“Mama mau pulang aja pagi ini. Bareng kalian berangkat ke kantor,” ujar mamanya Mas Denis saat kami tengah sarapan di keesokan harinya.
Mas Denis sungguhan mengajakku ke kantornya hari ini. Aku pun sudah bersiap dengan pakaian semi formal untuk mengimbangi penampilan Mas Denis yang necis.“Kok udah mau pulang, Ma?” tanya singkat Mas Denis.“Ya Mama mau ngapain lama-lama di rumah kamu, kalau gak ada orangnya di rumah?”Aku tahu maksudnya adalah menyinggung aku yang justru diajak pergi dari rumah oleh Mas Denis untuk ikut bekerja.“Ya udah. Nanti kalau Mama mau ke sini lagi, kabari Denis aja, biar Denis yang antar jemput.”Mama hanya melengos dan melanjutkan makan tanpa membalas ucapan Mas Denis. Mas Denis juga tidak terlihat tersinggung, justru masih bersikap santai saja seperti tiada masalah. Aku yang tidak tahu harus berpendapat apa, akhirnya memilih untuk diam saSyok, takut, panik campur aduk jadi satu. Aku merasa begitu ceroboh dan sudah melakukan kesalahan besar. Apalagi melihat garis wajah Mas Denis yang juga tidak kalah terkejut. “M-maaf, Mas,” ulangku pada Mas Denis sambil berusaha merapikan pecahan pigura yang jatuh. Namun, sebelum tanganku sampai memegang ke arah serpihan bingkai foto itu, Mas Denis lebih dulu mencegahnya. “Sudah, biar OB yang bereskan. Bahaya ada serpihan kacanya,” kata Mas Denis. Dia hanya mengambil kertas foto yang masih dalam keadaan terbalik tanpa memperlihatkan gambarnya. Kemudian memanggil Office Boy melalui panggilan telepon kantornya. Setelah itu, kami terjebak dalam keterdiaman yang cukup lama. Aku sibuk dengan pikiranku, sedangkan dia menyimpan foto tadi ke lacinya kemudian melanjutkan pekerjaan. Aku masih saja merutuki kecerobohanku hingga pegawai Office Boy yang dipanggil Mas Denis sele
“Mas, a-aku.…” “Itu fotonya Indah. Maaf aku masih menyimpannya di meja kerjaku. Aku lupa,” terang Mas Denis menjelaskan tanpa kuminta. Aku akhirnya mengurungkan niat mengambil foto tersebut. Aku justru menggumamkan maaf kembali, karena aku yakin foto itu pasti berharga bagi Mas Denis. “Maaf aku merusak bingkainya, Mas. Aku sungguh tidak sengaja tadi.” “Aku tau, dan gak perlu minta maaf.”Aku masih merasa tidak enak hati meskipun Mas Denis bilang tidak apa-apa. Semua hal yang berkaitan dengan mendiang Mbak Indah pasti memiliki kesan dalam baginya. Dan aku, tidak tahu bagaimana harus menyikapi situasi saat ini. “Sudah nyobain kursi putarku? Atau kamu mau bawa kursi itu ke kamar? Biar aku kerja pakai kursi yang lainnya?” sarkas Mas Denis menghentikan lamunanku. “Eh,” gumamku. “Kamu mau lanjut kerja, ya?” tanyaku dengan bodohnya.
“Kamu mandi apa tidur lagi, Dik?” tanya Mas Denis dari luar pintu kamar mandi. “Eh, Mas Denis masih di kamar?” teriakku berharap suaraku masih terdengar dari luar. “Iya, masih. Kenapa?” “Mas, aku lupa bawa handuk. Tolong ambilkan, ya?” teriakku lagi. Aku tidak mendengar jawaban apapun, tetapi aku yakin Mas Denis pasti mau menolongku. “Yang model piyama, ya, Mas,” jeritku lagi yang entah didengar olehnya atau tidak. Namun, tidak lama setelah itu, Mas Denis mengetuk pintu kamar mandi dari luar dan aku membukanya sedikit untuk aku gunakan mengulurkan tangan meminta handuk tadi. Sebuah handuk model piyama diberikan di tanganku dan hatiku lega seketika. “Makasih banyak, Mas Denis,” seruku sangat senang. “Cepat keluar, udah kelamaan kamu di kamar mandi, nanti masuk angin,” jawabnya penuh perhatian. “Iya, Mas.”
“Gak!” jawabku tegas. Mas Denis langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyuapiku. Dia juga nampak terkejut, tetapi juga tidak menyahut ucapanku. “Maaf, Mas, tapi ini anakmu denganku. Jadi, tolong gunakan panggilan apa yang aku inginkan, bukan yang diinginkan oleh almarhumah,” imbuhku dengan nada suara lebih rendah. Mas Denis tidak menjawab. Dia juga tidak melanjutkan makannya. Dia justru menyudahi makan malamnya tanpa berpamitan denganku, dan langsung menuju ke kamar. Aku terpaku sendirian. Memikirkan apakah aku sudah melakukan kesalahan fatal karena sudah menolak dengan tegas keinginannya. “Maaf, Mas. Aku bukan Dila yang dulu. Yang akan selalu menurut, meskipun kamu menjadikan aku sebagai istri dalam bayang-bayang Mbak Indah. Kali ini, aku ingin dilihat sebagai Dila seutuhnya. Dan penolakan ini, adalah salah satu usahaku untuk membuatmu tidak selalu membayangiku dengan
Aku tidak bisa berkata-kata mendengar cibiran dari Mas Denis. Dengan tanpa perasaan, dia mengataiku seperti itu. Aku bahkan sampai kembali melihat penampilanku yang menurutku masih santun dan tidak berlebihan seperti yang dikatakan olehnya. “Berlebihan dari mananya, sih?” gumamku lirih setelah pegangan tangan Mas Denis sudah dilepas. Karena kesal, aku pun meminta izin ke pantry saat Mas Denis sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya. Aku berniat membuatkan kopi untuk Mas Denis sekaligus mencari udara segar selain ruangan Mas Denis yang pengap karena terlalu sunyi. “Bu, tumben buat kopi sendiri?” sapa salah satu karyawati dengan sopan. “Iya, lagi gabut,” jawabku asal. Aku lupa jika saat ini aku harus menjaga citra suamiku, tetapi sepertinya mereka tidak terganggu dengan pembantu yang santai, dan justru terlihat nyaman. “Bu Dila cantik banget, sih, Bu. Gak tau ya, dari
“Benar, Mas. Kamu benar kalau jabatanmu sebagai CMO memang sudah sangat wajar buat sering bertemu dan makan siang dengan klien, baik itu perempuan maupun laki-laki. Aku gak akan menyanggah hal itu karena aku pun tidak bodoh. Aku punya pengalaman kerja yang tidak jauh berbeda. Masalahnya disini adalah, sebelumnya kamu baru aja marah sama aku karena menganggap aku kecentilan sama cowok lain, iya kan? Terus, kalau kamu lihat aku didekati cowok lain aja marah, kenapa kamu gak bisa mikir kalau aku pun bisa demikian? Kenapa kamu sebagai suami bukannya ngasih contoh, justru seakan bangga bisa membalas pada sesuatu yang tidak aku sengaja.”“Aku gak ada niat begitu, Dik.” “Oh, ya? Terus kenapa kamu gak bilang sama aku kalau kamu mau makan siang sama klien? Karena aku gak sepenting itu, yang perlu tahu dimana dan sama siapa kamu pergi? Ah, iya. Aku hampir saja lupa. Memangnya aku siapa buat kamu? Selain HANYA alat untuk menampung anak kamu.”
“Beneran gak mau ikut Mas ke kantor?” Aku mengangguk sambil mengunyah sarapan yang sudah masuk ke mulut. Baru setelah makanannya ku telan, aku baru meneruskan jawaban. “Iya, Mas. Di rumah saja lah sama Mak Ijah. Di kantor juga mau ngapain, cuma pindah tidur.” Mas Denis tertawa kecil mendengarnya. Beruntung pagi ini suasana sudah jauh lebih baik. Tidak ada lagi perang dingin seperti kemarin. Aku sudah memaafkan Mas Denis, dan Mas Denis pun rasanya juga begitu.“Nanti siang Mas pulang di jam istirahat. Makan siang bareng, ya?”Aku mengangguk senang. Kesannya begitu menyenangkan jika suami terlihat ingin sering memastikan keadaan kita baik-baik saja. Apalagi jika sampai meluangkan berbagai kesempatan untuk selalu bersama. “Mas mau dimasakin sesuatu?” tanyaku kemudian. “Gak usah. Masak apa yang pengen kamu makan aja.” Aku kembali m
“Ya memangnya kenapa? Memang istriku mau ikut aku ke kantor, kok. Kamu cuma numpang, kenapa sewot?” “Hah? Apa? Jadi kata Tante kalau kamu ngajak Dila ke kantor itu beneran?” Aku tertegun sejenak. Baru tahu jika ternyata mamanya Mas Denis sedekat itu dengan Dewi, sampai-sampai perkara aku yang diajak ke kantor oleh anaknya saja, diceritakan kepada orang lain. “Iya, memangnya kenapa?” Mas Denis masih saja menjawabnya dengan ketus. Mas Denis langsung masuk ke pintu kemudi dan menyalakan mesin. Dewi yang panik segera masuk ke kursi belakang. Dewi terlihat masih syok sekaligus kesal. Dia pasti berharap bisa duduk bersebelahan dengan Mas Denis jika tidak ada aku. Sayangnya, aku tidak akan memberikan kesempatan seperti itu selama ada aku. “Mas, nanti jadi mampir ke bubur ayam yang depan gang sana, ya? Anak kamu kayaknya lagi ngidam bubur ayam Bandung, deh.”
“Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r
Aku sedang duduk di ruang tamu rumah orang tuaku, memandangi jam dinding yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.“Kok sendiri aja, Nduk?” tanya Bapak ketika baru saja masuk ke rumah setelah pulang dari ladang. “Iya, Pak. Ibu lagi mandi. Habis masak besar tadi,” jawabku lirih, menyembunyikan perasaan tidak nyaman yang sebenarnya mengganggu sejak tadi. “Terus, Risa kemana? Kok tumben gak sama kamu? Biasanya kalau kamu di rumah, selalu nempel aja kayak perangko.“Aku tersenyum tipis. “Di kamar. Risa kayaknya lagi sibuk, Pak.”Perasaan gusar dan gelisah menguasai pikiranku. Sudah hampir seharian aku di sini, tapi suasana yang biasanya hangat terasa berbeda.“Sibuk apa? Kayak gak tau adikmu aja.”Akhirnya aku hanya bisa mengangkat bahu saja. Pada kenyataannya Risa nyaris tidak bicara apapun sejak aku datang tadi pagi. Hanya ada angin dingin yang menye
"Mas," panggilku lembut sambil menyeduh teh hangat. "Kamu baik-baik aja, kan?" Aku meletakkan secangkir teh hangat untuk Mas Denis tepat di depannya. Kemudian duduk di sampingnya seperti biasa. “Mas baik-baik saja, Sayang.”Setelah menjawab pertanyaanku, Mas Denis tidak bersuara lagi. Pagi ini juga terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di meja makan sambil mengamati Mas Denis yang sedang menyantap sarapannya dalam diam. Mas Denis memang bukan tipe orang yang banyak bicara, tetapi kali ini sikapnya terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal. Biasanya, meski tidak banyak bicara, Mas Denis selalu terlihat tenang. Namun, sejak pulang kerja kemarin, wajahnya tampak murung dan pikirannya seperti berada di tempat lain. “Kalau ada masalah apa-apa, Mas Denis bisa cerita, ya?” ucapku lagi dengan tulus.Mas Denis hanya mengangguk tanpa menoleh. Gerakannya kaku, seolah engga
“Minumnya, Bu, Mbak,” ujar Mak Ijah sambil meletakkan secanggir teh panas di depan mamanya Mas Denis dan segelas susu hangat di dekatku. “Makasih, Mak,” jawabku lirih. Sedangkan mamanya Mas Denis, kulihat sedikit menganggukkan kepala saat dihidangkan minuman oleh Mak Ijah. Aku menatap segelas susu yang ada di tanganku, meminumnya sedikit demi sedikit sambil berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuaku sebelumnya. Di depanku, mamanya Mas Denis duduk dengan tenang, mengaduk teh sambil sesekali menatapku dengan pandangan penuh perhatian. “Belum siap cerita, Dila?” Mama membuka percakapan dengan lembut. Pagi ini terasa hangat, tetapi di hatiku ada gumpalan keraguan yang enggan mencair. Aku tahu, mau tidak mau aku harus menceritakan apa yang terjadi kemarin di perjalanan kepada mamanya Mas Denis, tetapi kata-kata itu seperti macet di tenggorokanku."Kamu kenapa,
“Dik,” katanya sambil merapikan dasinya, “aku mau kamu tetap di rumah hari ini. Jangan ke mana-mana tanpa seizin aku, ya.” Aku terdiam sejenak, mencerna perkataannya. “Kenapa memangnya, Mas?”Pagi ini, Mas Denis bersiap berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Namun, tidak seperti biasanya, ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. Setelah sarapan bersama, ia berdiri di depan pintu, menatapku dengan tatapan tegas yang membuatku sedikit gugup. “Ada apa, Mas?” tanyaku lagi, meski aku sudah bisa menebak jawabannya. Mas Denis menghela napas, seolah berusaha menahan sesuatu dalam hatinya. “Mas masih belum tenang soal kejadian kemarin. Siapa pun pria asing itu, dia bisa saja punya maksud buruk. Mas nggak mau ambil risiko.” “Tapi, Mas, aku baik-baik aja,” kataku, mencoba menenangkan. “Kemarin juga nggak ada apa-apa, kan?” Namun, Mas Denis menggeleng. “Aku nggak ma
“Ehm.” Aku hanya bisa berdehem untuk mengusir suasana sepi di dalam mobil sejak perdebatan singkat antara aku dengan Mas Denis mengenai pria asing yang baru saja menghadang kami. Aku melirik Mas Denis yang duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya mencengkeram erat setir, sementara rahangnya tampak mengeras. Mobil melaju dalam hening, hanya diiringi suara mesin yang menderu pelan dan lampu-lampu jalan yang berkelebat cepat di jendela. Tidak ada lagi sisa tawa atau canda seperti sebelumnya. Keceriaan kami seakan terserap habis oleh insiden di perjalanan tadi. Aku bisa merasakan betapa pikirannya masih terpusat pada pria asing itu. Napas Mas Denis masih berat, seolah ada bara api yang belum padam di benaknya. Aku tahu dia marah. Marah karena kami nyaris celaka. “Mas, semuanya baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirin, ya?” Aku mencoba memecah kebekuan, meski suaraku terdengar lebih ragu da
“Tinggal bilang cemburu aja, masih gak mau ngaku” godaku, tidak bisa menahan tawa yang terlanjur pecah. Suara derai tawa masih menggema di dalam mobil, menyelimuti perjalanan pulang yang seharusnya biasa saja. Mas Denis memegang kemudi sambil sesekali melirikku dengan senyum lebar. Aku duduk di sebelahnya, menggenggam perutku yang masih datar—tidak sabar menanti kehadiran si kecil yang sedang tumbuh di dalamnya. Mas Denis mengangkat bahu sambil mencebik. “Seneng, ya? Bisa ngeledek terus!” “Seneng lah. Kapan lagi bisa ngetawain suami yang biasanya kaku kayak kanebo kering,” imbuhku makin menjadi. Mas Denis melirikku lagi. “Untung sayang,” gumamnya. “Apa?” tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. “Untung lagi hamil,” ulang Mas Denis yang jelas terdengar berbeda dari ucapannya yang pertama. Mas Denis kembali fokus ke jalanan meski sudah kutatap tajam karena tidak puas dengan jawabannya. Namun, aku berusaha maklum jika Mas Denis masih belum bisa mengumbar kat
“Sudah sore. Pulang yuk?” ajak Mas Denis setelah sekilas melirik ke arloji di pergelangan tangannya. “Ayo, Mas,” balasku dengan riang. Mas Denis membantuku bangun dari tempat duduk dan menggandeng tanganku dengan lembut. Senyumnya juga manis menyiratkan ketulusan. Saat aku dan Mas Denis keluar dari restoran mewah tempat kami makan siang, perutku terasa penuh, namun hatiku terasa ringan. Sore yang cerah, angin yang hangat, dan suasana hati Mas Denis yang lebih baik dari biasanya, terasa seperti akhir dari perselisihan yang lama. Namun, sebelum kami benar-benar bisa pulang, Mas Denis tiba-tiba berkata, “Kita mampir ke kantor sebentar, Dik. Ada dokumen yang harus aku ambil.”Aku mengangguk pelan. Mampir ke kantornya sebentar seharusnya tidak masalah, apalagi suasana kantor di sore hari biasanya sudah sepi. Ketika kami tiba, ternyata suasana di lobi masih ramai dengan beberapa karyawan yan
“Mama bentar lagi mau ada arisan sama teman sosialitanya Mama, nih. Dila biar Mama antar pulang dulu atau gimana?” Aku menoleh ke arah Mas Denis karena ingin dia saja yang menjawab pertanyaan mamanya. “Dila biar pulang sama Denis saja, Ma. Habis ini Denis cuma mau ke kantor sebentar, terus pulang kok. Jadi Mama bisa pulang duluan.”“Oh, gitu? Ya sudah kalau begitu Mama pulang duluan, ya?” “Iya, Ma,” sahutku bersamaan dengan Mas Denis. Suasana di restoran terasa sedikit lebih lengang setelah mamanya Mas Denis pamit pulang lebih dulu. Aku mengangguk pelan ketika mertuaku itu berpamitan, masih tersisa sedikit kecanggungan.Setelah mamanya Mas Denis pergi, kini hanya ada aku dan Mas Denis, duduk di meja yang sama, di restoran yang terasa semakin sepi.Aku melirik Mas Denis yang sedang memandangi ponselnya sejenak, lalu menaruhnya di meja. Dia tampak ragu, s