Share

Bab 17. Sebuah Foto

Penulis: Dian Matahati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-29 10:00:16

Syok, takut, panik campur aduk jadi satu. Aku merasa begitu ceroboh dan sudah melakukan kesalahan besar. Apalagi melihat garis wajah Mas Denis yang juga tidak kalah terkejut.

“M-maaf, Mas,” ulangku pada Mas Denis sambil berusaha merapikan pecahan pigura yang jatuh.

Namun, sebelum tanganku sampai memegang ke arah serpihan bingkai foto itu, Mas Denis lebih dulu mencegahnya.

“Sudah, biar OB yang bereskan. Bahaya ada serpihan kacanya,” kata Mas Denis.

Dia hanya mengambil kertas foto yang masih dalam keadaan terbalik tanpa memperlihatkan gambarnya. Kemudian memanggil Office Boy melalui panggilan telepon kantornya.

Setelah itu, kami terjebak dalam keterdiaman yang cukup lama. Aku sibuk dengan pikiranku, sedangkan dia menyimpan foto tadi ke lacinya kemudian melanjutkan pekerjaan.

Aku masih saja merutuki kecerobohanku hingga pegawai Office Boy yang dipanggil Mas Denis sele
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 18. Pindah Tidur

    “Mas, a-aku.…” “Itu fotonya Indah. Maaf aku masih menyimpannya di meja kerjaku. Aku lupa,” terang Mas Denis menjelaskan tanpa kuminta. Aku akhirnya mengurungkan niat mengambil foto tersebut. Aku justru menggumamkan maaf kembali, karena aku yakin foto itu pasti berharga bagi Mas Denis. “Maaf aku merusak bingkainya, Mas. Aku sungguh tidak sengaja tadi.” “Aku tau, dan gak perlu minta maaf.”Aku masih merasa tidak enak hati meskipun Mas Denis bilang tidak apa-apa. Semua hal yang berkaitan dengan mendiang Mbak Indah pasti memiliki kesan dalam baginya. Dan aku, tidak tahu bagaimana harus menyikapi situasi saat ini. “Sudah nyobain kursi putarku? Atau kamu mau bawa kursi itu ke kamar? Biar aku kerja pakai kursi yang lainnya?” sarkas Mas Denis menghentikan lamunanku. “Eh,” gumamku. “Kamu mau lanjut kerja, ya?” tanyaku dengan bodohnya. 

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 19. Kesempatan Bermanja

    “Kamu mandi apa tidur lagi, Dik?” tanya Mas Denis dari luar pintu kamar mandi. “Eh, Mas Denis masih di kamar?” teriakku berharap suaraku masih terdengar dari luar. “Iya, masih. Kenapa?” “Mas, aku lupa bawa handuk. Tolong ambilkan, ya?” teriakku lagi. Aku tidak mendengar jawaban apapun, tetapi aku yakin Mas Denis pasti mau menolongku. “Yang model piyama, ya, Mas,” jeritku lagi yang entah didengar olehnya atau tidak. Namun, tidak lama setelah itu, Mas Denis mengetuk pintu kamar mandi dari luar dan aku membukanya sedikit untuk aku gunakan mengulurkan tangan meminta handuk tadi. Sebuah handuk model piyama diberikan di tanganku dan hatiku lega seketika. “Makasih banyak, Mas Denis,” seruku sangat senang. “Cepat keluar, udah kelamaan kamu di kamar mandi, nanti masuk angin,” jawabnya penuh perhatian. “Iya, Mas.” 

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 20. Perang Dingin

    “Gak!” jawabku tegas. Mas Denis langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyuapiku. Dia juga nampak terkejut, tetapi juga tidak menyahut ucapanku. “Maaf, Mas, tapi ini anakmu denganku. Jadi, tolong gunakan panggilan apa yang aku inginkan, bukan yang diinginkan oleh almarhumah,” imbuhku dengan nada suara lebih rendah. Mas Denis tidak menjawab. Dia juga tidak melanjutkan makannya. Dia justru menyudahi makan malamnya tanpa berpamitan denganku, dan langsung menuju ke kamar. Aku terpaku sendirian. Memikirkan apakah aku sudah melakukan kesalahan fatal karena sudah menolak dengan tegas keinginannya. “Maaf, Mas. Aku bukan Dila yang dulu. Yang akan selalu menurut, meskipun kamu menjadikan aku sebagai istri dalam bayang-bayang Mbak Indah. Kali ini, aku ingin dilihat sebagai Dila seutuhnya. Dan penolakan ini, adalah salah satu usahaku untuk membuatmu tidak selalu membayangiku dengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 21. Cemburu

    Aku tidak bisa berkata-kata mendengar cibiran dari Mas Denis. Dengan tanpa perasaan, dia mengataiku seperti itu. Aku bahkan sampai kembali melihat penampilanku yang menurutku masih santun dan tidak berlebihan seperti yang dikatakan olehnya. “Berlebihan dari mananya, sih?” gumamku lirih setelah pegangan tangan Mas Denis sudah dilepas. Karena kesal, aku pun meminta izin ke pantry saat Mas Denis sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya. Aku berniat membuatkan kopi untuk Mas Denis sekaligus mencari udara segar selain ruangan Mas Denis yang pengap karena terlalu sunyi. “Bu, tumben buat kopi sendiri?” sapa salah satu karyawati dengan sopan. “Iya, lagi gabut,” jawabku asal. Aku lupa jika saat ini aku harus menjaga citra suamiku, tetapi sepertinya mereka tidak terganggu dengan pembantu yang santai, dan justru terlihat nyaman. “Bu Dila cantik banget, sih, Bu. Gak tau ya, dari

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 22. Bertengkar

    “Benar, Mas. Kamu benar kalau jabatanmu sebagai CMO memang sudah sangat wajar buat sering bertemu dan makan siang dengan klien, baik itu perempuan maupun laki-laki. Aku gak akan menyanggah hal itu karena aku pun tidak bodoh. Aku punya pengalaman kerja yang tidak jauh berbeda. Masalahnya disini adalah, sebelumnya kamu baru aja marah sama aku karena menganggap aku kecentilan sama cowok lain, iya kan? Terus, kalau kamu lihat aku didekati cowok lain aja marah, kenapa kamu gak bisa mikir kalau aku pun bisa demikian? Kenapa kamu sebagai suami bukannya ngasih contoh, justru seakan bangga bisa membalas pada sesuatu yang tidak aku sengaja.”“Aku gak ada niat begitu, Dik.” “Oh, ya? Terus kenapa kamu gak bilang sama aku kalau kamu mau makan siang sama klien? Karena aku gak sepenting itu, yang perlu tahu dimana dan sama siapa kamu pergi? Ah, iya. Aku hampir saja lupa. Memangnya aku siapa buat kamu? Selain HANYA alat untuk menampung anak kamu.” 

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 23. Gangguan Pagi

    “Beneran gak mau ikut Mas ke kantor?” Aku mengangguk sambil mengunyah sarapan yang sudah masuk ke mulut. Baru setelah makanannya ku telan, aku baru meneruskan jawaban. “Iya, Mas. Di rumah saja lah sama Mak Ijah. Di kantor juga mau ngapain, cuma pindah tidur.” Mas Denis tertawa kecil mendengarnya. Beruntung pagi ini suasana sudah jauh lebih baik. Tidak ada lagi perang dingin seperti kemarin. Aku sudah memaafkan Mas Denis, dan Mas Denis pun rasanya juga begitu.“Nanti siang Mas pulang di jam istirahat. Makan siang bareng, ya?”Aku mengangguk senang. Kesannya begitu menyenangkan jika suami terlihat ingin sering memastikan keadaan kita baik-baik saja. Apalagi jika sampai meluangkan berbagai kesempatan untuk selalu bersama. “Mas mau dimasakin sesuatu?” tanyaku kemudian. “Gak usah. Masak apa yang pengen kamu makan aja.” Aku kembali m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 24. Memberi Pelajaran

    “Ya memangnya kenapa? Memang istriku mau ikut aku ke kantor, kok. Kamu cuma numpang, kenapa sewot?” “Hah? Apa? Jadi kata Tante kalau kamu ngajak Dila ke kantor itu beneran?” Aku tertegun sejenak. Baru tahu jika ternyata mamanya Mas Denis sedekat itu dengan Dewi, sampai-sampai perkara aku yang diajak ke kantor oleh anaknya saja, diceritakan kepada orang lain. “Iya, memangnya kenapa?” Mas Denis masih saja menjawabnya dengan ketus. Mas Denis langsung masuk ke pintu kemudi dan menyalakan mesin. Dewi yang panik segera masuk ke kursi belakang. Dewi terlihat masih syok sekaligus kesal. Dia pasti berharap bisa duduk bersebelahan dengan Mas Denis jika tidak ada aku. Sayangnya, aku tidak akan memberikan kesempatan seperti itu selama ada aku. “Mas, nanti jadi mampir ke bubur ayam yang depan gang sana, ya? Anak kamu kayaknya lagi ngidam bubur ayam Bandung, deh.” 

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 25. Ide Mengidam

    Sesuai dugaanku. Begitu aku dan Mas Denis melewati kubikel tim kerjanya Mas Denis, mereka semua menyapa sambil tersenyum penuh arti kepadaku. Ini pasti erat kaitannya dengan Mas Denis yang mengatakan aku mendadak mengidam bubur ayam di saat kami perjalanan ke kantor. Beruntung Mas Denis punya jabatan cukup tinggi di perusahaan. Sehingga tidak ada yang berani menggoda terang-terangan di depan kami berdua saat sedang melewati mereka. “Bisa bikinin kopi, Dik?” “Bisa, Mas. Tunggu, ya.”Sejak aku ikut ke kantornya Mas Denis, Mas Denis tidak pernah lagi mau dibuatkan kopi oleh Office Boy atau sekretarisnya. Dia selalu meminta tolong kepadaku, dengan alasan katanya takaran seleranya yang paling pas adalah yang aku buat. Tentu saja aku tidak keberatan sama sekali, dan justru merasa bangga akan hal itu. Artinya, pelayanan yang aku berikan bisa diterima dengan baik oleh suamiku. 

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30

Bab terbaru

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 60. Ending

    Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku? 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 59. Kontraksi

    ”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok. 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 58. Kau Rumah

    “Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 57. Phobia Jarum Suntik

    Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat.  “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi.  Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa.  “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah.  Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?"  Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa."  Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 56. Rekonsiliasi di Villa

    [Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat.  Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 55. Hati yang Bimbang

    “Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 54. Kecewa Terlalu Dalam

    “Sayang, kita jalan-jalan sore, yuk?” suara Mas Denis memecah kebisuan. Dia berdiri di depanku, menatap dengan penuh perhatian. Sejak bangun tidur dan mandi sore, aku masih banyak diamnya karena belum bisa melupakan kejadian tadi siang. Mas Denis tampak khawatir dan sering mondar-mandir saja di dekatku. Aku mendongak, menatapnya sejenak. “Jalan-jalan ke mana, Mas?” tanyaku datar, meski di dalam hati aku sedikit tertarik dengan ajakannya.Mas Denis mengangkat bahu. “Entah, mungkin sekadar keluar rumah. Sepertinya kita butuh udara segar.” Senyum tipis tersungging di wajahnya, mencoba mengajakku untuk tidak terlalu larut dalam perasaan ini.Meski ragu, aku akhirnya mengangguk. “Boleh,” jawabku pelan.Kami pun berangkat. Di dalam mobil, aku menyandarkan kepala di jendela, menatap jalanan kota yang ramai. Mas Denis di sampingku, sesekali melirik dengan cemas. Kurasa dia ju

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 53. Pesan Ambigu

    “Gini amat ya, punya suami pekerja keras. Hari libur juga tetap aja dipakai buat kerja dari rumah,” sarkasku pada Mas Denis yang tengah sibuk di depan layar laptopnya. Mas Denis menghentikan sejenak kegiatannya. Menoleh ke arahku dan tersenyum tipis. “Ada apa, sih, Dik? Kamu ada perlu sesuatu?” Aku mengangkat bahu. Masih enggan untuk mengatakan jujur jika aku sedang berharap diajak pergi jalan-jalan atau entah kemana hanya demi bisa bersama Mas Denis menghabiskan akhir pekan yang menyenangkan. “Kalau mau atau butuh sesuatu, kamu bilang langsung aja sama Mas, ya, Dik. Mas bukan cenayang yang bisa baca isi hati dan pikiran kamu,” sahut Mas Denis sambil kembali fokus ke perangkat kerjanya. Aku hanya bisa kembali menghela napas dengan berat. Mencoba fokus pada acara televisi, yang membuat pikiran tentang Risa dan pertengkaran kecil kami saat itu kembali muncul. Meskipun sudah berlalu cukup lama, tetapi aku belum bisa merasa lega jika tidak ada penyelesaian yang jelas. Komunikasiku de

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 52. Masakan Istimewa

    “Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status