Home / Romansa / MENANTU IMPIAN IBU / Bab 21. Kaubawa Dilanku!

Share

Bab 21. Kaubawa Dilanku!

Author: HaniHadi_LTF
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Pramono melemparkan pandangan ke dapur, di mana Bi Imah terlihat masih sibuk menyelesaikan cucian piringnya.

"Tumben jam segini belum keluar, Dini," gumam Pramono dengan suara rendah. Dia mengamati gerak-gerik keluarganya yang tampak resah, terutama setelah Davin pergi tanpa pamit. Dini biasanya sudah rapi sejak Subuh, dengan pakaian bersih dan wangi khasnya. Tapi pagi itu berbeda.

"Ini ketiduran atau apa, sih?" Giani mulai kesal.

"Ketuk yang pelan, Ma. Setelah kejadian semalam, mereka mungkin lelah. Siapa tahu ketiduran. Nanti kaget kalau dibangunin tiba-tiba."

Tanpa menunggu jawaban, Giani melangkah menuju kamar Dilan, mengetuk pintu dengan nada penasaran dan cemas. "Dilan, kamu gak berangkat kerja?" tanyanya. Namun, hanya keheningan yang menyambutnya. Setelah beberapa lama tanpa jawaban, rasa curiga mulai menyelinap di benaknya. Tangan Giani mendorong pelan daun pintu yang ternyata sudah tidak terkunci.

Saat dia melihat ke dalam kamar, rasa terkejut memenuhi wajahnya. Kamar itu kos
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 22. Sosok di balik tawa itu.

    Dini menarik tangan Dilan dengan gemetar. Kejadian semalam masih membekas di benaknya, menggantung seperti bayangan yang tak mau pergi. "Gak usah buka pintu, Mas... nanti mereka mukulin kamu. Bukankah mereka sudah menyentuhku tadi malam..." Suaranya bergetar, dan ia pun menutup matanya, seolah berharap ingatan buruk itu segera hilang.Dilan menenangkan Dini dengan nada penuh kelembutan. "Jangan takut, Din. Kita sudah di tempat yang aman. Percaya sama Mas, orang-orang yang mengganggumu tadi malam tidak akan berani datang lagi." Ia meraih tangan Dini, menggenggamnya kuat untuk memberikan keyakinan.Dini menatap Dilan ragu-ragu, namun akhirnya mengikuti langkahnya dari belakang. Tangannya menggenggam sesuatu dengan erat – sebuah pisau buah yang dipungutnya sejak tadi, seolah menjadi satu-satunya perlindungan yang ia punya.Dengan penuh keyakinan, Dilan melangkah menuju pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengucap pelan, "Bismillah." Dengan hati-hati, ia membuka pintu, dan rasa le

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 23. Lenyapkan dia!

    Dini terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Dilan dengan sigap menangkapnya, raut wajahnya penuh kecemasan. "Kamu kenapa, Din?" tanyanya, matanya menyelidik.Dini hanya diam, menunduk sambil memegangi kepalanya yang terasa berat. Sekilas ia memandang Dilan dalam-dalam, seakan mencari sesuatu di balik wajah itu—sebuah kehangatan yang tiba-tiba terasa asing. Tanpa berkata apa-apa, Dini menyambar baju yang dipilihkan Dilan dan buru-buru melangkah ke kamar mandi.Dilan mengerutkan kening, bingung. "Dini, kenapa nggak ganti di sini aja? Kan kamu pakai handuk." Suaranya terdengar heran, sedikit kecewa dengan kelakuan Dini yang seolah menganggapnya orang asing. Tapi, Dini tak menyahut, hanya pintu kamar mandi yang tertutup dengan pelan, menyisakan Dilan dalam kebingungan.Di dalam kamar mandi, Dini memandang bayangannya di cermin. Sesuatu berkelebat di benaknya—sebuah kenangan, atau mungkin peringatan. Wajah Giani terbayang jelas, dengan sorot mata marah dan suara tegas, "Berhenti memang

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 24. Diamnya Dini.

    Di ruangan depan, Danu meraih jaketnya dengan cepat, mengabaikan panggilan telepon dari papanya yang masih berlangsung. Tanpa pikir panjang, dia keluar rumah dan menyalakan mobil, melaju meninggalkan rumah gedong itu dengan langkah tergesa-gesa. Di pertigaan, Danu sempat ragu—seharusnya dia berbelok kanan menuju kampus. Namun, sebuah pikiran yang tak tertahankan menggerakkan tangannya untuk membelok ke arah kiri, menjauhi kampus dan menuju perbukitan. Beberapa hari sebelumnya, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan kuliahnya yang tertunda hampir setahun sejak kepergian Aziel, namun kali ini dia kembali ragu.Danu memarkir mobilnya di dekat gerbang bumi perkemahan dan melanjutkan berjalan kaki. Langkahnya semakin lambat ketika rasa lelah menghantam tubuhnya, seakan menahan langkah yang sejak awal penuh keraguan. Di sebuah tepian aliran sungai, tepat di bawah air terjun kecil, ia berhenti. Matanya menyapu pemandangan sekitar yang dipenuhi pepohonan rindang, di mana tiap po

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 25. Benarkah kau Aziel?

    Dilan duduk diam, pikiran berkecamuk dengan gelombang kegelisahan dan ketakutan yang tiba-tiba menguasainya. Terkadang, pikirannya terasa begitu kusut, bertabrakan dengan keinginan tulusnya akan kesembuhan Dini. Kenapa perasaan ini begitu kuat? Kenapa dia merasa seolah tak lagi sepenuhnya ikhlas atas kesembuhan Dini, tapi lebih takut kehilangan kehadiran wanita yang sekarang tampak begitu asing di hadapannya?Dini duduk berlawanan dengannya, pandangannya menunduk tanpa menatap Dilan sekalipun. Di tangannya, ia memegang sebuah mainan kecil, mainan yang tampak usang, layaknya mainan yang sering dijumpai di tangan seorang balita. Dilan memandanginya dengan tanya di hati, bingung akan dari mana benda kecil itu berasal, namun juga penasaran dengan apa yang kini memenuhi pikiran Dini, yang bahkan tak lagi meliriknya.Pintu terbuka dan Profesor Satya masuk dengan senyum hangat yang khas. "Aku tadi bicara dengan istriku," ujarnya sambil melirik ke arah Dilan dan Dini, ekspresinya tenang. "Bara

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 26. Apa kamu akan meninggalkanku?

    Dilan kaget mendengar pertanyaan Dini. Kata-kata itu menggema, menelusup ke dalam pikirannya, membuka rasa gelisah yang lama ia tutupi. Jadi ini sebabnya Dini terlihat begitu jauh, begitu sunyi sepanjang hari? Ada keraguan di hatinya, sebuah ketakutan yang selama ini berusaha Dilan enyahkan. Dini, wanita yang begitu ia cintai, mulai meragukannya.Dilan mencoba mempertahankan ketenangan di wajahnya, walau hatinya berdebar. Kebingungan begitu menyelimuti dirinya diantara ketakutannya akan perginya Dini dari hidupnya.Dilan menghela nafas panjang. "Jika aku mengatakan aku bukanlah Aziel," suaranya bergetar namun lirih, "apakah kamu akan pergi meninggalkanku?" Setiap kata yang ia ucapkan terasa bagaikan pengakuan yang ia tarik dari lubuk hatinya sendiri. Sejujurnya, ia takut pada jawaban yang akan Dini berikan.Dini memandang pria di sampingnya, matanya masih penuh tanda tanya yang belum terjawab. Hati dan pikirannya berkecamuk, terombang-ambing antara ingatan samar tentang Aziel dan keny

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 27. Maafkan Dini.

    "Din, kamu kenapa?"Dini menggeleng.“Din, makan. Ayo makan,” Dilan berkata pelan namun penuh perhatian. “Atau aku suapi?” Wajahnya dipenuhi kesabaran, seperti biasa. “Ikannya keburu dingin, nggak enak.”Tatapan Dini tertambat pada Dilan. Ingatannya tiba-tiba buyar setelah Dilan mengajaknya makan."Jangan menangis, Din. Kita akan bisa melewati semua ini," ... kata-kata itu kembali terngiang. Kata-kata yang sama.“Makan, yuk,” kata Dilan lagi sambil menyuapkan sesendok nasi dan sambal. Dini membuka mulut pelan, mengunyah sambil memandangnya. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan perasaan yang berkecamuk.“Maafkan aku, Mas…” ucapnya lirih, serak menahan tangis yang nyaris pecah.Dilan menoleh, menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu menatap Dini penuh sayang. “Kenapa minta maaf, Din? Kamu nggak salah apa-apa.” Suaranya teduh dan tulus, membuat Dini semakin sulit menahan air mata.“Aku mengabaikanmu hari ini…”Dengan lembut, Dilan menyentuh bibir Dini dengan jarinya, menghentik

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 28. Tamu tak diundang.

    Sekali lagi Dilan menatap handphone-nya. Sebuah panggilan dari nama yang tidak dikenal. Dilan ragu. Dilan bahkan beranjak ke ruang sebelah, namun terdengar handphone itu masih berdering. Bagaimanapun Dilan takut sejak diikuti oleh dua orang itu. hinggah sikap waspada dia tampakkan. Dipencetnya tombol, lalu didengarnya suara itu."Assalamualaikum, Dilan!" sapa suara di kejauhan.Dilan tertegun dengan suara wanita yang sepertinya pernah dia dengar. Namun di mana, dia lupa."Maaf, apa saya mengenal Anda?" Akhirnya Dilan bertanya setelah dia merasa mengenal suaranya."Aku Sisil, Dilan." Suara di sebrang menjelaskan siapa dirinya.Dilan tersenyum, lalu memandang Dini yang masih duduk di sebelahnya dengan menempelkan kepalanya di bahu Dilan."Iya, ada yang bisa saya bantu?""Enggak, cuma pingin menyapamu saja.""Ih, orang sibuk kok masih sempat-sempatnya menyapa orang." Sekali lagi Dilan memamdang Dini. Dini menatapnya, meminta penjelasan dengan telunjuknya. Dilan hanya menyunggingkan seny

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 29. Teman untuk Dini.

    Dilan menajamkan matanya tak perbaya, saat siapa yang ddia lihat di balik pintu yang sudah terbuka itu."Papa!" Dilan mengahambur dengan mencium tangan Pramono.Pramono memeluk putranya dengan haru. "Bagaimana khabarmu, Nak?" tanyanya dengan mata yang juga mengaca. Dilanlah yang selama ini menjadi kebanggaannya. Karena santunnya juga pribadinya ayng baik, beda sekali dengan Davin."Baik, Pa." Dilan juga kaget dengan siapa papanya datang. "Bu Ima?" Dia menyalami pembantunya itu dengan perlakuan yang sama pada papanya, mencium tangan Bi Imah, walau orang tua itu tak enak hati dengan segera menarik tangannya."Iya, Den. Ini Ibu," ucapnya dengan terharu. Dilan memeluk Ima. Wanita tua itu yang terharu dengan meneteskan airmata. Dini yang sudah mengambilkan minuman dingin dalam kulkas sampai ikut terharu melihat apa yang kini ada di depannya."Saya menghawatirkan Den Dini." Bi Imah mendekat ke Dini dan mengelus pundaknya."Alhamdulillah, Bu. Dia baik-baik saja. Bahkan sekarang lebih baik k

Latest chapter

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 69. Malam pertama?

    "Selamat malam, Pak. Maaf mengganggu tidur Anda." Salah satu dari dua orang itu membuka ucapannya. Lalu mengangsurkan sebuah amplop. Dilan mengambilnya ddan ememgangnya dengan hati-hati dengan sesekali menatap kedua orang itu dengan tatapan selidik. Yang satunya berambut biasa, yang satunya berambut sebahu."Bapak bisa baca, itu surat dari kepolisian. Mulai hari ini kami harus menjaga Nyonya Dini. Walau kami tak terus terang seperti duluh. Bagaimanapun juga kasus Nyonya Dini kini makin serius, jadi kami harus lebih berhati-hati.""Kok cepat sekali, Pak kami mendapat eprlindungan. Kami bahkan belum memasukkan gugatan atas kasus meninggalnya Bian."Yang berambut panjang tersenyum, berusaha menetralkan kecurigaan Dilan. "Pak Danu kemarin menyerahkan diri. Satu-satunya saksi hidup hanyalah Nyonya Dini. Setelah kejadian penculikan sebulan yang lalu, kami harus lebih hati-hati untuk menjaganya. Bagaimanapun juga orang tua Pak Danu memiliki kekuasaan dan kedatangan Pak Danu untuk menyerahka

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 68. Sulitnya bilang cemburu.

    Dilan masih mendekap Dini yang terisak dalam pelukannya. Dilan memang tak habis pikir, apa yang terjadi dengan Dini. "Apa kamu takut dengan menjadi saksi ini?"Dilan mencoba menerka. Dini menggeleng. Kembali mendongak ke wajah Dilan yang kini telah mendaratkan kecupan di keningnya. "Kamu jangan takut, Din, aku akan selalu ada di sampingmu. aku akan terus mendampingimu, apapun masalah yang kauhadapi."Aku tidak takut soal itu," jawab Dini pelan."Lalu apa?"Dini masih diam dan sesenggukan."Apa ini ada hubungannya dengan ucapanmu di meja makan tadi?" Dilan mendaratkan ciumannya di ubun-ubun Dini. Bau segar rambut Dini membuatnya lebih lama dengan memejamkan matanya. "jika sampai rumah ini sudah tidak boleh kita tempati lagi, aku janji akan membelikanmu rumah dengan menyicil KPR, atau mungkin beli tanah kapling duluh. Aku ada tabungan kalau hanya untuk tanah satu kapling. Kita akan bangun rumah, walau rumah kecil ghak apa-apa, asal kita selalu bersama. Yang penting tamannya aja banyak b

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bsb 67. Baru juga kubuka diri.

    "Din, kamu kenapa, aku perhatikan sejak kamu dari kamar atas tadi kok diemi aku?" tanya Dilan, namun Dini hanya diam dengan terus menjalankan sholat Maghrib tanpa mengajak Dilan jamaah."Ghak nunggu aku dari kamar mandi, Din? Kita jamaah Maghrib."Dini langsung mengangkat tangannya dengan memulai takbir.Dilan lalu meninggalkannya dengan bergegas mengambil mandi sekalian. Saat dia keluar dari kamar mandi, dia hanya mengenakan handuk dengan dililitkan di pinggangnya. Rambutnya yang tampak basah indah terjuntai di wajahnya, sekilas membuat debar di hati Dini yang memandangnya, terlebih saat melihat tubuh Dilan. Dini lalu meninggalkan kamarnya menuju dapur. Kenapa pikiranku jadi ngeres begini saat melihatnya? rutuk Dini."Masak apa, Bu? Harum sambal terasinya kok sudah tercium?" Dini mendekati Ima yang tengah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Ima hanya tersenyum. Dini lalu membuat teh hangat. Menyiapkan semuanya di meja makan dekat mini bar.Ajeng dan Ibra menuruni tangga. Tampak ju

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 66. Calon ibu anakku.

    "Dasar wanita gila!" umpat Giani yang takut siapa Dini bagi Dilan, diketahui Sisil. Dia memang sama sekali tidak menyangka gadis itu akan kembali ke rumah ini. Bahkan dengan sikap yang kini jauh dari yang dia duga. Saat kapan hari Sisil yang menunggu Dilan dari siang di rumahnya, sampai mendekati malam, dia hanya berfikir untuk membawanya ke rumah ini. Dia sendiri juga khawatir akan keadaan Dilan yang dari kemarin tak aktif handphone-nya, setelah terjadi pertengkaran dengannya kapan hari. Terlebih saat dia dibilangi Sisil, kalau Sisil sendiri tak bisa menghubungi Dilan.Dini yang mengurung dirinya di kamar atas, merasakan hatinya amat suntuk. Dia bahkan tidak keluara sampai terdengar bunyi mobil yang beranjak pergi dari halaman rumahnya.Dari balkom dia mencoba melihat, ternyata sedan mewah yang dikendarai gadis itu telah pergi. Dini menghela nafas panjang. Syukurlah mereka telah pergi, guman Dini sambil merebahkan dirinya ke tempat tidur. Dini baru menggulir handphone-nya saat terden

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 65. Cemburu.

    Giani, orang yang pertama turun dari sedan itu segera menghampiri Dini. Pandangan matanya menelisik tajam ke Dini. Dalam hati dia memang mengakui betapa cantik gadis tinggi semampai yang kini tubuhnya terlihat lebih berisi dan segar. Wajahnya pun nampak makin ayu dengan bedak ringan dan goresan tipis lipstik warna nude. Namun kebencian yang memuncak sampai ke ubun-ubun, mengalahlan kekagumannya."Kenapa kamu kembali? Siapa yang menyuruhmu? Bukankah aku telah menyuruhmu pergi dari kehidupan anakku?" tanyanya bertubi-tubi tanpa jeda.Dini menatap tajam wanita di depannya. Cukup sudah selama ini dia menginjak harga diriku, bahkan saat itu mengusirku dengan semena-mena, bathin Dini."Kenapa kamu kembali? Budeg ya, kamu?" Giani tidak sabar dengan kediaman Dini. Kembali dia mengeluarkan kata-kata kasarnya."Biasanya orang yang suka teriak-teriak yang budek, Tante." Dini berjalan mendekatinya, meninggalkan bunga anggreknya. "benar kan saya harus memanggil Tante, seperti keinginan Anda?"Gian

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 64. Aku merindukanmu!

    "Hentikan, Danu, apa yang akan kaulakulan dengan pisau buah itu. Kamu mau bunuh papamu?" Tantri ketakutan melihat putra tunggalnya mengacungkan pisau."Itu keenakan untuk Papa jika aku membunuhnya. Aku hanya ingin menghabisi diriku sendiri. Biar Papa sama Mama akan menekuri hari tua sendirian. Bukankah itu lebih menyakitkan?" Danu kemudian tertawa."Dasar anak tidak tau diuntung!" Barata memegangi dadanya setelah Danu meletakkan pisaunya."Sekali lagi Danu tegaskan,... jangan kembali mengusik hidup Dini." Danu pun pergi dengan menyambar kunci mobilnya yang sempat terjatuh.Tantri mendekati suaminya. "Papa tidak apa-apa?" Dia lalu mengambil air minum untuk suaminya.Barata meminum hingga tandas air di gelasnya.Tantri duduk di samping Barata, mencoba menenangkan dirinya meski tangannya masih gemetar. "Kita harus bicara lagi dengan Danu, Pa. Dia semakin sulit dikendalikan," katanya dengan suara rendah. "Setip kita membicarakan tentang Dini, dia akan cepat menanggapi, kita harus hati-hat

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 63. Apa kamu kembali kepadanya?

    "Assalamualaikum, Kak!" Dini memulai telponnya dengan salam."Waalaikum salam, Mel. Gimana, jadi dijemput kapan? kamu sudah selesai liburannya?" tanya seorang pemuda di sebarang sana."E, begini, Kak. Ada persoalan baru yang membuat aku harus kembali ke rumah kami. " Dini menjeda ucapannya merasa tak enak ke Haidar setelah apa yang telah diungkapkan umminya kapan hari. "aku harus menyelesaikan persoalanku duluh, Kak. Aku tak boleh lari dari kenyataan.""Maksudnya apa, Mel?""saya harus memberi Aziel keadilan dengan menjadi saksi atas kematian Aziel.""Kamu ghak apa-apa? Kamu siap?""InsyAllah, Kak. Doaian ya," ucap Dini."Baiklah, Mel. Memang harus itu yang kamu hadapi.""Tapi aku tidak bisa sebebas dulu untuk kerja di tempat Kakak. Setelah aku bersedia menjadi saksi, otomatis hari-hariku harus selalu waspada. Dan sepertinya aku hanya bisa tinggal di rumah kami, utitu pun kayaknya kau harus pakai penjaga.""Rumah kami?" Tak sengaja Haidar mengulang kata Dini soal rumah."E, maksudku r

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 62. Ancaman Danu.

    "Kamu suadh lama di situ, Din?" tanya wanita itu dengan sudah menatap Dini dengan senyumnya yang menyejukkan.Sapaan itu membuat Dini reflek menoleh. Sisa air matanya segera dia habus dengan menunduk. Alisnya bertaut, berusaha mengingat siapa wanita yang kini telah di depannya. Diingatnya wajah itu seperti pernah dia lihat." Aku Ajeng, umminya Aziel, Dini." Wanita yang paham dengan kebingungan Dini itu menjelaskan.Selintas kembali Dini teringat wanita itu pernah menyuruhnya memanggil 'ummi'. Dini berdiri dan menyalaminya. Lalu mengatupkan kedua tangannya ke dada untuk Ibra yang juga tengah memamerkan senyumnya untk Dini.Dini bergeser. Mereka lalu duduk di depan makam Aziel. Sejenak mereka kemudian membisu, khususnya kedua orang tua Aziel yang sibuk melantunkan do'a untuk Aziel."Jangan kautangisi Aziel, Din. Dia telah bahagia di sana,' ucap Ibra."Tapi Dini belum bias membantu Aziel mendapatkan keadilan."Ajeng menatap Dini setelah menyelesaikan do'anya. "Kamu berhak bahagia bersama

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 61. Ke mana lagi kau, Dini?

    Dilan mendekat dengan menyingkirkan bantalnya. Dini memejamkan mata. Dilan sudah merasa tak sabar dengan mendekatkan wajahnya hendak mencium Dini. Namun,.."Aww,..Dini!" pekik Dilan kesakitan, sambil memegangi pantatnya karena terjatuh dari springbad yang mereka tiduri. Dilan memang tak menyangka dengan reaksi Dini yang tiba-tiba menyibakkan tangannya. "Jahat bener kamu, ya. Aku ajak kamu ke surga, kamu memberiku neraka.""Rasain!" Dini malah terkekeh melihat Dilan yang kesakitan'Jangan jahat sama suami sendiri. Kamu diajak sudah menolak itu dapat laknak dari malaikat. Tadi denger ghak kata Pak Kyai, kalau semalaman malaikat juga akan menjahuimu.""Biarin dijahui malaikat, daripada didekati malaikat Izrail.'" Kausamakan aku dengan Izrail? Kebangetan kamu ya,.! Sini,.." Dilan sudah tak sabar dengan makin menggoda Dini dengan mendekatiya dan memeluknya. Dini yang meronta seperti anak kecil membuat Dilan malah gemas dengan menciumnya. Lagi-lagi Dini menendangnya."Auww!" Dilan memegang

DMCA.com Protection Status