Dilan duduk diam, pikiran berkecamuk dengan gelombang kegelisahan dan ketakutan yang tiba-tiba menguasainya. Terkadang, pikirannya terasa begitu kusut, bertabrakan dengan keinginan tulusnya akan kesembuhan Dini. Kenapa perasaan ini begitu kuat? Kenapa dia merasa seolah tak lagi sepenuhnya ikhlas atas kesembuhan Dini, tapi lebih takut kehilangan kehadiran wanita yang sekarang tampak begitu asing di hadapannya?Dini duduk berlawanan dengannya, pandangannya menunduk tanpa menatap Dilan sekalipun. Di tangannya, ia memegang sebuah mainan kecil, mainan yang tampak usang, layaknya mainan yang sering dijumpai di tangan seorang balita. Dilan memandanginya dengan tanya di hati, bingung akan dari mana benda kecil itu berasal, namun juga penasaran dengan apa yang kini memenuhi pikiran Dini, yang bahkan tak lagi meliriknya.Pintu terbuka dan Profesor Satya masuk dengan senyum hangat yang khas. "Aku tadi bicara dengan istriku," ujarnya sambil melirik ke arah Dilan dan Dini, ekspresinya tenang. "Bara
Dilan kaget mendengar pertanyaan Dini. Kata-kata itu menggema, menelusup ke dalam pikirannya, membuka rasa gelisah yang lama ia tutupi. Jadi ini sebabnya Dini terlihat begitu jauh, begitu sunyi sepanjang hari? Ada keraguan di hatinya, sebuah ketakutan yang selama ini berusaha Dilan enyahkan. Dini, wanita yang begitu ia cintai, mulai meragukannya.Dilan mencoba mempertahankan ketenangan di wajahnya, walau hatinya berdebar. Kebingungan begitu menyelimuti dirinya diantara ketakutannya akan perginya Dini dari hidupnya.Dilan menghela nafas panjang. "Jika aku mengatakan aku bukanlah Aziel," suaranya bergetar namun lirih, "apakah kamu akan pergi meninggalkanku?" Setiap kata yang ia ucapkan terasa bagaikan pengakuan yang ia tarik dari lubuk hatinya sendiri. Sejujurnya, ia takut pada jawaban yang akan Dini berikan.Dini memandang pria di sampingnya, matanya masih penuh tanda tanya yang belum terjawab. Hati dan pikirannya berkecamuk, terombang-ambing antara ingatan samar tentang Aziel dan keny
"Din, kamu kenapa?"Dini menggeleng.“Din, makan. Ayo makan,” Dilan berkata pelan namun penuh perhatian. “Atau aku suapi?” Wajahnya dipenuhi kesabaran, seperti biasa. “Ikannya keburu dingin, nggak enak.”Tatapan Dini tertambat pada Dilan. Ingatannya tiba-tiba buyar setelah Dilan mengajaknya makan."Jangan menangis, Din. Kita akan bisa melewati semua ini," ... kata-kata itu kembali terngiang. Kata-kata yang sama.“Makan, yuk,” kata Dilan lagi sambil menyuapkan sesendok nasi dan sambal. Dini membuka mulut pelan, mengunyah sambil memandangnya. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan perasaan yang berkecamuk.“Maafkan aku, Mas…” ucapnya lirih, serak menahan tangis yang nyaris pecah.Dilan menoleh, menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu menatap Dini penuh sayang. “Kenapa minta maaf, Din? Kamu nggak salah apa-apa.” Suaranya teduh dan tulus, membuat Dini semakin sulit menahan air mata.“Aku mengabaikanmu hari ini…”Dengan lembut, Dilan menyentuh bibir Dini dengan jarinya, menghentik
Sekali lagi Dilan menatap handphone-nya. Sebuah panggilan dari nama yang tidak dikenal. Dilan ragu. Dilan bahkan beranjak ke ruang sebelah, namun terdengar handphone itu masih berdering. Bagaimanapun Dilan takut sejak diikuti oleh dua orang itu. hinggah sikap waspada dia tampakkan. Dipencetnya tombol, lalu didengarnya suara itu."Assalamualaikum, Dilan!" sapa suara di kejauhan.Dilan tertegun dengan suara wanita yang sepertinya pernah dia dengar. Namun di mana, dia lupa."Maaf, apa saya mengenal Anda?" Akhirnya Dilan bertanya setelah dia merasa mengenal suaranya."Aku Sisil, Dilan." Suara di sebrang menjelaskan siapa dirinya.Dilan tersenyum, lalu memandang Dini yang masih duduk di sebelahnya dengan menempelkan kepalanya di bahu Dilan."Iya, ada yang bisa saya bantu?""Enggak, cuma pingin menyapamu saja.""Ih, orang sibuk kok masih sempat-sempatnya menyapa orang." Sekali lagi Dilan memamdang Dini. Dini menatapnya, meminta penjelasan dengan telunjuknya. Dilan hanya menyunggingkan seny
Dilan menajamkan matanya tak perbaya, saat siapa yang ddia lihat di balik pintu yang sudah terbuka itu."Papa!" Dilan mengahambur dengan mencium tangan Pramono.Pramono memeluk putranya dengan haru. "Bagaimana khabarmu, Nak?" tanyanya dengan mata yang juga mengaca. Dilanlah yang selama ini menjadi kebanggaannya. Karena santunnya juga pribadinya ayng baik, beda sekali dengan Davin."Baik, Pa." Dilan juga kaget dengan siapa papanya datang. "Bu Ima?" Dia menyalami pembantunya itu dengan perlakuan yang sama pada papanya, mencium tangan Bi Imah, walau orang tua itu tak enak hati dengan segera menarik tangannya."Iya, Den. Ini Ibu," ucapnya dengan terharu. Dilan memeluk Ima. Wanita tua itu yang terharu dengan meneteskan airmata. Dini yang sudah mengambilkan minuman dingin dalam kulkas sampai ikut terharu melihat apa yang kini ada di depannya."Saya menghawatirkan Den Dini." Bi Imah mendekat ke Dini dan mengelus pundaknya."Alhamdulillah, Bu. Dia baik-baik saja. Bahkan sekarang lebih baik k
dini menyongsong wanita yang datang setelah wanita berhak tinggi dengan dandanan modis, rambut digerai sebahu dan baju rapi kantoran itu turun dari mobilnya. Dini mengulurkan tangannya. "Mama?" sapanya. Namun wanita itu hanya membuang mukanya tanpa menyambut uluran tangan Dini. wajahnya terlihat sebal dengan menatap Dini benci."Bukankah aku sudah melarangmu memanggilku Mama?" Giani mengingatkan Dini atas larangannya. "O, iya,.. sih, mana mungkin kamu ingat? Bukankah kamu hanya seorang wanita gila yang kebetulan mampir di kehidupan anakku? Memorimu sudah hilang, makanya kamu masih panggil aku Mama, Mama!" Mulut giani sampai dimonyongkan.Wanita gila? Dini tersekad dengan kata-kata wanita di depannya. Wanita yang sekarang lagi mengelilingi kebun Dini."Banyak juga koleksi bungamu, pantas kamu menggembor-gemborkannya di medsosmu," komentar Giani. Dia memang baru tau alamat Dini setelah dia melihat sosmed Dini yang menjual bunga dan sering diperbincangkan di sosialitanya. Sampai dia pen
Ima yang baru saja datang dari pasar melihat semua itu, dia berlari mengejar."Penculik! Mau kamu bawa ke mana Den Dini? Turunkan! Turunkan!" Imah berusaha mencegah dengan sekuat tenaga."Hey perempuan tua, menyingkir kamu dari sini. Atau kamu ingin mampus?" Dengan sekali dorong, salah seorang diantara mereka membuat Bi Ima terjerembab jatuh. Dengan segera masuk mobil dan membawa Dini.Ima kebingungan. Kembali berteriak pernculik, penculik. Di saat itu Dilan datang."Den, cepat. Den Dini dibawa mobil hitam itu."Dilan yang panik langsung mengikuti mobil yang masih terlihat olehnya. Mobil itu? Dilan hafal betul dengan nomer platnya saat dia mengawasinya di cafe. KIni dia baru tau, ternyata dua orang itu mengincar Dini, bukan dirinya. Sesaat dia terigat perbincangan dia dengan papa dan abinya tempo hari. Berarti itu ada hubunganya dengan kematian Aziel, tebaknya. Yang artinya itu dafa hubungannya dengan anak pejabat itu yag telah membunuh Aziel.Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Di
Dini menatap tak percaya. Kebohongan apa ini yang menimpaku? Orang yang telah aku anggap suami, yang bersamanya setiap hari-hariku dan memeluknya di kala tidurku, dia bukanlah orang yang selama ini aku cintai. Dia telah berbohong dengan mengambil keuntungan dari ketidakberdayaanku. Orang yang teramat aku benci itu, ternyata telah menggantikan Aziel selama ini."Kamu lihat apa? Lihat suamimu yang tenang dalam tidurnya?" bentak salah seorang diantara mereka setelah orang dengan bertubuh tanbun keluar dengan pengawalnya."Ayo jalan!" perintahnya ke Dini yang menatap mereka dengan pandangan benci."Atau kamu mau aku angkat seperti pria ini?" tanya yang satu lagi.Dini kemudian berjalan menuruti perintah. Dilan yang terkulai, ditidurkannya dengan didudukkan di kursi dekat Dini. Wajahnya termanggut-manggut saat kendaraan melaju. Dini menopangnya dengan berkali-kali airmata menetes. "Kamu telah membohongiku,kamu telah membohongiku! ucap Dini berkali kali dalam hatinya.Avansa putih itu kemud
"Assalamualaikum, Din. Mana Bu Astri?" sapa pria itu, yang ternyata Pak RT."Ke Pak Kyai, Pak," jawab Dini sambil menggeser jilbabnya yang tadi dia pakai asalan. "Mau narik iuran kampung?"Pak RT terkekeh kecil. "Iya, Din. Seperti biasanya. Ini tadi saya baru tau kalau Bu Astri sudah kembali dari rumahmu, Din. Makanya saya datang sekalian."Dini mengangguk, lalu tanpa banyak basa-basi mengeluarkan uang dari dompetnya yang tadi ditaruh di sofa setelah berbelanja, dan menyerahkannya kepada Pak RT.Hampir mau keluar, Pak RT menoleh ke arah Dini. "Oya, Nak Dini. Selamat, ya. Kamu sudah berhasil melewati Barata dengan menjadi saksi itu. Kasihan Nak Aziel. Sekarang dia bisa hidup tenang setelah misteri kematiannya terungkap."Dini terdiam sesaat, ada semburat kesedihan di wajahnya. Ia menghela napas pelan. "Iya, Pak. Kita doakan saja keputusan hakim adil. Vonisnya belum keluar."Pak RT mengangguk mantap. "Tapi Bapak sudah lihat jalannya sidang yang ditayangkan live dari TV Pesantren. Insya
"Bapak siapa?" tanya Dini, menelisik pria berkulit sawo matang yang terlihat keras itu."Saya hanya mau lihat, apa rumah ini sudah bagus." "Kalau sudah bagus, kenapa ya Pak?" "Tolong bukakan pintuny. Saya mau masuk," ucap lelaki itu dengan sikap sombongnya. Seolah-olah dialah pemilik rumah itu. "Ada perlu apa ya, Pak?" Dini masih curiga dengan pria yang tidak begitu dikenalnya. Ditatapnya penuh selidik. Terkadang dia merasa tak asing dengan wajah itu, namun dia juga ghak terlalu yakin. "Saya hanya ingin tau, apa rumah bakal mantu saya sudah bener- bener bagus. Saya sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu. Saya harus pastikan agar nanti kalau ada kerabat yang datang tidak malu-maluin.""Berarti Anda,..?" Dilan menerka."Kamu dapat menebak saya. Saya Pak Mail juragan buah dari kampung sebelah. Saya bapaknya Fatimah.""Oala, Pak,..kirain siapa tadi." Dilan langsung menyalami pria itu.Dilan lalu berbisik ke Dini. Dini yang orang sini malah yang tidak tau. Dilan memang tau hubungan c
Dilan sudah siap-siap, siapa tau Dini akan menipunya kembali. Namun yang ada Dini malah membuka kimononya. "Mau aku tipu lagi?""Aku sudah pakai jurus jika kamu melakukan itu lagi.""Mana jurusnya?""Ini,.." Dilan menarik pinggang Dini, dan meraih tengkuknya dengan bibir yang sudah menyentuh bibir Dini.Paginya. Pagi sekali Dilan sudah mengajak Dini naik motor Fahmi yang duluh sering dipakainya."Mau ke mana sih, Mas, pagi sekali? Dingin lagi udaranya.""Mau ke pasar Subuh. Biar rambutku kering di jalan. Malu nanti dilihat Fahmi ketauan aku mandi basa. Kemarin sih ya, kita ghak bawa hairdyer.""Kenapa malunya sama Mas Fahmi, bukan sama Ibu?" cibir Dini."Dia kan temanku Dek. Belum nikah lagi. Ya, malulah."Dilan sudah menstarter motornya. Sekali, dua kali, masih tak bisa. Sampai akhirnya Fahmi keluar. Dan benar saja, untuk yang pertama kali dilihat Fahmi adalah rambutnya Dilan."Ghak dingin, subuh-subuh udah keramas. Aku aja sampai Dhuhur baru mandi.""Ih, kamu ya,..!" timpuk Dilan ma
Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i
Dini baru saja menghembuskan napas lega ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh dan melihat sosok Pak Pramono tersenyum padanya."InsyaAllah ada titik terang di sidang ini. Dan kenangan ada di pihak kita," ucap Pak Pramono sambil mengusap kepalanya dengan sayang.Dini menunduk, air mata menggenang di pelupuknya. Begitu banyak hal yang telah terjadi, begitu banyak fitnah yang menimpanya. Namun kini, satu per satu kebenaran mulai terungkap."Selamat, Kak Dini!"Suara ceria Kanaya membuyarkan lamunannya. Gadis itu mendekat dengan senyum lebar, lalu memeluk Dini erat. Di belakangnya, Davin ikut tersenyum sambil mengangguk sopan."Aku tahu Kak Dini tidak mungkin melakukan semua itu. Aku percaya sejak awal," bisik Kanaya, membuat Dini makin terharu.Namun, tak semua orang menunjukkan ekspresi yang sama. Giani, mertua Dini, hanya melipat tangan di dada. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menunjukkan ketidakpuasan. Dalam hatinya, ia bergumam, "Aku pikir dia akan dipenjara selamanya."
Sekelompok pemuda pemudi datang menghampirinya."Mbak ingat kami?"Dini mencoba mengingat kembali.Seorang cewek mendekat. "Kemarin kami mau dekati Mbak, tapi saya lihat Mbak mendekati pria itu, sementara kami juga diajak ngobrol sama Pak Pramono dari kubu mana kami ini dan mau membela siapa.""Mbak, .. bukannya yang kasih minum aku ya,.." tebak Dini."Bener, Mbak. Kami mengikuti perkembangan kasus Mbak. Dari mulai Mbak diculik sampai kemarin di pengadilan. Rasanya kami berdosa jika kami membiarkan Mbak Dini hanya berjuang sendiri mengungkap hal yang seharusnya diungkap," ucap cewek itu.Seseorang datang mendekat sambil berdehem. Sepertinya dia satu diantara orang suruan Barata."Mbak Dini, sebentar ya," ucap dia permisi.Diin mengangguk dengan memperhatikan tngkah gadis yang sesekali melirik ke arahnya."Pak, tenang saja, kami tidak akan mengingkari perjanjian kita," ucap cewek itu, Ailin yang kemudian menepi dan menggiring orang yang mendekat sambil berdehem itu."Ingat, kami telah
"Selamat siang, adik-adik!" Dua orang lelaki menghadang sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu bis yang lewat."Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mashad, ketua kelompok pecinta alam yang terdiri dari beberapa Mahasiswa dan mahasiswi PTN itu."Aku bisa minta sesuatuke kalian? tanya salah seorang diantara mereka yang lebih mendekat."Apa itu, Pak?""Sebelumnya perkenalkan, saya dari pihak terdakwa yang besuk lusa kalian akan menjadi saksinya."Sekelompok pemuda pemudi itu bersitatap. Mereka baru menyadari perkataan Pramono dan pesannya tadi agar mereka berhati-hati. Pramono bahkan menawarkan sebuah tempat tinggal untuk mereka tempati bersama, namun mereka menolak karena kesibukan mereka yang tak memungkinkan untuk diam di satu tempat dengan bersama."Lalu tujuan Bapak mencegat kami, mau apa?""Kami menawarkan sesuatu agar kalian bisa berbuat banyak hal dengan uang yang akan kami beri.""Lalu yang bapak inginkan apa?""Begini," Lelaki itu kemudian mengungka
Dini yang menghampiri Danu, segera meneluarkan unek-uneknya. "Aku memaafkanmu, aku pikir kamu udah bener-bener insaf, Kak. Kenyataannya, kamu hanya ingin menjebakku."Danu yang tak menyukai Dilan di samping Dini, sebenar-sebentar menatap pegangan tangan mereka. "Aku tidak menjebakmu, Din. Mulanya aku justru yang ingin mengakuinya dengan ihlas. Namun melihat sikapmu yang sdelah tak perduli dengan perasaanku, aku tak bisa membuatmu melenggang begitu saja, sementara aku yang akan merasakan dinginnya jeruji besi.""Memang itu kesalahanmu, kenapa duluh kamu ghak nyadar kalau itu resikonya?""Aku ghak sengaja, Din. Kamu tau itu. itu hanya karena didorng rasa inginnnya aku memilikimu.""Aku sudah bilang mengenai hal itu kan? Aku tak bisa bersamamu.""Itu bukan alasan, Din. kalau kita bersama, rasa itu akan tumbuh, karena aku tulus mencintaimu."Dini menggelengkan kepalanya."Belum terlambat, Din. Tinggalkan lelaki itu. Aku akan mengakui kesalahanku. Aku mungkin hanya setahun dua tahun di pen
Sekelompok pemuda dan pemudi datang. Model mereka yang laki-laki kebanyakan rambutnya panjang, membuat banyak mata memperhatikan. Terlebih cara berpakaian mereka yang nyentrik."Siapa kalian? Semua ada prosedurnya. Ikuti duluh prosedurnya. Dan sidang hari ini ditunda sampai di sini duluh. Dilanjutkan besuk kembali." Pak Hakim Ketua menginstruksikan."Kami hanyalah sekelompok orang yang ingin menegakkan keadilan Pak.""Baiklah, saya hargai usaha kalian. Besuk, kalian bisa kembali ke sini lagi. Sementara itu kalian harus berhati-hati untuk menjaga diri."Seorang gadis mendekat ke Hakim Ketua. "Terimakasih banyak, Pak."Gemuruh pengunjung sidang merasa kecewa karena sidang harus dilanjutkan besuk. Mereka penasaran dengan sekelompok pemuda pemudi yang datang ingin menjadi saksi.Sementara Pramono dan pengacaranya mendekati sekelompok pemuda dan pemudi yang datang hendak menjadi saksi. Kanaya yang selalu di dekat papanya ikut mendekat. Perbincangan pun terjadi diantara mereka."Kalian sia