“Dek, tolongin, Mas.” Khoiron memandang Tatiana dipojokan. Mengiba supaya sang istri berkenan untuk membantunya keluar dari kemurkaan Umi Aisyah.“Umi, sakit.” Erang Khoiron karena Tatiana tak juga menunjukan pergerakan berarti. Selepas bersalaman dengan sang ibunda tadi, Khoiron harus merasakan pedasnya jeweran. Tubuhnya terpelanting ke atas akibat tarikan Umi Aisyah pada daun telinganya.“Le, kamu itu bisa ndak bilangin istri? Apa duitmu kurang, sampai ndak mampu beliin Tiana celana yang bener?!” Hardik Umi Aisyah. Usai sang menantu, Khoiron pun mendapatkan gilirannya. Sebagai seorang suami, putranya lah yang bersalah. Khoiron seharusnya dapat membimbing Tatiana, mengingat usia menantunya itu masih teramat belia. Tatiana membutuhkan bimbingan dan putranya belum mampu menjalankannya perannya dengan baik.“Gimana kalau ada tamu? atau pekerja di luar masuk, liat pakaian mantu, Umi, Khoir?!” Keresahan tersebut nyatanya juga terpikirkan oleh Umi Aisyah. Sudah menjadi tugas Khoiron untuk
Khoiron— Pria itu berdiri disisi ranjang, dimana Tatiana terlelap. Ia merunduk, mensejajarkan bibirnya pada lubang telinga sang istri.Setiap malamnya, setelah Tatiana terlelap, Khoiron tak pernah absen membisikan doa. Berharap doa yang dirinya lantunkan dapat menjaga sang istri dari gangguan-gangguan setan yang terkutuk. Semoga saja alam bawah sadar Tatiana pun mengikuti bisikannya.Tak berhenti dengan doa pengantar tidur, Khoiron merangkum wajah mungil gadis yang dirinya nikahi. Hanya pada saat Tatiana tertidur, dirinya dapat menatap lekat kecantikan itu. Mengakhiri harinya dengan ciuman di atas kening istri cantiknya.“Selamat tidur ya Zaujati.” Ucapnya tersenyum lalu sekali lagi mendaratkan bibirnya.Khoiron tak langsung ikut merebahkan diri. Pertama-tama, dirinya membereskan barang-barang Tatiana. Merapikan laptop dan buku-buku pengantar milik istrinya. Sebelum menyimpan barang-barang tersebut, Khoiron memastikan jika tugas Tatiana sudah dirinya cetak. Hanya perlu membawanya ke te
Tatiana berlari menyusul keberadaan Khoiron. Gadis itu sempat menabrak tubuh sang suami, sebelum bersembunyi dibalik punggung tegapnya. Tangannya pun meremas pinggang Khoiron dibalik baju koko yang suaminya kenakan.“Hey, kenapa, Dek?”“Umi mau goreng gue.” tidak ada umi Aisyah disekitar mereka. Jadi ia bisa leluasa tak ber-aku-kamu. Apalagi memanggil Khoiron dengan embel-embel mas.“Digoreng, Dek?” Khoiron tertawa mendengar penuturan sang istri, “nggak bakalan cukup penggorengannya, Sayang,” kelakarnya karena tidak mungkin uminya melakukan hal tersebut. Tatiana memberengut, merasa tidak dipercayai. Ia lantas semakin meremas pinggang Khoiron sampai pria itu meringis. Dimana letak tidak cukupnya. Sebelum digoreng, bisa saja tubuhnya dimutilasi terlebih dahulu kan? Apa suaminya itu tidak pernah menonton film sepanjang hidupnya— di dalam hatinya, gadis itu menggerutu hebat.Ah! Tatiana lupa kalau suaminya kamseupay!“Adek tangannya. Mas sakit loh.” Erang Khoiron meminta Tatiana mengakhi
Rombongan Tatiana dan keluarga suaminya, diantarkan oleh Januar beserta istri, ke pangkalan bandar udara. Orang tuanya tidak dapat ikut dikarenakan pekerjaan sang papa, yang tidak bisa ditinggalkan. Pria itu sedang memantau audit yang dilakukan di perusahaan. Sehingga tak mungkin bisa mendampingi putri kesayangannya.“Jaga lisan ya, Ti. Inget jangan ngeluarin kata mutiara kamu. Kamu bawa nama keluarga suami kamu,” pesan Januar sembari membelai-belai kepala Tatiana. Ia tidak peduli dengan nama baiknya yang rusak, tapi tidak jika hal tersebut menimpa diri Tatiana dan besannya.“Anjing doang juga nggak boleh?”“Boleh..”Tatiana bergidik ngeri tatkala bukan papanya yang menjawab pertanyaannya, melainkan ibu mertuanya. Wanita itu berdiri disamping sang mama, meliriknya tajam sekali.“Kalau mau Umi hukum, ngapalin surah Al Baqarah, sampai kamu hafal.”Khoiron merundukkan kepalanya, membisikan berapa banyak ayat dalam surah kedua yang terdapat pada kitab sucinya itu. “Ada 286 ayat, Dek. Semua
“Nopo mboten saget dipun pertimbangkeun, Pak Yai?”Di dalam khimarnya, Lia meremas tangannya. Gadis itu merasa kasihan terhadap ayahnya, yang seperti tengah memohon, hanya demi seorang calon pendamping untuknya. Salahnya memang. Ia sendiri yang mengatakan tidak akan pernah menikah, jika itu bukan dengan Gus Khoiron. Tidak masalah menjadi istri kedua asalkan bersama laki-laki yang dirinya cinta.Sebelumnya Lia sudah berusaha menghindar. Ia tidak menghubungi kedua orang tuanya. Namun siapa sangka, jika pihak ndalem mengirim utusan untuk memboyong mereka datang.“Ngomong apa dia, Ra?” bisik Tatiana, karena dirinya tidak memahami bahasa jawa. Ia lahir dan dibesarkan di Ibu Kota, meski papanya keturunan Jawa asli. Namanya saja Januar.“Minta Mbah buat mempertimbangkan lamarannya, Mbak,” jawab Zahra juga melalui bisikan. Keduanya duduk berdampingan, dengan umi Aisyah paling kanan.“Ngapunten, Pak,” Kyai Dahlan memohon maaf, “Kami ndak bisa kalau harus menyakiti hati menantu kesayangan kami.
Khoiron sudah rapi dengan baju koko dan sarungnya. Pria itu pun menggunakan peci putih di atas kepalanya. Dulu ketika papanya mengenakan template serupa untuk shalat jumat, Tatiana akan mengolok papanya. Mengejek sang papa dengan julukan Pak Haji yang tersesat. Namun melihat look tersebut pada diri Khoiron, mengapa tak ada kesan Tukang Bubur Naik Haji ya di dalam diri suaminya?Aneh, tapi nyata. Khoiron tampak meneduhkan jiwanya.“Kenapa lihatin Masnya begitu, Dek?!”Usapan pada kepala Tatiana membuat dirinya tersentak. Secepat yang dirinya bisa, wanita itu mencoba menguasai diri atas kekagumannya.“Mau ikut Mas jamaah di masjid? Kebetulan Mas mau jadi imam subuh ini?” tawar Khoiron. Siapa tahu saja istrinya mau. Semalam ketika hendak membuat secangkir kopi, abinya menyarankan hal tersebut. Katanya lebih sering mengajak Tatiana mengelilingi pondok dapat meningkatkan citra istrinya.Sebenarnya Khoiron tidak masalah. Bagaimana pun citra sang istri dimata manusia, ia tak akan mengambil pu
Khoiron tersenyum tatkala matanya melihat sosok cantik sang istri. Tatiana tengah menunggu dirinya di halaman masjid bersama umi dan adiknya. Wanita itu terlihat begitu menawan dengan niqab yang masih bertahan, menutupi sebagian wajah ayunya.Hatinya membuncah, mengetahui Tatiana tak melepaskan kain itu, hingga tanpa sadar ia berlari, bergegas memakai alas kaki secara asal. Pria itu tak menyadari jika alas kaki yang dirinya kenakan tertukar."Sandale [Sandalnya] Abi kuwi [itu] lho, Le!" Disamping anak pertamanya yang protes, Kyai Dahlan menggelengkan kepala, "wis-wis! Mirip Abi-ne pas awal-awal nikah!" Ucapnya, mengomentari ketidaksabaran cucunya yang ingin menemui sang istri."Putune nembe kasmaran, dimaklumi Mbah!" Kekeh Kyai Dahlan menyebut jika ayahnya harus memaklumi cucunya yang sedang kasmaran. Maklum saja, Tatiana sepertinya merupakan cinta pertama anaknya kepada lawan jenis. Hampir tak pernah Kyai Sholeh mendapatkan laporan jika putranya tengah dekat atau memiliki minat pada
“Loh! Loh!” Tatiana memekik. Pintu mobil Khoiron tidak dapat dibuka walau ia sudah mencobanya. “Ir, lock-nya,” ujarnya agar Khoiron menonaktifkan pengunci dari control panel pria itu.“Maemnya di mobil aja, Dek. Biar Mas yang pesenin.”“Heh! Mana nikmat?!” Pekik Tatiana. Ia mencium gelagat mencurigakan dari ucapan suaminya. Jantungnya sudah aman loh, sejak Zahra bergabung ditengah-tengah mereka.Jika biasanya orang ketiga disebut setan, lain halnya dengan keberadaan Zahra. Gadis itu hadir seperti sosok malaikat. Menyelamatkan Zahra dari debar-debar tak jelas yang jantungnya hasilkan.“Buka ah!”“Mas aja yang turun, pesenin Adek sama Zahra.”“Astaga, Ir!! Nggak enak dimana di mobil!” geram Zahra. Lagipula hal tersebut cukup menyulitkan bapak penjual baksonya karena harus mondar-mandir demi pesanan mereka yang tak seberapa.“Mobil lo nggak ada meja portable-nya, Ir!”“InsyaAllah nggak ada beda, Sayang. Nanti Mas pegangin mangkoknya. Anggap aja tangan Mas mejanya, Adek.”Dibelakang Zahra
“Mas Adnan, grrr!” Geraman tersemat pada panggilan yang Tatiana layangkan kepada sang putra.Ibu muda itu sudah lelah mengimbangi tenaga putranya yang seakan tak pernah ada habisnya.“Pake kopiahnya dulu, Mas Adnan! Mbah Uyut bentar lagi sampai loh!” Seru Tatiana.Dua hari Khoiron pergi demi untuk menjemput Kyai Dahlan. Awalnya merekalah yang ingin bertolak kesana mengingat usia sepuh sang kakek. Namun beliau melarang, dengan alasan kasihan pada cicit lelakinya. Selain itu beliau juga mengatakan jika dirinyalah yang merindu. Sudah sepatutnya dia yang menyambangi mereka ke Jakarta.“Nggak mau pake Ibu. Nanti Mas Adnan mirip tukang sate tak-iye itu!” Beo Adnan. Anak itu pernah bertanya mengapa setiap tukang sate yang dia temui memakai kopiah, dan ayahnya menjawab jika kopiah tersebut merupakan ciri khas mereka.“Ya kamu makainya kayak Ayah biar nggak dikira Abah-Abah penjual sate, Mas!”“Sini cepetan! Ibu nggak kuat kalau kamu ajakin lari-lari mulu!” timpal Tatiana, meninggikan suaranya.
Kepulangan Tatiana dan Adnan dari sekolah disambut oleh kekepoan Soraya. Mama Tatiana itu langsung memberondongi putrinya dengan serangkaian kalimat tanya.“Kok kamu pulang bawa Mas Adnan? Tadi cepet-cepet pergi kemana, Ti?”“Ibu jemput Mas Adnan, Oma,” jawab Adnan mewakili ibunya.“Loh, kan belum waktunya pulang sekolah. Kok sudah dijemput? Mas Adnan nggak kenapa-napa kan?” tanya Soraya sembari mengekori anak dan cucunya.“Mas Adnan nggak kenapa-kenapa. Temen Mas Adnan yang masuk UKS, Oma.”“Hah?”Pemaparan tersebut semakin membuat Soraya bertanya-tanya. Jawaban sang cucu mengindikasikan jika telah terjadi sesuatu yang buruk, sehingga Adnan dijemput tak sesuai waktu kepulangannya.“Mas Adnan mau dibuatin es susu nggak?” tanya Tatiana setelah mendaratkan pantat Adnan ke atas sofa ruang keluarga mereka.“Mau, Ibu. Dikasih marshmallow di atasnya.”Tatiana membelai kepala Adnan, menyematkan ciuman dikening anak itu sebelum berkata, “oke.”Penasaran dengan apa yang terjadi, Soraya pun men
“Minggir!!” Teriak Tatiana sembari terus menekan klakson motornya berulang kali.“MINGGIR! GUE TABRAK YA LO LAMA-LAMA!”Perempuan muda beranak satu itu sama sekali tidak pernah menarik tuas rem setelah memutar gagang gas motor yang dipinjamnya. Motornya melaju bak pembalas nasional, menyalip pengemudi-pengemudi lain yang menggunakan jalanan searah dengan tempat dimana putranya mengenyam bangku pendidikan.Beberapa saat yang lalu, Tatiana mendapatkan telepon dari ibu wali kelas si bocil. Wanita itu berkata jika Adnan terlibat perkelahian dengan teman sekelasnya. Tentu saja hal tersebut membuat Tatiana panik bukan kepalang. Ia sampai meminjam motor bebek milik satpam rumahnya agar tak terjebak macet.Bukan apa-apa. Adnan meskipun seringkali bertindak seperti bocil kematian, anak itu cukup manis di luaran. Dia sama sekali tidak pernah bertengkar apalagi berkata keras terhadap orang lain. Nakalnya ya sebatas kenakalan wajar terhadap mamanya yang cantik. Jadi setelah mendapatkan informasi
“Ibu..”Tatiana mengangkat kedua tangannya ke atas.Tidak, tidak!— Ia tidak akan terpengaruh dengan raut memelas suami tercintanya. Pria itu harus merasakan betapa spektakulernya kelakuan anak mereka saat menginginkan sesuatu.‘Enak aja! Bikinnya bareng-bareng, masa bagian puyengnya, Ibu yang paling banyak.’ Dumel Tatiana, membantin.“Mau ini, Ayah! Mas Adnan mau ini.” Keras kepala Adnan dengan menunjuk satu unit mobil yang sedang dipamerkan pada lantai dasar sebuah Mall ternama di Jakarta.Tatiana terkekeh sembari memalingkan wajahnya. Biarlah ia berdosa. Namun wajah frustasi suaminya sangatlah menghibur jiwa emak-emaknya.“Beliin! Mas Adnan mau punya mobil yang pintunya 2, Ayah.”“Ya Allah, Mas.. yang pintunya 4 kan udah punya.”“Kan empat, nggak dua!” Ngeyel Adnan, membalas kata-kata sang ayah.“Mas..”“Enggak dalem!” potong anak itu menolak panggilan Khoiron.Khoiron menatap lembut kedua mata putranya yang membola. “Kok begitu jawab ke Ayahnya, Mas?” Sama seperti tatapannya, suara
Mendekati pukul lima sore hari, Tatiana, Adnan dan Soraya— ketiganya tampak rapi, berjajar pada halaman luas kediaman mereka.Barisan vertikal yang ketiganya bentuk itu, merupakan pemandangan yang sehari-harinya akan terlihat jika saja tidak turun hujan kala hari hari kerja berlangsung.Di dalam barisan itu, ketiganya akan melakukan sebuah penghormatan besar kepada dua orang terkasih yang telah rela menghabiskan waktunya untuk bekerja keras agar mereka dapat hidup enak.Mereka akan menunggu kepulangan para pencari nafkah. Menyambut keduanya dengan senyum hangat supaya seluruh lelah yang merajai diri mereka sirna.Dalam hal ini, tradisi itu dibentuk setelah si kecil Adnan terlahir ke dunia. Sebuah kebiasaan kecil yang pada akhirnya terus dipertahankan dan menjadi rutinitas harian yang keberadaannya tak pernah ditinggalkan oleh Tatiana dan mamanya.“Itu mobil Ayah.” Seru Adnan, gembira. “Opa sama Ayah pulang, ye-ye-ye-ye!” Anak itu melompat kegirangan, merasa tak sabar untuk menyambut a
Tatiana tak pernah berhenti dibuat istighfar oleh atraksi anak laki-lakinya. Si kecil yang kini menginjak usia 5 tahun itu mempunyai banyak sekali tingkah. Kulit di dadanya mungkin sudah menipis saking seringnya dibelai secara mandiri karena kelakuan membagongkannya.“Ibu nyerah, Mas Adnan!” Tatiana mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia menyerah, mengibarkan benderah putih ke angkasa.Ayah anak itu baru saja pergi beberapa menit yang lalu, dan si kecil sudah kembali berulah.Adnan memang sangat tahu caranya menguji batas kesabaran ibunya. Dia mencari momen terbaik saat satu-satunya manusia yang ditakutinya tak lagi berada di rumah.“Mas, Ya Allah! Ikan koinya Ibu loh, mati itu ntar Mas!” lontar Tatiana, lemas tak bertenaga.Tatiana pikir dengan dirinya menyatakan kekalahkannya, putranya akan berbaik hati untuk hengkang dari kolam kesayangannya. Namun ternyata, ia salah. Anak itu tetap melanjutkan kegiatan merusuhnya.“Mas Adnan baik loh, Ibu. Mas kan lagi bantu ikan koinya Ibu napas.
Holla, temen-temen.Setelah banyak merenung, Qey mohon maaf karena pada akhirnya, cerita Gus! I Lap Yuh! ini akan tamat sesuai dengan naskah aslinya.Keputusan ini diambil karena beberapa aspek, khususnya dari segi kesehatan Qey yang tampaknya tidak mumpuni untuk mengerjakan 3 on going sekaligus.Takutnya, seluruh karya termasuk judul ini malah akan terbengkalai nantinya. Jadi, Qey putuskan untuk hanya meng-uploud ekstra partnya saja dan mengurungkan niat untuk melangkah ke seasion 2-nya. Bagi pembaca baru, cerita ini sudah ada sequelnya, judulnya Pelet Cinta Lolita!, ya. Disitu menceritakan kisah cintanya Mas Adnan dengan Female Lead, Lolita. Bu Tatik & Ayah Khoir ada disana juga kok, jadi kangen kalian sama pasangan ini akan sedikit terobati nantinya.Segitu aja ya temen-temen. Mohon doanya untuk kesembuhan Qey. Semoga diakhir tahun ini, sakitnya Qey ditutup dengan penutupan tahun. Doain Qey sehat dan pulih sedia kala ya. Amin, Amin.Terima kasih atas perhatiannya, Semua.Salam Saya
Hai, semua. This is Qey.Kemarin saat Qey up chapter untuk ending, kebetulan ada kakak yang mengusulkan untuk dilanjutkan ke Season 2-nya. Untuk kakak-kakak yang lain bagaimana? Season 2-nya akan fokus ke Bu Tatik & keluarga kecilnya, termasuk Mas Adnan versi bocil ya. Karena untuk cerita Mas Adnan sendiri, versi dewasanya sudah ada tuh dijudul "Pelet Cinta Lolita." Kebetulan Mas Adnan tokoh utama prianya disana. Qey membutuhkan masukan sebelum akhirnya memutuskan apakah naskah chapter spesial yang ada akan tetap dijadikan chapter ekstra, atau digunakan untuk melanjutkan ke Season 2. Jadi, please komen ya semua. Terima kasih atas perhatiannya.
“Mas.. Zahra cantik ya?”Kepala Khoiron mengangguk, “iya, Dek,” ucapnya menjawab pertanyaan sang istri kepadanya.Pria itu meremas tangan Tatiana yang berada di dalam genggamannya, lalu kembali berucap, “tapi istri Mas ini, jauh lebih cantik.”Dibalik niqab yang dirinya kenakan, senyum seindah mekarnya bunga di musim gugur, menghiasi wajah Tatiana.“Mas ini! Zahra ratunya hari ini!” Tutur Tatiana, pura-pura menghardik Khoiron. Ia tidak ingin dibuat salah tingkah di momen bersejarah sahabat dan adik iparnya. Kalau pun ada kebahagiaan, seharusnya itu berasal dari acara penting mereka berdua. Bukannya dari hasil gombalan suaminya.Khoiron pun memalingkan wajahnya ke kanan. Ia menatap kedua manik Tatiana dalam. “Mas nggak mau bohong. Ibunya Mas Adnan wanita paling cantik. Ratunya Mas setiap hari.”“Uhuk!”Suara batuk dibelakang mereka menyadarkan Tatiana, jika saat ini keduanya tengah berada di dalam kerumunan santri-santri yang tengah menemani Zahra.“Ya Allah, Mas! Malu.”“Gus Khoir tern