Home / Horor / Pocong Andong Penjemput Jiwa / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Pocong Andong Penjemput Jiwa: Chapter 1 - Chapter 10

19 Chapters

Bab 1. Beradu Pandang Dengan Sosok Pocong

“Mending kamu nginep aja dulu di rumahku, Ar...” seru Zaidan sembari memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Arkan menggeleng pelan sembari menggendong tasnya, “nggak deh aku pulang aja, ini juga masih jam 8, kan. Berani lah.” Zaidan menghela napas panjang lesu hingga kedua bahunya luruh, “bukannya masalah berani atau enggak, tapi kan di desa sebelah itu lagi ada rumor mistis begini. Aku khawatir aja kalau kamu pulang malem-malem gini.” “Ehhh...” Arkan memukul ringan bahu Zaidan sembari terkekeh kecil, “jaman sekarang masih aja percaya tahayul, Dan... Dan. Nggak ada enggak, udah ya aku pulang dulu. Tadi belum izin ibu juga kalau mau nginep, ntar malah dicariin.” “Ibumu ya bakal lebih khawatir lagi kalau kamu pulang di jam segini, tapi terserah deh. Pokoknya aku udah ngingetin, ya. Kalau nanti ada apa-apa nggak tanggung jawab aku.” “Hm, iya-iya. Aman,” balas Arkan sembari bangkit dari duduknya dan segera mengendarai motorny
last updateLast Updated : 2024-10-23
Read more

Bab 2. Kedatangan Andong Ke Rumah Arkan

Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, akan tetapi Arkan sama sekali belum bisa terlelap. Ia masih terbayang dengan wujud menyeramkan pocong itu. Pikirannya terus saja beputar-putar mengingat tentang hal apapun yang bersangkutan dengan pocong andong itu. Di saat Arkan semakin hanyut dalam fikirannya sendiri ia mendengar suara kerincing andong, “tumben-tumbennya ada ada andong lewat sini jam segini,” dan di dengar-dengar lagi ternyata suara kincringan yang semula jauh itu semakin terdengar jelas seperti andong itu sudah berhenti di sebelah kamarnya. Hingga tiba-tiba saja jendela kamar diketuk yang membuatnya langsung terperanjat dan duduk dari tidurnya. Arkan terdiam, ia kembali memasang indra pendengarannya dengan baik. Namun, ternyata lagi-lagi suara ketukan itu masih ada hingga membuat dadanya berdetak dengan sangat cepat. Kedua tangannya mengencengkram seprai kuat sembari terus menatap ke arah jendela. Nyalinya seketika langsung menciut
last updateLast Updated : 2024-10-23
Read more

Bab 3. Keberadaannya Ada Di mana-mana

“Mulai lagi penyakit ngelamunnya,” sindir Bu Sarah sembari meleparkan bantal sofa ke arah putra semata wayangnya itu. “Ck! Ibu ni ngagetin terus. Udah tahu lagi parnoan gini,” balas Arkan lalu mendengkus kesal. “Ya kalau udah tau kondisi lagi kaya gini jangan ngelamun lah, Arkan! Jangan dibiasain hal yang nggak baik kaya gitu,” seru Bu Sarah yang kembali memperingati. “Arkan bukan ngelamun, Bu. Tapi, emang lagi mikirin hal itu. Apa lagi kemarin Arkan udah liat itu pocong pake mata kepala Arkan sendiri. Gimana kalau malem ini andong itu dateng lagi ke sini buat jemput Ar...” Belum sempat Arkan menyelesaikan perkataannya dengan cepat Bu Sarah langsung membungkam mulut anaknya itu dengan telapak tangannya, “jangan ngawur ngomongnya, Arkan!” sentaknya seraya melayangkan tatapan tajamnya. “Ya sudah kalau gitu besok kita ke rumah Bude aja, untuk beberapa saat tinggal di sana dulu sampai teror ini mereda,” sahut Bapak lalu menghel
last updateLast Updated : 2024-10-23
Read more

Bab 4. Malam Mengcekam Merenggut Nyawa

Seketika itu juga Pakde langsung meletakkan jari telunjuknya ke bibir untuk memberi isyarat pada semua orang agar diam dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Mendadak semuanya tak ada yang berani bergerak dan Pak Yadi pun masih tetap stay di tempatnya dengan posisi duduk membelakangi pintu. Arkan dan Bima sesekali saling beradu pandang sebelum pada akhirnya terus fokus menatap ke arah pintu. Sedangkan Bapak kini justru berjalan pelan ke arah Pak Yadi yang masih mematung, seolah tahu bahwa Pak Yadi memang sedang merasa sangat ketakutan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bapak langsung menarik lengan Pak Yadi untuk menjauh dari pintu dan duduk bersama dengan yang lainnya. Pintu terus saja diketuk, bahkan kalau Arkan tidak salah menghitung ketukan itu ada kalau sampai sepuluh kali. Kalau pun itu yang mengetuk adalah tetangga atau pun manusia yang mengetuk pastinya bakalan ada yang mengucapakan sesuatu, assalamualaikum atau apa lah semacam Pak Yadi tadi. Ta
last updateLast Updated : 2024-10-23
Read more

Bab 5. Bau Busuk Dan Gosong

Pakde dan Bima segera menghampiri Bapak. Memeriksa napas di hidung beliau dan nadinya. Namun, Bapak sudah tidak lagi bernyawa. Kemudian dengan perlahan Pakde menutup kedua mata Bapak yang masih terbuka lebar itu, tetapi sayangnya mulut yang juga masih terbuka itu sudah tidak dapat tertutup. “Innalillahi wa innalillahi rajiun...” gumam Pakde lirih sembari mengusap dadanya pelan. Ia tak menyangka jika adik iparnya akan meninggal dalam keadaan seperti ini. Ibu benar-benar menangis histeris sembari memeluk erat tubuh Bapak, sedangkan Arkan masih terdiam mematung di ambang pintu. Kepalanya menggeleng pelan, ia seolah tak mampu mencerna kejadian yang terjadi begitu cepat ini. Dadanya bergemuruh dan berharap ini semua hanya sebuah mimpi buruk semata. “Pak!!!” Suara isak tangis Ibu membuat tubuh Arkan semakin melemas dengan kedua matanya yang mulai memanas. Perlahan Bude dan Susan menghampiri Ibu yang masih terus terisak dalam tangisnya sa
last updateLast Updated : 2024-10-23
Read more

Bab 6. Tolong, Mba!

“Ka-kamu masih hidup?” Bibir Bude merekah dengan lebarnya. Beliau berjalan perlahan ke arah lelaki yang ia anggap Pak Hasan itu. Jujur saja saat ini beliau merasa sangat senang dan sekaligus haru. Karena melihat adik laki-lakinya yang sekarang ini bisa berdiri tegap membelakangi dirinya padahal baru beberapa menit yang lalu telah dinyatakan meninggal oleh suaminya sendiri. “Pasti tadi suami Mba salah kan, Hasan. Alhamdulillah banget kamu nggak jadi korban pocong itu.” Kedua sudut mata Bude mulai berair karena beliau merasa sangat terharu. Namun, seperkian detik kemudian saat Bude sudah hampir sangat dekat dengan adik laki-lakinya itu. Beliau kembali mencium aroma busuk yang menyeruak rongga hidungnya hingga membuat Bude tak sanggup lagi untuk menahannya. Huekkk... Dengan cepat Bude langsung berlari kembali ke dalam kamar mandi sembari menutup mulutnya. Bau busuk itu benar-benar membuat isi perut Bude keluar semua hingga membuat kepala
last updateLast Updated : 2024-11-01
Read more

Bab 7. Jangan Ikut Campur!

Angin semakin berhembus dengan kencangnya, disertai suara gemericik hujan yang mulai turun mengguyur desa malam ini membuat suasana semakin mencekam. Apa lagi suara menggelegar petir yang saling bersahut-sahutan. “Susan,” panggil Bu Sarah lirih sembari menatap Susan yang tengah duduk bersender pada dinding sembari memeluk erat tubuhnya sendiri. Begitu mendengar namanya dipanggil Susan langsung menoleh dan tersenyum lega melihat Bu Sarah yang sudah siuman, “Bulek udah sadar.” “Istirahat aja dulu, Bulek! Ini masih jam 12, apa lagi hujan gini,” lanjutnya sembari menarik selimut sampai menutupi kedua bahu Bu Sarah. “Simbah gimana, Susan?” “Simbah tidur di kamar Arkan, Bulek. Setelah salat isya dan dikasi obat tidur, Simbah ya belum bangun. Nggak tahu besok pagi gimana kalau tahu Om Hasan udah nggak ada. Semoga aja jantung Simbah kuat,” ungkap Susan sembari menatap sendu ke arah Bu Sarah yang masih terbaring dengan bibir pucat
last updateLast Updated : 2024-11-02
Read more

Bab 8. Bertemu Dengan Mbah Kandar

Belum ada tanda-tanda suara gedoran itu akan berhenti. Sebenarnya Pakde ingin ke dapur untuk mengambil segelas air untuk dibacakan doa dan dicipratkan ke beberapa pintu. Namun, sayangnya dapur pun tengah dalam kondisi yang tidak aman. Jadi, mau tidak mau mereka semua semalaman ini tetap terjaga dalam kondisi yang amat sangat mencekam sampai menjelang subuh. Hujan pun ikut reda bersamaan dengan suara gedoran pintu yang sudah tidak lagi terdengar. “Mas Bima,” panggil Arkan yang membuat sang empunya langsung menoleh, “suara memekik semalem yang memperingatkan kita untuk nggak ikut campur, justru bikin aku yakin kalau semua yang udah terjadi dan menimpa desa kita memang ada campur tangan manusia.” “Belum bisa dipastikan juga, Arkan. Tapi, aku juga heran. Suara itu tiba-tiba muncul waktu aku bilang akan cari solusinya besok. Hebat banget ya bisa denger, padahal telinganya kebungkus mori,” balas Bima ketus seraya memutar bola matanya malas.
last updateLast Updated : 2024-11-03
Read more

Bab 9. Sudah Memakan Puluhan Korban

“Sebelumnya saya bener-bener minta maaf, tapi di sini kami memang udah bener-bener buntu mau minta tolong sama siapa. Semalam saya baru aja kehilangan bapak dan sampai pagi di teror sama pocong-pocong itu. Makanya kami ke sini, Mbah. Karena kami pikir Simbah bisa bantu, tapi kalau memang nggak bisa kami juga nggak bisa memaksakannya,” papar Arkan yang kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mbah Kandar tampak menghela napas berat beberapa kali, menatap dan menelisik wajah Arkan yang terlihat jelas tengah menyimpan kesedihan dan sebuah dendam mendalam di dalam dirinya. Lalu, beberapa saat kemudian beliau mengarahkan tangannya ke dalam rumah untuk memberikan isyarat kepada Nur agar masuk saja ke dalam. Awalnya Nur enggan, namun Mbah Kandar mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. Seolah memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja hingga akhirnya Nur terpaksa melangkah masuk ke dalam dan tak ikut campur. “Iya, Lee. Saya tahu yang sedang k
last updateLast Updated : 2024-11-04
Read more

Bab 10. Sang Dalang Desa Sekar Taji

Mbah Kandar bangkit dari duduknya, tanpa menjawab pertanyaan Arkan terlebih dahulu beliau langsung masuk ke dalam rumah hingga membuat Arkan dan Bima pun saling pandang. Mereka berdua bingung kenapa Mbah Kandar tiba-tiba langsung masuk begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, ternyata beberapa saat kemudian beliau kembali keluar dengan membawa sebotol air jernih dan sebungkus garam dapur. “Setelah kalian pulang dari sini, langsung sebarkan garam ini ke seluruh rumah kalian. Garam dapur ini sudah Mbah doakan dan semoga jin apa pun yang akan dikirimkan nanti ke rumah kalian tidak akan ada yang bisa masuk,” ucap Mbah Kandar setelah meletakan apa yang tengah beliau bawa di atas meja. Arkan mengangguk pelan dengan pandangan yang masih tertuju pada garam dapur dan sebotol air itu, kemudian ia bertanya kepada Mbah Kandar, “lalu, air di botol ini untuk apa?” tangannya memanjang untuk mengambil benda yang tengah ia tanyakan.
last updateLast Updated : 2024-11-05
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status