Home / Romansa / MENANTU IMPIAN IBU / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of MENANTU IMPIAN IBU: Chapter 21 - Chapter 30

72 Chapters

Bab 21. Kaubawa Dilanku!

Pramono melemparkan pandangan ke dapur, di mana Bi Imah terlihat masih sibuk menyelesaikan cucian piringnya."Tumben jam segini belum keluar, Dini," gumam Pramono dengan suara rendah. Dia mengamati gerak-gerik keluarganya yang tampak resah, terutama setelah Davin pergi tanpa pamit. Dini biasanya sudah rapi sejak Subuh, dengan pakaian bersih dan wangi khasnya. Tapi pagi itu berbeda."Ini ketiduran atau apa, sih?" Giani mulai kesal."Ketuk yang pelan, Ma. Setelah kejadian semalam, mereka mungkin lelah. Siapa tahu ketiduran. Nanti kaget kalau dibangunin tiba-tiba."Tanpa menunggu jawaban, Giani melangkah menuju kamar Dilan, mengetuk pintu dengan nada penasaran dan cemas. "Dilan, kamu gak berangkat kerja?" tanyanya. Namun, hanya keheningan yang menyambutnya. Setelah beberapa lama tanpa jawaban, rasa curiga mulai menyelinap di benaknya. Tangan Giani mendorong pelan daun pintu yang ternyata sudah tidak terkunci.Saat dia melihat ke dalam kamar, rasa terkejut memenuhi wajahnya. Kamar itu kos
Read more

Bab 22. Sosok di balik tawa itu.

Dini menarik tangan Dilan dengan gemetar. Kejadian semalam masih membekas di benaknya, menggantung seperti bayangan yang tak mau pergi. "Gak usah buka pintu, Mas... nanti mereka mukulin kamu. Bukankah mereka sudah menyentuhku tadi malam..." Suaranya bergetar, dan ia pun menutup matanya, seolah berharap ingatan buruk itu segera hilang.Dilan menenangkan Dini dengan nada penuh kelembutan. "Jangan takut, Din. Kita sudah di tempat yang aman. Percaya sama Mas, orang-orang yang mengganggumu tadi malam tidak akan berani datang lagi." Ia meraih tangan Dini, menggenggamnya kuat untuk memberikan keyakinan.Dini menatap Dilan ragu-ragu, namun akhirnya mengikuti langkahnya dari belakang. Tangannya menggenggam sesuatu dengan erat – sebuah pisau buah yang dipungutnya sejak tadi, seolah menjadi satu-satunya perlindungan yang ia punya.Dengan penuh keyakinan, Dilan melangkah menuju pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengucap pelan, "Bismillah." Dengan hati-hati, ia membuka pintu, dan rasa le
Read more

Bab 23. Lenyapkan dia!

Dini terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Dilan dengan sigap menangkapnya, raut wajahnya penuh kecemasan. "Kamu kenapa, Din?" tanyanya, matanya menyelidik.Dini hanya diam, menunduk sambil memegangi kepalanya yang terasa berat. Sekilas ia memandang Dilan dalam-dalam, seakan mencari sesuatu di balik wajah itu—sebuah kehangatan yang tiba-tiba terasa asing. Tanpa berkata apa-apa, Dini menyambar baju yang dipilihkan Dilan dan buru-buru melangkah ke kamar mandi.Dilan mengerutkan kening, bingung. "Dini, kenapa nggak ganti di sini aja? Kan kamu pakai handuk." Suaranya terdengar heran, sedikit kecewa dengan kelakuan Dini yang seolah menganggapnya orang asing. Tapi, Dini tak menyahut, hanya pintu kamar mandi yang tertutup dengan pelan, menyisakan Dilan dalam kebingungan.Di dalam kamar mandi, Dini memandang bayangannya di cermin. Sesuatu berkelebat di benaknya—sebuah kenangan, atau mungkin peringatan. Wajah Giani terbayang jelas, dengan sorot mata marah dan suara tegas, "Berhenti memang
Read more

Bab 24. Diamnya Dini.

Di ruangan depan, Danu meraih jaketnya dengan cepat, mengabaikan panggilan telepon dari papanya yang masih berlangsung. Tanpa pikir panjang, dia keluar rumah dan menyalakan mobil, melaju meninggalkan rumah gedong itu dengan langkah tergesa-gesa. Di pertigaan, Danu sempat ragu—seharusnya dia berbelok kanan menuju kampus. Namun, sebuah pikiran yang tak tertahankan menggerakkan tangannya untuk membelok ke arah kiri, menjauhi kampus dan menuju perbukitan. Beberapa hari sebelumnya, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan kuliahnya yang tertunda hampir setahun sejak kepergian Aziel, namun kali ini dia kembali ragu.Danu memarkir mobilnya di dekat gerbang bumi perkemahan dan melanjutkan berjalan kaki. Langkahnya semakin lambat ketika rasa lelah menghantam tubuhnya, seakan menahan langkah yang sejak awal penuh keraguan. Di sebuah tepian aliran sungai, tepat di bawah air terjun kecil, ia berhenti. Matanya menyapu pemandangan sekitar yang dipenuhi pepohonan rindang, di mana tiap po
Read more

Bab 25. Benarkah kau Aziel?

Dilan duduk diam, pikiran berkecamuk dengan gelombang kegelisahan dan ketakutan yang tiba-tiba menguasainya. Terkadang, pikirannya terasa begitu kusut, bertabrakan dengan keinginan tulusnya akan kesembuhan Dini. Kenapa perasaan ini begitu kuat? Kenapa dia merasa seolah tak lagi sepenuhnya ikhlas atas kesembuhan Dini, tapi lebih takut kehilangan kehadiran wanita yang sekarang tampak begitu asing di hadapannya?Dini duduk berlawanan dengannya, pandangannya menunduk tanpa menatap Dilan sekalipun. Di tangannya, ia memegang sebuah mainan kecil, mainan yang tampak usang, layaknya mainan yang sering dijumpai di tangan seorang balita. Dilan memandanginya dengan tanya di hati, bingung akan dari mana benda kecil itu berasal, namun juga penasaran dengan apa yang kini memenuhi pikiran Dini, yang bahkan tak lagi meliriknya.Pintu terbuka dan Profesor Satya masuk dengan senyum hangat yang khas. "Aku tadi bicara dengan istriku," ujarnya sambil melirik ke arah Dilan dan Dini, ekspresinya tenang. "Bara
Read more

Bab 26. Apa kamu akan meninggalkanku?

Dilan kaget mendengar pertanyaan Dini. Kata-kata itu menggema, menelusup ke dalam pikirannya, membuka rasa gelisah yang lama ia tutupi. Jadi ini sebabnya Dini terlihat begitu jauh, begitu sunyi sepanjang hari? Ada keraguan di hatinya, sebuah ketakutan yang selama ini berusaha Dilan enyahkan. Dini, wanita yang begitu ia cintai, mulai meragukannya.Dilan mencoba mempertahankan ketenangan di wajahnya, walau hatinya berdebar. Kebingungan begitu menyelimuti dirinya diantara ketakutannya akan perginya Dini dari hidupnya.Dilan menghela nafas panjang. "Jika aku mengatakan aku bukanlah Aziel," suaranya bergetar namun lirih, "apakah kamu akan pergi meninggalkanku?" Setiap kata yang ia ucapkan terasa bagaikan pengakuan yang ia tarik dari lubuk hatinya sendiri. Sejujurnya, ia takut pada jawaban yang akan Dini berikan.Dini memandang pria di sampingnya, matanya masih penuh tanda tanya yang belum terjawab. Hati dan pikirannya berkecamuk, terombang-ambing antara ingatan samar tentang Aziel dan keny
Read more

Bab 27. Maafkan Dini.

"Din, kamu kenapa?"Dini menggeleng.“Din, makan. Ayo makan,” Dilan berkata pelan namun penuh perhatian. “Atau aku suapi?” Wajahnya dipenuhi kesabaran, seperti biasa. “Ikannya keburu dingin, nggak enak.”Tatapan Dini tertambat pada Dilan. Ingatannya tiba-tiba buyar setelah Dilan mengajaknya makan."Jangan menangis, Din. Kita akan bisa melewati semua ini," ... kata-kata itu kembali terngiang. Kata-kata yang sama.“Makan, yuk,” kata Dilan lagi sambil menyuapkan sesendok nasi dan sambal. Dini membuka mulut pelan, mengunyah sambil memandangnya. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan perasaan yang berkecamuk.“Maafkan aku, Mas…” ucapnya lirih, serak menahan tangis yang nyaris pecah.Dilan menoleh, menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu menatap Dini penuh sayang. “Kenapa minta maaf, Din? Kamu nggak salah apa-apa.” Suaranya teduh dan tulus, membuat Dini semakin sulit menahan air mata.“Aku mengabaikanmu hari ini…”Dengan lembut, Dilan menyentuh bibir Dini dengan jarinya, menghentik
Read more

Bab 28. Tamu tak diundang.

Sekali lagi Dilan menatap handphone-nya. Sebuah panggilan dari nama yang tidak dikenal. Dilan ragu. Dilan bahkan beranjak ke ruang sebelah, namun terdengar handphone itu masih berdering. Bagaimanapun Dilan takut sejak diikuti oleh dua orang itu. hinggah sikap waspada dia tampakkan. Dipencetnya tombol, lalu didengarnya suara itu."Assalamualaikum, Dilan!" sapa suara di kejauhan.Dilan tertegun dengan suara wanita yang sepertinya pernah dia dengar. Namun di mana, dia lupa."Maaf, apa saya mengenal Anda?" Akhirnya Dilan bertanya setelah dia merasa mengenal suaranya."Aku Sisil, Dilan." Suara di sebrang menjelaskan siapa dirinya.Dilan tersenyum, lalu memandang Dini yang masih duduk di sebelahnya dengan menempelkan kepalanya di bahu Dilan."Iya, ada yang bisa saya bantu?""Enggak, cuma pingin menyapamu saja.""Ih, orang sibuk kok masih sempat-sempatnya menyapa orang." Sekali lagi Dilan memamdang Dini. Dini menatapnya, meminta penjelasan dengan telunjuknya. Dilan hanya menyunggingkan seny
Read more

Bab 29. Teman untuk Dini.

Dilan menajamkan matanya tak perbaya, saat siapa yang ddia lihat di balik pintu yang sudah terbuka itu."Papa!" Dilan mengahambur dengan mencium tangan Pramono.Pramono memeluk putranya dengan haru. "Bagaimana khabarmu, Nak?" tanyanya dengan mata yang juga mengaca. Dilanlah yang selama ini menjadi kebanggaannya. Karena santunnya juga pribadinya ayng baik, beda sekali dengan Davin."Baik, Pa." Dilan juga kaget dengan siapa papanya datang. "Bu Ima?" Dia menyalami pembantunya itu dengan perlakuan yang sama pada papanya, mencium tangan Bi Imah, walau orang tua itu tak enak hati dengan segera menarik tangannya."Iya, Den. Ini Ibu," ucapnya dengan terharu. Dilan memeluk Ima. Wanita tua itu yang terharu dengan meneteskan airmata. Dini yang sudah mengambilkan minuman dingin dalam kulkas sampai ikut terharu melihat apa yang kini ada di depannya."Saya menghawatirkan Den Dini." Bi Imah mendekat ke Dini dan mengelus pundaknya."Alhamdulillah, Bu. Dia baik-baik saja. Bahkan sekarang lebih baik k
Read more

Bab 30. Tamu membawa pergi.

dini menyongsong wanita yang datang setelah wanita berhak tinggi dengan dandanan modis, rambut digerai sebahu dan baju rapi kantoran itu turun dari mobilnya. Dini mengulurkan tangannya. "Mama?" sapanya. Namun wanita itu hanya membuang mukanya tanpa menyambut uluran tangan Dini. wajahnya terlihat sebal dengan menatap Dini benci."Bukankah aku sudah melarangmu memanggilku Mama?" Giani mengingatkan Dini atas larangannya. "O, iya,.. sih, mana mungkin kamu ingat? Bukankah kamu hanya seorang wanita gila yang kebetulan mampir di kehidupan anakku? Memorimu sudah hilang, makanya kamu masih panggil aku Mama, Mama!" Mulut giani sampai dimonyongkan.Wanita gila? Dini tersekad dengan kata-kata wanita di depannya. Wanita yang sekarang lagi mengelilingi kebun Dini."Banyak juga koleksi bungamu, pantas kamu menggembor-gemborkannya di medsosmu," komentar Giani. Dia memang baru tau alamat Dini setelah dia melihat sosmed Dini yang menjual bunga dan sering diperbincangkan di sosialitanya. Sampai dia pen
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status