Beranda / Fiksi Remaja / Cahaya Biru / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab Cahaya Biru: Bab 11 - Bab 20

50 Bab

Bab 11

"Biru sialan! Gue benci sama lo!" teriakku sambil menatap mobil yang di kendarai olehnya yang kian menjauh meninggalkan aku sendirian di tempat ini.Rasa marah, benci, dan kesal menjadi satu. Mungkin saat ini kepalaku sudah keluar asapnya. Entah kenapa ingin rasanya aku marah dengan papa yang bisa-bisanya mempunyai ide menjodohkanku dengan cowok yang tak punya hati itu. Siapa lagi kalau bukan Biru sialan itu."Astaga! Bisa telat nih gue," gumamku saat melihat jam yang ada di pergelangan tanganku. Jarak tempatku berdiri dengan sekolah masih sangat jauh. Dan sekarang aku tak tahu harus bagaimana. Segera aku mengambil ponselku untuk memesan taksi atau ojek online yang bisa membawaku ke sekolah dengan cepat."Astaga! Kenapa nggak ada satu pun ojek yang bisa aku pesan? Taksi pun tak ada," desahku pelan. Tak ada lagi harapanku untuk tiba di sekolah tepat waktu.Sudah bisa di tebak aku akan terlambat ke sekolah dan akan mendapat hukuman.Namun, tiba-tiba secercah harapan muncul saat mata i
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-15
Baca selengkapnya

Bab 12

Biru berdiri di depan meja Bu Amel, kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Kenapa saya dihukum Bu? Saya salah apa?" tanyanya dengan suara gemetar. Jantungnya berdegup keras, matanya penuh kebingungan memandang wajah muram Bu Amel. Bu Amel menghela napas berat sebelum menunjuk tajam pada Biru. "Kamu masih tanya apa salah kamu?" suaranya meninggi penuh amarah. Dengan gerakan tegas, ia menyodorkan buku tugas tebal yang telah dibawa. "Ini lihat!" Biru menerima buku itu dengan perlahan. Detik berikutnya, matanya terbelalak membaca judul puisi 'Bu Amel'. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar menahan rasa kaget dan tak percaya. Dari sudut kelas, aku menatap adegan itu. Senyum tipis menghiasi wajahku, alis terangkat penuh kemenangan. "Rasain lo!" gumamku dalam hati, antusias melihat Biru terpaksa berlari mengelilingi lapangan tiga kali putaran sebagai hukuman.Biru terperanjat, matanya terbelalak ketika melihat judul puisi itu. "Tapi, Bu, ini bukan tulisan saya!" serunya, suaranya t
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-16
Baca selengkapnya

Bab 13

"Loh, makanan gue," gumamku saat Biru dengan mudahnya mengambil makanan yang di bawa Lala."Woy, apa-apaan lo!" teriakku tak terima begitu Biru duduk manis dan menyantap makananku dengan seenaknya. Jelas saja aku tidak terima, perutku sudah keroncongan tak ada isinya dengan mudahnya Biru mengambil jatah makananku. Kalau dia mau makan kenapa nggak pesan sendiri!Ingin rasanya aku tabok wajahnya yang songong itu biar dia bisa menghargai orang sedikit saja. Biar pun dia suami ku tapi sikapnya yang arogan membuatku sangat membencinya."Udah Aya, biarin aja. Gue akan pesan lagi buat kita," ucap Lala mencoba menenangkan.Dia menarik aku untuk kembali duduk di tempatku lagi. "Nggak. Gue nggak akan terima. Kalau dia mau makan harusnya dia pesan sendiri. Kenapa harus ngambil makanan gue!" Aku kembali berdiri, meski Lala menghalangi langkahku tapi aku tak peduli. Emosi sudah berada di ubun-ubun.Aku melepaskan tangan Lala yang masih setia menarikku sambil mengumpat Biru."Maksud lo apa! Itu
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-16
Baca selengkapnya

Bab 14

"Kenapa harus Cahaya sih, Bu!" protes Biru kesal. Terlihat sekali kalau ia membenciku."Em, teman lainnya saja Bu, yang mentorin Biru," aku jug ikut protes. Mengingat hubunganku dengan Biru yang tak pernah akur serta kita sama sekali tidak pernah cocok dalam pemikiran.Bukannya kita belajar yang ada kita malah tawuran.Aku melirik ke arah Biru dengan tatapan tajam. Malas saja kalau aku yang menjadi mentor belajarnya. Mana mau dia mengakui kalau aku ada di atasnya.Bu Wanti terdiam sejenak lalu menggelengkan kepalanya."Nggak ada yang lebih tepat selain kamu, Cahaya," Bu Wanti menegaskan."Tapi Bu, Biru nggak mau sama saya. Eh, maksudnya saya yang menjadi mentornya," ucapku sedikit protes dengan ide wali kelasku itu.Bu Wanti menoleh ke arah Biru yang duduk terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini.Bu Wanti melangkah lebih dekat di bangku Biru. Ia tampak menghela napas panjang."Nilai kamu itu sangat buruk Biru. Kalau kamu nggak mau di mentorin sama Cahaya, ibu yakin kamu ng
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-17
Baca selengkapnya

Bab 15

Biru duduk terpaku di kursinya, matanya membulat tak percaya mendengar teriakanku yang menggema di ruangan. Untuk sesaat, ruang belajar itu seperti terhenti, hanya suaraku yang terdengar lantang memecah keheningan. "Lo diam dan dengerin gue! Sekarang terserah lo, lo mau lulus apa kagak gue juga nggak peduli!" ujarku dengan nada tinggi dan emosi yang memuncak.Aku tahu mungkin Biru akan menganggapku cewek bar-bar, atau bahkan menganggapku layaknya istri yang kejam. Tapi, aku tak peduli. Semua yang aku lakukan ini demi kebaikannya, agar dia bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Dengan wajah merah padam, aku menunjuk pada buku yang tergeletak di meja dan memerintah, "Lo kerjain soal ini!"Biru menatapku tajam, seolah mencoba memahami maksud di balik ketegasan suaraku. Dia tahu ini bukan hanya tentang tugas, tapi tentang masa depannya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti jam, akhirnya dia mengangguk perlahan dan mulai membuka buku tersebut, memulai mengerjakan soal yang telah kup
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-18
Baca selengkapnya

Bab 16

Dengan kedua tangan menutupi wajah, aku berteriak histeris saat mataku tanpa sengaja menangkap pemandangan yang tak seharusnya terlihat. Handuk Biru, yang sepertinya terlalu lepas, melorot hingga menampakkan bagian bawah tubuhnya yang tak tertutupi. Teriakan panikku memecah kesunyian, membuat Biru yang sama terkejutnya berteriak lantang.Biru, dengan refleks cepat, menggapai handuknya yang terjatuh dan melilitkannya kembali ke pinggangnya dengan gerakan yang cekatan. Matanya membulat menatapku yang masih dengan tangan di wajah. "Lo mau lihat punya gue?" sindirnya, suaranya mencampur aduk antara terkejut dan kesal.Kulihat wajahnya yang mencoba menyembunyikan rasa malu dibalik ekspresi kesal. Sementara itu, pipiku terasa panas, darahku seolah mendidih memerahkan wajahku. "Mana ada, gue nggak sengaja narik handuk lo!" balasku dengan nada tinggi, berusaha meyakinkan diri sendiri sekaligus Biru bahwa itu hanyalah kecelakaan yang memalukan.Suasana menjadi canggung sejenak, kami berdua sal
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-18
Baca selengkapnya

Bab 17

Sesak napas seolah menggantung di udara ketika kepala kami saling terbentur, suara 'aduh' serentak terlontar dari mulut kami berdua. Biru, dengan raut wajah yang kesal, mengusap keningnya yang memerah sambil menatapku tajam. "Kenapa sih lo ceroboh banget jadi cewek!" teriaknya, suara frustrasinya memenuhi ruangan yang dipenuhi kertas-kertas yang berserakan."Gue nggak sengaja. Mana gue tau kalau lo juga ngambil itu kertas," balasku dengan nada tinggi, merasa tidak adil dituduh sembarangan. Rasa sakit di kepala seakan berlipat ganda dengan tambahan rasa tidak nyaman karena tuduhan Biru."Sial! Kenapa setiap deket lo gue sial mulu!" desahnya, matanya masih menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam saat melihatku. Tangannya masih mengusap kening, seolah mencoba meredakan sakit yang juga dia rasakan."Kenapa nyalahin gue. Lo yang sial!" jawabku dengan nada bertahan, tangan terlipat di dada. Suara kami tercampur aduk dengan suara kertas yang kami injak-injak ketika kami bergerak, menciptakan
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-19
Baca selengkapnya

Bab 18

Setelah pertarungan yang intens, Biru dan anggota gengnya kembali ke basecamp dengan langkah gontai. Beberapa di antara mereka menopang tubuh temannya yang terluka parah. Sementara itu, Biru mengusap darah yang masih meleleh dari sudut bibirnya dengan punggung tangannya yang juga tidak luput dari memar. "Obati teman-teman kita yang terluka," perintah Biru dengan suara serak pada Jeno dan Radit yang langsung mengangguk dan bergegas mengambil kotak P3K. "Apa lo nggak papa?" tanya Jeno, matanya penuh kekhawatiran saat melihat luka di wajah sahabatnya itu."Gue nggak papa. Santai aja," jawab Biru, mencoba tersenyum meskipun nyeri. Ia kemudian berdiri, mengambil perban dan salep, mulai mengompres luka-luka temannya yang terbuka. Keterampilannya dalam mengatasi luka cukup terasah berkat seringnya tawuran yang mereka hadapi."Kalau udah, kita pulang," ujarnya, memastikan bahwa setiap anggota gengnya mendapat perawatan yang memadai sebelum mereka semua meninggalkan tempat itu. Setiap geraka
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-20
Baca selengkapnya

Bab 19

Aku melangkahkan kaki ke ruang makan, seragam sekolahku masih kaku dan rapi. "Selamat pagi Ma," ucapku seraya tersenyum pada mama Siska yang sudah sibuk di dapur bersama beberapa asisten. Senyumnya menyambutku hangat, membawa kedamaian di pagi yang cerah ini."Pagi juga sayang, Biru mana?" tanyanya sambil menoleh, wajahnya masih terliaht sangat cantik. Aku menarik kursi dan duduk, mengatur napas sejenak."Sebentar lagi juga turun, Ma. Udah pakai seragam kok tadi," jawabku sambil membetulkan letak dasiku. Aroma sarapan yang mama Siska siapkan mulai menggoda indra penciumanku, membuat perutku keroncongan.Mama Siska mengangguk, matanya berbinar-binar melihatku sudah bersiap rapi. Dia kemudian menuangkan susu hangat ke dalam cangkir sebelum meletakkannya di hadapanku. "Makan yang banyak ya, hari ini kan ada ulangan harian jadi biar bisa mikir lancar," pesannya lembut.Aku mengangguk, mengambil roti dan mulai mengolesinya dengan selai. Di luar sana, suara Biru terdengar, riang gembira men
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-21
Baca selengkapnya

Bab 20

Darahku seperti mendidih saat kata-kata Anggia meluncur menusuk. Tak seharusnya ia menyentuh kenangan tentang mamaku. "Lo bisa diam nggak sih? Gue bisa bungkam mulut lo!" umpatku, suara bergetar penuh amarah. Anggia, dengan senyuman menyeringai, menambah luka. "Kenapa? Mama lo kan emang tukang selingkuh!" Sindirnya tanpa rasa bersalah. Tanpa sadar, tanganku mendorong bahunya. Tubuhnya terhempas, punggungnya membentur dinding dengan keras. Napasku memburu, tangan terkepal. "Aya, udah, jangan," Lala menarik lenganku dengan lembut, matanya memohon agar aku berhenti.Mataku masih menyala dengan amarah yang belum juga padam. "Lo nggak berhak ngomongin mama gue!" teriakku, suaraku menggema di koridor yang sempit itu.Anggia mengerang kesakitan, tapi tatapan sinisnya masih terpaku padaku. "Gue cuma bilang yang sebenarnya, Aya. Kenyataannya pahit, ya?" sindirnya lagi, sambil mengusap punggungnya yang terbentur.Napas ku memburu, hati ini seolah ingin meledak. Lala memelukku erat, mencob
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-22
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status