Home / Pernikahan / Suamiku Sudah Wafat / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Suamiku Sudah Wafat : Chapter 31 - Chapter 40

54 Chapters

Bab 30

Sudah satu jam rasanya aku tak bisa diam di tempat. Rasanya gelisah. Aku terus menggigit kuku meluapkan keresahan yang kini kurasakan. Entahlah. Tiba-tiba aku merasa seperti akan ada bahaya yang datang padaku. Padahal aku hanya menunggu suamiku pulang. Tapi kesannya malah seperti menunggu ancaman. Kuteguk ludah entah berapa kali lagi setelah menatap barang-barang yang kusatukan di atas sofa. Apa aku takut karena ini ya? Karena paket milik Mas Abri kubuka begitu saja tanpa persetujuannya? Kusadari waktu terus berlanjut. Sudah hampir pukul stau dini hari. Aku belum bisa mendengar tanda-tanda kepulangan Mas Abri dari dalam kamar. Sengaja aku tidak menyambutnya pulang di pintu depan rumah. Seperti apa permintaannya tadi, kalau aku terlihat menarik jika mengenakan baju berwarna merah milikku. Bagaimana bisa aku keluar rumah di saat aku mengenakan pakaian 'dinas' itu sementara di rumah ada Amy dan Ibu. Aku segan jika sekiranya nanti mereka melihatku dengan balutan seperti ini. Canggung
last updateLast Updated : 2024-10-11
Read more

Bab 31

Usai mengatakan itu, Mas Abri langsung saja memelukku erat. Wajahnya benar-benar tenggelam dicaruk leherku sampai aku bisa merasakan deru napasnya yang memburu.Lagi-lagi itulah alasannya untuk menjawabku. Selalu saja mengatakan kalau Abri yang dulu sudah tiada. Entah sampai kapan rasanya dia terus mengubah dirinya. Padahal tidak ada lagi masalah yang rumit sampai harus dia mengubah diri. Jika hanya karena cacian orang-orang yang membuatnya tetap kukuh untuk terus mengubah dirinya, mungkin inilah saatnya aku menghentikan aksinya itu. Karena bagaimana pun, aku tetaplah mencintai suamiku yang dulu. Suamiku yang baik, bertutur kata lembut, serta tak banyak tingkah seperti saat ini. Apalagi sampai terjerumus dalam hal-hal yang aneh! Kutarik diri secara perlahan untuk menatapnya lagi. Kudapati matanya yang nanar, seakan ada tersimpan rahasia di sana. Tapi, sedalam apa pun aku mencoba menguliknya, tetap saja aku gagal membaca isi tatapannya. "Mas ... tolong berhentilah. Jadilah Mas Abr
last updateLast Updated : 2024-10-11
Read more

Bab 32

Tak tahan, aku langsung saja melengos tak ingin melihatnya untuk saat ini. Akan tetapi, alih-alih membiarkanku pergi untuk menangkan diri, Mas Abri justru menahanku dengan cara memegang kedua bahuku dan dengan cepat mendorongku kembali ke belakang. Aksinya begitu cepat bergerak. Dengan tanpa ragu dia menyeka seluruh barang-barang diatas meja rias lalu mengangkat tubuh ini upaya duduk di atas sana. Suara gaduh itu benar-benar terdengar terdengar mengejutkan. Aku sampai kaget, harap-harap orang rumah tidak mendengarnya. "Masss ...." gumamku, lemah. "Sthhh!" desisnya menyuruhku untuk diam. Dia terus menelisik wajahku, entah apa agaknya yang ingin dia cari. Setelahnya, dia langsung mengangkat tangan upaya mengusap permukaan bibirku yang sejak tadi menahan tangis. "Sebanyak apa yang kamu tahu tentangnya, Airin?" tanyanya.Apa pertanyaannya ini masih saja mengatakan kalau dia tidak juga mempercayaiku? Gegas kutepis tangannya lalu mengancam lewat tatapku. "Kamu masih membelanya, Mas?"
last updateLast Updated : 2024-10-11
Read more

Bab 33

Hitungan detik, detak jantungku serasa berhenti begitu saja. Aliran darah ini serasa ikut membeku dengan napas yang mendadak tercekat di tenggorokan. Melihatnya yang baru saja mengatakan hal yang tak pernah kubayangkan mendadak saja seperti menikam jantungku dengan seutas pedang yang langsung menembus diri ini. "A-apa?" Dia menyeringai. Tersenyum miring seolah-olah menertawakanku dengan kebohongannya. "Ka-kamu?" Tak sempat aku berbicara lebih banyak, dia sudah lebih dulu menyerangku lagi dengan cara mencengkeram rahangku lalu meletakkan kecupan dileherku. "Mas Abri!" Napasku seketika tertarik panjang dengan mata yang terbuka lebar. Aku terperanjat hebat, sampai tubuhku yang tadinya terbaring langsung saja duduk dengan keringat yang bercucuran di pelipis. Napasku terengah-engah. Mataku mengerjap-erjap kuat. Dada ini berdebar kencang seperti baru saja berlari jauh dengan kecepatan maksimal. "Airin? Ada apa?" Tiba-tiba saja Mas Abri berujar dengan wajah yang panik. Tapi, apa ya
last updateLast Updated : 2024-10-11
Read more

Bab 34

Entah kenapa rasanya aku linglung dan seperti ada di alam mimpi. Benar-benar membingungkan. Semua yang kualami seolah-olah hanya delusi sampai membuat kepalaku rasa sangat sakit. "Heii," tegur Mas Abri tatkala aku larut dalam lamunan. Dia memegangi kedua pipiku upaya ditatapnya lekat-lekat. "Kenapa? Apa ada yang membuatmu nggak tenang?" Aku benar-benar diam seribu bahasa, tak tahu harus berkata apa. Jujur saja, aku benar-benar seperti hilang arah kali ini. Aku tak tahu harus berbuat apa dan apa yang harus kukatakan. Semuanya tampak membingungkan. Aku sangat yakin kalau aku benar-benar memegang barang-barang yang kubuka itu. Tapi kenapa Mas Abri mengatakan kalau tiada barang-barang itu di sana? Kemana perginya? Aku kaget ketika Mas Abri kembali menginterupsi lamunanku dengan aksinya yang mengecup leherku. "Jangan banyak melamun. Ayo istirahat, Airin. Kamu kayaknya benar-benar kelelahan," titahnya dengan wajah tenang. Dalam diam kutatap lama wajahnya. Dari sepasang mata itu, hidun
last updateLast Updated : 2024-10-11
Read more

Bab 35

Ya Tuhan! Apa yang baru saja kudengar tadi? Tidak! Kali ini aku sedang bermimpi! Apa yang baru saja kudengar dari bibir suamiku benar-benar nyata adanya. Mendadak kepalaku sakit, sangat nyeri. Sungguh! Saat ini aku tampak seperti orang bodoh yang terjebak di kubangan lumpur yang tak tahu bagaimana caranya keluar dari dalamnya. Karena jujur saja, aku sama sekali tidak memahami apa yang saat ini kualami. Apa sebenarnya yang terjadi? Ada apa dengan lelaki yang kusebut dengan suami itu? Berapa banyak kebohongan yang dia sembunyikan dariku? Atau, apakah mungkin mimpi buruk itu suatu pertanda bahwa ..."Baiklah! Besok akan kuhubungi kau lagi. Pastikan kali ini tidak ada yang berani mengusik ketenanganku dengan mengirimi barang-barang itu!" Begitu mendengar suara Mas Abri, dengan cepat kedua kaki ini berjalan berniat kembali ke kamar. "Awh!" Sial! Nyaris saja aku mengumpati kebodohan diri ini! Bagaimana bisa di saat begini aku masih sempatnya tersandung kakiku sendiri hingga nyaris ter
last updateLast Updated : 2024-10-11
Read more

Bab 36

Dia mulai lagi dengan dramanya! "Masss! Lepasin, nggak? Badan kamu panas banget. Serasa aku dibakar hidup-hidup ini!" protesku sambil berupaya keras keluar dari dekapannya. Dia tetap memejamkan mata, namun enggan melepaskanku. "Airin, aku rasa ajalku sudah dekat. Jangan pergi. Kumohon!" Sebal, langsung saja kupaksa diri ini bangun tak lupa segera memberikannya tinjuan kuat tepat didada bidangnya itu! "Mulai kamu, Mas! Lebaynya lewatan! Perkara demam aja udah kayak sekarat kamu!" Ck! Kupikir dia berubah seutuhnya, ternyata tetap sama saja. Pengalamanku ketika Mas Abri demam dulu tidak akan jauh-jauh dari dramanya yang saat ini. Dia pasti banyak meracau berpikir kalau kematiannya akan tiba. Lucunya, ketika dia dulu jatuh dari ketinggian kala bekerja, reaksinya malah biasa saja. Justru aku yang khawatir setengah mati takut kalau dia akan wafat saat itu juga. Tapi sebaliknya! Kalau dia sudah demam, inilah yang akan terjadi. Bibirnya akan rewel tak habis-habis mengucapakan salam per
last updateLast Updated : 2024-10-11
Read more

Bab 37

Dia tertegun sebentar, mungkin kaget karena aku mengatakan hal yang dia sangka tak kuketahui. "Jadi, kamu mendengarnya?" Mendadak aku gugup, entah karena takut atau apa. Tapi kalau dipikir-pikir, aku takut kenapa? Tiada alasan spesifik bukan yang membuatku harus takut menghadapi suamiku sendiri? Setidaknya itulah nada-nada penenang yang muncul dari hari kecilku. Aku dipaksakan untuk terus berbaik sangka padanya dan enyahkan segala pikiran buruk yang sudah banyak menyusup mengusik ketenanganku. "Iya, Mas. Kamu benar. Aku dengar kamu ngomong apa sama orang itu! Asal kamu tahu, aku ketakutan setengah mati, Mas. Aku benar-benar takut kamu kenapa-napa, dan ...." Aku tak sanggup meneruskannya karena terlanjur emosional. Mengingat tentang kalimat yang menyelinap masuk ke dalam telingaku serta beberapa fakta lainnya membuatku semakin tak tenang bahkan nyaris frustrasi. Karena pernyataan ini, aku jadi melupakan tentang keadaan Mas Abri. Karena dia meringis baru saja barulah aku sadar dan
last updateLast Updated : 2024-10-11
Read more

Bab 38

"Udah cukup, Mas!" Aku menaikkan suara benar-benar geram. Dia terus saja mengatakan hal-hal aneh yang kian membuat dadaku bergemuruh tak terima. "Kamu udah banyak banget ngomongnya, Mas. Aku udah nggak kuat ngadepin kamu. Makanya aku bilang, ayo kita ketemu dokter. Kamu banyak ngoceh yang nggak jelas kalau lagi demam." Air mataku tak bisa diajak kompromi. Dia luruh begitu saja kala hatiku sedang merasa kacau saat ini. Aku berharap semua ucapan Mas Abri hanyalah efek dirinya yang sedang demam. Karena jika mungkin apa yang dia katakan memang benar adanya, aku benar-benar tidak bisa menerima itu. Aku tak mampu menerimanya! Dia menunduk lemah sambil meneteskan air mata. Kulihat selimut dipangkuan mulai basah. Sial! Kenapa begini jadinya? Kenapa ... "Maaf. Maafkan aku, Airin. Maaf sudah mengecewakanmu." Dia mengangkat wajah kini menatapku lemah. "Aku bukanlah suamimu, aku–""Mas Abri!" selaku, cepat. Kutatap dia dengan mata lebar, benar-benar memberinya sebuah peringatan. "Jangan ngomo
last updateLast Updated : 2024-10-11
Read more

Bab 39

Tanpa perintah, benda pipih ditanganku terjatuh begitu saja mendarat ke lantai dengan suara gaduh yang singkat. Alih-alih kaget karena mungkin ponsel Mas Abri sudah retak, aku justru terpaku di tempat. Seolah-olah duniaku sedang berhenti berputar sehingga yang kurasakan hanya keheningan tanpa suara berisik apa pun. Anehnya, dadaku seketika berdebar tak berturan. Tanganku gemetar, kedua lututku lemas. Beberapa detik berikutnya, kedua mataku memanas karena tak berkedip sejak aku mendengar suara yang keluar dari ponsel Mas Abri. "Halo! Beib. Kamu masih di situ, kan? Libra, tolonglah. Jangan seperti ini. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku!" Panggilan itu masih terhubung yang menjadi pematah bekunya aku yang sejenak tadi. Kutatap layar ponsel yang menyala di bawa kakiku dengan segala emosi yang tercipta. Kuteguk ludah sambil mengerjap-erjap berusaha menyadarkan diriku. Dengan lemah aku merebut kembali ponselnya, lantas mendengarkan sosok yang terus mengoc
last updateLast Updated : 2024-10-11
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status