bener khawatir. Dia berubah terlalu jauh.”Percakapan itu terganggu oleh
📍House-Di Dalam Kamar Mandi-Serena duduk dilantai kamar mandi punggungnya bersandar pada dinding dingin yang tak memberikan rasa nyaman. Di tangannya, sebuah test pack yang baru saja menunjukkan hasil positif. Garis-garis merah itu begitu jelas, begitu nyata, dan Jexon menghancurkan segalanya dalam sekejap.Air matanya mulai mengalir, pelan pada awalnya, tapi segera berubah menjadi tangisan tanpa suara. Ia menutupi mulutnya dengan tangan gemetar, berusaha menahan isakannya agar tak terdengar ke luar kamar mandi. Hatinya terasa berat, seolah beban yang tak tertahankan menghimpit dadanya.“Kenapa hal ini harus terjadi padaku?” pikirnya, dengan ribuan emosi yang berkecamuk. Ia terlalu muda—baru 17 tahun. Sekolahnya belum selesai. Karirnya yang baru saja mulai dirintis sebagai model remaja masih jauh dari puncaknya.Serena meletakkan test pack itu di lantai dengan gerakan lemah, lalu memeluk kedua lututnya. Kepalanya tertunduk dalam, sementara pikiran-pikiran buruk mulai menguasainya.
Seminggu berlalu dalam ketegangan yang terus memuncak. Jexon tidak pernah berhenti meyakinkan Serena untuk mempertahankan bayi yang tumbuh di dalam rahimnya. Ia berbicara dengan penuh keyakinan, terkadang dengan suara yang nyaris putus asa, tetapi selalu disertai tekad.“Serena, ini bukan hanya tentang kita,” ujar Jexon pada suatu malam, kedua tangannya mencengkeram pundak Serena dengan lembut, namun tegas. “Ini tentang kehidupan yang sedang lo bawa. Dia pantas mendapatkan kesempatan.”Serena hanya mengalihkan pandangan, menatap keluar jendela apartemen Jexon. “Jexon gege, kamu tahu ini tidak mudah bagiku. Andreas… Clara… semuanya akan hancur jika mereka tahu.” Suaranya bergetar, dan air mata mulai menggenang di sudut matanya.Jexon menarik napas panjang, berusaha menahan gejolak emosinya. “Gue tahu. Tapi gue berjanji, Serena. Gue akan ada untuk lo. Kita akan melalui ini bersama.”Akhirnya, Serena menyerah. Ia tidak lagi memiliki kekuatan untuk melawan keyakinan Jexon yang tak tergoya
📍Hotel-Kamar Hotel-Serena terbaring lemas di atas ranjang. Tangannya yang mungil hampir tak bergerak, hanya infus yang menusuk pergelangan tangannya menjadi pengingat bahwa ia masih bernapas. Tubuhnya terasa kosong, seperti direnggut sesuatu yang seharusnya menjadi bagian dari dirinya.Dia terus menangis, air mata mengalir tanpa henti. Kepedihan menggerogoti dirinya, tetapi Serena terlalu lemah untuk melawan. Dokter dan seorang suster berdiri di sudut ruangan, berbicara dengan suara rendah, nyaris berbisik. Mereka tak memedulikannya—hanya sekadar memastikan pekerjaan mereka selesai.Di sisi lain ruangan, Hera berdiri dengan sikap dingin, tatapannya tertuju pada gumpalan darah yang berada di nampan logam di meja kecil. Wajahnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja terjadi adalah prosedur biasa, bukan tragedi.“Sudah bersih?” tanya Hera tanpa menoleh, suaranya tajam seperti sembilu.Dokter itu mengangguk. “Tidak ada sisa. Prosedurnya berjalan lancar.”Hera menghela napas pendek, la
Pikiran itu berputar liar, tak mau berhenti, seperti badai yang tak kunjung reda. Bayangan kecelakaan-kecelakaan akhir-akhir ini menghantui Jexon, mengisi setiap sudut ruang kosong dalam kepalanya. Ia mencoba merasionalisasi, tapi semakin keras ia berpikir, semakin banyak pertanyaan tanpa jawaban yang muncul.Jexon menatap kosong ke tumpukan dokumen di mejanya, di ruangan kerja yang luas dan sunyi itu. Udara di sekeliling terasa berat, terlalu penuh dengan pikiran yang menggantung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun pikirannya segera kembali ke sosok Andreas—seseorang yang baru ini mulai masuk dalam kecurigaannya.“Dalang dari semua ini,” gumam Jexon pelan, nada suaranya rendah dan penuh tekanan. Andreas Liu. Nama itu terus berulang di benaknya, menghantui seperti bayangan gelap yang tak mau pergi.Dengan gerakan cepat, Jexon meraih ponselnya di meja. Jari-jarinya menekan layar, mencari nama kontak yang ia butuhkan. Seketika, ia menghubungi Ar
📍Rumah Sakit Kamar rumah sakit itu terasa hangat, meski aroma antiseptik yang khas masih terasa di udara. Rean terbaring di ranjang dengan infus yang terpasang di tangannya. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, tapi senyumnya tak pernah pudar saat melihat Paula masuk membawa sekotak buah dan bunga mawar putih di tangannya. “Rean, gimana kabarnya?” tanya Paula sambil mendekat ke sisi ranjang. Suaranya lembut, penuh perhatian. “Lebih baik, auntie Paula. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang,” jawab Rean, meski suaranya terdengar sedikit lemah. Di sudut ruangan, Dk, terlihat duduk menemani Rean sahabatnya di kamar pasien itu. “Auntie!” panggil Dk beranjak mendekati Paula. Paula tersenyum. “Hai, Dk. Maaf ya, kalau auntie baru sempat jenguk sahabat kamu.” Sambil mengusap kepala bocah itu. Dk mengangguk dengan semangat. “Iya, gpp auntie. Kami berdua, cuma lihat berita ditelevisi.” Paula mengerutkan kening, merasa penasaran. “Oh ya? Apa yang kamu lihat?” “Tent
Berita Eksklusif: Kencan Paula dan Jexon!Hari ini, dunia hiburan digemparkan dengan kabar hangat seputar hubungan romantis antara Paula, model terkenal dari agensi J&T Entertainment, dan Jexon, CEO agensi tersebut. Foto-foto yang diambil secara diam-diam oleh paparazi menunjukkan keduanya berpelukan di rumah sakit, menciptakan spekulasi besar di media.📍J&T Entertainment -Ruang Presdir-“Ini foto yang beredar semalam?” tanya Nicholas, presiden direktur J&T Entertainment, sambil menyelipkan senyum tipis. Matanya menatap tajam pada sebuah foto di tangannya.Albert, asistennya, mengangguk mantap. “Iya, Pak Presdir. Ini diambil oleh seorang wartawan.”Nicholas menghela napas lega, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit di balik meja kerjanya. “Kalau begini, sepertinya mereka sudah menyelesaikan masalah mereka.” Ucapannya terdengar ringan, namun jelas menyiratkan kebahagiaan.****Sebaliknya, suasana di rumah keluarga Wang penuh dengan ketegangan. Elisabeth, ibu Jexon, menatap layar tel
Celine tersentak, tersadar dari lamunannya. Dia melihat punggung Andreas yang semakin jauh di ujung koridor hotel. Dengan tergesa-gesa, dia mengejarnya. Langkah kakinya terdengar berdebum pelan di atas karpet tebal.“Andreas!” serunya, suaranya gemetar.Andreas tetap berjalan tanpa menoleh, namun tubuhnya menegang saat Celine menggenggam pergelangan tangannya. Ia berhenti, tapi tidak langsung berbalik.“Kamu mau ke mana?” tanya Celine, suaranya memohon, hampir putus asa. Matanya yang berkaca-kaca menatap punggung pria itu.Andreas menarik napas panjang sebelum akhirnya berbalik. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti pisau. “Mau balik. Saya harus temui Abex dan mencari Serena,” jawabnya dengan nada rendah tapi tegas, seolah tidak ingin ada diskusi lebih lanjut.“J-jangan pergi,” pinta Celine sambil menggenggam tangannya lebih erat. “T-tidak ada yang menemaniku di sini.”Andreas mendengus, tawa pendek yang lebih terdengar seperti ejekan. Dia menatap Celine dengan tatapan sinis. “Tidak
📍J&T Entertainment-Ruangan Presiden Direktur-Elisabeth membuka pintu ruangan dengan gerakan cepat, langkahnya penuh tekad saat memasuki ruang kerja suaminya. Suara hak sepatu yang menghantam lantai terdengar nyaring, mengisi keheningan di ruangan itu. Matanya tajam, seperti ingin menembus setiap rahasia yang tersembunyi di balik wajah tenang Nicholas.Nicholas mendongak dari berkas-berkas di mejanya, lalu bersandar santai di kursi, menatap istrinya dengan sikap tenang. “Ada apa, Elisabeth?” tanyanya dengan suara datar, meski sorot matanya meneliti ekspresi di wajah wanita itu.Elisabeth berdiri tegak di depan meja, kedua tangannya mengepal, menggenggam emosi yang hampir meledak. “Sudah dua hari aku menunggu kamu mengatakannya sendiri,” ucapnya, suaranya tajam. “Tapi sepertinya kamu tidak berniat untuk mengakuinya, Nicholas.”Nicholas menarik napas dalam-dalam. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri perlahan dari kursinya dan berjalan mendekati Elisabeth. Sorot matanya kini serius, ta
Satu minggu berlalu. Suasana rumah terasa sepi, hanya terdengar suara angin yang sesekali menggesek jendela kayu. Clara duduk di sofa kecil yang mulai memudar warnanya, tubuhnya tenggelam dalam keheningan. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah mencoba mencari sesuatu yang hilang di dalam pikirannya. Langkah-langkah ringan terdengar dari belakang, dan suara Andreas memecah keheningan. “Ce,” panggil Andreas dengan nada ceria. Clara mengangkat wajahnya perlahan, matanya lelah. “Ada apa, Andreas?” tanyanya singkat, tanpa banyak ekspresi. Andreas tersenyum lebar, wajahnya polos dan penuh semangat seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. “Aku berhasil menemukan alamat rumah Jexon,” katanya antusias. “Aku akan ke sana. Aku harus bicara dengannya!” Kata-kata Andreas seperti pisau yang menusuk hati Clara. Ia mencoba mempertahankan senyumnya, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Andreas tampak begitu bersemangat, namun kabar tentang Jexon justru membuat Clara semakin
Flashback OnMalam itu, udara dingin menyelimuti kota kecil di China. Clara duduk di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang mereka sewa sementara. Perutnya yang besar tampak jelas di balik sweater tebal yang ia kenakan. Andreas berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata khawatir yang sulit disembunyikan.“Ce, aku mohon… jangan terlalu memaksakan diri. Kamu harus istirahat.” Andreas berjalan mendekat, suaranya lirih namun penuh tekanan, tangannya terulur seolah ingin menenangkan wanita di hadapannya.Clara mendongak, tatapannya tajam meskipun terlihat lelah. “Aku tidak bisa, Andreas. Kita sudah sampai sejauh ini. Aku akan menemui Jexon dan mengatakan kepadanya, kalau aku sudah menjaga kandungan ini.”Andreas menghela napas panjang, menatap wanita yang kini begitu bertekad. “Tapi cece tidak bisa terus begini, ce. Apa cece pikir Jexon akan langsung berubah hanya karena cece memberitahunya soal anak ini?”“Pasti,” Clara memotong, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. “Di
Deringan telepon memecah keheningan dalam kamar mewah yang diterangi cahaya senja dari balik tirai tipis. Andreas mengerjapkan matanya perlahan, mengangkat kepala dari bantal empuk, sementara tangannya yang lain tetap menjadi sandaran untuk kepala Celine. Rambut panjang wanita itu menyebar di atas dadanya, dan tubuh mereka hanya terbungkus selimut putih tebal.Dia meraba-raba meja nakas tanpa banyak gerakan, khawatir membangunkan wanita di sampingnya. Setelah menemukan ponselnya, ia menggeser layar dengan satu gerakan malas.“In calling.”“Hm?” sahut Andreas singkat, suaranya berat, masih diselimuti kantuk.Suara seorang pria terdengar di ujung telepon, tenang tetapi penuh tekanan. “Lampu itu sudah saya kendorkan. Itu jatuh tepat di kepala Paula. Tapi… seseorang mendorongnya. Dia selamat, dan kecelakaan malah menimpa orang lain.”Andreas memijat keningnya, mendengar detail tersebut dengan mata yang kini terbuka lebar. “Tidak masalah,” jawabnya dingin. “Ini lebih dari cukup untuk memb
📍J&T EntertainmentLangkahnya terhenti tepat di depan Paula. Wanita muda itu juga berhenti, pandangan mereka bertemu untuk sesaat sebelum Paula mengalihkan wajahnya ke arah lain.“Jexon, ayo!” Valentine memanggilnya dari kejauhan, suaranya tajam seperti pisau yang memotong udara.“Duluan aja.” Jexon menjawab tanpa menoleh. Nadanya datar, seolah tak ingin diganggu.Valentine menghela napas, wajahnya mulai memerah karena kesal. Tatapannya tajam menyorot Paula, yang tanpa sepatah kata memilih berjalan menjauh ke arah kanan. Namun, Jexon tak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari kecil, dia mengejar Paula.“Paula,” panggilnya seraya meraih pergelangan tangan wanita muda itu. Genggamannya kuat, memastikan Paula tak bisa melangkah lebih jauh.Paula menghentikan langkahnya, tetapi tidak berbalik. Tatapannya tetap lurus ke depan, menghindari Jexon.“Saya mau bicara sama kamu. Ini penting,” ujar Jexon tegas, nada suaranya lebih serius dari biasanya.Per