All Chapters of Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama : Chapter 11 - Chapter 20

60 Chapters

Bab 11. Kembali Pulang

“Aku bisa sendiri, Mas,” kataku saat Mas Denis turun lebih dulu dari mobil hanya untuk membukakan pintu mobil untukku. “Mas tahu,” jawabnya, tetapi dia tetap membantuku hingga keluar dari mobil. Setelah kantong infus yang pagi tadi dipasang ke tubuhku habis, akhirnya aku sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Aku tidak menyangka akan kembali pulang ke rumah Mas Denis secepat ini. Bahkan dalam kondisi berbadan dua. “Kamu langsung istirahat, ya? Kalau butuh apa-apa bilang ke Mak Ijah aja. Mas mau ke rumah bapak/Ibu buat ambil barang-barang kamu,” titah Mas Denis. “Kenapa tadi gak mampir sekalian aja, sih, Mas? Jadinya kamu gak perlu bolak-balik kayak gini.” “Gak apa. Mas sengaja biar kita cepat sampai rumah, dan kamu bisa langsung istirahat, Dik.” “Aku dari tadi gak ngapa-ngapain, Mas. Jangan perlakukan aku kayak orang penyakitan. Aku cuma hamil, bukan lagi sakit seri
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more

Bab 12. Keinginan Punya Anak

“Sebenarnya Mama sudah gak respect lagi sama kamu, Dila. Cuma karena kamu justru sudah mengandung darah dagingnya Denis, Mama akan berusaha buat tetap bersikap baik sama kamu. Asal kamu ingat, jangan berbuat ulah seperti kemarin! Pakai sok-sokan mau gugat cerai Denis segala. Emangnya kamu siapa?” Aku yang buru-buru keluar kamar karena mengira yang datang adalah Mas Denis, harus menelan kekecewaan karena ternyata yang muncul adalah mamanya. Apalagi begitu melihatku, beliau langsung mencercaku dengan omelan panjangnya. Aku bisa maklum dengan rasa kecewanya. Aku pun tidak mengelak dan mengiyakan permintaannya. Karena sesungguhnya aku pun tidak berharap ada masalah lagi dalam rumah tanggaku dengan Mas Denis. “Iya, Ma. Maafin Dila, ya, Ma.” “Hm.” Mamanya Mas Denis hanya bergumam singkat. Beruntung tidak lama setelah itu Mas Denis datang. Kecanggungan yang tercipta diantara aku dan mamanya
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more

Bab 13. Tinggal Bersama Mertua

“Mentang-mentang lagi hamil, manja banget gak mau ngerjain kerjaan rumah. Padahal pekerjaan rumah gini kan pekerjaan ringan biar sekalian olahraga,” ujar Mamanya Mas Denis di dapur saat bersama Mak Ijah. Mungkin Mama tidak tahu jika aku agak jauh ada di belakangnya. Aku memang sudah berniat membantu pekerjaan rumah sejak tadi. Hanya saja, Mas Denis terus saja menghalangi aku karena menginginkan Mak Ijah saja yang menyelesaikannya sendiri. Mas Denis begitu protektif hingga tidak membiarkan aku beraktivitas seperti biasa. “Mas Denis, Bu, yang gak bolehin Mbak Dila ngerjain pekerjaan rumah selama hamil. Makanya, kan, Mak dipanggil ke sini buat bantu-bantu,” bela Mak Ijah kepadaku. “Halah, pada dasarnya perempuannya aja yang malas. Manja. Dia bisa bilang ke Denis, kan, kalau dia butuh kegiatan buat olahraga ringan seperti bantu-bantu pekerjaan rumah?” sahut Mamanya Mas Denis lagi.Aku yang tidak tahan dibicar
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more

Bab 14. Serba Salah

“Aku gak apa-apa, Mas.”“Beneran gak apa-apa?” “Iya,” balasku dengan memaksakan tersenyum.“Kalau ada apa-apa, telepon Mas, ya?” Aku mengangguk saja. Aku memang tidak ada niat untuk mengadukan mamanya kepada Mas Denis. Aku lebih bertekad untuk berusaha mengambil hatinya seperti dulu. Itu pasti akan lebih baik jika aku berhasil melakukannya. “Ma, Denis titip Dila, ya? Kalau ada apa-apa, Mama bisa telepon Denis.” “Iya, tenang aja. Yang penting kamu kerja yang fokus. Di rumah ada Mama dan Mak Ijah yang jagain Dila. ” Mas Denis mengangguk kemudian menjabat tangan kami bergantian. Baru setelahnya benar-benar berangkat bekerja. Aku menatap kepergiannya hingga kendaraan yang dibawa Mas Denis tidak lagi terlihat. “Awas, ya, kalau kamu berani ngadu yang gak-gak sama Denis!” ancam ibu mertuaku lagi. “Gak, Ma. Memangny
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more

Bab 15. Rencana Mas Denis

“Ka-kamu di situ dari kapan, Mas?” tanyaku sedikit terbata.“Kenapa? Kamu mau tahu aku dengar percakapan kalian sejauh mana?” tandasnya. Kepalaku tertunduk, begitu juga dengan Mak Ijah. Mendengar nada bicaranya, sepertinya Mas Denis mendengar sejak awal saat aku dan Mak Ijah membicarakan mamanya. “Kenapa sekarang kalian diam saja? Mau Mak Ijah atau kamu, Dik, yang menjelaskan.” “Jangan bawa-bawa Mak Ijah, Mas. Mak Ijah gak salah,” cegahku panik. “Emangnya aku tadi ada bilang kamu atau Mak Ijah bersalah?” Aku menggeleng pelan. Mas Denis memang tidak mengatakan kami sedang melakukan kesalahan. Akan tetapi nada bicara tegasnya membuatku takut dimarahi. Bukan cuma aku, tetapi jauh lebih takut jika Mak Ijah ikut dimarahi. “Jadi, siapa yang mau cerita?” tuntutnya lagi. “Aku harus cerita apa, Mas. Mas Denis sudah dengar sendiri, kan?
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more

Bab 16. Ke Kantor Mas Denis

“Mama mau pulang aja pagi ini. Bareng kalian berangkat ke kantor,” ujar mamanya Mas Denis saat kami tengah sarapan di keesokan harinya. Mas Denis sungguhan mengajakku ke kantornya hari ini. Aku pun sudah bersiap dengan pakaian semi formal untuk mengimbangi penampilan Mas Denis yang necis. “Kok udah mau pulang, Ma?” tanya singkat Mas Denis. “Ya Mama mau ngapain lama-lama di rumah kamu, kalau gak ada orangnya di rumah?” Aku tahu maksudnya adalah menyinggung aku yang justru diajak pergi dari rumah oleh Mas Denis untuk ikut bekerja. “Ya udah. Nanti kalau Mama mau ke sini lagi, kabari Denis aja, biar Denis yang antar jemput.” Mama hanya melengos dan melanjutkan makan tanpa membalas ucapan Mas Denis. Mas Denis juga tidak terlihat tersinggung, justru masih bersikap santai saja seperti tiada masalah. Aku yang tidak tahu harus berpendapat apa, akhirnya memilih untuk diam sa
last updateLast Updated : 2024-11-29
Read more

Bab 17. Sebuah Foto

Syok, takut, panik campur aduk jadi satu. Aku merasa begitu ceroboh dan sudah melakukan kesalahan besar. Apalagi melihat garis wajah Mas Denis yang juga tidak kalah terkejut. “M-maaf, Mas,” ulangku pada Mas Denis sambil berusaha merapikan pecahan pigura yang jatuh. Namun, sebelum tanganku sampai memegang ke arah serpihan bingkai foto itu, Mas Denis lebih dulu mencegahnya. “Sudah, biar OB yang bereskan. Bahaya ada serpihan kacanya,” kata Mas Denis. Dia hanya mengambil kertas foto yang masih dalam keadaan terbalik tanpa memperlihatkan gambarnya. Kemudian memanggil Office Boy melalui panggilan telepon kantornya. Setelah itu, kami terjebak dalam keterdiaman yang cukup lama. Aku sibuk dengan pikiranku, sedangkan dia menyimpan foto tadi ke lacinya kemudian melanjutkan pekerjaan. Aku masih saja merutuki kecerobohanku hingga pegawai Office Boy yang dipanggil Mas Denis sele
last updateLast Updated : 2024-11-29
Read more

Bab 18. Pindah Tidur

“Mas, a-aku.…” “Itu fotonya Indah. Maaf aku masih menyimpannya di meja kerjaku. Aku lupa,” terang Mas Denis menjelaskan tanpa kuminta. Aku akhirnya mengurungkan niat mengambil foto tersebut. Aku justru menggumamkan maaf kembali, karena aku yakin foto itu pasti berharga bagi Mas Denis. “Maaf aku merusak bingkainya, Mas. Aku sungguh tidak sengaja tadi.” “Aku tau, dan gak perlu minta maaf.”Aku masih merasa tidak enak hati meskipun Mas Denis bilang tidak apa-apa. Semua hal yang berkaitan dengan mendiang Mbak Indah pasti memiliki kesan dalam baginya. Dan aku, tidak tahu bagaimana harus menyikapi situasi saat ini. “Sudah nyobain kursi putarku? Atau kamu mau bawa kursi itu ke kamar? Biar aku kerja pakai kursi yang lainnya?” sarkas Mas Denis menghentikan lamunanku. “Eh,” gumamku. “Kamu mau lanjut kerja, ya?” tanyaku dengan bodohnya. 
last updateLast Updated : 2024-11-29
Read more

Bab 19. Kesempatan Bermanja

“Kamu mandi apa tidur lagi, Dik?” tanya Mas Denis dari luar pintu kamar mandi. “Eh, Mas Denis masih di kamar?” teriakku berharap suaraku masih terdengar dari luar. “Iya, masih. Kenapa?” “Mas, aku lupa bawa handuk. Tolong ambilkan, ya?” teriakku lagi. Aku tidak mendengar jawaban apapun, tetapi aku yakin Mas Denis pasti mau menolongku. “Yang model piyama, ya, Mas,” jeritku lagi yang entah didengar olehnya atau tidak. Namun, tidak lama setelah itu, Mas Denis mengetuk pintu kamar mandi dari luar dan aku membukanya sedikit untuk aku gunakan mengulurkan tangan meminta handuk tadi. Sebuah handuk model piyama diberikan di tanganku dan hatiku lega seketika. “Makasih banyak, Mas Denis,” seruku sangat senang. “Cepat keluar, udah kelamaan kamu di kamar mandi, nanti masuk angin,” jawabnya penuh perhatian. “Iya, Mas.” 
last updateLast Updated : 2024-11-29
Read more

Bab 20. Perang Dingin

“Gak!” jawabku tegas. Mas Denis langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyuapiku. Dia juga nampak terkejut, tetapi juga tidak menyahut ucapanku. “Maaf, Mas, tapi ini anakmu denganku. Jadi, tolong gunakan panggilan apa yang aku inginkan, bukan yang diinginkan oleh almarhumah,” imbuhku dengan nada suara lebih rendah. Mas Denis tidak menjawab. Dia juga tidak melanjutkan makannya. Dia justru menyudahi makan malamnya tanpa berpamitan denganku, dan langsung menuju ke kamar. Aku terpaku sendirian. Memikirkan apakah aku sudah melakukan kesalahan fatal karena sudah menolak dengan tegas keinginannya. “Maaf, Mas. Aku bukan Dila yang dulu. Yang akan selalu menurut, meskipun kamu menjadikan aku sebagai istri dalam bayang-bayang Mbak Indah. Kali ini, aku ingin dilihat sebagai Dila seutuhnya. Dan penolakan ini, adalah salah satu usahaku untuk membuatmu tidak selalu membayangiku dengan
last updateLast Updated : 2024-11-29
Read more
PREV
123456
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status