“Dek, tolongin, Mas.” Khoiron memandang Tatiana dipojokan. Mengiba supaya sang istri berkenan untuk membantunya keluar dari kemurkaan Umi Aisyah.“Umi, sakit.” Erang Khoiron karena Tatiana tak juga menunjukan pergerakan berarti. Selepas bersalaman dengan sang ibunda tadi, Khoiron harus merasakan pedasnya jeweran. Tubuhnya terpelanting ke atas akibat tarikan Umi Aisyah pada daun telinganya.“Le, kamu itu bisa ndak bilangin istri? Apa duitmu kurang, sampai ndak mampu beliin Tiana celana yang bener?!” Hardik Umi Aisyah. Usai sang menantu, Khoiron pun mendapatkan gilirannya. Sebagai seorang suami, putranya lah yang bersalah. Khoiron seharusnya dapat membimbing Tatiana, mengingat usia menantunya itu masih teramat belia. Tatiana membutuhkan bimbingan dan putranya belum mampu menjalankannya perannya dengan baik.“Gimana kalau ada tamu? atau pekerja di luar masuk, liat pakaian mantu, Umi, Khoir?!” Keresahan tersebut nyatanya juga terpikirkan oleh Umi Aisyah. Sudah menjadi tugas Khoiron untuk
Baca selengkapnya