Sarah menelan ludah, tak percaya melihat sosok pria yang berdiri di hadapannya dan Raka. “Ada urusan apa di Bandung, Raka?” Pria itu mengulang pertanyaan serupa dengan nada santai, namun intonasinya seolah menyelidik.
Alih-alih menanggapi hal barusan, Sarah malah memilih untuk mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Disusul Raka kemudian. Setelahnya mereka saling pandang sesaat, seolah mencari jawaban yang tepat.
Raka segera menguasai dirinya dan tersenyum tipis, “Kami ada urusan pekerjaan, Pa. Tadi selesai rapat, jadi sekalian ingin istirahat di sini,” jawabnya, berusaha membuat nada bicaranya terdengar wajar.
Pak Herman menatap mereka dengan senyum tipis yang misterius, namun sorot matanya penuh makna. Ia tampak rapi dalam setelan formal warna gelap, seperti pria yang baru selesai menghadiri pertemuan penting. Meski wajahnya menampakkan keramahan, kehadiran sang mertua tiba-tiba membuat suasana terasa tegang bagi Sarah.
Ayah kandu
Sarah terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Dalam hati, ia merasa seharusnya pindah kamar, namun ada rasa takut bahwa keputusannya mungkin akan menimbulkan kecurigaan di mata Pak Herman.“Aku… mungkin lebih baik tetap di kamar ini untuk sementara,” jawab Sarah akhirnya, berusaha terdengar yakin pasti meskipun hatinya ragu.Raka mengangguk tanpa ekspresi. Mereka berjalan dengan keheningan yang kembali menimbulkan rasa tidak nyaman. Pintu lift terbuka dan mereka melangkah masuk.Tidak hanya mereka yang ada di sana. Ada tiga orang ikut masuk di waktu bersamaan hingga membuat kerudung Sarah nyaris terjepit di sekitar mereka. Gadis itu berusaha menarik diri, tetapi sepertinya belum berhasil. Sementara Raka masih menyaksikan tanpa berbuat apa-apa.“Maaf, Mbak. Kerudung saya,” ucap Sarah pelan.“Oh, sorry,” gumam orang itu sembari memberikan ruang untuk Sarah.
Raka terpaku di ambang pintu, memandang Nadia yang berdiri di sana dengan raut wajah tegang. Tatapannya tajam, hampir menusuk.“Nadia? Kamu... kenapa bisa di sini?” Raka bertanya dengan nada heran yang tidak bisa disembunyikan.Nadia menyilangkan tangan di dadanya, bibirnya menyunggingkan senyum sinis. “Pak Andi harus pulang ke Jakarta. Jadi HRD memintaku yang menggantikannya untuk tugas ini.” Matanya beralih ke Sarah yang duduk diam di sofa, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang mendalam.“Oh... begitu,” jawab Raka kikuk, tak tahu harus berkata apa.Sarah berdiri dari sofa, mencoba tetap tenang meski hatinya mulai merasa tak nyaman. Tatapannya bertemu sejenak dengan Raka, lalu kembali memandang ke arah Nadia.Nadia melangkah masuk ke kamar tanpa dipersilakan, pandangannya beralih antara Sarah dan Raka dengan ekspresi menyelidik. “Kalian berdua satu kamar?” tanyanya tajam, meski suaranya penuh dengan sindiran.Sarah hendak membuka mulut untuk menjelaskan, tapi Raka sudah lebih dulu a
Raka ingin bertanya siapa yang menelepon barusan. Namun, lagi-lagi rasa gengsinya lebih besar daripada jiwa penasaran yang ada. Jadilah ia berdehem agar Sarah segera menyudahi pembicaraan tadi.“Apa kita bisa pergi sekarang?” tanya Raka yang lekas diangguki oleh Sarah. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan. Raka menghentikan laju kendaraannya di sebuah kontrakan sederhana yang terletak di gang sempit kawasan kota Jakarta. Dindingnya terbuat dari bata merah dengan cat krem yang mulai memudar, sementara atapnya masih terbuat dari seng. Gang ini hanya cukup untuk satu motor lewat, dengan deretan rumah kontrakan yang berdempetan. Lampu jalan yang remang menjadi penerangan di sana.“Makasih ya, Mas,” ucap Sarah yang buru-buru melepas sabuk pengamannya. Raka hendak turun, tetapi gadis itu langsung me
Hari itu Raka berusaha mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang mengganggu sejak melihat Sarah dan Rafly. Namun, rasa tersebut semakin tak tertahankan, terutama setiap kali Sarah menyebut nama Rafly dalam obrolan santai di kantor. Suara tawa Sarah ketika berbicara di telepon dengan Rafly pun membuat Raka tak tenang. Ada dorongan dalam dirinya untuk menghentikan kedekatan mereka, atau setidaknya, membuat Sarah ada di sisinya lebih lama.Sore ini saat semua rekan kerja lainnya sudah mulai bersiap-siap pulang, Raka mendekati meja Sarah dengan langkah pelan. Dia berdehem, lalu berkata dengan nada datar, “Sarah, saya butuh kamu untuk menyelesaikan beberapa laporan penting. Kita perlu lembur hari ini.”Sarah yang sedang merapikan barang-barangnya seketika terhenti. Ia menatap Raka dengan ragu, seolah ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar. “Hari ini, Pak?” tanya Sarah sambil menyembunyikan keterkejutannya. “Apa besok pagi tidak bi
Keesokan paginya, Raka tiba lebih awal di kantor. Ia bertekad untuk memulai langkah yang selama ini hanya terpendam di hatinya.Aku harus memastikan bahwa Sarah tahu posisiku, batinnya. Aku tidak bisa lagi hanya menonton dari jauh.Namun, ketika Sarah tiba di kantor, ia tampak lebih cerah dan penuh semangat dari biasanya. Belum sempat Raka mendekat, Rafly tiba-tiba datang ke kantor, membawakan kopi untuk Sarah sambil tersenyum lebar. Mereka berbicara akrab, bahkan terdengar cekikikan kecil dari arah meja Sarah.“Ngapain lagi kamu ke sini, Raf?” kekeh Sarah masih dengan wajah yang begitu ceria.“Mau manfaatin kesempatan aja, Ra. Mumpung jam ngantor kamu masih lama. Entar juga aku balik,” ucap Rafly kemudian.Raka merasakan panas yang menjalar di dadanya. Namun, kali ini ia tak lagi bisa hanya berdiam diri. Dengan langkah mantap, ia mendekati meja Sarah dan Rafly, tatapannya tajam penuh tekad.“S
Sarah kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terhuyung. Suara keras dari tongkatnya yang terjatuh di lantai memecah keheningan malam di kantor.Di dalam ruangannya, Raka yang sedang menatap layar komputer dengan wajah murung mendengar suara itu. Secepat kilat ia berdiri dan membuka pintu, jantungnya berdebar-debar. Begitu melihat Sarah tergeletak di lantai, rona cemas langsung menyelimuti wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia berlari mendekati tubuh gadis itu yang sudah tidak sadarkan diri.“Sarah… Sarah!” panggilnya, mengguncang tubuh Sarah dengan panik. Tak ada jawaban. Dalam keheningan malam yang hanya ditemani suara AC dan denging perangkat elektronik, rasa takut dalam diri Raka kian menebal.“Pak, sebentar ya. Saya akan panggilkan —““Tidak perlu,” potong Raka menyela ucapan seorang karyawan yang masih tersisa di sana.Dengan penuh kehati-hatian, Raka menggendong Sarah dalam pelukannya. Gadis itu tamp
Raka menghela napas panjang, ia tak ingin merusak momen yang baru saja terbangun dengan Sarah. Tapi panggilan itu terus berdering, mendesak. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik menuju pintu.“Sebentar ya, aku harus angkat telepon ini,” ujarnya singkat, menatap Sarah yang hanya mengangguk pelan. Setelah Raka keluar dari kamar kontrakan, suasana terasa sunyi. Sarah kembali merenung di tempat tidurnya, memikirkan pengakuan yang baru saja Raka ungkapkan.Di luar kamar, Raka menerima panggilan dari Nadia, yang langsung menyapa dengan suara tajam.“Ka, kamu di mana? Kok sulit sekali dihubungi? Ini sudah malam, ada urusan apa sampai kamu enggak ada di rumah?” tanya Nadia dengan nada yang jelas menunjukkan ketidakpuasan.Raka menarik napas dalam, menahan emosinya agar tidak terbawa. “Nadia, aku ada urusan penting. Maaf, bisa kita bicarakan nanti?”“Tapi ini penting, Ka!” Nadia mendesak. “Aku tidak suka k
“Aku tahu,” potong Raka cepat. “Aku pamit kalau gitu. Kalau ada apa-apa segera kabari.” Raka mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi rasa cemburu menguasai dirinya. Kalau sudah begitu, lebih baik ia pergi saja. Jangan sampai mengeluarkan ucapan buruk yang membuat Sarah sakit hati. Pada akhirnya Raka memaksakan senyumnya. Lantas berbalik badan setelah meletakkan bubur ayam yang ia beli dari penjual sarapan keliling.“Makasih ya, Mas,” ucap Sarah yang dibalas dengan gumaman pelan oleh Raka.“Kalau anak itu datang kemari, pintunya jangan ditutup. Nanti tetangga pada curiga kalau kalian ada apa-apa,” tukas Raka.“Iya, Mas.” Satu harian Raka misuh-misuh di rumahnya. Bahkan sejak pulang dari kon
Hari itu, udara terasa begitu tenang. Raka dan Sarah tengah duduk berdua di ruang keluarga, ditemani oleh Nasha yang sedang bermain dengan mainan di lantai. Meskipun suasana terasa begitu damai, ada sesuatu yang terasa berat di hati Raka. Ada semacam pertanda yang tak terucapkan, seolah dunia sedang mengingatkan mereka untuk lebih menghargai waktu yang ada. Beberapa hari sebelumnya, mereka baru saja merayakan ulang tahun pertama Nasha dengan penuh kebahagiaan. Momen itu, yang dipenuhi dengan tawa anak-anak panti asuhan dan sentuhan kasih sayang keluarga besar, memberikan Raka dan Sarah sebuah pemahaman baru tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Pak Herman kini mendatangi Raka yang sedang bersantai di taman belakang. Suaranya yang berat dan penuh makna terasa sangat berbeda dari biasanya. “Raka, ada hal penting yang ingin Papa sampaikan padamu,” kata Pak Herman saat teleponnya berbunyi. Suaranya terdengar agak lemah, namun tetap penuh kehangatan. Raka segera duduk tegak, khawat
Hari itu, langit tampak cerah, seakan ikut merayakan hari istimewa dalam keluarga kecil Raka dan Sarah. Nasha genap berusia satu tahun. Bukan pesta besar yang mereka persiapkan, tetapi sebuah acara syukuran sederhana yang penuh makna. Raka dan Sarah sepakat untuk merayakan ulang tahun pertama putri mereka dengan berbagi kebahagiaan di sebuah panti asuhan.Panti asuhan itu bukan tempat yang asing bagi mereka. Sejak kejadian penculikan Nasha dan konspirasi Bu Rini yang membuat mereka hampir kehilangan segalanya, Raka dan Sarah lebih banyak merenungi arti keluarga dan kasih sayang. Mereka ingin mengajarkan kepada Nasha bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang perayaan mewah, tetapi juga tentang berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.Pagi itu, suasana panti asuhan sudah mulai ramai. Anak-anak di sana terlihat bersemangat menyambut kedatangan tamu istimewa mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah mengenal Sarah dan Raka karena kunjungan-kunjungan sebelumnya. Pak
Setelah berhasil menyelamatkan Nasha dari tangan penculiknya, Raka, Sarah, dan Jeno kembali ke tempat persembunyian sementara mereka. Malam itu mereka beristirahat sejenak, meski pikiran mereka masih dipenuhi ketegangan. Namun, mereka tahu bahwa semua ini belum benar-benar berakhir.Keesokan paginya, Jeno menerima laporan dari timnya bahwa beberapa anak buah Bu Rini yang terlibat dalam penculikan telah tertangkap. Namun, dalang utama di balik kejadian ini masih menjadi misteri."Aku sudah melacak transaksi dan komunikasi mereka. Satu nama yang terus muncul adalah seorang pria bernama Anton," kata Jeno dengan serius. "Dia adalah tangan kanan Bu Rini yang selama ini bekerja di balik layar. Sepertinya dialah yang mengatur segalanya."Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, dia yang selama ini mengancam keluargaku?"Jeno mengangguk. "Dia sangat licin dan punya banyak koneksi. Tapi aku sudah menghubungi seseorang yang bisa membantu kita menangkapnya."Tak la
Malam semakin larut, tetapi Raka, Sarah, dan Jeno masih terjaga. Pikiran mereka penuh dengan kekhawatiran dan strategi. Pesan singkat yang baru saja diterima Raka seolah menjadi alarm bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu lagi."Kita harus menemukan keberadaan mereka sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih gila," kata Jeno dengan nada serius. "Aku sudah menghubungi seseorang yang pernah bekerja untuk Bu Rini. Dia setuju untuk bertemu, tapi dengan syarat kita harus berhati-hati."Raka mengangguk. "Di mana kita bisa menemuinya?""Sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dia bilang tempat itu aman, jauh dari pantauan orang-orang yang mungkin bekerja untuk Bu Rini," jawab Jeno.Sarah menggenggam tangan Raka erat. "Aku takut, Mas. Bagaimana jika ini jebakan?"Raka menatap dalam ke mata istrinya. "Kita tidak punya pilihan lain, Sayang. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Aku janji, aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau Nasha."Jeno menghela napas. "Baiklah, kita be
Sarah menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah lagi. Raka masih duduk di sebelahnya, ponsel di tangannya terasa dingin, seperti ancaman yang baru saja mereka terima. Jeno, yang berdiri di seberang mereka, mengetik sesuatu di ponselnya dengan cepat. Pria itu kemudian menatap Raka dengan sorot mata penuh kewaspadaan."Aku sudah menghubungi seseorang untuk melacak sumber video itu. Butuh waktu, tapi kita akan menemukan mereka," kata Jeno dengan suara dalam.Raka mengangguk, tangannya masih menggenggam jemari Sarah erat. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Nasha lebih lama lagi. Tapi kita harus berhati-hati, mereka jelas tahu pergerakan kita."Sarah menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang menggerogoti hatinya. "Siapa yang cukup kejam untuk melakukan ini, Mas? Aku yakin ini bukan Ratna. Dia ada di penjara. Lalu siapa?"Hening. Raka menatap Sarah, begitu pula Jeno. Tidak ada yang bisa menjawabnya saat itu.Namun, di balik keheningan itu, otak Raka be
"NASHA?"Suara Sarah memekik lantang. Tangannya gemetar saat ia melihat layar ponselnya. Tak lama kemudian, sebuah kiriman video berputar otomatis, menampilkan seorang bayi mungil berusia tiga bulan yang menangis keras. Mata Sarah membelalak, napasnya tercekat. Itu Nasha. Anak mereka telah diculik.Raka segera meraih ponsel dari tangan Sarah, matanya membelalak saat melihat rekaman itu. Nasha berada di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Tangisan bayi mereka menggema, membuat dada Sarah dan Raka terasa sesak. Tak ada suara lain dalam video itu, hanya isakan kecil yang semakin memilukan.Sebuah pesan muncul sesaat setelah video berakhir."Kalian ingin Nasha kembali? Jangan hubungi polisi. Kami akan memberitahu langkah selanjutnya."Sarah menatap Raka dengan wajah penuh ketakutan. "Mas... kita harus melakukan sesuatu. Nasha masih kecil, dia butuh kita."Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyen
Aula pengadilan dipenuhi dengan desas-desus dan tatapan tajam dari berbagai pihak. Sidang gugatan terhadap Ratna akhirnya dimulai, menjadi momen yang akan menentukan nasib keluarga Raka. Dengan bukti yang hilang, mereka harus mencari celah lain untuk melawan Ratna di hadapan hakim.Raka dan Sarah duduk di barisan penggugat, didampingi oleh pengacara mereka, Pak Rendy. Di seberang, Ratna tampak percaya diri dengan pengacara handalnya, seorang pria berpenampilan rapi dengan senyum yang mengintimidasi. Sorot matanya penuh dengan kesombongan, seolah yakin bahwa dirinya akan menang.Hakim mengetuk palu tanda sidang dimulai. "Sidang gugatan keluarga Raka Prasetya terhadap Ratna Wijayanti dibuka. Penggugat, silakan sampaikan tuntutan Anda."Pak Rendy berdiri. "Yang Mulia, kami memiliki bukti kuat bahwa tergugat telah memindahkan aset keluarga secara ilegal ke rekening pribadinya, tanpa persetujuan dari pewaris sah, yang menyebabkan kerugian besar bagi kel
Kehidupan Raka dan Sarah dalam beberapa minggu terakhir terasa seperti berjalan di atas bara api. Terlebih saat Jeno diserang oleh beberapa orang tak dikenal.Saat ini gugatan hukum terhadap Ratna telah menjadi berita utama di keluarga besar dan di luar sana. Ratna, seperti yang diperkirakan, tidak tinggal diam. Ia menggunakan segala cara, dari intimidasi hingga permainan kotor untuk menggagalkan perjuangan Raka dan Sarah.Hari itu, Raka dan Sarah sedang mengatur dokumen-dokumen penting di ruang kerja kecil di rumah mereka. Flash drive yang berisi dokumen-dokumen penting, termasuk bukti transfer aset ilegal Ratna, menjadi inti dari rencana mereka. Raka memastikan semua file telah dicadangkan dengan baik.“Sayang, aku rasa kita harus menyimpan salinan file ini di tempat yang lebih aman. Flash drive ini terlalu berisiko kalau hanya kita simpan di sini,” kata Raka sambil memegang benda kecil itu.Sarah mengangguk, setuju dengan saran suaminya. &l
Raka masih memikirkan ancaman terselubung Ratna saat sidang sementara Sarah merasa tertekan setelah mengetahui kondisi Pak Herman kembali memburuk. Beban dari kasus ini mulai menyusup ke dalam hubungan mereka.“Mas, kamu yakin bukti itu aman di tangan Jeno?” tanya Sarah sambil menuangkan kopi ke cangkir.Raka yang duduk di kursi makan, hanya mengangguk tanpa menatap Sarah. “Jeno sudah buktikan dia bisa dipercaya, Sayang. Aku rasa kita nggak punya pilihan lain.”Sarah menghela napas panjang. “Tapi kita juga harus waspada. Ratna mungkin akan bertindak lebih gila kalau dia tahu Jeno berpihak pada kita.”Raka menatap istrinya dengan mata yang penuh beban. “Aku tahu kamu khawatir, Sayang. Tapi kita sudah sampai sejauh ini. Kalau kita goyah sekarang, Ratna yang menang.”Sarah menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa kesal. “Aku bukan goyah, Mas. Aku cuma… aku cuma nggak mau kehilangan apa yang sudah kita perjuangkan.”Raka berdiri dan berjalan mendekati Sarah, menyentuh pundaknya lemb