dini menyongsong wanita yang datang setelah wanita berhak tinggi dengan dandanan modis, rambut digerai sebahu dan baju rapi kantoran itu turun dari mobilnya. Dini mengulurkan tangannya. "Mama?" sapanya. Namun wanita itu hanya membuang mukanya tanpa menyambut uluran tangan Dini. wajahnya terlihat sebal dengan menatap Dini benci."Bukankah aku sudah melarangmu memanggilku Mama?" Giani mengingatkan Dini atas larangannya. "O, iya,.. sih, mana mungkin kamu ingat? Bukankah kamu hanya seorang wanita gila yang kebetulan mampir di kehidupan anakku? Memorimu sudah hilang, makanya kamu masih panggil aku Mama, Mama!" Mulut giani sampai dimonyongkan.Wanita gila? Dini tersekad dengan kata-kata wanita di depannya. Wanita yang sekarang lagi mengelilingi kebun Dini."Banyak juga koleksi bungamu, pantas kamu menggembor-gemborkannya di medsosmu," komentar Giani. Dia memang baru tau alamat Dini setelah dia melihat sosmed Dini yang menjual bunga dan sering diperbincangkan di sosialitanya. Sampai dia pen
Ima yang baru saja datang dari pasar melihat semua itu, dia berlari mengejar."Penculik! Mau kamu bawa ke mana Den Dini? Turunkan! Turunkan!" Imah berusaha mencegah dengan sekuat tenaga."Hey perempuan tua, menyingkir kamu dari sini. Atau kamu ingin mampus?" Dengan sekali dorong, salah seorang diantara mereka membuat Bi Ima terjerembab jatuh. Dengan segera masuk mobil dan membawa Dini.Ima kebingungan. Kembali berteriak pernculik, penculik. Di saat itu Dilan datang."Den, cepat. Den Dini dibawa mobil hitam itu."Dilan yang panik langsung mengikuti mobil yang masih terlihat olehnya. Mobil itu? Dilan hafal betul dengan nomer platnya saat dia mengawasinya di cafe. KIni dia baru tau, ternyata dua orang itu mengincar Dini, bukan dirinya. Sesaat dia terigat perbincangan dia dengan papa dan abinya tempo hari. Berarti itu ada hubunganya dengan kematian Aziel, tebaknya. Yang artinya itu dafa hubungannya dengan anak pejabat itu yag telah membunuh Aziel.Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Di
Dini menatap tak percaya. Kebohongan apa ini yang menimpaku? Orang yang telah aku anggap suami, yang bersamanya setiap hari-hariku dan memeluknya di kala tidurku, dia bukanlah orang yang selama ini aku cintai. Dia telah berbohong dengan mengambil keuntungan dari ketidakberdayaanku. Orang yang teramat aku benci itu, ternyata telah menggantikan Aziel selama ini."Kamu lihat apa? Lihat suamimu yang tenang dalam tidurnya?" bentak salah seorang diantara mereka setelah orang dengan bertubuh tanbun keluar dengan pengawalnya."Ayo jalan!" perintahnya ke Dini yang menatap mereka dengan pandangan benci."Atau kamu mau aku angkat seperti pria ini?" tanya yang satu lagi.Dini kemudian berjalan menuruti perintah. Dilan yang terkulai, ditidurkannya dengan didudukkan di kursi dekat Dini. Wajahnya termanggut-manggut saat kendaraan melaju. Dini menopangnya dengan berkali-kali airmata menetes. "Kamu telah membohongiku,kamu telah membohongiku! ucap Dini berkali kali dalam hatinya.Avansa putih itu kemud
Polisi itu tak enak hati dengan kegelisahab Pramono. "Begini, Pak. Ada yang harus kami bicarakan. Kami tak ingin gegabah dalam bertindak. Ini melibatkan orang penting di wilayah ini. Sepertinya ini kasus yang ada kaitannya dengan kejadian hampir setahun silam." Polisi itu lalu memperlihatkan layar handphone-nya ke Pramono. Memperlihatkan sebuah foto di sana.Pramono melihat dengan jelas foto Dini yang terpajang di medsos itu. Tubuhnya seketika menegang. Sorot matanya penuh kecemasan, mengingat ternyata menantu ayng mat diasayangi itu kin terlibat dalam pusaran masalah yang tak terduga."Ini menantu, Bapak?""I,..iya, Pak. Itu menantu saya," ucapnyad rngan suara tertahan.Polisi itu menggangguk pelan. mempererat genggaman tangan ada handphone-nya. "Dia adalah saksi hidup meninggalnya Abian Azierul Alam, santri Pondok Pesantren Puncak hampir setahun yang lalu di bumi perkemahan. Media sosialnya yang menawarkan bunga sering dikunjungi seseorang. Kami akan menyelidikinya."Pramono memejam
"Hentikan!" teriak seorang pemuda yang tiba-tiba saja datang, memasuki resort yang tak terkunci. Rupanya setelah keluaranya elaki tambun tadi, mereka lupa mengunci pintunya."Tapi, Mas,.." ucap penculik itu."Hentikan!""Tolong Dini di dalam, Mas. Tolong Dini,.." ucap Dilan yang kemudian terkulai tak sadarkan diri. Darah mengalir di beberapa bagian tubuhnya.Danu segera berlari. Jeritan Dini amat memilukan. Dibukanya pintu kamar yang juga tak terkunci itu. Melihat yang terpapar di depannya, darahnya mendidih."Biadab! Kamu apakan Diniku?" Danu segera mendekati pria penculik itu dan menyeret tubuhnya dari Dini. Sebuah tamparan keras dia lontarkan. Sampai lelaki itu meringis kesakitan.Dini dengan pakaian compang camping, segera menutupi dirinya dengan selimut yang ada di tempat tidur itu. Matanya nanar menatap Danu dengan derai airmata yang mengalir di pipinya."Kamu apakan dia?" tanya Danu dengan menghantam kembali pria dengan telanjang dada itu"Saya belum,.."Sekali lagi tamparan me
Pramono menatap orang-orang di depannya, wajahnya penuh amarah yang sulit dibendung. Alisnya yang tebal berkerut tajam, otot-otot di rahangnya mengencang seiring dengan kemarahan yang menyalak dari dadanya. "Siapa yang menyuruh kalian? Kenapa kalian mau menculik anakku?" tanyanya, suaranya menggelegar seperti petir di malam tanpa bintang.Orang-orang itu hanya membisu. Mata mereka enggan bertemu tatapan penuh tuntutan dari Pramono, sementara seorang pemuda tampan di antara mereka menunduk, wajahnya tenggelam dalam bayang-bayang rasa bersalah yang samar. Pramono meneliti pemuda itu. Ada sesuatu yang aneh, seolah pemuda itu tidak cocok berada di sana, terlihat berpendidikan dan halus. "Siapa dia?" Pramono bertanya dalam hati, matanya tak lepas dari wajah Danu yang semakin dalam menunduk, seakan ingin menghilang dari pandangan."Tahan diri Anda, Pak," seorang polisi berbadan tegap menepuk bahu Pramono dengan lembut. "Sekeras apa pun Anda bertanya, mereka tak akan menjawab, Pak. Tidak sem
"Bi, bagaimana ini, kenapa Kak Dini belum juga keluar. Tengok, Bi! Tengok!" akhirnya Kanaya memerintahkan Ima untuk menengok Dini Dia benar-benar tidak berani mendekat."Baiklah, Non!" jawab Ima dengan beranjak dari duduknya. Belum juga dia sampai di pintu Dini, pintu kamar terbuka. Nampak Dini keluar dengan baju rumahan, baju tidur peach selutut dengan lengan pendek. Kulit putihnya tersembul dengan indah. Demikian juga dengan tangannya yang ramping. Rambutnya yang ikal sepunggung digerainya karena masih basah.Kanaya membelalakkan matanya, takjub. Dia memang tak pernah melihat Dini dengan penampilan rumah seperti itu. Di rumah dia memang ada Davin yang membuat Dini tak berani memakai pakaian yang dibelikan Dilan itu, kecuali saat dia tidur. . Benar-benar kecantikan yang sempurna tanpa polesan, pantas kedua kakakku klepek-klepek melihatnya, pikir Kanaya."Kalian belum makan?" tanya Dini."Belum, Den""Kanaya juga belum makan?""E,.. belum, Kak!" Kanaya sampai terbata masih takjub deng
Di ambang pintu, Dini hampir tak sempat menjejakkan kaki ke dalam ruangan saat Giani menerjang ke arahnya. Wajah ibu itu memerah, amarah membara dalam sorot matanya. Tangannya terangkat, siap melayang ke pipi Dini, sebelum Davin buru-buru memegang pergelangan tangan mamanya dengan hati-hati.“Ma, tolong sabar, Ma!” Davin menghalangi, berusaha menjaga agar situasi tak makin keruh.Giani mendelik tajam, suaranya bergetar penuh luka. “Kembalikan Dilanku! Jika sesuatu yang buruk terjadi pada anakku, aku tak akan pernah memaafkanmu,” teriaknya, nada suaranya penuh derita dan tuduhan. matanya tak berhenti menangis.Davin menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan. “Mama, tadi Mama bilang ingin pulang, kan? Biar aku antar sekarang,” ucapnya, lembut namun tegas.Tapi Giani tak bergeming. Ia menatap Dini seperti seseorang yang tengah menghadapi musuh besar. “Jangan pernah dekat-dekat anakku lagi! Pergi!” desisnya, sembari mendorong Dini, hampir membuatnya terjatuh. Untung saja Kanaya,
"Selamat siang, adik-adik!" Dua orang lelaki menghadang sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu bis yang lewat."Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mashad, ketua kelompok pecinta alam yang terdiri dari beberapa Mahasiswa dan mahasiswi PTN itu."Aku bisa minta sesuatuke kalian? tanya salah seorang diantara mereka yang lebih mendekat."Apa itu, Pak?""Sebelumnya perkenalkan, saya dari pihak terdakwa yang besuk lusa kalian akan menjadi saksinya."Sekelompok pemuda pemudi itu bersitatap. Mereka baru menyadari perkataan Pramono dan pesannya tadi agar mereka berhati-hati. Pramono bahkan menawarkan sebuah tempat tinggal untuk mereka tempati bersama, namun mereka menolak karena kesibukan mereka yang tak memungkinkan untuk diam di satu tempat dengan bersama."Lalu tujuan Bapak mencegat kami, mau apa?""Kami menawarkan sesuatu agar kalian bisa berbuat banyak hal dengan uang yang akan kami beri.""Lalu yang bapak inginkan apa?""Begini," Lelaki itu kemudian mengungka
Dini yang menghampiri Danu, segera meneluarkan unek-uneknya. "Aku memaafkanmu, aku pikir kamu udah bener-bener insaf, Kak. Kenyataannya, kamu hanya ingin menjebakku."Danu yang tak menyukai Dilan di samping Dini, sebenar-sebentar menatap pegangan tangan mereka. "Aku tidak menjebakmu, Din. Mulanya aku justru yang ingin mengakuinya dengan ihlas. Namun melihat sikapmu yang sdelah tak perduli dengan perasaanku, aku tak bisa membuatmu melenggang begitu saja, sementara aku yang akan merasakan dinginnya jeruji besi.""Memang itu kesalahanmu, kenapa duluh kamu ghak nyadar kalau itu resikonya?""Aku ghak sengaja, Din. Kamu tau itu. itu hanya karena didorng rasa inginnnya aku memilikimu.""Aku sudah bilang mengenai hal itu kan? Aku tak bisa bersamamu.""Itu bukan alasan, Din. kalau kita bersama, rasa itu akan tumbuh, karena aku tulus mencintaimu."Dini menggelengkan kepalanya."Belum terlambat, Din. Tinggalkan lelaki itu. Aku akan mengakui kesalahanku. Aku mungkin hanya setahun dua tahun di pen
Sekelompok pemuda dan pemudi datang. Model mereka yang laki-laki kebanyakan rambutnya panjang, membuat banyak mata memperhatikan. Terlebih cara berpakaian mereka yang nyentrik."Siapa kalian? Semua ada prosedurnya. Ikuti duluh prosedurnya. Dan sidang hari ini ditunda sampai di sini duluh. Dilanjutkan besuk kembali." Pak Hakim Ketua menginstruksikan."Kami hanyalah sekelompok orang yang ingin menegakkan keadilan Pak.""Baiklah, saya hargai usaha kalian. Besuk, kalian bisa kembali ke sini lagi. Sementara itu kalian harus berhati-hati untuk menjaga diri."Seorang gadis mendekat ke Hakim Ketua. "Terimakasih banyak, Pak."Gemuruh pengunjung sidang merasa kecewa karena sidang harus dilanjutkan besuk. Mereka penasaran dengan sekelompok pemuda pemudi yang datang ingin menjadi saksi.Sementara Pramono dan pengacaranya mendekati sekelompok pemuda dan pemudi yang datang hendak menjadi saksi. Kanaya yang selalu di dekat papanya ikut mendekat. Perbincangan pun terjadi diantara mereka."Kalian sia
Setelah waktu rehat, kembali Dini maju ke depan untuk menghadapi pertanyaan Pembela Danu."Saudari Dini,.. tolong dijawab iya dan tidak saja." Pembela mendekati Dini. Menatapnya dengan tatapan tajam."Apa Anda mengenal saudara Danu?" Dia memulai pertanyaannya."Iya.""Anda mengidolainya kan seperti yang tadi Anda katakan?""Maaf itu duluh. Setelah,..""Dijawab dengan iya atau tidak," bentak Pembela.Dilan yang melihatnya mengepalkan tangannya. Sesak dirasakan pria tinggi itu, demikian juga dengan Astri dan lainnya dari keluarga Dini, selain Giani dan Ajeng."Tidak, sekarang.""Anda plin plan. Tadi mengatakan sendiri mengidolai, sekarang tidak." Pembela itu mencibir. Seringai licik terpancar dari wajahnya."Pertanyaan Anda yang tak bisa hanya dijawab iya dan tidak," bantah Dini dengan hati yang panas."Apakah Anda tau Danu mencintai Anda?""Iya.""Bahkan sangat mencintai Anda?"Dini mendongak dengan sekilas menatap Danu yang juga menatapnya. "Iya!" Dini mulai jengkel dengan menjawab se
Di meja makan sederhana itu, suasana tampak tegang meski suara piring dan sendok beradu sesekali mengisi kekosongan. Astri, seorang ibu yang selalu tahu gelagat anaknya, memandang Dini dengan cemas. Dini hanya memutar sendok di atas nasi tanpa benar-benar memakannya. Wajahnya pucat, jelas dia sedang menghadapi beban berat."Makanlah, Dhuk," ujar Astri lembut, mencoba membangkitkan selera makan Dini. Suaranya penuh kasih, seperti ingin menyelimuti hati putrinya yang rapuh.Dini hanya tersenyum tipis, tetapi matanya tetap tertunduk. Sesaat kemudian, Dilan mendekat, membawa ketenangan yang Dini butuhkan. Wajahnya tenang, gerak-geriknya tegas, tetapi kelembutan terlihat dari caranya memperhatikan Dini."Dek, ayo makan." Dilan mengambil sendok, menyendokkan nasi ke piring Dini, lalu menyuapinya. Tatapan matanya penuh cinta, namun kini dibalut kekhawatiran. Dini tidak menolak, tetapi air matanya mulai menetes tanpa bisa ditahan.Melihat itu, Dilan menghentikan gerakannya. Dengan hati-hati,
Aziel...Namanya masih terngiang di kepalaku, berputar seperti gema dalam ruangan kosong. Semua terjadi begitu cepat. Suaranya yang menyebut Allah menjadi kalimat terakhir yang kudengar darinya. Seakan dunia berhenti bersuara ketika tubuhnya terkulai. Perawat yang berdiri di sisinya hanya memandangiku dengan sorot mata penuh iba, lalu mengucapkan kalimat itu:"Maaf, Mbak, dia sudah pergi selamanya."Aku tidak bisa merespons. Tubuhku kaku, seperti terikat oleh ribuan tali yang tak terlihat. Seorang mbak di kemah itu yang menemani sejak tadi kini merangkulku, tubuhku gemetar di pelukannya. "Yang sabar, ya, Dik. Dia pasti bahagia di sana. Tolong ikhlaskan."Ikhlaskan? Kata itu seperti pisau yang menusuk pelan, tapi berulang-ulang. Aku mencoba membuka mulut, memanggil namanya, Aziel. Kata itu keluar lirih, disertai air mata yang sudah tak bisa kubendung."Jangan pergi... Kita pasti akan menikah. Kita akan sekolah bersama..." ucapku di antara isak tangis. Tapi kalimatku menggantung. Dunia
Dini mengusap airmata yang tiba-tiba saja mengalir. Ingatan dia pada Aziel membuatnya menangis. Salahkah aku jika aku masih menangisinya, sementara ada suamiku yang begitu menyayangiku? Bathin Dini dengan kembali menitikkan airmata saat dia meras tak adil pada Dilan karena hatinya masih terbagi."Tolong diteruskan," perintah Pak Hakim saat melihat Dini menunduk.Aku dan Aziel menatap ke arah datangnya suara yang ternyata ada di belakang kami. Aziel terperanjak dengan tangan mengepal. Kata-kata tak senonoh itu bahkan tak pantas untuk didengar seekor jangkrik yang kebetulan lewat."Danu?" ucapku spontan manakala seseorang yang di belakang kedua orang itu, menampakkan wajahnya."Kamu pikir kamu bisa dimiliki orang lain, sebelum aku mencicipimu?" ucapnya dengan wajah merah padam. Aku bahkan seolah tak mengenalinya lagi. Sosok yang duluh amat kuhormati bahkan kuidolai, kini bisa mengatakan semua itu."Jaga ucapanmu!" bentak Aziel."Kamu telah menolakku, Dini. Aku datang dengan baik-baik me
"Ibu sehat?" tanya Dilan. Lalu mencium punggung tangan wanita di depannya."Sehat, Nak. Lihat, nih," ucap Astri tersenyum."Ibu sudah tidak sabar pingin ketemu Dini, Dilan, sampai pas aku telpon kamu semalam, Ibu pingin ngomong sama Dini."Kapan Mas telpon?" tanya Dini pada Fahmi."Tadi malam," jawab Fahmi. yang segera membuat mata Dini membelalak menatap Dilan yang hanya cengingisan di depannya."Jadi Mas Fahmi yang telpon, Mas? Yang kamu sembunyikan itu?""He,he, he,.. kejutan, Dek.""Ih, bisa-bisanya ya, kamu,.." Dini sudah menimpuk Dilan dengan tas kecil yang dibawanya."Dini,..apa-apaan sih kamu, sama suami kamu ghak sopan begitu?" tegur Astri."Ya, begitu itu, Bu, anak Ibu. Ghak sopan sama suami."Dini makin menggertakkan giginya. Dilan hanya ngakak tertawa."Ibu,..!" Dini segera memeluk Astri. "Aku kangen sekal sama Ibu,""Ibu juga, Nak. Kamu baik-baik saja, kan?"Dini hampir saja bercerita tentang kejadian semalam, tapi Dilan memegang tangannya, "Kami baik-baik saja, Bu. Aku
Pria itu mengulurkan air mineral untuk Dini dan Dilan. "Mas, nggak kenapa-napa?" suara beratnya terdengar.Dilan menoleh dan tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma kaget aja.""Maaf, Mas. Saya tadi telat datang karena ada keperluan mendadak," ujar pria itu.Dini memandang pria itu dengan tatapan bingung. "Mas, ini siapa?"Dilan membantu Dini bangkit, kemudian beralih menatap pria tersebut. "Dia? suruan Papa, Din.""Suruan Papa?" Dini mengerutkan dahi, bingung dengan istilah yang baru saja keluar dari mulut suaminya.Dilan tertawa kecil, mencoba menenangkan istrinya. "Maksudnya dia ini yang jaga kita, Din. Nggak usah khawatir. Sekarang kita masuk ke dalam aja, ya."Dini masih ingin bertanya lebih banyak, tapi melihat tatapan serius Dilan, ia memilih untuk menurut. Mereka berjalan menuju kamar resort dengan pria tadi mengikuti di belakang, memastikan semuanya aman."Terimakasih, Pak. Bapak bisa pergi sekarang. Insyaallah ghak ada apa-apa."Setelah masuk ke kamar, Dilan mengun