Aku menyusuri jalanan tanpa tujuan. Tubuhku sakit. Samar-samar, aku seperti melihat Arhan yang berusia 16 tahun berdiri di depanku.Tahun itu, aku baru masuk SMA. Orang tuaku tiba-tiba meninggal karena kecelakaan mobil, jadi aku menjadi penyendiri dan kehilangan arah.Arhan adalah tetangga baruku yang tinggal di sebelah. Keadaan ekonomi keluarganya kurang bagus. Ayahnya kawin lari dengan wanita lain. Ibunya menjadi petugas kebersihan untuk menghidupinya.Meskipun begitu, Arhan adalah anak yang periang. Setiap kali melihatku, dia akan tersenyum, tetapi aku selalu mengabaikannya.Satu-satunya hal yang bisa membuatku senang sedikit adalah saat memetik buah delima di gunung belakang sekolah. Di bawah sinar matahari, buah delima tampak merah dan besar.Aku masih ingat hari itu sudah sore. Aku memanjat pohon dengan susah payah, tetapi masih tidak bisa menjangkau buah delima dan akhirnya terjatuh. Akan tetapi, aku tidak merasakan sakit karena tubuhku menimpa Arhan. Saat itu, wajah Arhan sampa
Setelah berkeliling untuk waktu yang lama, aku menemukan sebuah alamat dari ponselku. Aku berjalan pulang dengan perlahan. Setibanya di rumah, aku melihat seseorang di dapur.Arhan pulang. Sejak bersama Nikita, Arhan tidak pernah pulang lagi. Suasana hatinya tidak baik. Dia memegang botol anggur, lalu menatap meja di belakangku. Ada dua buah delima yang merah dan besar di sana, persis dengan yang ada di gunung belakang sekolah."Makanlah," ujar Arhan dengan tidak acuh, tetapi juga tegas.Aku tidak menghiraukannya. Aku hendak berjalan melewatinya, tetapi Arhan tiba-tiba menarikku dengan kuat. Dengan tatapan suram, Arhan bertanya, "Kamu mengabaikanku? Kamu kira aku buta, nggak bisa lihat apa-apa?"Nada bicara yang tajam ini seolah-olah ingin mencabikku. Kebutaan Arhan adalah tabu bagi dirinya sendiri. Arhan tidak akan berinisiatif mengungkitnya, kecuali ada masalah yang membuatnya marah besar.Aku termangu, berusaha memikirkan kejadian pagi dan siang tadi. Namun, pikiranku kacau. Yang te
Arhan termangu sebelum menjawab panggilan."Pak Arhan, kamu lagi sibuk nggak? Aku ingin bahas soal pernikahanmu dengan Nikita."Ternyata telepon dari ayah Nikita, CEO Grup Ecostar."Aku lagi ....""Kemari sebentar. Ada beberapa detail bisnis yang harus kita bicarakan juga."Arhan tidak menanggapi. Dia menatapku, lalu meletakkan ponselnya di samping."Elena, kumohon. Asalkan kamu minta aku untuk tinggal, aku bakal menolaknya. Aku nggak bakal menikahi Nikita dan nggak bakal cari wanita lain lagi," pinta Arhan.Sepertinya, aku juga pernah memohon seperti ini kepada Arhan. Ketika Arhan memeluk para wanita di hadapanku, aku mencoba memberanikan diri untuk memberi tahu alasan aku pergi.Namun, apa yang dikatakan Arhan saat itu? Arhan bilang, "Elena, jangan cari alasan. Kamu penipu. Kamu kira aku bakal percaya? Kalau mau aku dengar penjelasanmu, berlutut dan memohon dulu."Arhan berkali-kali menginjak-injak martabatku. Setelah hubungan kita sehancur ini, pria ini malah memintaku memohon padan
Beberapa hari kemudian, foto pertemuan antara Arhan dengan CEO Grup Ecostar menjadi berita utama di berbagai media besar.Kemudian, Arhan dan Nikita melakukan wawancara. Nikita merangkul lengan Arhan dengan mesra. Keduanya terlihat sangat serasi."Bu Nikita, apa kamu pernah dengar tentang rumor yang berkaitan dengan Bu Elena? Apa ada yang ingin kamu katakan?" tanya reporter.Nikita menyahut dengan murah hati, "Siapa yang tidak punya mantan pacar di zaman sekarang? Itu bukan masalah. Yang paling penting adalah aku dan Arhan menemukan sesama. Kami bakal hidup bahagia di masa depan. Jadi, nggak usah bahas orang tak berkepentingan seperti itu."Aku duduk di depan TV sambil menonton seluruh wawancara dengan ekspresi datar. Seorang gadis yang berdiri di belakangku tampak memasang ekspresi angkuh dan mendengus. Dia mendekatiku sambil berkata, "Bu Nikita akan jadi istri sah Pak Arhan sebentar lagi. Rumah ini bakal jadi properti mereka. Sebaiknya kamu pindah sekarang."Aku malas meladeninya. Ak
Hari ini seharusnya tanggal 15 November. Begitu membuka mata, aku langsung melihat kalender ponsel.Ketika aku bangun, seorang dokter berjas putih berdiri di sampingku. Aku ingat dia. Dia Erick, kakak kelas sekaligus dokter penanggung jawabku.Masih ada seorang pria yang berdiri di depanku. Ekspresinya tampak galak. Pria itu berkata, "Main pingsan begitu saja. Sejak kapan kamu begitu pintar berakting?"Kepalaku sakit untuk sesaat. Detik berikutnya, aku baru ingat dia adalah Arhan. Aku bertanya, "Bukannya kamu sudah tunangan? Kenapa masih kemari?"Arhan terkekeh-kekeh dan tidak menanggapi pertanyaanku. "Saat mengantarmu ke rumah sakit, kudengar kamu sering cari pria ini. Sebelumnya aku penasaran gimana hidupmu selama dua tahun menghilang. Sekarang aku sudah dapat jawabannya."Arhan berjalan ke hadapan Erick sambil menatap Erick dengan tatapan penuh amarah. "Sayangnya, kamu kurang jago. Masa nggak ada hasil apa-apa selama dua tahun? Terakhir aku yang untung."Hinaan yang terang-terangan
Erick membantuku memesan tiket ke Negara Darsha untuk minggu depan. Sebelum pergi, aku membeli leci favorit ibu Arhan untuk memberi penghormatan terakhir di makamnya. Ini tidak ada hubungannya dengan Arhan. Ibu Arhan memang berjasa padaku.Ibu Arhan dimakamkan di pemakaman termewah di pinggir kota. Di potretnya, terlihat senyumannya yang lembut dan damai, persis dengan yang ada di ingatanku.Aku membungkuk untuk membersihkan makam ibu Arhan. Tiba-tiba, terdengar suara familier dari belakangku. "Bu Elena, kenapa kamu ada di sini?"Itu Nikita. Nikita berkata dengan lembut, "Kamu mau bersihkan makam calon mertuaku ya? Baik hati sekali. Lain kali nggak usah repot-repot. Aku bakal suruh orang bersihkan nanti."Di hadapanku, Nikita melempar bunga yang kubawa. Aku tidak sengaja melirik gelang di pergelangan tangan Nikita. Itu adalah gelang yang sangat familier!Aku mengepalkan tanganku, lalu bertanya, "Kenapa kamu bisa pakai gelang itu?"Gerak-gerik Nikita terlihat sangat angkuh. Dia menyahut
Menyebalkan sekali, aku lagi-lagi mendengar keributan.Aku membuka mata dengan susah payah, lalu melihat dua pria tampan berdebat di depanku. Wajah keduanya terluka. Satpam berusaha melerai dan membujuk, "Tenangkan diri kalian. Bicara baik-baik kalau ada masalah."Aku bangkit dan duduk di ranjang. Aku menatap pria berjas putih, lalu melambaikan tangan untuk memanggilnya. Namun, pria bersetelan di sampingnya malah terlihat lebih tergesa-gesa.Pria itu sontak berlutut di depan ranjangku, lalu bertanya dengan wajah berlinang air mata, "Nana, kamu masih ingat aku?"Nana? Kenapa ada orang yang memanggilku dengan panggilan seperti itu? Aku mengernyit sambil menarik tanganku dari genggamannya."Siapa kamu? Aku mengenalmu? Kak Erick, dia temanmu?" tanyaku dengan kebingungan.Erick bergegas menghampiri, lalu bertanya dengan wajah agak pucat, "Elena, kamu bilang apa tadi? Kamu sudah lupa siapa dia?"Aku mengejapkan mataku sambil berpikir dengan cermat. Namun, aku yakin tidak mengenalnya.Arhan s
Aku hamil. Setelah mengetahui kabar ini, aku hampir jatuh pingsan. Aku tidak punya pacar. Kok malah hamil?Erick membawaku melakukan pemeriksaan dengan cemas. Arhan juga tampak tidak senang. Dia menatapku dengan tatapan tidak karuan, seolah-olah bisa menangis kapan saja."Kok aku bisa hamil? Kamu tahu ini anak siapa?" tanyaku. Aku cuma percaya pada Erick, tetapi Erick tidak mau memberitahuku apa-apa.Erick hanya bilang kesehatanku kurang baik, jadi anak ini tidak bisa dipertahankan. Aku tidak peduli. Lagi pula, aku tidak bisa menjaga anak ini setelah melahirkannya nanti.Setiap hari, kerjaanku hanya makan dan tidur. Meskipun selalu lupa, kehidupanku sangat bahagia. Sampai suatu hari, seorang wanita muncul di hadapanku."Elena, kamu sengaja menggunakan anak untuk mengikat pria, 'kan? Dasar tercela," ejek wanita itu.Paras wanita ini sangat cantik, tetapi sikapnya padaku tidak baik. Aku tidak ingin menghiraukannya, tetapi dia terus menggangguku."Hei, bicara! Nggak ada gunanya pura-pura