“Sebenarnya Mama sudah gak respect lagi sama kamu, Dila. Cuma karena kamu justru sudah mengandung darah dagingnya Denis, Mama akan berusaha buat tetap bersikap baik sama kamu. Asal kamu ingat, jangan berbuat ulah seperti kemarin! Pakai sok-sokan mau gugat cerai Denis segala. Emangnya kamu siapa?”
Aku yang buru-buru keluar kamar karena mengira yang datang adalah Mas Denis, harus menelan kekecewaan karena ternyata yang muncul adalah mamanya. Apalagi begitu melihatku, beliau langsung mencercaku dengan omelan panjangnya.Aku bisa maklum dengan rasa kecewanya. Aku pun tidak mengelak dan mengiyakan permintaannya. Karena sesungguhnya aku pun tidak berharap ada masalah lagi dalam rumah tanggaku dengan Mas Denis.“Iya, Ma. Maafin Dila, ya, Ma.”“Hm.”Mamanya Mas Denis hanya bergumam singkat. Beruntung tidak lama setelah itu Mas Denis datang. Kecanggungan yang tercipta diantara aku dan mamanya“Mentang-mentang lagi hamil, manja banget gak mau ngerjain kerjaan rumah. Padahal pekerjaan rumah gini kan pekerjaan ringan biar sekalian olahraga,” ujar Mamanya Mas Denis di dapur saat bersama Mak Ijah. Mungkin Mama tidak tahu jika aku agak jauh ada di belakangnya. Aku memang sudah berniat membantu pekerjaan rumah sejak tadi. Hanya saja, Mas Denis terus saja menghalangi aku karena menginginkan Mak Ijah saja yang menyelesaikannya sendiri. Mas Denis begitu protektif hingga tidak membiarkan aku beraktivitas seperti biasa. “Mas Denis, Bu, yang gak bolehin Mbak Dila ngerjain pekerjaan rumah selama hamil. Makanya, kan, Mak dipanggil ke sini buat bantu-bantu,” bela Mak Ijah kepadaku. “Halah, pada dasarnya perempuannya aja yang malas. Manja. Dia bisa bilang ke Denis, kan, kalau dia butuh kegiatan buat olahraga ringan seperti bantu-bantu pekerjaan rumah?” sahut Mamanya Mas Denis lagi.Aku yang tidak tahan dibicar
“Aku gak apa-apa, Mas.”“Beneran gak apa-apa?” “Iya,” balasku dengan memaksakan tersenyum.“Kalau ada apa-apa, telepon Mas, ya?” Aku mengangguk saja. Aku memang tidak ada niat untuk mengadukan mamanya kepada Mas Denis. Aku lebih bertekad untuk berusaha mengambil hatinya seperti dulu. Itu pasti akan lebih baik jika aku berhasil melakukannya. “Ma, Denis titip Dila, ya? Kalau ada apa-apa, Mama bisa telepon Denis.” “Iya, tenang aja. Yang penting kamu kerja yang fokus. Di rumah ada Mama dan Mak Ijah yang jagain Dila. ” Mas Denis mengangguk kemudian menjabat tangan kami bergantian. Baru setelahnya benar-benar berangkat bekerja. Aku menatap kepergiannya hingga kendaraan yang dibawa Mas Denis tidak lagi terlihat. “Awas, ya, kalau kamu berani ngadu yang gak-gak sama Denis!” ancam ibu mertuaku lagi. “Gak, Ma. Memangny
“Ka-kamu di situ dari kapan, Mas?” tanyaku sedikit terbata.“Kenapa? Kamu mau tahu aku dengar percakapan kalian sejauh mana?” tandasnya. Kepalaku tertunduk, begitu juga dengan Mak Ijah. Mendengar nada bicaranya, sepertinya Mas Denis mendengar sejak awal saat aku dan Mak Ijah membicarakan mamanya. “Kenapa sekarang kalian diam saja? Mau Mak Ijah atau kamu, Dik, yang menjelaskan.” “Jangan bawa-bawa Mak Ijah, Mas. Mak Ijah gak salah,” cegahku panik. “Emangnya aku tadi ada bilang kamu atau Mak Ijah bersalah?” Aku menggeleng pelan. Mas Denis memang tidak mengatakan kami sedang melakukan kesalahan. Akan tetapi nada bicara tegasnya membuatku takut dimarahi. Bukan cuma aku, tetapi jauh lebih takut jika Mak Ijah ikut dimarahi. “Jadi, siapa yang mau cerita?” tuntutnya lagi. “Aku harus cerita apa, Mas. Mas Denis sudah dengar sendiri, kan?
“Mama mau pulang aja pagi ini. Bareng kalian berangkat ke kantor,” ujar mamanya Mas Denis saat kami tengah sarapan di keesokan harinya. Mas Denis sungguhan mengajakku ke kantornya hari ini. Aku pun sudah bersiap dengan pakaian semi formal untuk mengimbangi penampilan Mas Denis yang necis. “Kok udah mau pulang, Ma?” tanya singkat Mas Denis. “Ya Mama mau ngapain lama-lama di rumah kamu, kalau gak ada orangnya di rumah?” Aku tahu maksudnya adalah menyinggung aku yang justru diajak pergi dari rumah oleh Mas Denis untuk ikut bekerja. “Ya udah. Nanti kalau Mama mau ke sini lagi, kabari Denis aja, biar Denis yang antar jemput.” Mama hanya melengos dan melanjutkan makan tanpa membalas ucapan Mas Denis. Mas Denis juga tidak terlihat tersinggung, justru masih bersikap santai saja seperti tiada masalah. Aku yang tidak tahu harus berpendapat apa, akhirnya memilih untuk diam sa
Syok, takut, panik campur aduk jadi satu. Aku merasa begitu ceroboh dan sudah melakukan kesalahan besar. Apalagi melihat garis wajah Mas Denis yang juga tidak kalah terkejut. “M-maaf, Mas,” ulangku pada Mas Denis sambil berusaha merapikan pecahan pigura yang jatuh. Namun, sebelum tanganku sampai memegang ke arah serpihan bingkai foto itu, Mas Denis lebih dulu mencegahnya. “Sudah, biar OB yang bereskan. Bahaya ada serpihan kacanya,” kata Mas Denis. Dia hanya mengambil kertas foto yang masih dalam keadaan terbalik tanpa memperlihatkan gambarnya. Kemudian memanggil Office Boy melalui panggilan telepon kantornya. Setelah itu, kami terjebak dalam keterdiaman yang cukup lama. Aku sibuk dengan pikiranku, sedangkan dia menyimpan foto tadi ke lacinya kemudian melanjutkan pekerjaan. Aku masih saja merutuki kecerobohanku hingga pegawai Office Boy yang dipanggil Mas Denis sele
“Mas, a-aku.…” “Itu fotonya Indah. Maaf aku masih menyimpannya di meja kerjaku. Aku lupa,” terang Mas Denis menjelaskan tanpa kuminta. Aku akhirnya mengurungkan niat mengambil foto tersebut. Aku justru menggumamkan maaf kembali, karena aku yakin foto itu pasti berharga bagi Mas Denis. “Maaf aku merusak bingkainya, Mas. Aku sungguh tidak sengaja tadi.” “Aku tau, dan gak perlu minta maaf.”Aku masih merasa tidak enak hati meskipun Mas Denis bilang tidak apa-apa. Semua hal yang berkaitan dengan mendiang Mbak Indah pasti memiliki kesan dalam baginya. Dan aku, tidak tahu bagaimana harus menyikapi situasi saat ini. “Sudah nyobain kursi putarku? Atau kamu mau bawa kursi itu ke kamar? Biar aku kerja pakai kursi yang lainnya?” sarkas Mas Denis menghentikan lamunanku. “Eh,” gumamku. “Kamu mau lanjut kerja, ya?” tanyaku dengan bodohnya.
“Kamu mandi apa tidur lagi, Dik?” tanya Mas Denis dari luar pintu kamar mandi. “Eh, Mas Denis masih di kamar?” teriakku berharap suaraku masih terdengar dari luar. “Iya, masih. Kenapa?” “Mas, aku lupa bawa handuk. Tolong ambilkan, ya?” teriakku lagi. Aku tidak mendengar jawaban apapun, tetapi aku yakin Mas Denis pasti mau menolongku. “Yang model piyama, ya, Mas,” jeritku lagi yang entah didengar olehnya atau tidak. Namun, tidak lama setelah itu, Mas Denis mengetuk pintu kamar mandi dari luar dan aku membukanya sedikit untuk aku gunakan mengulurkan tangan meminta handuk tadi. Sebuah handuk model piyama diberikan di tanganku dan hatiku lega seketika. “Makasih banyak, Mas Denis,” seruku sangat senang. “Cepat keluar, udah kelamaan kamu di kamar mandi, nanti masuk angin,” jawabnya penuh perhatian. “Iya, Mas.”
“Gak!” jawabku tegas. Mas Denis langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyuapiku. Dia juga nampak terkejut, tetapi juga tidak menyahut ucapanku. “Maaf, Mas, tapi ini anakmu denganku. Jadi, tolong gunakan panggilan apa yang aku inginkan, bukan yang diinginkan oleh almarhumah,” imbuhku dengan nada suara lebih rendah. Mas Denis tidak menjawab. Dia juga tidak melanjutkan makannya. Dia justru menyudahi makan malamnya tanpa berpamitan denganku, dan langsung menuju ke kamar. Aku terpaku sendirian. Memikirkan apakah aku sudah melakukan kesalahan fatal karena sudah menolak dengan tegas keinginannya. “Maaf, Mas. Aku bukan Dila yang dulu. Yang akan selalu menurut, meskipun kamu menjadikan aku sebagai istri dalam bayang-bayang Mbak Indah. Kali ini, aku ingin dilihat sebagai Dila seutuhnya. Dan penolakan ini, adalah salah satu usahaku untuk membuatmu tidak selalu membayangiku dengan
Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku?
”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok.
“Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa
Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat. “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi. Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa. “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah. Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?" Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa." Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan
[Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat. Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se
“Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu
“Sayang, kita jalan-jalan sore, yuk?” suara Mas Denis memecah kebisuan. Dia berdiri di depanku, menatap dengan penuh perhatian. Sejak bangun tidur dan mandi sore, aku masih banyak diamnya karena belum bisa melupakan kejadian tadi siang. Mas Denis tampak khawatir dan sering mondar-mandir saja di dekatku. Aku mendongak, menatapnya sejenak. “Jalan-jalan ke mana, Mas?” tanyaku datar, meski di dalam hati aku sedikit tertarik dengan ajakannya.Mas Denis mengangkat bahu. “Entah, mungkin sekadar keluar rumah. Sepertinya kita butuh udara segar.” Senyum tipis tersungging di wajahnya, mencoba mengajakku untuk tidak terlalu larut dalam perasaan ini.Meski ragu, aku akhirnya mengangguk. “Boleh,” jawabku pelan.Kami pun berangkat. Di dalam mobil, aku menyandarkan kepala di jendela, menatap jalanan kota yang ramai. Mas Denis di sampingku, sesekali melirik dengan cemas. Kurasa dia ju
“Gini amat ya, punya suami pekerja keras. Hari libur juga tetap aja dipakai buat kerja dari rumah,” sarkasku pada Mas Denis yang tengah sibuk di depan layar laptopnya. Mas Denis menghentikan sejenak kegiatannya. Menoleh ke arahku dan tersenyum tipis. “Ada apa, sih, Dik? Kamu ada perlu sesuatu?” Aku mengangkat bahu. Masih enggan untuk mengatakan jujur jika aku sedang berharap diajak pergi jalan-jalan atau entah kemana hanya demi bisa bersama Mas Denis menghabiskan akhir pekan yang menyenangkan. “Kalau mau atau butuh sesuatu, kamu bilang langsung aja sama Mas, ya, Dik. Mas bukan cenayang yang bisa baca isi hati dan pikiran kamu,” sahut Mas Denis sambil kembali fokus ke perangkat kerjanya. Aku hanya bisa kembali menghela napas dengan berat. Mencoba fokus pada acara televisi, yang membuat pikiran tentang Risa dan pertengkaran kecil kami saat itu kembali muncul. Meskipun sudah berlalu cukup lama, tetapi aku belum bisa merasa lega jika tidak ada penyelesaian yang jelas. Komunikasiku de
“Dik?” panggil Mas Denis tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk tenang di kursi penumpang, tadinya menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju pelan di tengah lampu jalan, akhirnya menoleh tanpa bersuara mendengar panggilan dari Mas Denis. Udara malam terasa sejuk, tetapi pikiranku jauh dari kata nyaman. Pikiranku masih berkutat pada kejadian tadi di rumah orang tuaku. Pertengkaran kecil dengan Risa seolah menyisakan sesak yang menolak sirna. Aku tahu, itu hanya salah paham. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan?Mas Denis menghela napas di sampingku. “Sayang, kamu mau makan apa? Kita cari makan dulu sebelum pulang, ya?” Aku menggeleng lemah tanpa menoleh. “Nggak lapar, Mas.”Mas Denis akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. “Dik, kamu lagi hamil. Lapar atau nggak, harus tetap makan,” katanya lembut, tapi tegas.Aku tahu Mas Denis benar, tapi r