Home / Romansa / Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama / Bab 24. Memberi Pelajaran

Share

Bab 24. Memberi Pelajaran

Author: Dian Matahati
last update Last Updated: 2024-11-30 18:00:20

“Ya memangnya kenapa? Memang istriku mau ikut aku ke kantor, kok. Kamu cuma numpang, kenapa sewot?”

“Hah? Apa? Jadi kata Tante kalau kamu ngajak Dila ke kantor itu beneran?”

Aku tertegun sejenak. Baru tahu jika ternyata mamanya Mas Denis sedekat itu dengan Dewi, sampai-sampai perkara aku yang diajak ke kantor oleh anaknya saja, diceritakan kepada orang lain.

“Iya, memangnya kenapa?”

Mas Denis masih saja menjawabnya dengan ketus. Mas Denis langsung masuk ke pintu kemudi dan menyalakan mesin. Dewi yang panik segera masuk ke kursi belakang.

Dewi terlihat masih syok sekaligus kesal. Dia pasti berharap bisa duduk bersebelahan dengan Mas Denis jika tidak ada aku. Sayangnya, aku tidak akan memberikan kesempatan seperti itu selama ada aku.

“Mas, nanti jadi mampir ke bubur ayam yang depan gang sana, ya? Anak kamu kayaknya lagi ngidam bubur ayam Bandung, deh.”


Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 25. Ide Mengidam

    Sesuai dugaanku. Begitu aku dan Mas Denis melewati kubikel tim kerjanya Mas Denis, mereka semua menyapa sambil tersenyum penuh arti kepadaku. Ini pasti erat kaitannya dengan Mas Denis yang mengatakan aku mendadak mengidam bubur ayam di saat kami perjalanan ke kantor. Beruntung Mas Denis punya jabatan cukup tinggi di perusahaan. Sehingga tidak ada yang berani menggoda terang-terangan di depan kami berdua saat sedang melewati mereka. “Bisa bikinin kopi, Dik?” “Bisa, Mas. Tunggu, ya.”Sejak aku ikut ke kantornya Mas Denis, Mas Denis tidak pernah lagi mau dibuatkan kopi oleh Office Boy atau sekretarisnya. Dia selalu meminta tolong kepadaku, dengan alasan katanya takaran seleranya yang paling pas adalah yang aku buat. Tentu saja aku tidak keberatan sama sekali, dan justru merasa bangga akan hal itu. Artinya, pelayanan yang aku berikan bisa diterima dengan baik oleh suamiku. 

    Last Updated : 2024-11-30
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 26. Bebek Goreng

    “Gak pernah, Dik.”“Bohong.” “Kamu nanya, apa ngajak ribut, sih?” “Nanya, tapi jawaban kamu gak meyakinkan, Mas.” “Ck,” Mas Denis berdecak. “Repot, ya, debat sama cewek. Tanya, dijawab jujur salah. Gak dijawab salah. Apalagi kalau nanti jawabnya bohong, bisa tambah salah,” gerutunya kemudian. Baru setelah mendengar gerutuan itu dari Mas Denis, aku bisa sedikit mempercayai ucapannya. “Jadi beneran, belum pernah sekalipun sama Mbak Indah.”“Belum, Dik. Kenapa emangnya? Aku bukan tipe cowok gila yang tertarik buat begituan di segala tempat.” “Tapi aku mau kamu sedikit gila kalau sama aku,” desisku lirih. “Hah, apa?” tanya Mas Denis entah sungguhan tidak mendengar atau hanya memastikan pendengarannya saja. “Em, enggak, kok, Mas. Gak ada apa-apa,” elakku. Aku memang menginginkan kegilaan Mas Denis sedikit untukku, tetapi aku tahu bukan sekarang waktunya. Mas Denis belum ada rasa denganku. Memintanya berbuat gila tanpa cinta, jelas hal yang mustahil akan dilakukannya. “Dokumennya

    Last Updated : 2024-12-01
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 27. Pakaian Baru

    Mas Denis sudah berprasangka buruk saja mendengar aku minta mampir ke rumah orang tuaku. Jika aku berniat untuk marah padanya dan tinggal di rumah orang tuaku, tentu saja aku tidak akan meminta izin hingga diantarkan kesana olehnya. “Aku cuma mau mampir sebentar buat menyapa dan lihat kabar mereka, Mas. Bahkan aku juga berniat setelah dari rumah Bapak dan Ibu, mau ajak kamu ke rumah Mama buat makan malam.” “Serius kamu punya rencana gitu? Untuk acara apa? Aku gak melupakan sesuatu, kan?” “Mengunjungi orang tua gak perlu pakai acara khusus, Mas.” Mas Denis menggaruk leher belakangnya karena salah tingkah. “Mas cuma takut saja kalau tanpa sengaja Mas melupakan hari penting di keluarga kita.” “Gak kok, Mas. Aman. Aku memang sudah niat sejak sebelum kita pergi makan siang tadi,” terangku menjelaskan. “Mendadak pengen, gitu? Masa iya kamu ngidamnya k

    Last Updated : 2024-12-01
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 28. Teman Dekat Risa

    “Nduk, Nak Denis, kalian ke sini kok gak ngabarin dulu, sih.” Ibuku protes begitu melihat aku dan Mas Denis tiba-tiba mampir ke rumah. Mas Denis melirikku, meskipun kemudian berbohong kepada Ibu untuk menutupi kesalahanku. “Iya, Bu. Soalnya mendadak tadi, tanpa rencana. Tau-tau di jalan Dik Dila ngajak mampir ke sini,” katanya. Padahal jelas Mas Denis sudah mengingatkan aku untuk memberi kabar kepada Ibu dan Bapak terlebih dahulu jika kami akan datang. “Yah, di rumah lagi gak masak apa-apa. Ibu tadi cuma masak sayur lodeh sama goreng ikan asin,” sahut ibuku terlihat menyesal. “Kalian makan malam sekalian disini, kan? Biar Ibu masakin dulu, ya?” imbuhnya dengan semangat. “Bu, maaf, Dila lagi ngidam pengen makan malam sama mamanya Mas Denis. Jadi, nanti dari sini kita mau ke rumah Mama. Gak apa, ya?” bujukku. Sekali lagi aku menggunakan kehamilanku sebagai alasan dim

    Last Updated : 2024-12-01
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 29. Makan Seafood

    Aku dan Mas Denis terpaksa menunda obrolan tentang teman dekatnya Risa karena harus berkunjung ke rumah mamanya Mas Denis sesuai rencana sebelumnya. Hanya saja, pikiranku yang tidak tenang jadi ikut terbawa suasana. “Kita bisa tunda ke rumah Mama kapan-kapan lagi jika kamu hari ini tidak siap, Dik,” ujar Mas Denis. Aku menggeleng pelan. “Nggak perlu, Mas, aku gak apa-apa kok, kita bisa ke rumah Mama sekarang.”“Kamu kelihatan lesu sejak dari rumah Bapak dan Ibu.”“Keliatan banget, ya?” “Hm, makanya aku bilang, ke rumah Mama tunda dulu aja. Jangan dipaksakan!” “Tapi aku pengen ke rumah Mama, Mas. Gak mau ditunda,” balasku masih keras kepala. “Iya sudah, it’s okay. Apa katamu aja, ya?” Aku baru mengangguk puas setelah Mas Denis tidak lagi mencegah. Aku mengajak Mas Denis membelikan seafood kesukaan Mama terleb

    Last Updated : 2024-12-01
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 30. Aromaterapi Khusus

    Hoek! Aku terus mengeluarkan isi perutku hingga sudut mataku turut serta mengeluarkan air karena rasa tidak nyaman yang tidak kunjung mereda. Mas Denis masih setia memijat bagian tengkuk sambil mengusap punggungku dengan tangan satunya. “Harusnya kamu tadi jangan maksain makan kalau ternyata bikin kamu mual.”Aku tidak mempedulikan kritikan Mas Denis karena masih fokus dengan gejolak di perut yang tidak kunjung hilang. Sejak mencium aroma seafood di meja makan mamanya Mas Denis, aku sudah merasa mual. Hanya saja, demi tekadku mengambil simpatinya Mama, aku tetap memaksa makan dan mengabaikan rasa tidak nyaman di perut hingga kami pulang. Belum sampai di rumah, aku memberi kode kepada Mas Denis untuk menghentikan mobilnya dan membiarkan aku memuntahkan isi perut di pinggir jalan. Mas Denis mengambil botol air mineral dari mobil, dan memberikannya padaku. 

    Last Updated : 2024-12-01
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 31. Nasi Goreng Spesial

    “Just kidding,” kataku sambil tertawa sumbang. Aku tidak mau terlihat menyedihkan dengan memperlihatkan harapanku bisa sedekat itu dengan suamiku sendiri. Walaupun Mas Denis tidak menolak maupun menjawab apapun, aku bisa menebak rasa keberatannya atas permintaanku. Aku mengambil segelas susu di meja, dan meneguknya hingga habis. Baru setelahnya, mengajak Mas Denis untuk ke kamar dan tidur. Aku mendengar bunyi spray dengan disusul aroma parfum Mas Denis. Ternyata Mas Denis sungguhan menuruti permintaanku untuk tidur dengan parfum yang aku maksud. Aku tidur di ranjang bagianku dengan posisi miring membelakangi bagian Mas Denis. Rasanya tidak sanggup untuk berhadapan dengan Mas Denis, saat mengingat permintaan konyol yang terkesan tidak tahu diri itu. Dadaku bahkan sampai berdebar saat merasakan ranjang bergoyang ketika Mas Denis turut naik ke atas ranjang. Hal yang tidak aku duga sebelu

    Last Updated : 2024-12-02
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 32. Latar Belakang Calon Adik Ipar

    “He he, nunggu diucapin selamat sarapan dulu sama Mas Denis,” jawabku sambil terkekeh. Mak Ijah sampai menepuk dahinya saat mendengar jawabanku. “Lha Mbak Dila udah bilang sama Mas Denisnya?” Aku menggeleng. “Dila cuma kirim foto nasi gorengnya aja, Mak.” “Emangnya gitu doang Mas Denis bakalan paham?” Aku kembali menggeleng. “Kayaknya gak ngerti deh, Mak. Dari tadi cuma dibaca aja pesanku, gak dibalas. Boro-boro ngucapin selamat sarapan, kasih tanggapan emot aja nggak.”Mak Ijah tergelak puas. Kami memang sedekat itu, sehingga Mak Ijah bisa dengan santainya mengejekku dengan tawa kerasnya. “Lagian Mbak Dila juga ada-ada aja. Pengen diucapin selamat sarapan, tapi gak bilang apa-apa sama Mas Denis. Tau sendiri Mas Denis kakunya kayak apa.”Aku hanya memanyunkan bibirku saja. Walaupun aku tahu apa yang dikatakan Mak Ijah semuanya

    Last Updated : 2024-12-02

Latest chapter

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 52. Masakan Istimewa

    “Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 51. Penolakan Risa

    Aku sedang duduk di ruang tamu rumah orang tuaku, memandangi jam dinding yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.“Kok sendiri aja, Nduk?” tanya Bapak ketika baru saja masuk ke rumah setelah pulang dari ladang. “Iya, Pak. Ibu lagi mandi. Habis masak besar tadi,” jawabku lirih, menyembunyikan perasaan tidak nyaman yang sebenarnya mengganggu sejak tadi. “Terus, Risa kemana? Kok tumben gak sama kamu? Biasanya kalau kamu di rumah, selalu nempel aja kayak perangko.“Aku tersenyum tipis. “Di kamar. Risa kayaknya lagi sibuk, Pak.”Perasaan gusar dan gelisah menguasai pikiranku. Sudah hampir seharian aku di sini, tapi suasana yang biasanya hangat terasa berbeda.“Sibuk apa? Kayak gak tau adikmu aja.”Akhirnya aku hanya bisa mengangkat bahu saja. Pada kenyataannya Risa nyaris tidak bicara apapun sejak aku datang tadi pagi. Hanya ada angin dingin yang menye

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 50. Perubahan Risa

    "Mas," panggilku lembut sambil menyeduh teh hangat. "Kamu baik-baik aja, kan?"  Aku meletakkan secangkir teh hangat untuk Mas Denis tepat di depannya. Kemudian duduk di sampingnya seperti biasa. “Mas baik-baik saja, Sayang.”Setelah menjawab pertanyaanku, Mas Denis tidak bersuara lagi. Pagi ini juga terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di meja makan sambil mengamati Mas Denis yang sedang menyantap sarapannya dalam diam. Mas Denis memang bukan tipe orang yang banyak bicara, tetapi kali ini sikapnya terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal. Biasanya, meski tidak banyak bicara, Mas Denis selalu terlihat tenang. Namun, sejak pulang kerja kemarin, wajahnya tampak murung dan pikirannya seperti berada di tempat lain.  “Kalau ada masalah apa-apa, Mas Denis bisa cerita, ya?” ucapku lagi dengan tulus.Mas Denis hanya mengangguk tanpa menoleh. Gerakannya kaku, seolah engga

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 49. Mas Denis Suntuk

    “Minumnya, Bu, Mbak,” ujar Mak Ijah sambil meletakkan secanggir teh panas di depan mamanya Mas Denis dan segelas susu hangat di dekatku. “Makasih, Mak,” jawabku lirih. Sedangkan mamanya Mas Denis, kulihat sedikit menganggukkan kepala saat dihidangkan minuman oleh Mak Ijah. Aku menatap segelas susu yang ada di tanganku, meminumnya sedikit demi sedikit sambil berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuaku sebelumnya. Di depanku, mamanya Mas Denis duduk dengan tenang, mengaduk teh sambil sesekali menatapku dengan pandangan penuh perhatian. “Belum siap cerita, Dila?” Mama membuka percakapan dengan lembut. Pagi ini terasa hangat, tetapi di hatiku ada gumpalan keraguan yang enggan mencair. Aku tahu, mau tidak mau aku harus menceritakan apa yang terjadi kemarin di perjalanan kepada mamanya Mas Denis, tetapi kata-kata itu seperti macet di tenggorokanku."Kamu kenapa,

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 48. Pertanyaan Mama

    “Dik,” katanya sambil merapikan dasinya, “aku mau kamu tetap di rumah hari ini. Jangan ke mana-mana tanpa seizin aku, ya.”  Aku terdiam sejenak, mencerna perkataannya. “Kenapa memangnya, Mas?”Pagi ini, Mas Denis bersiap berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Namun, tidak seperti biasanya, ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. Setelah sarapan bersama, ia berdiri di depan pintu, menatapku dengan tatapan tegas yang membuatku sedikit gugup.  “Ada apa, Mas?” tanyaku lagi, meski aku sudah bisa menebak jawabannya.  Mas Denis menghela napas, seolah berusaha menahan sesuatu dalam hatinya. “Mas masih belum tenang soal kejadian kemarin. Siapa pun pria asing itu, dia bisa saja punya maksud buruk. Mas nggak mau ambil risiko.”  “Tapi, Mas, aku baik-baik aja,” kataku, mencoba menenangkan. “Kemarin juga nggak ada apa-apa, kan?”  Namun, Mas Denis menggeleng. “Aku nggak ma

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 47. Sentuhan Menenangkan

    “Ehm.” Aku hanya bisa berdehem untuk mengusir suasana sepi di dalam mobil sejak perdebatan singkat antara aku dengan Mas Denis mengenai pria asing yang baru saja menghadang kami. Aku melirik Mas Denis yang duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya mencengkeram erat setir, sementara rahangnya tampak mengeras. Mobil melaju dalam hening, hanya diiringi suara mesin yang menderu pelan dan lampu-lampu jalan yang berkelebat cepat di jendela. Tidak ada lagi sisa tawa atau canda seperti sebelumnya. Keceriaan kami seakan terserap habis oleh insiden di perjalanan tadi.  Aku bisa merasakan betapa pikirannya masih terpusat pada pria asing itu. Napas Mas Denis masih berat, seolah ada bara api yang belum padam di benaknya. Aku tahu dia marah. Marah karena kami nyaris celaka.   “Mas, semuanya baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirin, ya?” Aku mencoba memecah kebekuan, meski suaraku terdengar lebih ragu da

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 46. Dihadang

    “Tinggal bilang cemburu aja, masih gak mau ngaku” godaku, tidak bisa menahan tawa yang terlanjur pecah. Suara derai tawa masih menggema di dalam mobil, menyelimuti perjalanan pulang yang seharusnya biasa saja. Mas Denis memegang kemudi sambil sesekali melirikku dengan senyum lebar. Aku duduk di sebelahnya, menggenggam perutku yang masih datar—tidak sabar menanti kehadiran si kecil yang sedang tumbuh di dalamnya. Mas Denis mengangkat bahu sambil mencebik. “Seneng, ya? Bisa ngeledek terus!” “Seneng lah. Kapan lagi bisa ngetawain suami yang biasanya kaku kayak kanebo kering,” imbuhku makin menjadi. Mas Denis melirikku lagi. “Untung sayang,” gumamnya. “Apa?” tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. “Untung lagi hamil,” ulang Mas Denis yang jelas terdengar berbeda dari ucapannya yang pertama. Mas Denis kembali fokus ke jalanan meski sudah kutatap tajam karena tidak puas dengan jawabannya. Namun, aku berusaha maklum jika Mas Denis masih belum bisa mengumbar kat

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 45. Mulai Posesif

    “Sudah sore. Pulang yuk?” ajak Mas Denis setelah sekilas melirik ke arloji di pergelangan tangannya. “Ayo, Mas,” balasku dengan riang. Mas Denis membantuku bangun dari tempat duduk dan menggandeng tanganku dengan lembut. Senyumnya juga manis menyiratkan ketulusan. Saat aku dan Mas Denis keluar dari restoran mewah tempat kami makan siang, perutku terasa penuh, namun hatiku terasa ringan. Sore yang cerah, angin yang hangat, dan suasana hati Mas Denis yang lebih baik dari biasanya, terasa seperti akhir dari perselisihan yang lama. Namun, sebelum kami benar-benar bisa pulang, Mas Denis tiba-tiba berkata, “Kita mampir ke kantor sebentar, Dik. Ada dokumen yang harus aku ambil.”Aku mengangguk pelan. Mampir ke kantornya sebentar seharusnya tidak masalah, apalagi suasana kantor di sore hari biasanya sudah sepi. Ketika kami tiba, ternyata suasana di lobi masih ramai dengan beberapa karyawan yan

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 44. Semakin Kuat

    “Mama bentar lagi mau ada arisan sama teman sosialitanya Mama, nih. Dila biar Mama antar pulang dulu atau gimana?” Aku menoleh ke arah Mas Denis karena ingin dia saja yang menjawab pertanyaan mamanya. “Dila biar pulang sama Denis saja, Ma. Habis ini Denis cuma mau ke kantor sebentar, terus pulang kok. Jadi Mama bisa pulang duluan.”“Oh, gitu? Ya sudah kalau begitu Mama pulang duluan, ya?” “Iya, Ma,” sahutku bersamaan dengan Mas Denis. Suasana di restoran terasa sedikit lebih lengang setelah mamanya Mas Denis pamit pulang lebih dulu. Aku mengangguk pelan ketika mertuaku itu berpamitan, masih tersisa sedikit kecanggungan.Setelah mamanya Mas Denis pergi, kini hanya ada aku dan Mas Denis, duduk di meja yang sama, di restoran yang terasa semakin sepi.Aku melirik Mas Denis yang sedang memandangi ponselnya sejenak, lalu menaruhnya di meja. Dia tampak ragu, s

DMCA.com Protection Status