Home / Fiksi Remaja / Cahaya Biru / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Cahaya Biru: Chapter 21 - Chapter 30

50 Chapters

Bab 21

Di tengah keramaian kantin yang riuh dengan suara siswa-siswi lain, suara tamparan keras itu membahana, menarik perhatian semua orang seketika. Anggia, yang biasanya penuh percaya diri, kali ini terpaku, tangan gemetar menutup pipinya yang merah bersemu. Bekas tangan yang jelas terpampang di wajahnya yang selama ini dikenal sempurna.Aku berdiri tegak, napas naik turun dipenuhi emosi yang bergejolak. Mataku memandang tajam ke dalam mata Anggia, mencerminkan setiap bit amarah dan ketidakpuasan yang telah lama terpendam. "Udah gue bilang, gue bisa bungkam mulut lo yang busuk itu!" suaraku bergema, tegas dan dingin, memotong keheningan yang tiba-tiba muncul.Anggia, masih dengan tangan di pipi, matanya membulat tak percaya. Mulutnya membuka dan menutup, mencari kata-kata yang tepat untuk merespons, namun tak satu pun terucap. Dia melihat sekeliling, menyadari semua mata di kantin tertuju padanya, beberapa dengan rasa simpati, lainnya dengan rasa penasaran."Lo berani tampar gue!" suarany
last updateLast Updated : 2024-10-23
Read more

Bab 22

Begitu aku memutar gagang pintu kamar, deras sebuah tamparan keras mendarat pada pipiku, membuatnya terasa panas dan bergetar. Tante Ayuni, dengan mata membara dan nafas terengah-engah, menghadapiku. Rupanya, Anggia telah mengadu kepadanya tentang perkelahian kami di sekolah. "Kamu ini terlalu berani, Aya! Menampar Anggia seperti itu, sungguh keterlaluan!" teriak Tante Ayuni, emosi yang tersirat dalam setiap kata. Tanganku mengusap pipi yang masih terasa pedih. "Tante, aku nggak akan mukul dia tanpa alasan yang jelas. Anggia duluan yang nyiram muka aku dengan air di kantin, dia yang provokasi!" balasku, mencoba menjelaskan sambil meredam amarah. Tante Ayuni menggeleng dengan tatapan yang tak percaya, "Aya, daripada menyalahkan orang lain, lebih baik kamu belajar mengakui kesalahanmu sendiri." Ungkapannya membuat jantungku terasa semakin berdebar, namun aku tahu, di mata Tante Ayuni, aku yang selalu keliru.Jelas saja ia membela anak kesayangannya. Sebesar apapun kesalahan yang d
last updateLast Updated : 2024-10-24
Read more

Bab 23

"Aduh, sakit tau. Lo itu mau jadi mentor gue apa mau nyiksa gue!" protes Biru padaku.Ia menekuk wajahnya dalam sambil mengusap pipinya yang aku tepuk sedikit keras karena kesal."Salah sendiri, kenapa tidur. Bukannya ngerjain tugas malah molor," gerutuku."Namanya juga ngantuk," ucapnya santai. Aku hanya memutar bola mata malas. "Udah, lo kerjain sekarang," ucapku sedikit ketus.Biru menghela napas panjang. Aku tak mau lagi membatinnya karena takut tidak sesuai realita."Ini pakai rumus yang mana?" tanya Biru sambil menyodorkan kertas berisi soal padaku.Aku pun menjelaskan pada Biru cara pengerjaannya. "Nomor satu, dua dan lima pakai rumus bawah. Nomor tiga, empat pakai rumus atas," jawabku sambil menunjukkan rumus yang aku tulis di buku catatan.Biru mengangguk-anggukkan kepalanya. Entahlah, dia paham atau nggak aku nggak tahu.Beberapa menit kemudian, Biru menyerahkan hasil pekerjaannya."Udah kan, gue mau keluar," ujarnya sambil menyambar jaketnya. Aku masih melongo bego meliha
last updateLast Updated : 2024-10-26
Read more

Bab 24

Selama pelajaran di jam terakhir aku sama sekali tidak melihat ke arah Biru. Kesal saja dengan cowok itu, seenaknya saja memberikan bekal yang ku berikan padanya pada Anggia. Mungkin kalau Biru memberikannya pada cewek lain aku tak sekecewa ini, tapi ia malah memberikannya pada adik tiriku yang menyebalkan itu."Aya, lo kenapa sih? Kok dari tadi diam aja?" Lala berbisik kepadaku, matanya memandangku dengan kekhawatiran yang samar, sementara guru sedang asyik menjelaskan materi di depan kelas. Aku hanya menggeleng pelan, seraya menatap buku di hadapanku. "Nggak papa. Emangnya aku harus teriak-teriak pas guru ngajar?" jawabku, nada suaraku meninggi, menunjukkan kekesalanku. Mendengar itu, Lala tertawa pelan, menutup mulutnya dengan tangan agar tawanya tak mengganggu kelas. "Gue tau lo masih kesal sama Biru, gara-gara dia ngasih bekal yang lo kasih ke Anggia. Sabar aja, nanti lo labrak aja tuh si Biru," katanya mencoba memprovokasi dengan suara yang lebih pelan. Sahabatku memang ane
last updateLast Updated : 2024-10-27
Read more

Bab 25

"Berhenti, Pak!" teriakku, penuh ketakutan sambil mengetuk keras jendela taksi. "Tapi Neng, di luar berbahaya," jawab sopir taksi dengan nada khawatir. "Nggak apa, Pak, saya kenal sama orang yang dipukuli itu," balasku dengan suara getir, tidak sabar. Sopir taksi itu akhirnya menghentikan taksinya beberapa meter dari tempat kejadian, membiarkan enggan. Aku segera membayar ongkos dengan tergesa-gesa dan turun dari taksi. Langkahku berubah menjadi lari, berusaha mendekati Biru yang tengah dikerumuni dan dipukuli oleh geng motor. "Berhenti!" jeritku seraya berusaha menembus kerumunan. Sayang, teriakan itu tak digubris, geng motor itu masih terus menganiaya Biru yang terpojok tanpa daya. Aku tidak tahan melihatnya terus menderita. Saat seorang dari mereka mengangkat tongkat baseballnya tinggi-tinggi hendak menghantam kepala Biru, dengan sigap aku melompat dan menendangnya, menghalangi pukulannya. Geng motor itu tercengang, matanya menyorot padaku tajam penuh amarah.Baseball bat i
last updateLast Updated : 2024-10-28
Read more

Bab 26

Saat aku menggendong Biru yang lemah, bibirnya terus berdarah dan mukanya babak belur, aku hanya bisa merasakan detak jantungnya yang masih berpacu dengan cepat. Aku menopang tubuhnya yang terasa semakin berat karena rasa sakit yang ia derita."Kamu yakin nggak apa-apa?" tanyaku sekali lagi, mencari kepastian meski jawabannya sudah kudengar."Gue nggak papa," ucap Biru lagi, suaranya serak, berusaha menenangkan diri dan mungkin juga aku. Di matanya, meskipun redup, terlihat kilatan rasa terima kasih karena sudah membantunya melawan anggota geng Venus.Sesampainya di rumah, suasana menjadi tegang. Papa Indra, yang sudah menunggu di depan pintu, memandang kami dengan tatapan yang sulit diuraikan. Amarah dan kekhawatiran bercampur menjadi satu."Masih saja berantem tidak jelas. Mau jadi apa kamu, hah?" teriak Papa Indra, suaranya menggema di seluruh ruangan. Tangannya terkepal, matanya menyorot tajam ke arah Biru yang masih bersandar lemah di punggungku.Biru, dengan sisa-sisa kekuatan,
last updateLast Updated : 2024-10-30
Read more

Bab 27

Aku menelan ludah dengan susah payah saat papa mertua bertanya tentang perkembangan nilai Biru. "Sudah ada peningkatan Pa. Nilai Biru bagus," jawabku dengan jujur.Papa Indra masih dengan alis yang bertaut, menatap tajam ke arahku. Cahaya lampu di ruang makan memantulkan kilau kekhawatiran di matanya. "Kamu yakin nilai Biru sudah membaik?" tanyanya, suaranya rendah namun penuh kepedulian.Aku mengangguk mantap, mataku tidak berpaling dari pandangan Papa. "Benar, Pa. Aya sudah lihat sendiri. Biru benar-benar sudah berusaha keras," jawabku, mencoba meyakinkan.Papa Indra menghela napas, kemudian tersenyum lembut pada ku. "Baiklah, jika Aya yang bilang begitu, Papa percaya," ucapnya, mengangguk kecil padaku dengan kasih sayang.Di sudut lain, Biru yang mendengar percakapan itu merengut, bibirnya mengecil menahan kekesalan. "Tapi kenapa sih Papa nggak bisa percaya sama aku langsung?" keluhnya, suaranya lirih namun terdengar jelas.Papa Indra mengalihkan pandangannya ke Biru, "Karena kamu
last updateLast Updated : 2024-10-31
Read more

Bab 28

"Sebenarnya, Anggia itu... dia lagi sakit, dan dia nggak bawa bekal. Gue ***a ingin membantu," lanjutnya, suaranya sedikit bergetar, mencoba meredakan kemarahan yang mulai memuncak dalam diriku. Aku mendengus, merasa ada kebohongan dalam kata-katanya. "Jadi, lo lebih milih menolong dia daripada memikirkan perasaan gue?" tanyaku, nada suaraku meninggi, penuh dengan rasa kecewa dan amarah yang bercampur menjadi satu. Aku merasa dikhianati, seolah semua yang telah kuberikan kepadanya tak lebih dari sekedar benda tak bernilai. Biru menghela napas panjang, matanya kini menatapku langsung. "Bukan begitu, gue nggak ingin lo salah paham. Gue hargai semua yang lo lakukan untuk gue, tapi situasinya tadi mendesak," jelasnya, mencoba meraih tangan yang kuletakkan di sisi tubuhku, namun aku menepisnya. Rasa sakit di hatiku bertambah ketika Biru mencoba mendekat, mencari pengertian dari diriku yang terluka. Namun, aku terlalu marah untuk mendengarkan segala penjelasannya. "Jangan sentuh gue!"
last updateLast Updated : 2024-11-01
Read more

Bab 29

Biru merasa ada yang berubah dalam dirinya. Setiap kali melihat Cahaya tersenyum, jantungnya berdegup kencang, sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Saat ini, ia tengah duduk di kelas, namun pikirannya melayang jauh memikirkan Cahaya yang duduk tak jauh darinya. Cahaya yang dulu sering ia benci, kini malah membuatnya gelisah.Di tengah lamunan tersebut, suara Bu Wanti yang keras memanggil namanya beberapa kali baru menyadarkannya. "Biru! Biru!" seru Bu Wanti, menyadarkan Biru dari lamunannya.Biru, yang terkejut, langsung terbangun dari lamunannya ketika Jeno, sahabatnya, menyenggolnya pelan. "Lo di panggil Bu Wanti," bisik Jeno, menunjuk ke arah guru yang tampak kesal di depan kelas."Iya Bu," jawab Biru dengan suara yang terdengar sedikit gugup. Matanya mencuri pandang ke arah Cahaya, yang kini sedang menoleh ke belakang dengan tatapan bingung. Biru berusaha keras mengalihkan pandangannya dan kembali fokus pada Bu Wanti yang sudah mulai melanjutkan penjelasannya d
last updateLast Updated : 2024-11-02
Read more

Bab 30

Biru mengepalkan tangannya di sekelilingku, memberi tekanan yang begitu kuat seolah dia takut kehilangan. Hatiku berat, menerima kenyataan bahwa aku tak mampu memisahkan diri darinya. Tiba-tiba, dentang nyaring dari ponselku memecah kesunyian kami. Dengan terkejut, Biru akhirnya mengendurkan genggaman tangannya. Aku cepat-cepat meraih ponsel yang tergeletak di meja. "Heh, Aya! Cepat lo pindahin semua barang lo. Gue ingin pindah ke kamar lo yang luas," suara Anggia berdenting keras di telingaku, penuh kekuasaan. Aku menggertakkan gigi, menahan amarah. "Coba aja kalau lo berani masuk ke kamar gue. Gue akan buat lo menyesal," balasku dengan nada tegas, menyiratkan ancaman yang jelas.Anggia tertawa sinis mendengar ancamanku. "Oh, lo pikir gue takut? Ini perintah dari orang tua kita, Aya! Gak bisa lo tolak!" serunya lagi, membuat darahku mendidih.Aku mengepalkan kedua tangan, menahan emosi yang mulai memuncak. "Sampai kapan pun nyokap lo bukan nyokap gue!" bentakku emosi.Sementara
last updateLast Updated : 2024-11-03
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status