Keesokan paginya, Raka tiba lebih awal di kantor. Ia bertekad untuk memulai langkah yang selama ini hanya terpendam di hatinya.
Aku harus memastikan bahwa Sarah tahu posisiku, batinnya. Aku tidak bisa lagi hanya menonton dari jauh.
Namun, ketika Sarah tiba di kantor, ia tampak lebih cerah dan penuh semangat dari biasanya. Belum sempat Raka mendekat, Rafly tiba-tiba datang ke kantor, membawakan kopi untuk Sarah sambil tersenyum lebar. Mereka berbicara akrab, bahkan terdengar cekikikan kecil dari arah meja Sarah.
“Ngapain lagi kamu ke sini, Raf?” kekeh Sarah masih dengan wajah yang begitu ceria.
“Mau manfaatin kesempatan aja, Ra. Mumpung jam ngantor kamu masih lama. Entar juga aku balik,” ucap Rafly kemudian.
Raka merasakan panas yang menjalar di dadanya. Namun, kali ini ia tak lagi bisa hanya berdiam diri. Dengan langkah mantap, ia mendekati meja Sarah dan Rafly, tatapannya tajam penuh tekad.
“S
Sarah kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terhuyung. Suara keras dari tongkatnya yang terjatuh di lantai memecah keheningan malam di kantor.Di dalam ruangannya, Raka yang sedang menatap layar komputer dengan wajah murung mendengar suara itu. Secepat kilat ia berdiri dan membuka pintu, jantungnya berdebar-debar. Begitu melihat Sarah tergeletak di lantai, rona cemas langsung menyelimuti wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia berlari mendekati tubuh gadis itu yang sudah tidak sadarkan diri.“Sarah… Sarah!” panggilnya, mengguncang tubuh Sarah dengan panik. Tak ada jawaban. Dalam keheningan malam yang hanya ditemani suara AC dan denging perangkat elektronik, rasa takut dalam diri Raka kian menebal.“Pak, sebentar ya. Saya akan panggilkan —““Tidak perlu,” potong Raka menyela ucapan seorang karyawan yang masih tersisa di sana.Dengan penuh kehati-hatian, Raka menggendong Sarah dalam pelukannya. Gadis itu tamp
Raka menghela napas panjang, ia tak ingin merusak momen yang baru saja terbangun dengan Sarah. Tapi panggilan itu terus berdering, mendesak. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik menuju pintu.“Sebentar ya, aku harus angkat telepon ini,” ujarnya singkat, menatap Sarah yang hanya mengangguk pelan. Setelah Raka keluar dari kamar kontrakan, suasana terasa sunyi. Sarah kembali merenung di tempat tidurnya, memikirkan pengakuan yang baru saja Raka ungkapkan.Di luar kamar, Raka menerima panggilan dari Nadia, yang langsung menyapa dengan suara tajam.“Ka, kamu di mana? Kok sulit sekali dihubungi? Ini sudah malam, ada urusan apa sampai kamu enggak ada di rumah?” tanya Nadia dengan nada yang jelas menunjukkan ketidakpuasan.Raka menarik napas dalam, menahan emosinya agar tidak terbawa. “Nadia, aku ada urusan penting. Maaf, bisa kita bicarakan nanti?”“Tapi ini penting, Ka!” Nadia mendesak. “Aku tidak suka k
“Aku tahu,” potong Raka cepat. “Aku pamit kalau gitu. Kalau ada apa-apa segera kabari.” Raka mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi rasa cemburu menguasai dirinya. Kalau sudah begitu, lebih baik ia pergi saja. Jangan sampai mengeluarkan ucapan buruk yang membuat Sarah sakit hati. Pada akhirnya Raka memaksakan senyumnya. Lantas berbalik badan setelah meletakkan bubur ayam yang ia beli dari penjual sarapan keliling.“Makasih ya, Mas,” ucap Sarah yang dibalas dengan gumaman pelan oleh Raka.“Kalau anak itu datang kemari, pintunya jangan ditutup. Nanti tetangga pada curiga kalau kalian ada apa-apa,” tukas Raka.“Iya, Mas.” Satu harian Raka misuh-misuh di rumahnya. Bahkan sejak pulang dari kon
Raka akhirnya tiba di rumah malam itu dengan kepala berat dan perasaan berkecamuk. Dia segera membuka pintu utama dengan pelan, berharap bisa langsung menuju kamar dan menghindari siapa pun yang mungkin masih terjaga. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara percakapan di ruang tengah.“Kamu dari mana saja, Ka?” Pertanyaan barusan membuat Raka terpaksa berbelok arah. Dia pun berjalan menuju sumber suara.“Dari kontrakan Sarah,” jawab Raka apa adanya. “Ada lagi, Pa?”Pak Herman mengangguk singkat lalu setelahnya kembali bertanya, “Mau sampai kapan kalian begini terus?”“Bukannya Papa yang nyuruh aku tetap mempertahankan pernikahan ini?”“Kasihan Sarah, lebih baik lepaskan saja dia.”“Akhirnya kamu sadar juga, Pa. Nadia pasti senang dengar ini.” Bu Rini tampak begitu girang mendengar apa yang disampaikan suaminya.“Diamlah, Rin. Jangan ikut campur kali ini,” tegas Pak Herman sembari memberi kode pada istrinya agar meninggalkan Raka seorang diri. Ya. seha
“Aku cinta sama Sarah.” Raka mengatakannya dengan lugas walaupun terdengar pelan. Namun, bagi Nadia kalimat itu seperti racun yang membuatnya membeku seketika. Dia menggeleng dengan mata yang terpejam untuk menolak pengakuan tadi.“Kamu gila, Ka.” Nadia mengucapkannya dengan suara serak. “Selama ini kamu anggap apa hubungan kita, hah??”“Nad, aku memang brengsek. Aku enggak mau lagi nyakitin kamu. Jadi … aku pikir ngomong sekarang lebih baik,” kata Raka akhirnya.“Jahat kamu, Ka!!” Nadia lantas memukul bidang dada Raka bertubi-tubi. Sementara sang empu pasrah. Bahkan dia sudah siap jika wanita yang disakitinya itu melakukan hal yang lebih, bahkan mungkin menampar atau yang buruk sekalipun.“Aku memang jahat, Nad. Maaf ya,” bisik Raka yang malah menarik Nadia ke dalam pelukannya. Di sanalah suara tangis pecah seketika. Tak peduli jika orang-orang di sekeliling mereka melihat. Yang penting bagi Raka dia sudah menyelesaikan apa yang hendak dikataka
Suara Rafly yang terdengar tiba-tiba membuat Raka yang kebetulan hendak ke kamar mandi menghentikan langkah. Dia menoleh dan mendapati Sarah serta Rafly berdiri tidak jauh darinya, menatap dengan ekspresi yang sulit diartikan.Raka merasa perlu menjelaskan situasinya, tetapi sebelum sempat mengatakan apapun, Nadia tiba-tiba menggenggam lengannya dengan ekspresi manis yang sama sekali tidak cocok dengan keadaan. “Ya, kita lagi ngobrol serius aja, sih. Mungkin kelihatan romantis dari jauh ya?” kata Nadia, sengaja melirik ke arah Sarah dengan senyum yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih.Sarah hanya diam, matanya tertuju pada tangan Nadia yang masih mencengkeram lengan Raka. Wajahnya datar, tapi ada perasaan sakit yang sulit ia sembunyikan di balik tatapannya yang beku.“Bukan urusan kami,” Sarah berkata pelan, suaranya begitu datar, dan dia melirik ke arah Rafly sambil berkata, “Kita pergi yuk, Raf.”Rafly menatap Raka dengan ekspresi kebingungan yang jelas terlihat di wajahnya, lalu m
“Semoga kamu betah ya, Ra, tinggal di sini. Besok kita mulai terapinya,” ucap Rafly sambil tersenyum lebar. Sarah hanya mengangguk, matanya mengambang pada fasilitas yang baru saja diperlihatkan Rafly padanya. Kamar yang cukup luas dengan perabotan baru dan nyaman, lengkap dengan fasilitas yang mendukung proses pemulihannya. Semua terlihat sempurna—terlalu sempurna, bahkan. “Aku enggak tahu harus bilang apa. Terima kasih banget, Raf,” jawab Sarah dengan suara yang agak serak, menahan rasa terharu. Rafly tersenyum bangga. “Gak perlu terima kasih, Ra. Yang penting kamu sehat dan bisa hidup lebih mandiri. Omku yang dokter lulusan dari spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi bakal bantu terapi kamu agar bisa jalan tanpa tongkat lagi.” Sarah menatapnya dengan mata berbinar. “Aku akan berusaha, Raf. Aku juga enggak mau bergantung sama tongkat terus.” Rafly menepuk pundaknya. “Semangat ya. Kalau kamu butuh apa-apa, aku pasti bantu.” Sarah memandangi kamar yang baru saja disiapkan un
Raka berdiri di hadapan Rafly dengan tegas, menatapnya tajam, lalu mengulangi kata-kata yang ingin ia tegaskan sejak awal.“Aku adalah suaminya,” katanya lagi dengan suara mantap.Rafly terdiam. Kalimat itu seperti petir yang menyambar, menggetarkan seluruh benaknya. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Wajahnya seketika berubah menjadi lebih serius, memandang Raka dengan campuran rasa tak percaya dan kemarahan yang sulit ia sembunyikan. Setelah beberapa saat, Rafly menggeleng, menahan senyum sinis.“Aku enggak percaya,” katanya dengan suara rendah. “Kalau Om benar-benar suaminya Ara, enggak mungkin dia jadi begini. Enggak mungkin dia hidup sendirian, bahkan untuk menjalani terapi saja dia enggak bisa. Padahal Om ‘kan punya cukup materi untuk itu.” Rafly mendekat ke arah Raka, menatapnya lurus. “Jangan mengada-ada, Om.”Perkataan Rafly terasa seperti pukulan telak bagi Raka. Kata-kata itu membawa p
“Ada hal yang harus kami benahi sebelum kembali ke sini lagi.”Raka menjawab dengan nada tegas tapi tetap sopan. Pak Herman mengangguk pelan, menerima jawaban itu dengan sikap yang tenang. Namun, sorot matanya menunjukkan bahwa ia memahami lebih banyak daripada yang diungkapkan oleh kata-kata.“Baiklah,” kata Pak Herman akhirnya. “Oh ya, ayo kita makan. Papa sudah lapar. Tadi Rini masak soto ayam kesukaanmu, Ka.”Ucapan itu membuat Sarah menoleh sejenak. Rini, yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah datar, melirik Sarah sekilas sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. Aura dingin dan sinis wanita itu terasa begitu mencolok. Meski Rini tidak mengatakan apa pun, Sarah dapat merasakan ketidakramahan yang disembunyikan di balik sikap formalnya.Raka menggenggam tangan Sarah dengan lembut, mengisyaratkan agar istrinya mengikutinya ke meja makan. Meski ragu, Sarah mengikuti langkahnya tanpa banyak bicara.Saat hendak
Pagi itu, Sarah sedang menyiapkan sarapan ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat. Ia tampak sudah rapi dengan kemeja biru berlengan panjang dan celana panjang hitam. Rambutnya yang sedikit basah menunjukkan bahwa ia baru saja selesai mandi.Sarah menoleh sekilas. “Sarapan dulu, Mas.”Raka hanya mengangguk sambil merapikan lengan kemejanya. “Kamu juga siap-siap. Hari ini kita berangkat bareng ke kantor.”Sarah, yang sedang menuangkan teh, berhenti sejenak. “Bareng? Maksudnya… kamu mau aku ikut sama kamu?”Raka menatapnya, nadanya santai tapi tegas. “Ya. Aku enggak mau ada lagi gosip soal kita. Kalau kita datang bareng, semuanya jelas.”Sarah mengerutkan dahi. “Tapi, Mas, bukannya itu malah bikin aku tambah jadi bahan omongan? Apalagi posisi aku ‘kan cuma anak magang.”Raka menghela napas, lalu menghampiri Sarah. “Sarah,” panggilnya dengan nada yang lebih lembut, “aku tahu ini berat buat kamu, tapi aku enggak mau kamu terus-terusan di posisi diserang tanpa bisa membela diri. Kali i
Setelah mengatakan kalimat itu, Raka menatap Dini dan Lira secara bergantian. Pandangannya tajam, seolah menyampaikan bahwa larangan tadi adalah mutlak dan tak terbantahkan. Kedua sahabat Sarah tersebut saling melirik sebelum mengangguk paham, meski ada kilatan penasaran di mata mereka yang masih tersisa."Kamu mau makan apa, Sarah?" tanya Raka, suaranya kali ini terdengar lembut dan penuh perhatian.Sarah, yang masih mencoba memproses perubahan sikap Raka yang tiba-tiba tegas tadi, menjawab pelan, "Terserah Mas saja."Raka memandangnya sejenak sebelum berkata, "Ya sudah. Aku pesankan soto ayam, ya?"Sarah mengangguk. "Boleh," jawabnya singkat, pandangannya tertunduk untuk menghindari tatapan sahabat-sahabatnya.Raka melangkah keluar, menutup pintu dengan tenang. Suasana hening sejenak, hanya suara langkah kaki Raka yang memudar di kejauhan. Begitu yakin pria itu tak lagi mendengar, Dini langsung mendekat dengan senyum jahilnya."Ra, Ra...,"
Setelah kejadian di parkiran, Sarah dan Raka kembali ke kontrakan dengan perasaan berat. Langkah mereka terasa lambat, seolah setiap derap kaki semakin menambah beban pikiran. Sarah berkutat dengan perasaannya yang kacau, sementara Raka diam, jelas tengah menahan amarah yang hampir meluap.Begitu sampai, pintu kontrakan terbuka. Namun belum sempat masuk ke sana, dua sosok familiar menyambut mereka dengan tatapan kaget. Dini dan Lira, yang semula niat untuk bertandang, langsung terperanjat begitu melihat Raka dan Sarah yang tampak dekat sekali."Duh, kalian pulang barengan nih? Wah, romantis amat," celetuk Dini, matanya melirik tangan Raka yang tak sengaja menyentuh bahu Sarah.Sarah langsung mundur selangkah, mencoba menjaga jarak, tetapi Raka dengan tenang tetap berdiri di sisinya."Dini, Lira, kok kalian …di sini?" tanya Sarah, suaranya gemetar. Napasnya terasa tercekat di tenggorokan."Ya ampun, Ra. Jelas aja kami nungguin kamu. Lupa ya k
Raka duduk di ruangannya, menatap layar laptop dengan pikiran yang melayang-layang. Ia menyadari hubungan rahasia antara dirinya dan Sarah semakin menjadi beban. Tidak hanya bagi mereka berdua, tetapi juga mulai menarik perhatian yang tidak diinginkan—terutama dari Nadia tentu saja.Sementara di ruangan yang lain Sarah mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan. Namun, bisik-bisik yang terdengar dari meja sebelah terus mengganggunya."Katanya Sarah itu cuma numpang tenar karena deket sama Pak Raka," ujar seorang rekan kerja dengan suara pelan tapi cukup terdengar."Ya, bisa jadi sih. Pak Raka kan bener-bener perhatian sama dia. Padahal dia cuma anak magang."“Mungkin dianya aja sih yang baper. Pak Raka kasihan aja karena dia pincang,” tambah yang lain lagi.Sarah menunduk, pura-pura tidak mendengar. Tapi hatinya bergemuruh. Gadis itu menghela napas jengah begitu melihat kedatangan Nadia dari kejauhan.Beberapa hari terakhir, Nadia semakin terang-terangan menyudutkannya. Mulai dari krit
"Aku punya waktu tiga minggu. Tolong di masa ini jangan ganggu hubungan kami. Selebihnya, terserahmu," kata Raka dengan nada tegas, namun matanya menyiratkan harapan.Rafly menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar cangkir teh di tangannya. Ia menatap Raka dengan ekspresi datar, seolah sedang menilai seberapa serius ucapan pria itu. Setelah mengangkat cangkir teh tadi, ia meniupnya perlahan lalu berkata, “Tiga minggu? Om yakin cukup buat memperbaiki semuanya?”“Cukup atau tidak, aku akan coba,” balas Raka tegas.Rafly tertawa kecil, lalu menyesap tehnya. “Baiklah, Om. Aku enggak akan ganggu. Tapi, kalau setelah tiga minggu Om masih gagal... jangan salahkan aku kalau aku yang akan maju.”Raka mengangguk kecil, meski keraguan masih memenuhi pikirannya. Dengan berat hati, ia meninggalkan ruangan tempat mereka bertemu, menuju klinik untuk menjemput Sarah dengan langkah cepat. Namun, perasaan cemas tetap menghantui. Apak
“Ganti semua, Om bilang?” Rafly menyeringai tipis. “Aku enggak pernah minta gantinya, kok. Lagipula, yang aku kasih itu bukan buat Om, tapi buat Sarah.” Nada suaranya penuh sindiran.Raka mengepalkan tangannya di sisi tubuh, menahan dorongan emosinya. “Aku enggak mau istri aku berutang apa pun sama orang lain. Terutama kamu!!”Rafly tertawa kecil, terdengar hambar di tengah rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi. “Kalau gitu pastikan saja, Om. Jangan sampai Ara lebih butuh aku daripada suaminya sendiri.”Raka melangkah mendekat, hingga hanya berjarak beberapa langkah dari Rafly. “Kamu enggak punya hak bicara soal istri aku. Kalau kamu benar peduli sama Sarah, mundurlah. Jangan ganggu hidup kami lagi.”“Ganggu?” balas Rafly, suaranya lebih pelan tetapi penuh arti. “Aku ada di sini karena Ara butuh seseorang yang mengerti dia. Dan sepertinya, itu bukan dari suaminya yang &md
Pagi itu, setelah sarapan sederhana bersama, Sarah sedang bersiap untuk pergi menjalani terapi. Udara di kontrakan masih terasa dingin meskipun sinar matahari mulai mengintip dari balik tirai jendela. Raka, dengan wajah yang sudah segar setelah mandi, berdiri di depan pintu dengan jaketnya."Mas antar ya," ucap Raka dengan nada mantap.Sarah menoleh, menatapnya dengan alis yang sedikit terangkat. "Aku bisa sendiri. Lagian Mas harus ngantor ‘kan?""Enggak, Sarah. Aku ingin pastikan kamu aman. Aku akan ambil cuti. Sebentar ya aku hubungi ke kantor dulu," jawab Raka, matanya menatap lembut ke arah Sarah dengan nada bicara yang seolah tidak memberikan ruang untuk bantahan.Namun, sebelum Sarah sempat membalas, suara ketukan pintu membuat mereka berdua menoleh. Ketukan itu keras, seolah si tamu tidak sabar menunggu. Sarah buru-buru membuka pintu dan mendapati sosok Rafly berdiri di sana.Rafly terlihat berbeda pagi itu. Wajahnya tidak seceria biasa,
“Tiga minggu 'kan? Kamu sudah setuju, Sarah. Jadi biarkan aku memanfaatkan waktu sebaik mungkin."Raka mengembangkan senyumnya, lebar dan penuh percaya diri, sebuah ekspresi yang tidak asing tetapi kini terasa berbeda di mata Sarah. Ia tidak tahu harus merasa apa—antara jengkel atau bingung—sehingga hanya bisa berdiri mematung di tempat. Jawaban spontan itu benar-benar membuatnya tidak siap."Ayo, masuk! Sudah malam," lanjut Raka, kali ini nadanya lebih lembut. Tanpa menunggu respons Sarah, ia menarik tangannya dengan perlahan, memastikan sentuhannya tidak terasa memaksa.Sarah pun hanya bisa menghela napas. Ia tahu tak ada gunanya menentang, bukan hanya karena mereka sedang di luar rumah, tetapi karena sesuatu dalam cara Raka berbicara malam ini membuatnya tak ingin memulai perdebatan.Begitu mereka masuk ke dalam kontrakan, keheningan menyelimuti ruangan. Tempat itu tidak luas, hanya terdiri dari ruang tamu kecil yang langsung tersambung ke dapur, serta sebuah kamar tidur di bagian