Home / Pernikahan / Setelah Istriku Memilih Pergi / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Setelah Istriku Memilih Pergi: Chapter 11 - Chapter 20

35 Chapters

11. HANYA ANAK MAGANG

“Aku bukan orang bodoh ya, Ka. Aku melihat cara kamu menatap Sarah tadi. Tidak seperti biasanya.”Nadia menghela napas panjang, tatapannya tak lepas dari wajah Raka. Matanya menyipit, seolah berusaha menembus dinding yang pria itu bangun di sekeliling hatinya.Raka terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi tak bisa mengelak dari perasaan yang perlahan-lahan mulai mengganggu sejak Sarah muncul di hidupnya kembali. Tapi ia juga tahu, memberi tahu Nadia hanya akan memperumit keadaan.“Nad,” ujarnya pelan, mencoba meredakan suasana, “Sarah itu hanya anak magang. Aku bertanggung jawab membimbingnya. Mungkin kamu salah paham.”“Anak magang, ya?” Nadia mencondongkan tubuhnya, suara tawanya terdengar sinis. “Raka, aku sudah bersama kamu cukup lama. Aku tahu cara kamu berinteraksi dengan orang lain. Dengan Sarah, kamu berbeda.”Senyuman di wajah Raka perlahan memudar. Ia mulai merasa terpojok, tetapi Na
Read more

12. SATU KAMAR

Setelah semua orang keluar ruangan, Sarah tetap tinggal sejenak, hendak memastikan apa yang ia dengar saat rapat tadi. “Pak Raka,” panggilnya kemudian.Raka yang sedang mengobrol bersama sekretarisnya menoleh sejenak. Lantas menyuruh orang tersebut agar meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Menyisakan dia dan Sarah yang ada di sana.“Ada apa?” tanya Raka setelah itu.“Apa Bapak tidak salah orang?” tanya Sarah secara gamblang.“Maksudnya? Apa yang salah?” ucap Raka bali bertanya. Matanya menatap netra Sarah yang tampak gelisah.“Saya tidak ingin membuat tim kesusahan karena kondisi saya yang —““Kita ke sana bukan untuk lomba lari, Sarah. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” potong Raka cepat. “Kamu harus professional. Itu ‘kan yang selalu kamu katakan?”“Baiklah, tentang proyek di luar kota ini… apakah ada hal khusus yang
Read more

13. KENAPA DIA BERBEDA?

Di hadapan Sarah, Raka berdiri di depan cermin, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut berwarna navy. Punggungnya terlihat jelas tanpa penutup, memperlihatkan garis otot yang terlatih namun tidak berlebihan. Sarah menelan ludah tanpa sadar, mendapati dirinya sulit untuk mengalihkan pandangan. Seolah baru kali ini dia menyadari detail fisik suaminya—hal yang selama ini diabaikannya dengan mudah.Raka, yang menyadari ada seseorang di belakangnya, segera menoleh. Tatapannya bertemu dengan mata Sarah yang tampak terkejut. Ia menghela napas pendek lalu segera meraih kaus berwarna abu-abu yang sebelumnya tergeletak di atas ranjang dan memakainya dengan santai."Maaf," ucapnya tanpa banyak basa-basi, walaupun tidak ada kesalahan yang benar-benar dilakukan.Sarah tersadar dari keterkejutannya dan segera menunduk, merasa malu pada diri sendiri. Ia melangkah cepat menuju koper di sudut kamar, berpura-pura sibuk mencari sesuatu untuk mengalihkan rasa kikuknya.
Read more

14. PAK RAKA CEMBURU YA?

“Oh, itu… itu Pak Raka. Dia cuma mau ingetin jadwal sarapan.”Dini dan Lira saling berpandangan, lalu kembali menatap Sarah dengan penuh kecurigaan."Kamu serius, Ra?” tanya Lira yang dibalas Sarah dengan anggukan perlahan.“Kalau ada apa-apa kasih tahu kami ya, Ra,” celetuk Dini kali ini. “Jangan gampang terhasut sama godaan cowok meskipun Pak Raka. Inget ya. Dia udah punya cewek. Kalau dia deketin kamu, itu sih cuma modus. Jangan nyesel kalau nanti habis manis sepah dibuang.” Ocehan Dini tadi ternyata didengar oleh Raka yang sedari tadi menguping dari jarak kejauhan. Pria itu mendengkus sebal lalu tanpa berpikir panjang menyembul begitu saja.“Pak Raka?”“Apa?” tantang Raka yang sudah berwajah masam. “Kalian pikir saya apaan, hah??”“Maafin kami, Pak. Eh udah dulu ya, Ra. Entar kami telat ngantor. Titip Ara ya, Pak. Jangan macem-macem!” seru Dini yang seketika menghilang dari layar ponsel Sarah. Suasana yang menghebohkan tadi mendadak senyak dalam sekejap. Men
Read more

15. ADA URUSAN APA BERDUAAN?

Sarah terpaku mendengar celetukan Andi yang begitu spontan. Wajahnya terasa memanas, dan tanpa sadar, ia melirik Raka untuk melihat reaksinya. Namun, ekspresi Raka justru semakin tak terbaca. Pria itu hanya diam, mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan mencoba mengabaikan ucapan Andi."Cemburu?" gumam Raka kemudian dengan suara rendah, namun cukup jelas untuk didengar oleh Sarah dan Andi. "Apa alasan saya untuk merasa cemburu, Pak Andi?" tanyanya, sedikit sinis.Andi terkekeh pelan, sementara Sarah hanya bisa menunduk, berharap suasana cepat kembali normal. “Saya cuma bercanda, Pak. Lagian Anda dan Bu Nadia sudah cocok” ujar Andi sambil tersenyum simpul. Lalu, ia melanjutkan pekerjaannya tanpa menggali lebih lanjut soal itu.Selama beberapa menit, mereka bertiga melanjutkan pekerjaan dengan suasana yang sedikit canggung. Raka sesekali melirik Sarah, namun segera mengalihkan pandangannya saat ia sadar tengah diperhatikan.Setelah pertemuan pagi yang cukup intens, suasana di antara R
Read more

16. SUDAH LAMA TIDAK BERTEMU

Sarah menelan ludah, tak percaya melihat sosok pria yang berdiri di hadapannya dan Raka. “Ada urusan apa di Bandung, Raka?” Pria itu mengulang pertanyaan serupa dengan nada santai, namun intonasinya seolah menyelidik.Alih-alih menanggapi hal barusan, Sarah malah memilih untuk mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Disusul Raka kemudian. Setelahnya mereka saling pandang sesaat, seolah mencari jawaban yang tepat.Raka segera menguasai dirinya dan tersenyum tipis, “Kami ada urusan pekerjaan, Pa. Tadi selesai rapat, jadi sekalian ingin istirahat di sini,” jawabnya, berusaha membuat nada bicaranya terdengar wajar.Pak Herman menatap mereka dengan senyum tipis yang misterius, namun sorot matanya penuh makna. Ia tampak rapi dalam setelan formal warna gelap, seperti pria yang baru selesai menghadiri pertemuan penting. Meski wajahnya menampakkan keramahan, kehadiran sang mertua tiba-tiba membuat suasana terasa tegang bagi Sarah.Ayah kandu
Read more

17. LEBIH BAIK KITA BERCERAI, MAS

Sarah terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Dalam hati, ia merasa seharusnya pindah kamar, namun ada rasa takut bahwa keputusannya mungkin akan menimbulkan kecurigaan di mata Pak Herman.“Aku… mungkin lebih baik tetap di kamar ini untuk sementara,” jawab Sarah akhirnya, berusaha terdengar yakin pasti meskipun hatinya ragu.Raka mengangguk tanpa ekspresi. Mereka berjalan dengan keheningan yang kembali menimbulkan rasa tidak nyaman. Pintu lift terbuka dan mereka melangkah masuk.Tidak hanya mereka yang ada di sana. Ada tiga orang ikut masuk di waktu bersamaan hingga membuat kerudung Sarah nyaris terjepit di sekitar mereka. Gadis itu berusaha menarik diri, tetapi sepertinya belum berhasil. Sementara Raka masih menyaksikan tanpa berbuat apa-apa.“Maaf, Mbak. Kerudung saya,” ucap Sarah pelan.“Oh, sorry,” gumam orang itu sembari memberikan ruang untuk Sarah.        
Read more

18. DISUSUL OLEH NADIA

Raka terpaku di ambang pintu, memandang Nadia yang berdiri di sana dengan raut wajah tegang. Tatapannya tajam, hampir menusuk.“Nadia? Kamu... kenapa bisa di sini?” Raka bertanya dengan nada heran yang tidak bisa disembunyikan.Nadia menyilangkan tangan di dadanya, bibirnya menyunggingkan senyum sinis. “Pak Andi harus pulang ke Jakarta. Jadi HRD memintaku yang menggantikannya untuk tugas ini.” Matanya beralih ke Sarah yang duduk diam di sofa, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang mendalam.“Oh... begitu,” jawab Raka kikuk, tak tahu harus berkata apa.Sarah berdiri dari sofa, mencoba tetap tenang meski hatinya mulai merasa tak nyaman. Tatapannya bertemu sejenak dengan Raka, lalu kembali memandang ke arah Nadia.Nadia melangkah masuk ke kamar tanpa dipersilakan, pandangannya beralih antara Sarah dan Raka dengan ekspresi menyelidik. “Kalian berdua satu kamar?” tanyanya tajam, meski suaranya penuh dengan sindiran.Sarah hendak membuka mulut untuk menjelaskan, tapi Raka sudah lebih dulu a
Read more

19. PAHLAWAN SARAH

            Raka ingin bertanya siapa yang menelepon barusan. Namun, lagi-lagi rasa gengsinya lebih besar daripada jiwa penasaran yang ada. Jadilah ia berdehem agar Sarah segera menyudahi pembicaraan tadi.“Apa kita bisa pergi sekarang?” tanya Raka yang lekas diangguki oleh Sarah.            Tak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan. Raka menghentikan laju kendaraannya di sebuah kontrakan sederhana yang terletak di gang sempit kawasan kota Jakarta. Dindingnya terbuat dari bata merah dengan cat krem yang mulai memudar, sementara atapnya masih terbuat dari seng. Gang ini hanya cukup untuk satu motor lewat, dengan deretan rumah kontrakan yang berdempetan. Lampu jalan yang remang menjadi penerangan di sana.“Makasih ya, Mas,” ucap Sarah yang buru-buru melepas sabuk pengamannya. Raka hendak turun, tetapi gadis itu langsung me
Read more

20. IDE LEMBUR DARI RAKA

Hari itu Raka berusaha mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang mengganggu sejak melihat Sarah dan Rafly. Namun, rasa tersebut semakin tak tertahankan, terutama setiap kali Sarah menyebut nama Rafly dalam obrolan santai di kantor. Suara tawa Sarah ketika berbicara di telepon dengan Rafly pun membuat Raka tak tenang. Ada dorongan dalam dirinya untuk menghentikan kedekatan mereka, atau setidaknya, membuat Sarah ada di sisinya lebih lama.Sore ini saat semua rekan kerja lainnya sudah mulai bersiap-siap pulang, Raka mendekati meja Sarah dengan langkah pelan. Dia berdehem, lalu berkata dengan nada datar, “Sarah, saya butuh kamu untuk menyelesaikan beberapa laporan penting. Kita perlu lembur hari ini.”Sarah yang sedang merapikan barang-barangnya seketika terhenti. Ia menatap Raka dengan ragu, seolah ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar. “Hari ini, Pak?” tanya Sarah sambil menyembunyikan keterkejutannya. “Apa besok pagi tidak bi
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status