"Bi, bagaimana ini, kenapa Kak Dini belum juga keluar. Tengok, Bi! Tengok!" akhirnya Kanaya memerintahkan Ima untuk menengok Dini Dia benar-benar tidak berani mendekat."Baiklah, Non!" jawab Ima dengan beranjak dari duduknya. Belum juga dia sampai di pintu Dini, pintu kamar terbuka. Nampak Dini keluar dengan baju rumahan, baju tidur peach selutut dengan lengan pendek. Kulit putihnya tersembul dengan indah. Demikian juga dengan tangannya yang ramping. Rambutnya yang ikal sepunggung digerainya karena masih basah.Kanaya membelalakkan matanya, takjub. Dia memang tak pernah melihat Dini dengan penampilan rumah seperti itu. Di rumah dia memang ada Davin yang membuat Dini tak berani memakai pakaian yang dibelikan Dilan itu, kecuali saat dia tidur. . Benar-benar kecantikan yang sempurna tanpa polesan, pantas kedua kakakku klepek-klepek melihatnya, pikir Kanaya."Kalian belum makan?" tanya Dini."Belum, Den""Kanaya juga belum makan?""E,.. belum, Kak!" Kanaya sampai terbata masih takjub deng
Di ambang pintu, Dini hampir tak sempat menjejakkan kaki ke dalam ruangan saat Giani menerjang ke arahnya. Wajah ibu itu memerah, amarah membara dalam sorot matanya. Tangannya terangkat, siap melayang ke pipi Dini, sebelum Davin buru-buru memegang pergelangan tangan mamanya dengan hati-hati.“Ma, tolong sabar, Ma!” Davin menghalangi, berusaha menjaga agar situasi tak makin keruh.Giani mendelik tajam, suaranya bergetar penuh luka. “Kembalikan Dilanku! Jika sesuatu yang buruk terjadi pada anakku, aku tak akan pernah memaafkanmu,” teriaknya, nada suaranya penuh derita dan tuduhan. matanya tak berhenti menangis.Davin menarik napas panjang, mencoba meredakan ketegangan. “Mama, tadi Mama bilang ingin pulang, kan? Biar aku antar sekarang,” ucapnya, lembut namun tegas.Tapi Giani tak bergeming. Ia menatap Dini seperti seseorang yang tengah menghadapi musuh besar. “Jangan pernah dekat-dekat anakku lagi! Pergi!” desisnya, sembari mendorong Dini, hampir membuatnya terjatuh. Untung saja Kanaya,
"Selamat siang, Pak!" Barata sudah di menghadap ke kantor polisi. "saya mendapat khabar kalau saya harus menghadap Bapak. Ada apa ya?""Anda tidak merasa bersalah?" tanya Polisi, " ah, ya,.. orang besar seperti Anda mana pernah merasa punya salah.""Jaga ucapan Anda, Pak!" ucap Barata mulai emosi. "kesalahan apa yang saya buat? Bahkan anak saya sekarang masuk di jeruji besi dengan tuduhan yang tidak pantas. Sudah jelas, yang menculik mereka adalah dua orang itu. Dan akan memperkosa gadis itu adalah dua orang itu. Anak saya menyelamatkan mereka, kenapa malah yang ditangkap?" ucap Barata nampak emosi."Jangan mengeluarkan kata keras kepada saya. Jika semuanya terungkap, Anda akan merasa malu dengan sendirinya." Tak kalah kerasnya dengan kata-kata Barata, Perwira Polisi itu juga mengeluarkan kata-kata pedasnya."Tunjukkan bukti duluh, Pak, baru menangkap saya. Setelah ini pengacara saya yang akan berurusan dengan Anda atas tuduhan tidak jelas ini," ucap Barata lalu pergi dengan begitu sa
Kata-kata Kanaya bagai petir di saing bolong. sederhana namun membuat Davin khaatir sampai reflek Davin menghentikanjemarinya yang mengetik di ponselnya dan menatap Kanaya. "Iya juga,..""Kamu sih, Kak, bukan orang kayak Kak Dilan yang menyukai orang hanya itu, itu saja dari duluh, jadinya ghak tau bagaimana rasanya jika cinta kita ghak seimbang. Kalau hati Kak Dini berubah bagaimana? Dari kemarin aja aku sudah lihat, dianya berbeda. Yadi itu aja, bajunya itu aja, sudah baju yang dengan warna yang disukai Bian.""Iya, kemarin gelangnya juga ghak mau pakai, masih di Papa. Aku rasa itu karena dia sudah nyadar kalau gelang itu dari pemberian Kak Dilan.""Mana Kak Dilan lagi kritis lagi. Bagaimana kalau Kak Dini tiba-tiba saja meninggalkannya begitu saja? Apa Kak Dilan akan sembuh?""Nay,.." Davin sampai menarik tangan Kanaya, "jangan memberitau ini ke Kak Dilan. Biar dia mengetahuinya sendiri."Kanaya menatap Davin hendak protes, namun dia kemudan berfikir lagi, "Iya, Kak. Mudah-mudahan
"Kamu sudah sembuh, Din?" kembali Dilan bertanya tanpa menunggu Dini menjawab satu pertanyaan sebelumnya."Iya sudah sembuh. Kenapa?" Dengan ttapan tajam Dini bertanya.Dilan tersenyum sedangkan dalam hati yang was was, "Alhamdulillah kalau sudah sembuh."Dini mengambil tasnya dan beranjak pergi, "Ghak takut kalau aku sembuh?""Maksud kamu takut apa?""Takut aku tuntut, Dilan. Karena kamu telah menikahiku di saat aku sedang tak mengingat siapa diriku."Dilan tertawa. Dini yang hatinya jengkel, segera meneruskan langkahnya ke musholla. Sedangkan Dilan meneruskan pikirannya yang berkecamuk. Diingatnya dengan keras, sejak kapan Dini sembuh. Sejak hari ini memanggilku Dilan, atau sejak aku sadar dari koma, dan yang aku ingat,..dia tak pernah lagi memanggilku 'Mas'? Seharusnya aku bersyukur dia telah sembuh. Bukankah itu tujuanku menikahinya. Setidaknya selama beberapa hari ini saat dia bersamaku dia baik-baik saja, tidak menunjukkan rasa tak sukanya. Dia juga menyuapiku dengan sayang. At
Dini yang duduk di dekatnya segera menepuk pungunggnya tak tega. Namun tak lama kemudian, Dilan tergelak. Membuat Dini jengkel dengan memukul Dilan dengan bantal di sebelahnya."Namanya juga berdua di kamar. Ya, diapa-apain lah. Masak istri cantik dianggurin? Aku juga lelaki normal. Kamunya aja juga suka. Kamu justru yang paling duluan peluk aku.""Dilan!" teriak Dini sambil menimpuk Dilan dengan bantal kembali. "Aku susah payah menjaganya selama 19 tahun dan kauambil begitu saja saat aku tidak sadar. Aku tidak akan mengampunimu. Rasakan ini!" ujar Dini dengan marah. Dilan sampai teriak-teriak memohon minta ampun."Dini, hentikan! Kamu ngapain anakku?"Dini menghentikan aksinya manakala dia melihat Giani yang datang bersama suaminya."Dia baru juga sembuh karena dipukuli orang, sekarang gantian kamu yang mukuli. Apa kamu mau bikin anakku gegar otak?" Bentak Giani ke Dini yang menunduk kaget, ghak mengira giani datang.Sementara Pramono hanya senyum-senyum menyaksikan kesewotan istriny
"Kenapa hati Ibu beberapa hari ini begitu gelisah?" Astri mengungkapkan kegelisahannya sambil menatap jauh ke arah pekarangan. Udara sore yang sejuk tidak cukup menenangkan perasaan risau yang bergelayut di wajahnya."Ibu memikirkan pernikahan Fahmi?" tanya Fahmi, yang mulai mendekati ibunya. Ia menempatkan dirinya di sebelah Astri, yang duduk di balai-balai rumah mereka. Rumah itu, meski tampak sederhana, kini jauh lebih baik daripada sebelumnya. Mereka pernah mengalami masa-masa sulit ketika hujan membuat atap bocor di mana-mana, dan mereka hanya bisa menampung air dengan ember. Berkat uang yang tak terduga dari papanya Dilan, Astri akhirnya bisa merenovasi rumah itu. Meski belum sepenuhnya sempurna, pondasi sudah kokoh dan dindingnya dari bata, meskipun belum diplamir.Tiga kamar cukup untuk mereka, dengan dapur kecil yang terasa pas untuk kebutuhan sehari-hari. Atap rumah itu masih terbuat dari esbes, bukan genting, pilihan yang lebih hemat meskipun kayu di daerah tersebut tidak m
"Kak Fahmi, ini aku, Fatimah." Fahmi kaget dengan suara yang kemudian terdengar. "Saya pikir Dilan, Fat," ucap Fahmi lemas."Memang kenapa dengan Kak Dilan?""Ei, kamu kok masih panggil 'Kak' saja. Kamu mulai sekarang harus membiasakan memanggilnya dik.""O, iya-iya,,...dik.""Bukan ke aku juga kali!"Terdengar Fatimah terkekeh."O, ya,. Kak. Kamu dipanggil Bapak ke rumah.""Memang ada apa lagi?" Fahmi heran, kenapa lagi dengan calon mertuanya itu hinggah memanggilnya lagi. Cukup sudah kesabaranku jika dia mau macam-macam lagi, kelu Fahmi."Kurang tau." Enteng Fatimah berkata."Pasti ada yang serius yang perlu dibicarakan. Aku paham betul dengan Bapakmu.""Sabar, Kak. Kita sudah melewati semuanya. Syukurlah akhirnya kita bisa bersama."Dia adalah Fatimah, adik kelas Dilan dan Fahmi yang biasa memanggil mereka dengan 'kak'. Pernikahan mereka juga sama dengan perkawinan Dini. Kedua orantua Fatimah yang juragan buah itu keberatan jika Fatimah dinikahi Fahmi yang pekerjaannyaccuma ikut p
Dini memandangi jalanan yang dilalui taxi dengan tatapan kosong. Pikirannya kalut setelah meninggalkan rumah Dilan. Hati dan pikirannya bercampur aduk, membuatnya tidak memperhatikan supir taxi yang terus mencuri pandang ke arahnya. Sesekali, lelaki itu melirik ke kaca spion, memperhatikan wajah Dini yang tertutup cadar."Pak, ke kanan saja," ucap Dini dengan suara pelan namun tegas, mengarahkan tujuan perjalanannya."Baik, Mbak," jawab supir taxi itu, melirik sekilas melalui kaca spion. Tangan kirinya memegang kemudi, sementara tangan kanannya bergerak pelan untuk menyentuh layar ponselnya yang terpasang di dashboard.Dini mendengar lelaki itu berbicara, meskipun dengan suara pelan, seperti memberi kode pada seseorang melalui panggilan telepon. Kata-kata yang diucapkan terasa janggal di telinga Dini, namun ia terlalu lelah untuk memikirkannya lebih jauh. Hatinya masih diliputi rasa suntuk dan kecewa. Pikirannya sibuk memikirkan apa yang terjadi di rumah Dilan.Ketika taxi berhenti di
Gadis itu mendekat. "Hai, Dilan, bagaimana khabarmu?" sapanya dengan senyum ramah dan menggoda. Dini merasakan tenggorokannya kering seketika.Dilan tersenyum, "Baik. Maaf Minggu lalu aku tidak bisa datang," ucap Dilan akhirnya, sebuah ucapan yang membuat Dini tertegun.Dini mengamati keduanya. Jadi benar, mereka janjian ketemu minggu lalu? Bisa-bisanya Dilan masih mengejarku sementara dia sudah janjian bertemu dengan gadis lain? bathin Dini berkecamuk."Iya, aku sampai menelponmu, tapi telponmu ghak aktif. Aku pikir kamu matikan, tapi lama aku telpon balik juga masih ghak aktif. Akhirnya aku ke sini saja. Ketemu Tante giani. Di sini pun kamu ghak ada. Akhirnya aku diajak Tante pergi.""Aku lagi pergi. Di sana sulit sinyal." Ucapan Dilan membuat Dini ingat, Dilan memang mengejar dia ke rumahnya."O, pantes." Gadis itu menyibakkan poninya dengan sesekali melihat Dini yang masih diam di sisi Dilan dengan wajah ditekuk. Sisil juga merasa heran dnegan gamis mewah yang dikenakan Dini yang
Terdengar adzan Subuh menggema."Udah Subuh, sholat, yuk!' ucap Dini beranjak dari pelukan Dilan dengan wajah memerahnya.Dilan geleng-geleng. Baru juga ingin itu,.. kok Subuh sudah datang, gumannya."Din, nanti kita ulang lagi ya?" teriak Dilan menunggu Dini ke kamar mandi."Apanya?" Dini pura-pura tak mengerti sambil menyimpan senyum di bibirnya."Yang tadi.""Yang mana?""Ih, kamu sok ghak ngerti ya." Gemes Dilan dengan menjitak Dini pelan"Ghak janji ya, habis sholat aku mau lihat tanamanku.""Dini,...!"Dini terkekeh. Dia bahkan segera pergi setelah mencium punggung tangan Dilan selesai sholat Subuh. Dilan yang merasa keinginannya di ubun-ubun masih bisa menahannya saat dilihatnya Dini sudah asik dengan bunga-bunganya. Melihatmu bahagia, aku juga merasakan kebahagiaan itu, Din. Hanya hal sepele saja, aku bahkan berbulan bisa menahannya. Kenapa sekarang tidak?Waktu seperti cepat berlalu, Dilan hanya senang berayun di taman, menggulir handphon-nya dengan sesekali menjepret wajah D
"Selamat malam, Pak. Maaf mengganggu tidur Anda." Salah satu dari dua orang itu membuka ucapannya. Lalu mengangsurkan sebuah amplop. Dilan mengambilnya ddan ememgangnya dengan hati-hati dengan sesekali menatap kedua orang itu dengan tatapan selidik. Yang satunya berambut biasa, yang satunya berambut sebahu."Bapak bisa baca, itu surat dari kepolisian. Mulai hari ini kami harus menjaga Nyonya Dini. Walau kami tak terus terang seperti duluh. Bagaimanapun juga kasus Nyonya Dini kini makin serius, jadi kami harus lebih berhati-hati.""Kok cepat sekali, Pak kami mendapat eprlindungan. Kami bahkan belum memasukkan gugatan atas kasus meninggalnya Bian."Yang berambut panjang tersenyum, berusaha menetralkan kecurigaan Dilan. "Pak Danu kemarin menyerahkan diri. Satu-satunya saksi hidup hanyalah Nyonya Dini. Setelah kejadian penculikan sebulan yang lalu, kami harus lebih hati-hati untuk menjaganya. Bagaimanapun juga orang tua Pak Danu memiliki kekuasaan dan kedatangan Pak Danu untuk menyerahka
Dilan masih mendekap Dini yang terisak dalam pelukannya. Dilan memang tak habis pikir, apa yang terjadi dengan Dini. "Apa kamu takut dengan menjadi saksi ini?"Dilan mencoba menerka. Dini menggeleng. Kembali mendongak ke wajah Dilan yang kini telah mendaratkan kecupan di keningnya. "Kamu jangan takut, Din, aku akan selalu ada di sampingmu. aku akan terus mendampingimu, apapun masalah yang kauhadapi."Aku tidak takut soal itu," jawab Dini pelan."Lalu apa?"Dini masih diam dan sesenggukan."Apa ini ada hubungannya dengan ucapanmu di meja makan tadi?" Dilan mendaratkan ciumannya di ubun-ubun Dini. Bau segar rambut Dini membuatnya lebih lama dengan memejamkan matanya. "jika sampai rumah ini sudah tidak boleh kita tempati lagi, aku janji akan membelikanmu rumah dengan menyicil KPR, atau mungkin beli tanah kapling duluh. Aku ada tabungan kalau hanya untuk tanah satu kapling. Kita akan bangun rumah, walau rumah kecil ghak apa-apa, asal kita selalu bersama. Yang penting tamannya aja banyak b
"Din, kamu kenapa, aku perhatikan sejak kamu dari kamar atas tadi kok diemi aku?" tanya Dilan, namun Dini hanya diam dengan terus menjalankan sholat Maghrib tanpa mengajak Dilan jamaah."Ghak nunggu aku dari kamar mandi, Din? Kita jamaah Maghrib."Dini langsung mengangkat tangannya dengan memulai takbir.Dilan lalu meninggalkannya dengan bergegas mengambil mandi sekalian. Saat dia keluar dari kamar mandi, dia hanya mengenakan handuk dengan dililitkan di pinggangnya. Rambutnya yang tampak basah indah terjuntai di wajahnya, sekilas membuat debar di hati Dini yang memandangnya, terlebih saat melihat tubuh Dilan. Dini lalu meninggalkan kamarnya menuju dapur. Kenapa pikiranku jadi ngeres begini saat melihatnya? rutuk Dini."Masak apa, Bu? Harum sambal terasinya kok sudah tercium?" Dini mendekati Ima yang tengah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Ima hanya tersenyum. Dini lalu membuat teh hangat. Menyiapkan semuanya di meja makan dekat mini bar.Ajeng dan Ibra menuruni tangga. Tampak ju
"Dasar wanita gila!" umpat Giani yang takut siapa Dini bagi Dilan, diketahui Sisil. Dia memang sama sekali tidak menyangka gadis itu akan kembali ke rumah ini. Bahkan dengan sikap yang kini jauh dari yang dia duga. Saat kapan hari Sisil yang menunggu Dilan dari siang di rumahnya, sampai mendekati malam, dia hanya berfikir untuk membawanya ke rumah ini. Dia sendiri juga khawatir akan keadaan Dilan yang dari kemarin tak aktif handphone-nya, setelah terjadi pertengkaran dengannya kapan hari. Terlebih saat dia dibilangi Sisil, kalau Sisil sendiri tak bisa menghubungi Dilan.Dini yang mengurung dirinya di kamar atas, merasakan hatinya amat suntuk. Dia bahkan tidak keluara sampai terdengar bunyi mobil yang beranjak pergi dari halaman rumahnya.Dari balkom dia mencoba melihat, ternyata sedan mewah yang dikendarai gadis itu telah pergi. Dini menghela nafas panjang. Syukurlah mereka telah pergi, guman Dini sambil merebahkan dirinya ke tempat tidur. Dini baru menggulir handphone-nya saat terden
Giani, orang yang pertama turun dari sedan itu segera menghampiri Dini. Pandangan matanya menelisik tajam ke Dini. Dalam hati dia memang mengakui betapa cantik gadis tinggi semampai yang kini tubuhnya terlihat lebih berisi dan segar. Wajahnya pun nampak makin ayu dengan bedak ringan dan goresan tipis lipstik warna nude. Namun kebencian yang memuncak sampai ke ubun-ubun, mengalahlan kekagumannya."Kenapa kamu kembali? Siapa yang menyuruhmu? Bukankah aku telah menyuruhmu pergi dari kehidupan anakku?" tanyanya bertubi-tubi tanpa jeda.Dini menatap tajam wanita di depannya. Cukup sudah selama ini dia menginjak harga diriku, bahkan saat itu mengusirku dengan semena-mena, bathin Dini."Kenapa kamu kembali? Budeg ya, kamu?" Giani tidak sabar dengan kediaman Dini. Kembali dia mengeluarkan kata-kata kasarnya."Biasanya orang yang suka teriak-teriak yang budek, Tante." Dini berjalan mendekatinya, meninggalkan bunga anggreknya. "benar kan saya harus memanggil Tante, seperti keinginan Anda?"Gian
"Hentikan, Danu, apa yang akan kaulakulan dengan pisau buah itu. Kamu mau bunuh papamu?" Tantri ketakutan melihat putra tunggalnya mengacungkan pisau."Itu keenakan untuk Papa jika aku membunuhnya. Aku hanya ingin menghabisi diriku sendiri. Biar Papa sama Mama akan menekuri hari tua sendirian. Bukankah itu lebih menyakitkan?" Danu kemudian tertawa."Dasar anak tidak tau diuntung!" Barata memegangi dadanya setelah Danu meletakkan pisaunya."Sekali lagi Danu tegaskan,... jangan kembali mengusik hidup Dini." Danu pun pergi dengan menyambar kunci mobilnya yang sempat terjatuh.Tantri mendekati suaminya. "Papa tidak apa-apa?" Dia lalu mengambil air minum untuk suaminya.Barata meminum hingga tandas air di gelasnya.Tantri duduk di samping Barata, mencoba menenangkan dirinya meski tangannya masih gemetar. "Kita harus bicara lagi dengan Danu, Pa. Dia semakin sulit dikendalikan," katanya dengan suara rendah. "Setip kita membicarakan tentang Dini, dia akan cepat menanggapi, kita harus hati-hat