Hari itu Raka berusaha mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang mengganggu sejak melihat Sarah dan Rafly. Namun, rasa tersebut semakin tak tertahankan, terutama setiap kali Sarah menyebut nama Rafly dalam obrolan santai di kantor. Suara tawa Sarah ketika berbicara di telepon dengan Rafly pun membuat Raka tak tenang. Ada dorongan dalam dirinya untuk menghentikan kedekatan mereka, atau setidaknya, membuat Sarah ada di sisinya lebih lama.
Sore ini saat semua rekan kerja lainnya sudah mulai bersiap-siap pulang, Raka mendekati meja Sarah dengan langkah pelan. Dia berdehem, lalu berkata dengan nada datar, “Sarah, saya butuh kamu untuk menyelesaikan beberapa laporan penting. Kita perlu lembur hari ini.”
Sarah yang sedang merapikan barang-barangnya seketika terhenti. Ia menatap Raka dengan ragu, seolah ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar. “Hari ini, Pak?” tanya Sarah sambil menyembunyikan keterkejutannya. “Apa besok pagi tidak bi
Keesokan paginya, Raka tiba lebih awal di kantor. Ia bertekad untuk memulai langkah yang selama ini hanya terpendam di hatinya.Aku harus memastikan bahwa Sarah tahu posisiku, batinnya. Aku tidak bisa lagi hanya menonton dari jauh.Namun, ketika Sarah tiba di kantor, ia tampak lebih cerah dan penuh semangat dari biasanya. Belum sempat Raka mendekat, Rafly tiba-tiba datang ke kantor, membawakan kopi untuk Sarah sambil tersenyum lebar. Mereka berbicara akrab, bahkan terdengar cekikikan kecil dari arah meja Sarah.“Ngapain lagi kamu ke sini, Raf?” kekeh Sarah masih dengan wajah yang begitu ceria.“Mau manfaatin kesempatan aja, Ra. Mumpung jam ngantor kamu masih lama. Entar juga aku balik,” ucap Rafly kemudian.Raka merasakan panas yang menjalar di dadanya. Namun, kali ini ia tak lagi bisa hanya berdiam diri. Dengan langkah mantap, ia mendekati meja Sarah dan Rafly, tatapannya tajam penuh tekad.“S
Sarah kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terhuyung. Suara keras dari tongkatnya yang terjatuh di lantai memecah keheningan malam di kantor.Di dalam ruangannya, Raka yang sedang menatap layar komputer dengan wajah murung mendengar suara itu. Secepat kilat ia berdiri dan membuka pintu, jantungnya berdebar-debar. Begitu melihat Sarah tergeletak di lantai, rona cemas langsung menyelimuti wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia berlari mendekati tubuh gadis itu yang sudah tidak sadarkan diri.“Sarah… Sarah!” panggilnya, mengguncang tubuh Sarah dengan panik. Tak ada jawaban. Dalam keheningan malam yang hanya ditemani suara AC dan denging perangkat elektronik, rasa takut dalam diri Raka kian menebal.“Pak, sebentar ya. Saya akan panggilkan —““Tidak perlu,” potong Raka menyela ucapan seorang karyawan yang masih tersisa di sana.Dengan penuh kehati-hatian, Raka menggendong Sarah dalam pelukannya. Gadis itu tamp
Raka menghela napas panjang, ia tak ingin merusak momen yang baru saja terbangun dengan Sarah. Tapi panggilan itu terus berdering, mendesak. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik menuju pintu.“Sebentar ya, aku harus angkat telepon ini,” ujarnya singkat, menatap Sarah yang hanya mengangguk pelan. Setelah Raka keluar dari kamar kontrakan, suasana terasa sunyi. Sarah kembali merenung di tempat tidurnya, memikirkan pengakuan yang baru saja Raka ungkapkan.Di luar kamar, Raka menerima panggilan dari Nadia, yang langsung menyapa dengan suara tajam.“Ka, kamu di mana? Kok sulit sekali dihubungi? Ini sudah malam, ada urusan apa sampai kamu enggak ada di rumah?” tanya Nadia dengan nada yang jelas menunjukkan ketidakpuasan.Raka menarik napas dalam, menahan emosinya agar tidak terbawa. “Nadia, aku ada urusan penting. Maaf, bisa kita bicarakan nanti?”“Tapi ini penting, Ka!” Nadia mendesak. “Aku tidak suka k
“Aku tahu,” potong Raka cepat. “Aku pamit kalau gitu. Kalau ada apa-apa segera kabari.” Raka mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi rasa cemburu menguasai dirinya. Kalau sudah begitu, lebih baik ia pergi saja. Jangan sampai mengeluarkan ucapan buruk yang membuat Sarah sakit hati. Pada akhirnya Raka memaksakan senyumnya. Lantas berbalik badan setelah meletakkan bubur ayam yang ia beli dari penjual sarapan keliling.“Makasih ya, Mas,” ucap Sarah yang dibalas dengan gumaman pelan oleh Raka.“Kalau anak itu datang kemari, pintunya jangan ditutup. Nanti tetangga pada curiga kalau kalian ada apa-apa,” tukas Raka.“Iya, Mas.” Satu harian Raka misuh-misuh di rumahnya. Bahkan sejak pulang dari kon
Raka akhirnya tiba di rumah malam itu dengan kepala berat dan perasaan berkecamuk. Dia segera membuka pintu utama dengan pelan, berharap bisa langsung menuju kamar dan menghindari siapa pun yang mungkin masih terjaga. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara percakapan di ruang tengah.“Kamu dari mana saja, Ka?” Pertanyaan barusan membuat Raka terpaksa berbelok arah. Dia pun berjalan menuju sumber suara.“Dari kontrakan Sarah,” jawab Raka apa adanya. “Ada lagi, Pa?”Pak Herman mengangguk singkat lalu setelahnya kembali bertanya, “Mau sampai kapan kalian begini terus?”“Bukannya Papa yang nyuruh aku tetap mempertahankan pernikahan ini?”“Kasihan Sarah, lebih baik lepaskan saja dia.”“Akhirnya kamu sadar juga, Pa. Nadia pasti senang dengar ini.” Bu Rini tampak begitu girang mendengar apa yang disampaikan suaminya.“Diamlah, Rin. Jangan ikut campur kali ini,” tegas Pak Herman sembari memberi kode pada istrinya agar meninggalkan Raka seorang diri. Ya. seha
“Aku cinta sama Sarah.” Raka mengatakannya dengan lugas walaupun terdengar pelan. Namun, bagi Nadia kalimat itu seperti racun yang membuatnya membeku seketika. Dia menggeleng dengan mata yang terpejam untuk menolak pengakuan tadi.“Kamu gila, Ka.” Nadia mengucapkannya dengan suara serak. “Selama ini kamu anggap apa hubungan kita, hah??”“Nad, aku memang brengsek. Aku enggak mau lagi nyakitin kamu. Jadi … aku pikir ngomong sekarang lebih baik,” kata Raka akhirnya.“Jahat kamu, Ka!!” Nadia lantas memukul bidang dada Raka bertubi-tubi. Sementara sang empu pasrah. Bahkan dia sudah siap jika wanita yang disakitinya itu melakukan hal yang lebih, bahkan mungkin menampar atau yang buruk sekalipun.“Aku memang jahat, Nad. Maaf ya,” bisik Raka yang malah menarik Nadia ke dalam pelukannya. Di sanalah suara tangis pecah seketika. Tak peduli jika orang-orang di sekeliling mereka melihat. Yang penting bagi Raka dia sudah menyelesaikan apa yang hendak dikataka
Suara Rafly yang terdengar tiba-tiba membuat Raka yang kebetulan hendak ke kamar mandi menghentikan langkah. Dia menoleh dan mendapati Sarah serta Rafly berdiri tidak jauh darinya, menatap dengan ekspresi yang sulit diartikan.Raka merasa perlu menjelaskan situasinya, tetapi sebelum sempat mengatakan apapun, Nadia tiba-tiba menggenggam lengannya dengan ekspresi manis yang sama sekali tidak cocok dengan keadaan. “Ya, kita lagi ngobrol serius aja, sih. Mungkin kelihatan romantis dari jauh ya?” kata Nadia, sengaja melirik ke arah Sarah dengan senyum yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih.Sarah hanya diam, matanya tertuju pada tangan Nadia yang masih mencengkeram lengan Raka. Wajahnya datar, tapi ada perasaan sakit yang sulit ia sembunyikan di balik tatapannya yang beku.“Bukan urusan kami,” Sarah berkata pelan, suaranya begitu datar, dan dia melirik ke arah Rafly sambil berkata, “Kita pergi yuk, Raf.”Rafly menatap Raka dengan ekspresi kebingungan yang jelas terlihat di wajahnya, lalu m
“Semoga kamu betah ya, Ra, tinggal di sini. Besok kita mulai terapinya,” ucap Rafly sambil tersenyum lebar. Sarah hanya mengangguk, matanya mengambang pada fasilitas yang baru saja diperlihatkan Rafly padanya. Kamar yang cukup luas dengan perabotan baru dan nyaman, lengkap dengan fasilitas yang mendukung proses pemulihannya. Semua terlihat sempurna—terlalu sempurna, bahkan. “Aku enggak tahu harus bilang apa. Terima kasih banget, Raf,” jawab Sarah dengan suara yang agak serak, menahan rasa terharu. Rafly tersenyum bangga. “Gak perlu terima kasih, Ra. Yang penting kamu sehat dan bisa hidup lebih mandiri. Omku yang dokter lulusan dari spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi bakal bantu terapi kamu agar bisa jalan tanpa tongkat lagi.” Sarah menatapnya dengan mata berbinar. “Aku akan berusaha, Raf. Aku juga enggak mau bergantung sama tongkat terus.” Rafly menepuk pundaknya. “Semangat ya. Kalau kamu butuh apa-apa, aku pasti bantu.” Sarah memandangi kamar yang baru saja disiapkan un
"Aku punya waktu tiga minggu. Tolong di masa ini jangan ganggu hubungan kami. Selebihnya, terserahmu," kata Raka dengan nada tegas, namun matanya menyiratkan harapan.Rafly menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar cangkir teh di tangannya. Ia menatap Raka dengan ekspresi datar, seolah sedang menilai seberapa serius ucapan pria itu. Setelah mengangkat cangkir teh tadi, ia meniupnya perlahan lalu berkata, “Tiga minggu? Om yakin cukup buat memperbaiki semuanya?”“Cukup atau tidak, aku akan coba,” balas Raka tegas.Rafly tertawa kecil, lalu menyesap tehnya. “Baiklah, Om. Aku enggak akan ganggu. Tapi, kalau setelah tiga minggu Om masih gagal... jangan salahkan aku kalau aku yang akan maju.”Raka mengangguk kecil, meski keraguan masih memenuhi pikirannya. Dengan berat hati, ia meninggalkan ruangan tempat mereka bertemu, menuju klinik untuk menjemput Sarah dengan langkah cepat. Namun, perasaan cemas tetap menghantui. Apak
“Ganti semua, Om bilang?” Rafly menyeringai tipis. “Aku enggak pernah minta gantinya, kok. Lagipula, yang aku kasih itu bukan buat Om, tapi buat Sarah.” Nada suaranya penuh sindiran.Raka mengepalkan tangannya di sisi tubuh, menahan dorongan emosinya. “Aku enggak mau istri aku berutang apa pun sama orang lain. Terutama kamu!!”Rafly tertawa kecil, terdengar hambar di tengah rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi. “Kalau gitu pastikan saja, Om. Jangan sampai Ara lebih butuh aku daripada suaminya sendiri.”Raka melangkah mendekat, hingga hanya berjarak beberapa langkah dari Rafly. “Kamu enggak punya hak bicara soal istri aku. Kalau kamu benar peduli sama Sarah, mundurlah. Jangan ganggu hidup kami lagi.”“Ganggu?” balas Rafly, suaranya lebih pelan tetapi penuh arti. “Aku ada di sini karena Ara butuh seseorang yang mengerti dia. Dan sepertinya, itu bukan dari suaminya yang &md
Pagi itu, setelah sarapan sederhana bersama, Sarah sedang bersiap untuk pergi menjalani terapi. Udara di kontrakan masih terasa dingin meskipun sinar matahari mulai mengintip dari balik tirai jendela. Raka, dengan wajah yang sudah segar setelah mandi, berdiri di depan pintu dengan jaketnya."Mas antar ya," ucap Raka dengan nada mantap.Sarah menoleh, menatapnya dengan alis yang sedikit terangkat. "Aku bisa sendiri. Lagian Mas harus ngantor ‘kan?""Enggak, Sarah. Aku ingin pastikan kamu aman. Aku akan ambil cuti. Sebentar ya aku hubungi ke kantor dulu," jawab Raka, matanya menatap lembut ke arah Sarah dengan nada bicara yang seolah tidak memberikan ruang untuk bantahan.Namun, sebelum Sarah sempat membalas, suara ketukan pintu membuat mereka berdua menoleh. Ketukan itu keras, seolah si tamu tidak sabar menunggu. Sarah buru-buru membuka pintu dan mendapati sosok Rafly berdiri di sana.Rafly terlihat berbeda pagi itu. Wajahnya tidak seceria biasa,
“Tiga minggu 'kan? Kamu sudah setuju, Sarah. Jadi biarkan aku memanfaatkan waktu sebaik mungkin."Raka mengembangkan senyumnya, lebar dan penuh percaya diri, sebuah ekspresi yang tidak asing tetapi kini terasa berbeda di mata Sarah. Ia tidak tahu harus merasa apa—antara jengkel atau bingung—sehingga hanya bisa berdiri mematung di tempat. Jawaban spontan itu benar-benar membuatnya tidak siap."Ayo, masuk! Sudah malam," lanjut Raka, kali ini nadanya lebih lembut. Tanpa menunggu respons Sarah, ia menarik tangannya dengan perlahan, memastikan sentuhannya tidak terasa memaksa.Sarah pun hanya bisa menghela napas. Ia tahu tak ada gunanya menentang, bukan hanya karena mereka sedang di luar rumah, tetapi karena sesuatu dalam cara Raka berbicara malam ini membuatnya tak ingin memulai perdebatan.Begitu mereka masuk ke dalam kontrakan, keheningan menyelimuti ruangan. Tempat itu tidak luas, hanya terdiri dari ruang tamu kecil yang langsung tersambung ke dapur, serta sebuah kamar tidur di bagian
"Aku bisa sendiri, Mas."Sarah berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Raka. Namun, Raka justru memeluk pinggangnya dengan erat."Ayolah, Sarah. Aku yang akan mengantarmu terapi," ujar Raka dengan nada memohon, tatapan matanya penuh kesungguhan.Sarah menatapnya sejenak. Ada perasaan yang berkecamuk di hatinya—keinginan untuk percaya, namun juga takut terluka lagi. Setelah perdebatan kecil, Sarah akhirnya menurut dan masuk ke dalam mobil.Perjalanan menuju klinik terasa hening, hanya diiringi suara gemericik hujan di luar jendela. Sarah memilih diam, menatap tetesan air yang mengalir di kaca. Sementara itu, Raka beberapa kali meliriknya melalui spion tengah, mencoba mencari celah untuk berbicara.“Sarah,” panggil Raka tiba-tiba, suaranya lembut tapi terdengar mantap. “Apa yang kamu lihat di taman itu hanya salah paham. Aku ingin mempernaiki hubungan kita dan menjelaskannya pada Nadia.”Sarah menoleh sedikit
Rafly bertanya dengan suara lirih, nyaris tak terdengar, tetapi cukup untuk membuat Sarah terpaku. Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian, dengan pandangan yang kosong, ia mengangguk pelan. Pengakuan tersebut membuat Rafly menghela napas berat, jelas terlihat betapa ia terkejut. “Jadi, selama ini... Om Raka itu...” Rafly tak mampu melanjutkan kalimatnya, tatapan matanya berubah sendu, seolah tak percaya. Sarah menunduk, menghindari tatapan Rafly. “Aku enggak mau begini juga, Raf... Pernikahan kami bukan karena cinta,” katanya pelan. “Itu semua terjadi setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Ayah. Saat itu aku dalam keadaan terburuk, merasa hancur, dan akhirnya Mas Raka datang… lalu kami menikah. Semua terjadi begitu cepat.” Rafly diam, menyerap penjelasan Sarah dengan wajah yang tampak menyimpan kekecewaan. “Jadi... kalian menikah karena terpaksa?” Sarah mengangguk, lalu menghela napas. “Ya. Saat itu aku merasa pernikahan ini adalah tanggung jawab, bukan pilihan. Mas Raka merasa bersa
Raka berdiri di hadapan Rafly dengan tegas, menatapnya tajam, lalu mengulangi kata-kata yang ingin ia tegaskan sejak awal.“Aku adalah suaminya,” katanya lagi dengan suara mantap.Rafly terdiam. Kalimat itu seperti petir yang menyambar, menggetarkan seluruh benaknya. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Wajahnya seketika berubah menjadi lebih serius, memandang Raka dengan campuran rasa tak percaya dan kemarahan yang sulit ia sembunyikan. Setelah beberapa saat, Rafly menggeleng, menahan senyum sinis.“Aku enggak percaya,” katanya dengan suara rendah. “Kalau Om benar-benar suaminya Ara, enggak mungkin dia jadi begini. Enggak mungkin dia hidup sendirian, bahkan untuk menjalani terapi saja dia enggak bisa. Padahal Om ‘kan punya cukup materi untuk itu.” Rafly mendekat ke arah Raka, menatapnya lurus. “Jangan mengada-ada, Om.”Perkataan Rafly terasa seperti pukulan telak bagi Raka. Kata-kata itu membawa p
“Semoga kamu betah ya, Ra, tinggal di sini. Besok kita mulai terapinya,” ucap Rafly sambil tersenyum lebar. Sarah hanya mengangguk, matanya mengambang pada fasilitas yang baru saja diperlihatkan Rafly padanya. Kamar yang cukup luas dengan perabotan baru dan nyaman, lengkap dengan fasilitas yang mendukung proses pemulihannya. Semua terlihat sempurna—terlalu sempurna, bahkan. “Aku enggak tahu harus bilang apa. Terima kasih banget, Raf,” jawab Sarah dengan suara yang agak serak, menahan rasa terharu. Rafly tersenyum bangga. “Gak perlu terima kasih, Ra. Yang penting kamu sehat dan bisa hidup lebih mandiri. Omku yang dokter lulusan dari spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi bakal bantu terapi kamu agar bisa jalan tanpa tongkat lagi.” Sarah menatapnya dengan mata berbinar. “Aku akan berusaha, Raf. Aku juga enggak mau bergantung sama tongkat terus.” Rafly menepuk pundaknya. “Semangat ya. Kalau kamu butuh apa-apa, aku pasti bantu.” Sarah memandangi kamar yang baru saja disiapkan un
Suara Rafly yang terdengar tiba-tiba membuat Raka yang kebetulan hendak ke kamar mandi menghentikan langkah. Dia menoleh dan mendapati Sarah serta Rafly berdiri tidak jauh darinya, menatap dengan ekspresi yang sulit diartikan.Raka merasa perlu menjelaskan situasinya, tetapi sebelum sempat mengatakan apapun, Nadia tiba-tiba menggenggam lengannya dengan ekspresi manis yang sama sekali tidak cocok dengan keadaan. “Ya, kita lagi ngobrol serius aja, sih. Mungkin kelihatan romantis dari jauh ya?” kata Nadia, sengaja melirik ke arah Sarah dengan senyum yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih.Sarah hanya diam, matanya tertuju pada tangan Nadia yang masih mencengkeram lengan Raka. Wajahnya datar, tapi ada perasaan sakit yang sulit ia sembunyikan di balik tatapannya yang beku.“Bukan urusan kami,” Sarah berkata pelan, suaranya begitu datar, dan dia melirik ke arah Rafly sambil berkata, “Kita pergi yuk, Raf.”Rafly menatap Raka dengan ekspresi kebingungan yang jelas terlihat di wajahnya, lalu m