Setelah berkeliling untuk waktu yang lama, aku menemukan sebuah alamat dari ponselku. Aku berjalan pulang dengan perlahan. Setibanya di rumah, aku melihat seseorang di dapur.Arhan pulang. Sejak bersama Nikita, Arhan tidak pernah pulang lagi. Suasana hatinya tidak baik. Dia memegang botol anggur, lalu menatap meja di belakangku. Ada dua buah delima yang merah dan besar di sana, persis dengan yang ada di gunung belakang sekolah."Makanlah," ujar Arhan dengan tidak acuh, tetapi juga tegas.Aku tidak menghiraukannya. Aku hendak berjalan melewatinya, tetapi Arhan tiba-tiba menarikku dengan kuat. Dengan tatapan suram, Arhan bertanya, "Kamu mengabaikanku? Kamu kira aku buta, nggak bisa lihat apa-apa?"Nada bicara yang tajam ini seolah-olah ingin mencabikku. Kebutaan Arhan adalah tabu bagi dirinya sendiri. Arhan tidak akan berinisiatif mengungkitnya, kecuali ada masalah yang membuatnya marah besar.Aku termangu, berusaha memikirkan kejadian pagi dan siang tadi. Namun, pikiranku kacau. Yang te
Read more