Entah kenapa rasanya aku linglung dan seperti ada di alam mimpi. Benar-benar membingungkan. Semua yang kualami seolah-olah hanya delusi sampai membuat kepalaku rasa sangat sakit. "Heii," tegur Mas Abri tatkala aku larut dalam lamunan. Dia memegangi kedua pipiku upaya ditatapnya lekat-lekat. "Kenapa? Apa ada yang membuatmu nggak tenang?" Aku benar-benar diam seribu bahasa, tak tahu harus berkata apa. Jujur saja, aku benar-benar seperti hilang arah kali ini. Aku tak tahu harus berbuat apa dan apa yang harus kukatakan. Semuanya tampak membingungkan. Aku sangat yakin kalau aku benar-benar memegang barang-barang yang kubuka itu. Tapi kenapa Mas Abri mengatakan kalau tiada barang-barang itu di sana? Kemana perginya? Aku kaget ketika Mas Abri kembali menginterupsi lamunanku dengan aksinya yang mengecup leherku. "Jangan banyak melamun. Ayo istirahat, Airin. Kamu kayaknya benar-benar kelelahan," titahnya dengan wajah tenang. Dalam diam kutatap lama wajahnya. Dari sepasang mata itu, hidun
Ya Tuhan! Apa yang baru saja kudengar tadi? Tidak! Kali ini aku sedang bermimpi! Apa yang baru saja kudengar dari bibir suamiku benar-benar nyata adanya. Mendadak kepalaku sakit, sangat nyeri. Sungguh! Saat ini aku tampak seperti orang bodoh yang terjebak di kubangan lumpur yang tak tahu bagaimana caranya keluar dari dalamnya. Karena jujur saja, aku sama sekali tidak memahami apa yang saat ini kualami. Apa sebenarnya yang terjadi? Ada apa dengan lelaki yang kusebut dengan suami itu? Berapa banyak kebohongan yang dia sembunyikan dariku? Atau, apakah mungkin mimpi buruk itu suatu pertanda bahwa ..."Baiklah! Besok akan kuhubungi kau lagi. Pastikan kali ini tidak ada yang berani mengusik ketenanganku dengan mengirimi barang-barang itu!" Begitu mendengar suara Mas Abri, dengan cepat kedua kaki ini berjalan berniat kembali ke kamar. "Awh!" Sial! Nyaris saja aku mengumpati kebodohan diri ini! Bagaimana bisa di saat begini aku masih sempatnya tersandung kakiku sendiri hingga nyaris ter
Dia mulai lagi dengan dramanya! "Masss! Lepasin, nggak? Badan kamu panas banget. Serasa aku dibakar hidup-hidup ini!" protesku sambil berupaya keras keluar dari dekapannya. Dia tetap memejamkan mata, namun enggan melepaskanku. "Airin, aku rasa ajalku sudah dekat. Jangan pergi. Kumohon!" Sebal, langsung saja kupaksa diri ini bangun tak lupa segera memberikannya tinjuan kuat tepat didada bidangnya itu! "Mulai kamu, Mas! Lebaynya lewatan! Perkara demam aja udah kayak sekarat kamu!" Ck! Kupikir dia berubah seutuhnya, ternyata tetap sama saja. Pengalamanku ketika Mas Abri demam dulu tidak akan jauh-jauh dari dramanya yang saat ini. Dia pasti banyak meracau berpikir kalau kematiannya akan tiba. Lucunya, ketika dia dulu jatuh dari ketinggian kala bekerja, reaksinya malah biasa saja. Justru aku yang khawatir setengah mati takut kalau dia akan wafat saat itu juga. Tapi sebaliknya! Kalau dia sudah demam, inilah yang akan terjadi. Bibirnya akan rewel tak habis-habis mengucapakan salam per
Dia tertegun sebentar, mungkin kaget karena aku mengatakan hal yang dia sangka tak kuketahui. "Jadi, kamu mendengarnya?" Mendadak aku gugup, entah karena takut atau apa. Tapi kalau dipikir-pikir, aku takut kenapa? Tiada alasan spesifik bukan yang membuatku harus takut menghadapi suamiku sendiri? Setidaknya itulah nada-nada penenang yang muncul dari hari kecilku. Aku dipaksakan untuk terus berbaik sangka padanya dan enyahkan segala pikiran buruk yang sudah banyak menyusup mengusik ketenanganku. "Iya, Mas. Kamu benar. Aku dengar kamu ngomong apa sama orang itu! Asal kamu tahu, aku ketakutan setengah mati, Mas. Aku benar-benar takut kamu kenapa-napa, dan ...." Aku tak sanggup meneruskannya karena terlanjur emosional. Mengingat tentang kalimat yang menyelinap masuk ke dalam telingaku serta beberapa fakta lainnya membuatku semakin tak tenang bahkan nyaris frustrasi. Karena pernyataan ini, aku jadi melupakan tentang keadaan Mas Abri. Karena dia meringis baru saja barulah aku sadar dan
"Udah cukup, Mas!" Aku menaikkan suara benar-benar geram. Dia terus saja mengatakan hal-hal aneh yang kian membuat dadaku bergemuruh tak terima. "Kamu udah banyak banget ngomongnya, Mas. Aku udah nggak kuat ngadepin kamu. Makanya aku bilang, ayo kita ketemu dokter. Kamu banyak ngoceh yang nggak jelas kalau lagi demam." Air mataku tak bisa diajak kompromi. Dia luruh begitu saja kala hatiku sedang merasa kacau saat ini. Aku berharap semua ucapan Mas Abri hanyalah efek dirinya yang sedang demam. Karena jika mungkin apa yang dia katakan memang benar adanya, aku benar-benar tidak bisa menerima itu. Aku tak mampu menerimanya! Dia menunduk lemah sambil meneteskan air mata. Kulihat selimut dipangkuan mulai basah. Sial! Kenapa begini jadinya? Kenapa ... "Maaf. Maafkan aku, Airin. Maaf sudah mengecewakanmu." Dia mengangkat wajah kini menatapku lemah. "Aku bukanlah suamimu, aku–""Mas Abri!" selaku, cepat. Kutatap dia dengan mata lebar, benar-benar memberinya sebuah peringatan. "Jangan ngomo
Tanpa perintah, benda pipih ditanganku terjatuh begitu saja mendarat ke lantai dengan suara gaduh yang singkat. Alih-alih kaget karena mungkin ponsel Mas Abri sudah retak, aku justru terpaku di tempat. Seolah-olah duniaku sedang berhenti berputar sehingga yang kurasakan hanya keheningan tanpa suara berisik apa pun. Anehnya, dadaku seketika berdebar tak berturan. Tanganku gemetar, kedua lututku lemas. Beberapa detik berikutnya, kedua mataku memanas karena tak berkedip sejak aku mendengar suara yang keluar dari ponsel Mas Abri. "Halo! Beib. Kamu masih di situ, kan? Libra, tolonglah. Jangan seperti ini. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku!" Panggilan itu masih terhubung yang menjadi pematah bekunya aku yang sejenak tadi. Kutatap layar ponsel yang menyala di bawa kakiku dengan segala emosi yang tercipta. Kuteguk ludah sambil mengerjap-erjap berusaha menyadarkan diriku. Dengan lemah aku merebut kembali ponselnya, lantas mendengarkan sosok yang terus mengoc
Aku berjalan dengan langkah seperti mengambang. Seolah-olah kakiku tak memijak bumi saking terbangnya sebuah hayalan tinggi dalam kepala. Sialnya, saat logikaku seperti tertawa terbahak-bahak menanggapi segala keadaanku, air mataku justru tumpah lebih deras membasahi wajah. Setiap kali aku mengingat Mas Abri, saat itu pula aku merasakan sakit yang luar biasa di dalam dada. Semua keanehannya berangsur terjawab. Lantas, apa seharunya yang harus kulakukan? Apa yang harus kuperbuat sekarang? Jika dia bukanlah suamiku, lalu siapa dia? Juga, di mana Mas Abri yang sebenarnya? Di mana suamiku yang asli? Aku terkesiap begitu mendengar suara bel dari luar. Gegas kupercepat langkah upaya membuka pintu. Belum sampai aku ke sumber suara, kulihat Amy sudah melengos lebih dulu berjalan cepat untuk membuka pintu. Dia bahkan sampai memgabaikanku yang hendak bertanya siapa yang baru saja datang. "Terima kasih, Pak!" serunya dari sana. Aku berusaha melihat sambil terus mengikis jarak kami. "Siapa,
Refleks aku mendongak menatap Mas Abri akibat pernyataannya yang terdengar konyol. "Ngomong apa sih kamu, Mas?" tegurku, jutsru tak terima. "Itu benar, Airin. Ibu kamu suka main judi. Uang dikartu itu juga bukan habis, tapi aku batasi. Dia mengunakannya untuk hal yang nggak baik," jelasnya kemudian. Aku tak langsung menjawab. Aku terlalu tertarik mengamati wajahnya dengan seksama, ingin kembali menegaskan kalau dia memang bukanlah Mas Abri. Kata-katanya terlalu asing untuk ukuran Mas Abri. Suamiku terlalu awam untuk hal-hal yang seperti itu. "Enak banget Mas nuduh gitu?" cetus Amy membuatku langsung mengalihkan pandangan. "Mas Abri kayaknya makin hari makin menjadi-jadi deh." "Itu bukanlah tuduhan, Amy. Lagi pula, kenapa suaramu tinggi sekali? Ini rumah Airin? Pahamilah caranya sopan santun. Hormati tuan rumah," Balas Mas Abri dengan nada tenang namun menohok. Alih-alih aku senang, aku justru merasa muak! "Ibuk nggak nyangka ya, Abri. Ternyata kamu nggak sebaik yang Ibuk kira.
Kulihat dia sedang berpikir untuk menjawabnya. Apa jangan-jangan dia memang menyadari kalau aku ini bukanlah Abri? Tapi, apa itu mungkin. Aku dan Abri kembar seiras. Hampir sulit dibedakan. Apalagi kami yang sudah lama tak bersua pun tak ada orang yang tahu kalau kami kembar. Apa mungkin ada yang menyadari perbedaan itu di antara kami? "Mas Abri yang dulu, yang sekarang, atau sepuluh tahun ke depan pun, aku akan terus mencintainya," jawabnya pada akhirnya. Kontan saja sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Senang sekali rasanya. "Kalau gitu, aku yang nanya sama, Mas Abri. Mas masih cinta sama aku nggak? Atau jangan-jangan ada wanita lain yang Mas suka selama di tanah rantau sana?" Mata menyipit menerangkan pertanyaan itu seperti mengancam jawabanku nanti. Alih-alih aku merasa terancam, aku justru semakin gemas padanya. Pandai sekali dia mengacak-acak pertahanan hatiku yang terkenal dingin ini. Kunyamankan topangan daguku untuk menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Kurasa aku sud
POV LibraMakin hari aku semakin pusing saja mencari kebenaran siapa agaknya yang sudah melukai saudara kembarku, Abri. Sudah banyak kulakukan penyisiran pada musuh-musuhku yang memang bukan lagi hanya satu atau dua. Maklum, aku ini seorang pengacat. Tidak asing lagi jika aku punya banyak musuh di mana-mana. Tatkala sibuk dengan layar laptopku, atensiku seketika lepas tatkala mendapati pintu kamarku terbuka. Seketika saja bulu-bulu halus yang menyelimuti kulitku berdiri semuanya tatkala sepasang mataku mendapatinya muncul dari ambang pintu sana. Siapa lagi kalau bukan Airin, adik iparku. Istrinya saudara kembarku yang sudah tiada. Aku meneguk ludah seiring dia berjalan mendekat. Kupaksa diriku untuk mengabaikannya, walau nyatanya sangat sulit. Bisa gila aku jika begini terus. Tiba-tiba auranya jadi panas sekali. Aku kegerahan."Mas lagi ngapain?" tanya sambil merayap ke atas tempat tidur, mulai mendekatiku. Sial! Aku jadi gagal fokus. Tadinya aku sedang mengumpulkan banyak teori,
"Devita, sudahlah. Jangan ganggu aku dulu." Kurasakan juga kalau nada bicara Libra tak suka.Entah kenapa aku merasa menang jadinya.Devita terlihat frustrasi terlihat bagaimana dia menatapku semakin tajam. Aku tak tahu apa kaitannya perempuan ini dengan Libra. Yang pastinya, aku merasa lega karena pada faktanya ternyata dia bukan sepenting itu."Keluarlah, Devita. Kamu sudah tahu kita nggak ada hubungan apa-apa lagi? Jangan pura-pura bodoh apalagi harus mengemis di depanku. Kamu tahu, kan aku nggak suka perempuan yang cerewet!" kata Libra mengusir keberadaan Devita.Alih-alih Devita, entah kenapa justru aku yang merasa tersinggung. Kalimatnya ini sudah sangat banyak kudapati sejak dia menjadi Mas Libra kemarin. Jadi, dia memang tak suka pada perempuan yang banyak bicara? Termasuk aku?Jika memang begitu adanya, lantas kenapa dia terlihat sangat meyakinkan saya mengatakan kalau dia mencintaiku? Dia seperti mengemis dan akan melaksanakan apa pun yang akan kukatakan padanya asalkan aku
Damn! Sungguh, rasanya aku seperti ada di alam mimpi. Semua kalimat yang kubaca dengan kedua mataku ini sangat-sangat ampuh membelah pertahanan diri. Sesuatu yang sangat mujarab untuk menghilangkan jiwa dari ragaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa surat yang kubaca baru saja disampaikan oleh suamiku, Mas Abri. Aku tidak akan salah mengenali tulisan tangan ini. Tidak akan aku salah lagi. Ini sudah jelas tulisan Mas Abri, suamiku. Tapi apa maksudnya? Apa yang dia katakan di dalam suratnya ini? Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Apa maksudnya! Tanpa sadar air mataku mengucur deras lagi-lagi membasahi pipi yang kering saja belum juga. Tanpa sadar pula, amarahku memuncak hingga ubun-ubun yang langsung kuluapkan pada secarik kertas yang kugenggam! Apa katanya? Sebenarnya dia tidak pernah merantau untuk mencari pekerjaan, melainkan ingin mencari saudaranya? Dan juga, dia yang mengirimkan Libra padaku seolah-olah Libra itu adalah dia yang pergi dengan segenap janji yang dia
Belum siap aku memberikan reaksi atas kisah yang dijabarkan padaku, aku sudah kembali dikejutkan dengan suara sirine yang terdengar begitu dekat.Putriku sampai memelukku erat, ketakutan.Sementara itu, Rangga langsung menghambur keluar kamar mungkin langsung memeriksa apa kira-kira yang sedang terjadi.Dan aku? Aku hanya bisa diam entah kenapa. Aku tak tahu harus apa. Aku tak mengerti ada disituasi apa aku saat ini. Apalagi saat mengingat tentang cerita yang dikisahkan pria tadi membuatku semakin linglung dan sulit berpikir logis.Suara sirine itu terus saja memekik ditelingaku. Tak bisa diam saja, aku pun lantas menarik langkahku pelan-pelan mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di bawah sana.Begitu aku keluar kamar, dari anak tangga yang masih cukup jauh, aku membeliak tatkala mendapati banyak aparat kepolisian di rumahku. Suara sirine itu berasal dari mobil mereka. Tapi tunggu!Kenapa ada ambulans? Apa yang sudah terjadi sampai harus mendatangkan beberapa perawat terliha
"Airin, jangan!" Aku menepis tangannya serta tak kupedulikan suaranya yang melarangku menghampiri putriku. Bagaimana mungkin aku diam saja saat buah hatiku hendak disakiti begitu saja? Hati ibu mana yang tidak akan terluka jika sudah begitu? Tanpa berpikir dua kali, langsung kurebut Aila dari dekap pria itu sampai aku tidak sadar kalau pisau kecil yang dia pegang menggores pelan pergelangan tanganku. "Mama," lirih Aila. Aku langsung saja memeluknya erat, tak akan kubiarkan dia terluka atau apa pun. "Mama di sini, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan nangis ya?" Aku memenangkannya terus mengusap punggungnya. Ketakutanku langsung bertambah tatkala kudengar kembali suara tawa pria yang kini berdiri di depanku. Dia memalang tubuhku dari tatap Libra. "Ini yang di namakan satu kali dayung dua pulau terlampaui," ucapnya. Tak henti-hentinya aku menahan ketakutan ketika dia kembali menodong pisau kecilnya tepat ke leherku manakala melihat Libra hendak mendekati."Jangan, jangan! Jangan lakuka
Keningku semakin berkerut, tak suka dengan pernyataannya. Lagi-lagi aku mundur tatkala dia mendekat."Lepaskan tanganmu itu, Brengsek!"Suara teguran itu membuatku mendelik yang refleks menoleh ke sumber suara. Bola mataku membulat ketika menyadari yang baru saja berujar tak lain adalah dia. Laki-laki yang sudah merebut hak suamiku!Pria bajingan yang tak tahu malu itu!Dia berjalan cepat menghampiriku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Yang pasti saat ini aku hanya menatapnya dengan kobaran api amarah yang benar-benar besar padanya."Di mana penjaganya? Kenapa nggak ada orang di rumah ini, Airin?" tanyanya sembari melepaskan jasnya lalu menutupi tubuhku yang hanya berbalut dres rumahan.Gegas kutepis perlakukannya yang seolah menggambarkan suami yang siaga dan tak suka melihatku begini. Padahal nyatanya dia lebih bejad dan lebih membuatku tak ada harganya lagi!"Jangan pura-pura di depanku lagi! Sudah kukatakan itu padamu!" tekanku memperingatinya.Dia mendesah berat, lalu mengu
Sepasang suami istri itu langsung tukar pandang begitu mendengar habis kata-kataku. Mungkin mereka kurang percaya aku mengatakan hal ini. Biarkanlah begitu. Yang terpenting saat ini, aku bisa membantu orang-orang yang kesulitan karena pria itu sama sepertiku."Kalau memang begitu, di mana dia, Buk? Apa kami bisa bertemu dengannya?" tanyanya kemudian."Dia ... dia nggak ada di sini. Baru saja dia pergi entah ke mana. Aku harap dia lagi nggak ngerencaniin melarikan diri dari semua ini. Sudah cukup semua akal bulusnya!" Aku jadi emosi sendiri menjabarkan apa yang terjadi."Benarkah begitu, Buk?"Aku mengangguk. Kulihat dia mengusap dadanya, seakan hilang harapan. Kudapati lagi keduanya saling menguatkan diri yang membuat hati kecilku kembali bersimpati. Tak tega melihatnya begitu. Jika aku sakit begini, lantas apa kabar dengan mereka?Tanpa punya kesalahan, mereka harus kehilangan anak tercinta. Siapa yang tidak akan hancur jika sudah berada di posisi suami istri ini? Apalagi dengan fak
"Nggak ada yang seperti itu, Airin. Tolong–"Lagi-lagi dering ponselnya menginterupsi. Dia menatap layar handphone-nya yang menyala lantas melanjutkan, "Aku nggak punya waktu lagi. Maafkan aku." Aku sempat bingung apa maksudnya, tapi ketika dia berjalan menjauh ke ambang pintu kamar, aku langsung mendelik. Gegas kedua kakiku melangkah cepat menyusulnya, berharap bisa menggagalkan aksinya yang menutupi pintu. "Libra! Buka pintunya! Buka pintunya!" pekikku. Aku tak sempat menghentikan aksinya yang sigap mengunci pintu kamar. Tak ada kudengar lagi suaranya. Itu artinya dia benar-benar pergi. Walau pun begitu, aku tetap berusaha berontak, memukul kayu pipih itu sambil terus memutar-mutar handle pintu. Tetap saja nihil! Pria bajingan itu telah mengunciku dari luar sana. Sebenarnya apa yang hendak dia lakukan? Apa lagi rencana busuk yang coba dia berikan padaku?Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku mendadak linglung. Kepalaku seperti diam tak berkutik. Sampai aku sebal sendiri. Alih-a