Share

Bab 3

Arhan menatapku, lalu bertanya dengan senyuman tipis, "Surat apa? Kamu mau uang atau rumah? Akhirnya kamu nggak tahan pura-pura suci lagi, 'kan?"

Aku sudah terbiasa diejek oleh Arhan. Selain itu, yang dikatakannya juga tidak salah. Aku memang butuh uang.

"Nggak masalah. Aku bisa menyetujui semua permintaanmu. Tapi, kamu harus minta maaf pada Nikita dulu," tambah Arhan.

Arhan sangat membenciku karena aku mencampakkannya dulu. Dia akhirnya mendapat kesempatan untuk mempermalukanku, jadi tidak mungkin melewatkannya begitu saja.

Kedua tanganku perlahan-lahan terkepal erat. Aku bertanya, "Kamu percaya aku yang menindasnya?"

"Itu nggak penting. Sekarang aku mau kamu minta maaf. Kamu mau minta maaf atau nggak?" Arhan sengaja mempermalukanku untuk membuat Nikita senang.

Hatiku terasa getir. Seketika, sebuah momen saat SMA berkelebat di benakku. Saat itu, Arhan membelaku dan memberi pelajaran kepada murid yang menindasku.

Arhan yang dulu tidak seperti sekarang. Arhan yang remaja dipukul oleh lima murid sebaya hingga babak belur. Meskipun begitu, dia tetap melindungiku dengan berani. "Minta maaf kepada Elena."

Seketika, sosok Arhan yang berbeda seiring berjalannya waktu, terlihat tumpang tindih di depanku. Saat berikutnya, semua sosok itu buyar.

Aku tersadar dari lamunanku. Setelah terkekeh-kekeh, aku berjalan ke hadapan Nikita dan berucap, "Maaf sekali, Bu Nikita. Aku nggak seharusnya menyirammu waktu nggak ada Pak Arhan."

Ketika melihat ini, Nikita menyibakkan rambutnya sambil berkata dengan agak angkuh, "Aku nggak merasakan ketulusan dari permintaan maafmu."

"Kalau begitu, kamu rasa permintaan maaf seperti apa yang tulus? Gimana kalau begini saja ...." Arhan merangkul bahu Nikita, lalu menyodorkan segelas air. "Balas dia dengan cara yang sama."

Maksud Arhan sudah sangat jelas. Nikita menerima gelas itu, lalu menyiram wajahku sambil tersenyum.

Air di gelas itu diletakkan terlalu lama sehingga menjadi dingin. Meskipun ada mesin penghangat di ruangan ini, aku tetap merasakan dingin yang menusuk.

Wajahku terlihat suram. Meskipun demikian, aku tetap terlihat tenang sehingga penampilanku tidak semenyedihkan Nikita. Nikita mengejek, "Sepertinya dia sangat suka?"

"Masa?" Arhan mengedarkan tatapannya ke wajahku. Kemudian, dia berkata kepada Nikita, "Kalau kamu belum puas, siram saja lagi."

Beberapa tahun ini, menyiksaku telah menjadi bagian dari permainan Arhan dengan pasangannya.

Arhan sering menyuruhku membeli kondom untuk mereka, membersihkan kekacauan yang mereka buat setelah berhubungan intim, juga menemani pasangannya ke dokter kandungan. Banyak hal yang sudah pernah kulakukan. Jadi, disiram cuma masalah kecil.

Nikita seolah-olah tidak menyangka aku begitu mudah ditindas. Dia menjadi kehilangan minat. Sambil bersandar di pelukan Arhan, dia berucap dengan lirih, "Biarkan saja dia. Aku baru beli pakaian dalam. Kita ke ruanganmu saja. Aku mau pakai untukmu."

Arhan mengangguk sambil tersenyum. Setelah mengecup kening Nikita, Arhan menoleh menatapku dan berujar, "Tinggalkan saja surat yang harus kutanda tangan. Kamu sudah boleh pergi."

Aku mengangguk, lalu mengambil suratku dan pergi. Tiba-tiba, kepalaku terasa sakit. Ini adalah salah satu gejala penyakitku. Ke depannya akan bertambah parah.

Arhan, aku tidak butuh tanda tanganmu lagi. Hanya saja, aku cukup penasaran. Kalau suatu hari kamu tahu aku melupakanmu, apa kamu bakal menyesal?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status