Raka menghela napas panjang, ia tak ingin merusak momen yang baru saja terbangun dengan Sarah. Tapi panggilan itu terus berdering, mendesak. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik menuju pintu.
“Sebentar ya, aku harus angkat telepon ini,” ujarnya singkat, menatap Sarah yang hanya mengangguk pelan. Setelah Raka keluar dari kamar kontrakan, suasana terasa sunyi. Sarah kembali merenung di tempat tidurnya, memikirkan pengakuan yang baru saja Raka ungkapkan.
Di luar kamar, Raka menerima panggilan dari Nadia, yang langsung menyapa dengan suara tajam.
“Ka, kamu di mana? Kok sulit sekali dihubungi? Ini sudah malam, ada urusan apa sampai kamu enggak ada di rumah?” tanya Nadia dengan nada yang jelas menunjukkan ketidakpuasan.
Raka menarik napas dalam, menahan emosinya agar tidak terbawa. “Nadia, aku ada urusan penting. Maaf, bisa kita bicarakan nanti?”
“Tapi ini penting, Ka!” Nadia mendesak. “Aku tidak suka k
“Aku tahu,” potong Raka cepat. “Aku pamit kalau gitu. Kalau ada apa-apa segera kabari.” Raka mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi rasa cemburu menguasai dirinya. Kalau sudah begitu, lebih baik ia pergi saja. Jangan sampai mengeluarkan ucapan buruk yang membuat Sarah sakit hati. Pada akhirnya Raka memaksakan senyumnya. Lantas berbalik badan setelah meletakkan bubur ayam yang ia beli dari penjual sarapan keliling.“Makasih ya, Mas,” ucap Sarah yang dibalas dengan gumaman pelan oleh Raka.“Kalau anak itu datang kemari, pintunya jangan ditutup. Nanti tetangga pada curiga kalau kalian ada apa-apa,” tukas Raka.“Iya, Mas.” Satu harian Raka misuh-misuh di rumahnya. Bahkan sejak pulang dari kon
Raka akhirnya tiba di rumah malam itu dengan kepala berat dan perasaan berkecamuk. Dia segera membuka pintu utama dengan pelan, berharap bisa langsung menuju kamar dan menghindari siapa pun yang mungkin masih terjaga. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara percakapan di ruang tengah.“Kamu dari mana saja, Ka?” Pertanyaan barusan membuat Raka terpaksa berbelok arah. Dia pun berjalan menuju sumber suara.“Dari kontrakan Sarah,” jawab Raka apa adanya. “Ada lagi, Pa?”Pak Herman mengangguk singkat lalu setelahnya kembali bertanya, “Mau sampai kapan kalian begini terus?”“Bukannya Papa yang nyuruh aku tetap mempertahankan pernikahan ini?”“Kasihan Sarah, lebih baik lepaskan saja dia.”“Akhirnya kamu sadar juga, Pa. Nadia pasti senang dengar ini.” Bu Rini tampak begitu girang mendengar apa yang disampaikan suaminya.“Diamlah, Rin. Jangan ikut campur kali ini,” tegas Pak Herman sembari memberi kode pada istrinya agar meninggalkan Raka seorang diri. Ya. seha
“Aku cinta sama Sarah.” Raka mengatakannya dengan lugas walaupun terdengar pelan. Namun, bagi Nadia kalimat itu seperti racun yang membuatnya membeku seketika. Dia menggeleng dengan mata yang terpejam untuk menolak pengakuan tadi.“Kamu gila, Ka.” Nadia mengucapkannya dengan suara serak. “Selama ini kamu anggap apa hubungan kita, hah??”“Nad, aku memang brengsek. Aku enggak mau lagi nyakitin kamu. Jadi … aku pikir ngomong sekarang lebih baik,” kata Raka akhirnya.“Jahat kamu, Ka!!” Nadia lantas memukul bidang dada Raka bertubi-tubi. Sementara sang empu pasrah. Bahkan dia sudah siap jika wanita yang disakitinya itu melakukan hal yang lebih, bahkan mungkin menampar atau yang buruk sekalipun.“Aku memang jahat, Nad. Maaf ya,” bisik Raka yang malah menarik Nadia ke dalam pelukannya. Di sanalah suara tangis pecah seketika. Tak peduli jika orang-orang di sekeliling mereka melihat. Yang penting bagi Raka dia sudah menyelesaikan apa yang hendak dikataka
Suara Rafly yang terdengar tiba-tiba membuat Raka yang kebetulan hendak ke kamar mandi menghentikan langkah. Dia menoleh dan mendapati Sarah serta Rafly berdiri tidak jauh darinya, menatap dengan ekspresi yang sulit diartikan.Raka merasa perlu menjelaskan situasinya, tetapi sebelum sempat mengatakan apapun, Nadia tiba-tiba menggenggam lengannya dengan ekspresi manis yang sama sekali tidak cocok dengan keadaan. “Ya, kita lagi ngobrol serius aja, sih. Mungkin kelihatan romantis dari jauh ya?” kata Nadia, sengaja melirik ke arah Sarah dengan senyum yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih.Sarah hanya diam, matanya tertuju pada tangan Nadia yang masih mencengkeram lengan Raka. Wajahnya datar, tapi ada perasaan sakit yang sulit ia sembunyikan di balik tatapannya yang beku.“Bukan urusan kami,” Sarah berkata pelan, suaranya begitu datar, dan dia melirik ke arah Rafly sambil berkata, “Kita pergi yuk, Raf.”Rafly menatap Raka dengan ekspresi kebingungan yang jelas terlihat di wajahnya, lalu m
“Semoga kamu betah ya, Ra, tinggal di sini. Besok kita mulai terapinya,” ucap Rafly sambil tersenyum lebar. Sarah hanya mengangguk, matanya mengambang pada fasilitas yang baru saja diperlihatkan Rafly padanya. Kamar yang cukup luas dengan perabotan baru dan nyaman, lengkap dengan fasilitas yang mendukung proses pemulihannya. Semua terlihat sempurna—terlalu sempurna, bahkan. “Aku enggak tahu harus bilang apa. Terima kasih banget, Raf,” jawab Sarah dengan suara yang agak serak, menahan rasa terharu. Rafly tersenyum bangga. “Gak perlu terima kasih, Ra. Yang penting kamu sehat dan bisa hidup lebih mandiri. Omku yang dokter lulusan dari spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi bakal bantu terapi kamu agar bisa jalan tanpa tongkat lagi.” Sarah menatapnya dengan mata berbinar. “Aku akan berusaha, Raf. Aku juga enggak mau bergantung sama tongkat terus.” Rafly menepuk pundaknya. “Semangat ya. Kalau kamu butuh apa-apa, aku pasti bantu.” Sarah memandangi kamar yang baru saja disiapkan un
Raka berdiri di hadapan Rafly dengan tegas, menatapnya tajam, lalu mengulangi kata-kata yang ingin ia tegaskan sejak awal.“Aku adalah suaminya,” katanya lagi dengan suara mantap.Rafly terdiam. Kalimat itu seperti petir yang menyambar, menggetarkan seluruh benaknya. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Wajahnya seketika berubah menjadi lebih serius, memandang Raka dengan campuran rasa tak percaya dan kemarahan yang sulit ia sembunyikan. Setelah beberapa saat, Rafly menggeleng, menahan senyum sinis.“Aku enggak percaya,” katanya dengan suara rendah. “Kalau Om benar-benar suaminya Ara, enggak mungkin dia jadi begini. Enggak mungkin dia hidup sendirian, bahkan untuk menjalani terapi saja dia enggak bisa. Padahal Om ‘kan punya cukup materi untuk itu.” Rafly mendekat ke arah Raka, menatapnya lurus. “Jangan mengada-ada, Om.”Perkataan Rafly terasa seperti pukulan telak bagi Raka. Kata-kata itu membawa p
Rafly bertanya dengan suara lirih, nyaris tak terdengar, tetapi cukup untuk membuat Sarah terpaku. Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian, dengan pandangan yang kosong, ia mengangguk pelan. Pengakuan tersebut membuat Rafly menghela napas berat, jelas terlihat betapa ia terkejut. “Jadi, selama ini... Om Raka itu...” Rafly tak mampu melanjutkan kalimatnya, tatapan matanya berubah sendu, seolah tak percaya. Sarah menunduk, menghindari tatapan Rafly. “Aku enggak mau begini juga, Raf... Pernikahan kami bukan karena cinta,” katanya pelan. “Itu semua terjadi setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Ayah. Saat itu aku dalam keadaan terburuk, merasa hancur, dan akhirnya Mas Raka datang… lalu kami menikah. Semua terjadi begitu cepat.” Rafly diam, menyerap penjelasan Sarah dengan wajah yang tampak menyimpan kekecewaan. “Jadi... kalian menikah karena terpaksa?” Sarah mengangguk, lalu menghela napas. “Ya. Saat itu aku merasa pernikahan ini adalah tanggung jawab, bukan pilihan. Mas Raka merasa bersa
"Aku bisa sendiri, Mas."Sarah berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Raka. Namun, Raka justru memeluk pinggangnya dengan erat."Ayolah, Sarah. Aku yang akan mengantarmu terapi," ujar Raka dengan nada memohon, tatapan matanya penuh kesungguhan.Sarah menatapnya sejenak. Ada perasaan yang berkecamuk di hatinya—keinginan untuk percaya, namun juga takut terluka lagi. Setelah perdebatan kecil, Sarah akhirnya menurut dan masuk ke dalam mobil.Perjalanan menuju klinik terasa hening, hanya diiringi suara gemericik hujan di luar jendela. Sarah memilih diam, menatap tetesan air yang mengalir di kaca. Sementara itu, Raka beberapa kali meliriknya melalui spion tengah, mencoba mencari celah untuk berbicara.“Sarah,” panggil Raka tiba-tiba, suaranya lembut tapi terdengar mantap. “Apa yang kamu lihat di taman itu hanya salah paham. Aku ingin mempernaiki hubungan kita dan menjelaskannya pada Nadia.”Sarah menoleh sedikit
Hari itu, udara terasa begitu tenang. Raka dan Sarah tengah duduk berdua di ruang keluarga, ditemani oleh Nasha yang sedang bermain dengan mainan di lantai. Meskipun suasana terasa begitu damai, ada sesuatu yang terasa berat di hati Raka. Ada semacam pertanda yang tak terucapkan, seolah dunia sedang mengingatkan mereka untuk lebih menghargai waktu yang ada. Beberapa hari sebelumnya, mereka baru saja merayakan ulang tahun pertama Nasha dengan penuh kebahagiaan. Momen itu, yang dipenuhi dengan tawa anak-anak panti asuhan dan sentuhan kasih sayang keluarga besar, memberikan Raka dan Sarah sebuah pemahaman baru tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Pak Herman kini mendatangi Raka yang sedang bersantai di taman belakang. Suaranya yang berat dan penuh makna terasa sangat berbeda dari biasanya. “Raka, ada hal penting yang ingin Papa sampaikan padamu,” kata Pak Herman saat teleponnya berbunyi. Suaranya terdengar agak lemah, namun tetap penuh kehangatan. Raka segera duduk tegak, khawat
Hari itu, langit tampak cerah, seakan ikut merayakan hari istimewa dalam keluarga kecil Raka dan Sarah. Nasha genap berusia satu tahun. Bukan pesta besar yang mereka persiapkan, tetapi sebuah acara syukuran sederhana yang penuh makna. Raka dan Sarah sepakat untuk merayakan ulang tahun pertama putri mereka dengan berbagi kebahagiaan di sebuah panti asuhan.Panti asuhan itu bukan tempat yang asing bagi mereka. Sejak kejadian penculikan Nasha dan konspirasi Bu Rini yang membuat mereka hampir kehilangan segalanya, Raka dan Sarah lebih banyak merenungi arti keluarga dan kasih sayang. Mereka ingin mengajarkan kepada Nasha bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang perayaan mewah, tetapi juga tentang berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.Pagi itu, suasana panti asuhan sudah mulai ramai. Anak-anak di sana terlihat bersemangat menyambut kedatangan tamu istimewa mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah mengenal Sarah dan Raka karena kunjungan-kunjungan sebelumnya. Pak
Setelah berhasil menyelamatkan Nasha dari tangan penculiknya, Raka, Sarah, dan Jeno kembali ke tempat persembunyian sementara mereka. Malam itu mereka beristirahat sejenak, meski pikiran mereka masih dipenuhi ketegangan. Namun, mereka tahu bahwa semua ini belum benar-benar berakhir.Keesokan paginya, Jeno menerima laporan dari timnya bahwa beberapa anak buah Bu Rini yang terlibat dalam penculikan telah tertangkap. Namun, dalang utama di balik kejadian ini masih menjadi misteri."Aku sudah melacak transaksi dan komunikasi mereka. Satu nama yang terus muncul adalah seorang pria bernama Anton," kata Jeno dengan serius. "Dia adalah tangan kanan Bu Rini yang selama ini bekerja di balik layar. Sepertinya dialah yang mengatur segalanya."Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, dia yang selama ini mengancam keluargaku?"Jeno mengangguk. "Dia sangat licin dan punya banyak koneksi. Tapi aku sudah menghubungi seseorang yang bisa membantu kita menangkapnya."Tak la
Malam semakin larut, tetapi Raka, Sarah, dan Jeno masih terjaga. Pikiran mereka penuh dengan kekhawatiran dan strategi. Pesan singkat yang baru saja diterima Raka seolah menjadi alarm bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu lagi."Kita harus menemukan keberadaan mereka sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih gila," kata Jeno dengan nada serius. "Aku sudah menghubungi seseorang yang pernah bekerja untuk Bu Rini. Dia setuju untuk bertemu, tapi dengan syarat kita harus berhati-hati."Raka mengangguk. "Di mana kita bisa menemuinya?""Sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dia bilang tempat itu aman, jauh dari pantauan orang-orang yang mungkin bekerja untuk Bu Rini," jawab Jeno.Sarah menggenggam tangan Raka erat. "Aku takut, Mas. Bagaimana jika ini jebakan?"Raka menatap dalam ke mata istrinya. "Kita tidak punya pilihan lain, Sayang. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Aku janji, aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau Nasha."Jeno menghela napas. "Baiklah, kita be
Sarah menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah lagi. Raka masih duduk di sebelahnya, ponsel di tangannya terasa dingin, seperti ancaman yang baru saja mereka terima. Jeno, yang berdiri di seberang mereka, mengetik sesuatu di ponselnya dengan cepat. Pria itu kemudian menatap Raka dengan sorot mata penuh kewaspadaan."Aku sudah menghubungi seseorang untuk melacak sumber video itu. Butuh waktu, tapi kita akan menemukan mereka," kata Jeno dengan suara dalam.Raka mengangguk, tangannya masih menggenggam jemari Sarah erat. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Nasha lebih lama lagi. Tapi kita harus berhati-hati, mereka jelas tahu pergerakan kita."Sarah menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang menggerogoti hatinya. "Siapa yang cukup kejam untuk melakukan ini, Mas? Aku yakin ini bukan Ratna. Dia ada di penjara. Lalu siapa?"Hening. Raka menatap Sarah, begitu pula Jeno. Tidak ada yang bisa menjawabnya saat itu.Namun, di balik keheningan itu, otak Raka be
"NASHA?"Suara Sarah memekik lantang. Tangannya gemetar saat ia melihat layar ponselnya. Tak lama kemudian, sebuah kiriman video berputar otomatis, menampilkan seorang bayi mungil berusia tiga bulan yang menangis keras. Mata Sarah membelalak, napasnya tercekat. Itu Nasha. Anak mereka telah diculik.Raka segera meraih ponsel dari tangan Sarah, matanya membelalak saat melihat rekaman itu. Nasha berada di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Tangisan bayi mereka menggema, membuat dada Sarah dan Raka terasa sesak. Tak ada suara lain dalam video itu, hanya isakan kecil yang semakin memilukan.Sebuah pesan muncul sesaat setelah video berakhir."Kalian ingin Nasha kembali? Jangan hubungi polisi. Kami akan memberitahu langkah selanjutnya."Sarah menatap Raka dengan wajah penuh ketakutan. "Mas... kita harus melakukan sesuatu. Nasha masih kecil, dia butuh kita."Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyen
Aula pengadilan dipenuhi dengan desas-desus dan tatapan tajam dari berbagai pihak. Sidang gugatan terhadap Ratna akhirnya dimulai, menjadi momen yang akan menentukan nasib keluarga Raka. Dengan bukti yang hilang, mereka harus mencari celah lain untuk melawan Ratna di hadapan hakim.Raka dan Sarah duduk di barisan penggugat, didampingi oleh pengacara mereka, Pak Rendy. Di seberang, Ratna tampak percaya diri dengan pengacara handalnya, seorang pria berpenampilan rapi dengan senyum yang mengintimidasi. Sorot matanya penuh dengan kesombongan, seolah yakin bahwa dirinya akan menang.Hakim mengetuk palu tanda sidang dimulai. "Sidang gugatan keluarga Raka Prasetya terhadap Ratna Wijayanti dibuka. Penggugat, silakan sampaikan tuntutan Anda."Pak Rendy berdiri. "Yang Mulia, kami memiliki bukti kuat bahwa tergugat telah memindahkan aset keluarga secara ilegal ke rekening pribadinya, tanpa persetujuan dari pewaris sah, yang menyebabkan kerugian besar bagi kel
Kehidupan Raka dan Sarah dalam beberapa minggu terakhir terasa seperti berjalan di atas bara api. Terlebih saat Jeno diserang oleh beberapa orang tak dikenal.Saat ini gugatan hukum terhadap Ratna telah menjadi berita utama di keluarga besar dan di luar sana. Ratna, seperti yang diperkirakan, tidak tinggal diam. Ia menggunakan segala cara, dari intimidasi hingga permainan kotor untuk menggagalkan perjuangan Raka dan Sarah.Hari itu, Raka dan Sarah sedang mengatur dokumen-dokumen penting di ruang kerja kecil di rumah mereka. Flash drive yang berisi dokumen-dokumen penting, termasuk bukti transfer aset ilegal Ratna, menjadi inti dari rencana mereka. Raka memastikan semua file telah dicadangkan dengan baik.“Sayang, aku rasa kita harus menyimpan salinan file ini di tempat yang lebih aman. Flash drive ini terlalu berisiko kalau hanya kita simpan di sini,” kata Raka sambil memegang benda kecil itu.Sarah mengangguk, setuju dengan saran suaminya. &l
Raka masih memikirkan ancaman terselubung Ratna saat sidang sementara Sarah merasa tertekan setelah mengetahui kondisi Pak Herman kembali memburuk. Beban dari kasus ini mulai menyusup ke dalam hubungan mereka.“Mas, kamu yakin bukti itu aman di tangan Jeno?” tanya Sarah sambil menuangkan kopi ke cangkir.Raka yang duduk di kursi makan, hanya mengangguk tanpa menatap Sarah. “Jeno sudah buktikan dia bisa dipercaya, Sayang. Aku rasa kita nggak punya pilihan lain.”Sarah menghela napas panjang. “Tapi kita juga harus waspada. Ratna mungkin akan bertindak lebih gila kalau dia tahu Jeno berpihak pada kita.”Raka menatap istrinya dengan mata yang penuh beban. “Aku tahu kamu khawatir, Sayang. Tapi kita sudah sampai sejauh ini. Kalau kita goyah sekarang, Ratna yang menang.”Sarah menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa kesal. “Aku bukan goyah, Mas. Aku cuma… aku cuma nggak mau kehilangan apa yang sudah kita perjuangkan.”Raka berdiri dan berjalan mendekati Sarah, menyentuh pundaknya lemb