Beranda / Romansa / MENANTU IMPIAN IBU / Bab 21. Kaubawa Dilanku!

Share

Bab 21. Kaubawa Dilanku!

Penulis: HaniHadi_LTF
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-26 19:13:33

Pramono melemparkan pandangan ke dapur, di mana Bi Imah terlihat masih sibuk menyelesaikan cucian piringnya.

"Tumben jam segini belum keluar, Dini," gumam Pramono dengan suara rendah. Dia mengamati gerak-gerik keluarganya yang tampak resah, terutama setelah Davin pergi tanpa pamit. Dini biasanya sudah rapi sejak Subuh, dengan pakaian bersih dan wangi khasnya. Tapi pagi itu berbeda.

"Ini ketiduran atau apa, sih?" Giani mulai kesal.

"Ketuk yang pelan, Ma. Setelah kejadian semalam, mereka mungkin lelah. Siapa tahu ketiduran. Nanti kaget kalau dibangunin tiba-tiba."

Tanpa menunggu jawaban, Giani melangkah menuju kamar Dilan, mengetuk pintu dengan nada penasaran dan cemas. "Dilan, kamu gak berangkat kerja?" tanyanya. Namun, hanya keheningan yang menyambutnya. Setelah beberapa lama tanpa jawaban, rasa curiga mulai menyelinap di benaknya. Tangan Giani mendorong pelan daun pintu yang ternyata sudah tidak terkunci.

Saat dia melihat ke dalam kamar, rasa terkejut memenuhi wajahnya. Kamar itu kos
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 22. Sosok di balik tawa itu.

    Dini menarik tangan Dilan dengan gemetar. Kejadian semalam masih membekas di benaknya, menggantung seperti bayangan yang tak mau pergi. "Gak usah buka pintu, Mas... nanti mereka mukulin kamu. Bukankah mereka sudah menyentuhku tadi malam..." Suaranya bergetar, dan ia pun menutup matanya, seolah berharap ingatan buruk itu segera hilang.Dilan menenangkan Dini dengan nada penuh kelembutan. "Jangan takut, Din. Kita sudah di tempat yang aman. Percaya sama Mas, orang-orang yang mengganggumu tadi malam tidak akan berani datang lagi." Ia meraih tangan Dini, menggenggamnya kuat untuk memberikan keyakinan.Dini menatap Dilan ragu-ragu, namun akhirnya mengikuti langkahnya dari belakang. Tangannya menggenggam sesuatu dengan erat – sebuah pisau buah yang dipungutnya sejak tadi, seolah menjadi satu-satunya perlindungan yang ia punya.Dengan penuh keyakinan, Dilan melangkah menuju pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengucap pelan, "Bismillah." Dengan hati-hati, ia membuka pintu, dan rasa le

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-26
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 23. Lenyapkan dia!

    Dini terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Dilan dengan sigap menangkapnya, raut wajahnya penuh kecemasan. "Kamu kenapa, Din?" tanyanya, matanya menyelidik.Dini hanya diam, menunduk sambil memegangi kepalanya yang terasa berat. Sekilas ia memandang Dilan dalam-dalam, seakan mencari sesuatu di balik wajah itu—sebuah kehangatan yang tiba-tiba terasa asing. Tanpa berkata apa-apa, Dini menyambar baju yang dipilihkan Dilan dan buru-buru melangkah ke kamar mandi.Dilan mengerutkan kening, bingung. "Dini, kenapa nggak ganti di sini aja? Kan kamu pakai handuk." Suaranya terdengar heran, sedikit kecewa dengan kelakuan Dini yang seolah menganggapnya orang asing. Tapi, Dini tak menyahut, hanya pintu kamar mandi yang tertutup dengan pelan, menyisakan Dilan dalam kebingungan.Di dalam kamar mandi, Dini memandang bayangannya di cermin. Sesuatu berkelebat di benaknya—sebuah kenangan, atau mungkin peringatan. Wajah Giani terbayang jelas, dengan sorot mata marah dan suara tegas, "Berhenti memang

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-27
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 24. Diamnya Dini.

    Di ruangan depan, Danu meraih jaketnya dengan cepat, mengabaikan panggilan telepon dari papanya yang masih berlangsung. Tanpa pikir panjang, dia keluar rumah dan menyalakan mobil, melaju meninggalkan rumah gedong itu dengan langkah tergesa-gesa. Di pertigaan, Danu sempat ragu—seharusnya dia berbelok kanan menuju kampus. Namun, sebuah pikiran yang tak tertahankan menggerakkan tangannya untuk membelok ke arah kiri, menjauhi kampus dan menuju perbukitan. Beberapa hari sebelumnya, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan kuliahnya yang tertunda hampir setahun sejak kepergian Aziel, namun kali ini dia kembali ragu.Danu memarkir mobilnya di dekat gerbang bumi perkemahan dan melanjutkan berjalan kaki. Langkahnya semakin lambat ketika rasa lelah menghantam tubuhnya, seakan menahan langkah yang sejak awal penuh keraguan. Di sebuah tepian aliran sungai, tepat di bawah air terjun kecil, ia berhenti. Matanya menyapu pemandangan sekitar yang dipenuhi pepohonan rindang, di mana tiap po

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-27
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 25. Benarkah kau Aziel?

    Dilan duduk diam, pikiran berkecamuk dengan gelombang kegelisahan dan ketakutan yang tiba-tiba menguasainya. Terkadang, pikirannya terasa begitu kusut, bertabrakan dengan keinginan tulusnya akan kesembuhan Dini. Kenapa perasaan ini begitu kuat? Kenapa dia merasa seolah tak lagi sepenuhnya ikhlas atas kesembuhan Dini, tapi lebih takut kehilangan kehadiran wanita yang sekarang tampak begitu asing di hadapannya?Dini duduk berlawanan dengannya, pandangannya menunduk tanpa menatap Dilan sekalipun. Di tangannya, ia memegang sebuah mainan kecil, mainan yang tampak usang, layaknya mainan yang sering dijumpai di tangan seorang balita. Dilan memandanginya dengan tanya di hati, bingung akan dari mana benda kecil itu berasal, namun juga penasaran dengan apa yang kini memenuhi pikiran Dini, yang bahkan tak lagi meliriknya.Pintu terbuka dan Profesor Satya masuk dengan senyum hangat yang khas. "Aku tadi bicara dengan istriku," ujarnya sambil melirik ke arah Dilan dan Dini, ekspresinya tenang. "Bara

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 26. Apa kamu akan meninggalkanku?

    Dilan kaget mendengar pertanyaan Dini. Kata-kata itu menggema, menelusup ke dalam pikirannya, membuka rasa gelisah yang lama ia tutupi. Jadi ini sebabnya Dini terlihat begitu jauh, begitu sunyi sepanjang hari? Ada keraguan di hatinya, sebuah ketakutan yang selama ini berusaha Dilan enyahkan. Dini, wanita yang begitu ia cintai, mulai meragukannya.Dilan mencoba mempertahankan ketenangan di wajahnya, walau hatinya berdebar. Kebingungan begitu menyelimuti dirinya diantara ketakutannya akan perginya Dini dari hidupnya.Dilan menghela nafas panjang. "Jika aku mengatakan aku bukanlah Aziel," suaranya bergetar namun lirih, "apakah kamu akan pergi meninggalkanku?" Setiap kata yang ia ucapkan terasa bagaikan pengakuan yang ia tarik dari lubuk hatinya sendiri. Sejujurnya, ia takut pada jawaban yang akan Dini berikan.Dini memandang pria di sampingnya, matanya masih penuh tanda tanya yang belum terjawab. Hati dan pikirannya berkecamuk, terombang-ambing antara ingatan samar tentang Aziel dan keny

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 27. Maafkan Dini.

    "Din, kamu kenapa?"Dini menggeleng.“Din, makan. Ayo makan,” Dilan berkata pelan namun penuh perhatian. “Atau aku suapi?” Wajahnya dipenuhi kesabaran, seperti biasa. “Ikannya keburu dingin, nggak enak.”Tatapan Dini tertambat pada Dilan. Ingatannya tiba-tiba buyar setelah Dilan mengajaknya makan."Jangan menangis, Din. Kita akan bisa melewati semua ini," ... kata-kata itu kembali terngiang. Kata-kata yang sama.“Makan, yuk,” kata Dilan lagi sambil menyuapkan sesendok nasi dan sambal. Dini membuka mulut pelan, mengunyah sambil memandangnya. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan perasaan yang berkecamuk.“Maafkan aku, Mas…” ucapnya lirih, serak menahan tangis yang nyaris pecah.Dilan menoleh, menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu menatap Dini penuh sayang. “Kenapa minta maaf, Din? Kamu nggak salah apa-apa.” Suaranya teduh dan tulus, membuat Dini semakin sulit menahan air mata.“Aku mengabaikanmu hari ini…”Dengan lembut, Dilan menyentuh bibir Dini dengan jarinya, menghentik

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 28. Tamu tak diundang.

    Sekali lagi Dilan menatap handphone-nya. Sebuah panggilan dari nama yang tidak dikenal. Dilan ragu. Dilan bahkan beranjak ke ruang sebelah, namun terdengar handphone itu masih berdering. Bagaimanapun Dilan takut sejak diikuti oleh dua orang itu. hinggah sikap waspada dia tampakkan. Dipencetnya tombol, lalu didengarnya suara itu."Assalamualaikum, Dilan!" sapa suara di kejauhan.Dilan tertegun dengan suara wanita yang sepertinya pernah dia dengar. Namun di mana, dia lupa."Maaf, apa saya mengenal Anda?" Akhirnya Dilan bertanya setelah dia merasa mengenal suaranya."Aku Sisil, Dilan." Suara di sebrang menjelaskan siapa dirinya.Dilan tersenyum, lalu memandang Dini yang masih duduk di sebelahnya dengan menempelkan kepalanya di bahu Dilan."Iya, ada yang bisa saya bantu?""Enggak, cuma pingin menyapamu saja.""Ih, orang sibuk kok masih sempat-sempatnya menyapa orang." Sekali lagi Dilan memamdang Dini. Dini menatapnya, meminta penjelasan dengan telunjuknya. Dilan hanya menyunggingkan seny

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 29. Teman untuk Dini.

    Dilan menajamkan matanya tak perbaya, saat siapa yang ddia lihat di balik pintu yang sudah terbuka itu."Papa!" Dilan mengahambur dengan mencium tangan Pramono.Pramono memeluk putranya dengan haru. "Bagaimana khabarmu, Nak?" tanyanya dengan mata yang juga mengaca. Dilanlah yang selama ini menjadi kebanggaannya. Karena santunnya juga pribadinya ayng baik, beda sekali dengan Davin."Baik, Pa." Dilan juga kaget dengan siapa papanya datang. "Bu Ima?" Dia menyalami pembantunya itu dengan perlakuan yang sama pada papanya, mencium tangan Bi Imah, walau orang tua itu tak enak hati dengan segera menarik tangannya."Iya, Den. Ini Ibu," ucapnya dengan terharu. Dilan memeluk Ima. Wanita tua itu yang terharu dengan meneteskan airmata. Dini yang sudah mengambilkan minuman dingin dalam kulkas sampai ikut terharu melihat apa yang kini ada di depannya."Saya menghawatirkan Den Dini." Bi Imah mendekat ke Dini dan mengelus pundaknya."Alhamdulillah, Bu. Dia baik-baik saja. Bahkan sekarang lebih baik k

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30

Bab terbaru

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 93. Ketakutan

    Mereka sudah tiba di kantin rumah sakit jiwa tempat Dilan bekerja. Suasana nampak ruh oleh pegawai rumah sakit juga keluarga pasien yang datang menjenguk"Makan duluh ya, Dek?" tanya Dilan yang sudah menggandeng Dini untuk duduk di kursi kantin rumah sakit. Ditariknya kursi untuk diduduki Dini.Dini sontak menatap Dilan dengan tajam. "Tentu saja, Sayangku.L lawong kita juga udah di sini gitu, Mas. Emang mau ngapain kalau bukan mau makan."Dilan tertawa, ngakak. "Aku pikir kita mau itu,.." Dilan mengerling. Sebuah timpukan sudah didaratkan Dini. "Otak kamu ngeres melulu."Tawa Dilan makin keras."Biar ghak tegang. Setelah membaca WA kamu sepertinya tak ada semangat." Dilan segera diuduk di sebelah Dini, menatap Dini tanpa merasa puas. Seolah kalau memungkinkan, matanya tak berhenti bergerak dari wajah Dini.Dini setelah terdiam sesaat, dia menatap Dilan. Matanya yang bersitatap, masih kerap memberinya debar-debar halus. "Terkadang aku takut, Mas. Mereka memutarbalikkan fakta. Bukannya a

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 92. Hati yang retak

    "Kamu tidak akan menjadi milik orang lain sampai aku memilikimu terlebih dahulu," ucap pemuda yang dengan mata berkilatnya menatap dua orang di depannya."Apa maumu, Danu? Apa yang akan kauakukan?"Lelaki itu mendekat, menyunggingkan senyumnya. Lalu dengan penuh perasaan mencolek dagu Dini. "Cih!" Dini meludahi wajah pemuda itu.Danu menyeringai, membalurkan air ludah Dini ke seluruh mukanya. ""Rasanya aku telah merasa kamu menjilatkan lidahmu ke wajahku," "Din,.."Dini menelan saliva. "Din, maafkan aku!" Dia berdiri kaku, terpaku oleh kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Danu di saat pikirannya melanglang buana, mengingat kejadian yang membawa Aziel pergi . Angin di ruangan pengadilan itu terasa berat, seperti menyimpan semua beban dunia di udara yang mengelilinginya. Suara langkah sepatu Danu yang semakin mendekat mengisi kekosongan itu, dan setiap detiknya seolah memperlambat waktu. Dini tak tahu harus merasa apa.“Aku yang mengacaukan hidupmu. Maafkan aku, Din,” ujar D

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 91. Bolehkah aku jujur?

    "Assalamualaikum! bagaimana keadaan kalian? Baik-baik saja?" Ajeng segera memeluk Dini, "kamu makin cantik saja, Din," pujinya. "sepertinya karena kalian makin bahagia. Ummi bisa melihatnya," ucap Ajeng dengan memindai rambut Dilan yang basah dan kerudung Dini yang sepertinya juga masih basah rambut di dalamnya saat tadi dia memeluknya.Dini dan Dilan tersipu mengerti dengan arah pembicaraan umminya. Apalagi saat merangkul Dilan, dia mengacak rambutnya. Mereka memang tidak sempat mengeringkan rambut ketika azan Subuh baru terdengar, ada bunyi klakson dari pagar rumah yang mereka tempati. Saat Ima membuka pintu pagar, terlihat mobil travel yang membawa Ajeng dan Ibra datang."Kita kayaknya sebentar lagi mau punya cucu, Mi," tambah Ibra yang membuat Ajeng terkekeh, namun Dilan dan Dini menunduk malu."Bunga kamu makin banyak, Din." Ajeng melihat bunga sambil berjalan ke arah rumah. Semerbak melati tercium harumnya. Dia bahkan mengambil nunga itu dan dibawanya ke rumah."Ummi, jangan lam

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 90. Terbiasa

    Dini yang kecapean sudah tertidur. Bantal guling kesukaannya tak lupa dipeluknya. Dilan yang masuk kamar, diam-diam memandangi wajah cantik yang kini terbaring miring di depannya yang duduk di sisi tempat tidur. Ditelusurinya wajah Dini dengan jemarinya. Dini sekarang memang terlihat makin cantik. Dia rajin merawat diri dan wajahnya. Tubuhnya pun terlihat makin berisi. Dilan menelan salivanya. Ada yang bergejolak di jiwa lelakinya. Diam-diam Dilan merutuki dirinya. Baru juga tadi pagi aku melewati malam pertama kami, pikirnya. Sekilas Dilan tersenyum. Mungkin Dini juga masih sakit, pikirnya yang memang tak berpengalaman dalam hal tempat tidur itu. Dilan merebahkan dirinya di samping Dini. dipandanginya lekat wanita yang teramat dicintainya dari sejak dia masih di bangku sekolah itu. Jemarinya terjulur, mengusap wajah Dini. Saat Dini membuka matanya, Dilan pura-pura tidur."Hanya mimpi," guman Dini dengan sekilas menatap Dilan yang wajahnya tepat di depannya. Dia memandang lelaki yang

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 89. Hanya bekas ODGJ

    "Cerai?" Dilan menengok ke arah pandangan Dini. "Apa maksud perkataanmu, Sil? Siapa yang mengatakan semua itu padamu?"Gadis yang kini menatapnya dengan luka itu, menatap Dini dengan tatapan menghujat. "Seluruh keluarga kita telah merencanakan pertunangan kita. Bahkan minggu depan rencana acaranya, bisa-bisanya kamu sekarang bermesraan dengannya!""Sil, kamu salah mengartikan hubungan kita.""Lihat aku, Dilan. Kau sejajarkan aku dengan wanita bekas ODGJ?"Mendengar perkataan Sisil, mata Dini mulai memburam. Dia berdiri hendak pergi."Dek,.!" Susah payah Dilan menggapai tangannya. Hinggah saat wanita yang dicintainya itu telah direngkuhnya, Dilan memeluknya erat. "Jangan tinggalkan aku lagi, Dek!""Lepaskan aku, Mas!""Tidak, Dek. Aku takkan melepaskanmu. Aku bisa jelaskan semuanya ke Sisil."Namun Dini tetap berusaha melepaskan pelukan Dilan dan pergi."Erka, tolong kunciku!"Erka yang sedari tadi tak melepas pandangannya dari Dini dan Dilan, hinggah tau kapan Sisil datang dan menatap

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 88. Cerai?

    "Apa yang bisa kamu dapat dengan berdebat dengannya, atau menamparnya?" Dilan memulai dengan suara pelan namun tegas. "Justru kamu akan mendapat kasus baru yang akan menjeratmu dalam rana hukum. Kamu sendiri kan tau siapa dia," lanjutnya.Dini masih mencoba melawan, namun tangannya lemah, kalah oleh ketenangan Dilan. Dia akhirnya menyerah dan membiarkan Dilan membimbingnya masuk ke mobil. Kursi penumpang menjadi tempat Dini mengempaskan tubuhnya yang masih dipenuhi rasa frustrasi."Ini, minumlah!" Tanpa banyak bicara lagi, Dilan menghidupkan mesin mobil etelah Dini minum, dan melajukan kendaraan ke arah sebuah tempat yang sudah dikenalnya baik—café milik Erka, sahabatnya."Kita mampir di café temanku ya, nggak jauh dari sini," ucap Dilan santai. "Kamu tentu sudah lapar, setelah melampiaskan emosimu barusan."Dini hanya mengangguk pelan."Aku gemes, tahu nggak? Lihat tampangnya aja aku udah enek."Dilan melirik Dini. "Walau gitu, nggak usah ngamuk juga kali. Nanti cantiknya hilang," g

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 87. Menjijikkan.

    Seseorang datang dengan memamerkan senyumnya. "Bukankah itu orang yang di televisi pesantren kapan hari itu, Dek?" tanya Dilan saat menatap pria tambun yang kini ada di depan mereka sedang melangkah."Iya, Mas. Dia Barata. Kenapa dia di sini?" Din heran dengan adanya pria itu.Barata mendekat. Dini merasakan dag dig dug."Saya ke sini untuk mengajukan lamaran atas nama anak saya satu-satunya, Bu Astri." Pria tambun itu mengutarajan kedatangannya ke rumah Dini."Tetapi maaf, Pak, anak saya masih sekolah, baru mau kelas XII, mana mungkin memikirkan pernikahan?" Tolak Astri walau dia merasakan ketakutan dengan pria yang memiliki reputasi terhormat di seluruh lingkungan mereka."Dia kan perempuan Bu, untuk apa lagi kalau bukan menikah? Lagian walau Danu sekarang belum bekerja, dia takkan kekurangan apapun kalau hanya untuk menafkahi seorang gadis. Anak Ibu tidak akan kekurangan hidup bersama kami.""Bukan karena itu, Pak. Saya tau setiap perempuan akan menjadi Ibu dengan memasak di dapur

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 86. Dapat job.

    "Pak Rasyid ada sedikit masalah. Jadi digantikan orang lain.""O, begitu ya? ""Maksudnya apa?" bisik Dini."Selama ini Papa mengiringi langkahmu dengan orang suruannya."" Jadi, orang yang menguntit aku itu suruhan Papa?"Dilan mengangguk."Pantas kamu mengetahui rumahnya Haidar. Kapan hari aku sempat berfikir, kenapa kamu sampai tau rumahnya Haidar, darimana coba. Kamu juga datang di saat yang tepat saat aku tak mendapati tukang ojek waktu pulang.""Heem. Papa yang ngabari aku setelah Papa di telpon orang suruannya."Pramono yang mendengar bisik-bisik mereka menyela,"Kenapa, Din, kamu takut?""Ya jelas takut sih, Pa. takutnya dia penculik kayak yang duluh. "Pramono tertawa kecil."Kenapa juga, Mas Dilan ghak ngomong?""Biar kamu ghak ngerasa tidak bebas, Din.""Makasih, Pa. Dini jadi terharu diperhatikan Papa.""Kamu adalah bagian dari Dilan. Dilan adalah putra Papa. Itu sama saja artinya kamu juga bagian dari Papa. Kamu jaga diri baik-baik ya. Segera kasih Papa cucu biar Papa bisa

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 85. Virgin?

    "Kok lama kamu baru pulang, Sil?" sapa Rena begitu putrinya nyampek di rumah."Iya, sampek pegel nih, Mi," ucap Sisil dengan sewot menyelonjorkan kakinya."Emang kerja apa sampek pegel?""Bukan kerjanya, tapi nungguin Dilan yang pegel. Udah gitu dia pulang sama Dini bergandengan mesra lagi.""Gandengan mesra? Bukankah kata mamnya Dilan mereka hanya sementara, bagaimana gandengannya sampai mesra?" Wajah wanita itu sampei kerkerut."Kenyataannya begitu."Bramanto yang baru dari dalam, segera menghampiri ibu dan anak itu. "Perasaanmu kali, Sil.""Ghak tau juga sih, Pi. Cuma aku lihat tadi Dini naik ke atas, kayak naik ke kamar atas. Bukan ke kamar yang dipakai Dilan. Sepertinya mereka ghak sekamar.""Tuh, kan,..Mami bilang juga apa. Percaya Tante Giani deh," ucap wanita yang masih cantik di usianya yang kepala empat itu sambil merangkul putrinya.Sisil seketika senyumnya mengembang. Demikian juga Bramanto yang segera menggandeng putri kesayangannya masuk.Sementara di rumah yang ditempa

DMCA.com Protection Status