Semua Bab Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder: Bab 31 - Bab 40

54 Bab

Kuatlah Bersama Ibu, Nak!

Delapan bulan sudah berlalu sejak Bastian dan Maya mengucapkan janji suci di hadapan keluarga, sahabat, dan kerabat. Namun, waktu itu terasa hampa bagi Bastian. Pernikahan yang awalnya diharapkan menjadi babak baru yang bahagia dalam hidupnya berubah menjadi permainan perasaan yang melelahkan. Hari ini, kedua orang tua Bastian Bastian—Prakas dan Nora—memutuskan untuk datang ke rumah mereka. Rumor tentang keretakan hubungan Bastian dan Maya mulai terdengar dan membuat hati mereka resah.Malam perlahan beranjak, menyelimuti rumah Bastian dan Maya dalam keheningan yang mencekam. Di ruang tamu yang megah namun dingin, Prakas dan Nora duduk dengan raut wajah penuh kecemasan. Jam di dinding berdentang pelan, menandai pukul delapan malam. Bastian duduk di sofa berhadapan dengan orang tuanya, tubuh tegap namun pandangan kosong.Setelah berbasa-basi sebentar, Prakas segera memulai pembicaraan yang menjadi alasan kunjungan mereka. Pria itu tampak hati-hati, namun ada sekelebat perasaan marah yan
Baca selengkapnya

Malam Di Bawah Langit Ancol

Sonya memandangi dirinya di cermin sekali lagi, memastikan bahwa setiap helai rambut, riasan, dan pakaian serba hitam yang dipilih dengan teliti malam ini benar-benar sempurna. Malam ini, ia berulang tahun dan ingin merayakannya dengan suasana yang berkesan di salah satu restoran terbaik di Jakarta. Ia memilih bagian rooftop yang menghadap laut lepas di pesisir Pantai Ancol. Udara sejuk malam dan suara debur ombak yang lembut menciptakan suasana yang romantis dan menenangkan.Sekitar dua puluh tamu telah berkumpul, semuanya mengenakan pakaian hitam yang memberikan kesan dramatis sekaligus elegan. Sorak-sorai dan tawa memenuhi ruangan saat Sonya melangkah ke tengah, menyambut kehadiran tamu-tamunya. Di antara mereka, Farel berdiri dengan senyum hangat, mengenakan setelan hitam yang membuatnya tampak berbeda malam itu. Pandangannya sejenak bertemu dengan Sonya, membuat wanita itu sedikit salah tingkah.Acara dimulai dengan hidangan pembuka, diselingi candaan dan cerita-cerita yang membua
Baca selengkapnya

Rasa dan Dilema

Ketika pagi menjelang, Cahaya matahari yang mengintip malu-malu dari sela-sela gorden langsung menyorot wajah Farel, membangunkannya dari tidur yang seolah terlalu berat. Rasa kantuk perlahan menghilang ketika ia sadar akan situasi di sekitarnya. Matanya menyapu kamar apartemen Sonya—ruangan yang kini terasa sangat asing dan menyesakkan. Hawa dingin pagi bercampur dengan panas yang tiba-tiba meliputi tubuhnya saat ia menyadari sesuatu yang mengejutkan. Dirinya dan Sonya sama-sama tanpa busana.Perasaan Farel sangat berat. Kenyataan menghantam seperti palu besar. Tanpa sadar, ia mengepalkan tangan dan memejamkan matanya rapat-rapat, mencoba menenangkan pikiran yang berkecamuk. Apa yang baru saja mereka lakukan? Bagaimana ini akan mempengaruhi hubungan mereka ke depannya?Farel tercekat. Napasnya tertahan, membiarkan perasaan bingung dan rasa bersalah bergumul di dalam dirinya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Kenangan kabur dari malam sebelumnya menghantam pikirannya satu per satu—sen
Baca selengkapnya

Kontraksi Tiba-tiba

Malam itu, gerimis turun dengan lembut di Desa Lembang. Rintiknya mengiringi alunan angin dingin yang berhembus melalui celah-celah jendela, seolah bernyanyi dalam irama syahdu. Di dalam kamar bernuansa pastel, Rania duduk di kursi rotan dekat lemari kecil yang telah ia siapkan untuk bayi yang sebentar lagi akan hadir. Usia kandungannya kini sudah masuk minggu ke empat puluh—hanya tinggal hitungan hari. Wajahnya lembut, namun lelah terlihat jelas di sorot matanya.Satu per satu, Rania mengelus pakaian bayi berwarna cerah yang tergantung rapi di lemari. Ia menarik satu kaus mungil, meletakkannya di pangkuan, dan menghela napas panjang. Senyum kecil tersungging di bibirnya, tetapi air mata jatuh tanpa bisa ia bendung."Nak, kamu sudah sangat dekat dengan dunia ini. Ibu siap menunggumu," bisik Rania sambil mengelus perut yang kini terasa semakin berat.Rania berdiri perlahan, berjalan menuju rak tiga susun di sebelah lemari. Di rak itu, peralatan bayi telah tertata rapi. Popok sekali pak
Baca selengkapnya

Rasa Yang Tak Terjelaskan

Pagi itu, sinar matahari Jakarta menyusup masuk melalui jendela besar ruang makan. Pendaran cahayanya mempertegas nuansa modern di dalam rumah mewah milik Bastian dan Maya. Di atas meja makan, sarapan telah disusun dengan sempurna oleh chef pribadi mereka—telur dadar dengan taburan rempah, roti panggang, buah segar, serta secangkir kopi panas untuk Bastian dan teh hijau untuk Maya.Bastian duduk, mengenakan jas hitam yang rapi. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya serius. Pekerjaan di kantor menanti, namun pikirannya terasa jauh, melayang ke tempat yang tidak ia pahami. Tidak lama kemudian, Maya masuk, mengenakan blus formal warna putih dengan celana panjang berpotongan elegan. Sepasang anting berlian menghiasi telinganya. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Bastian tanpa sepatah kata.Keduanya seakan berada dalam dimensi yang berbeda. Hening terasa begitu menyesakkan. Dua asisten rumah tangga mereka, yang sedang memastikan semua hidangan terhidang sempurna, bergerak dengan tenang.
Baca selengkapnya

Perjuangan Seorang Ibu

Enam jam telah berlalu, dan kontraksi yang dirasakan Rania semakin menguat. Napasnya terasa berat, setiap tarikan disertai dengan rasa sakit yang membuat tubuhnya lemah. Peluh bercucuran dari dahi hingga lehernya, membasahi bantal yang menopang kepalanya. Ketuban telah pecah, tanda bahwa momen besar sudah semakin dekat. Cucu tetap setia di sisinya, menggenggam tangan putrinya dengan erat, menyalurkan kekuatan dan ketenangan.“Kamu kuat, Nak. Ini semua akan segera berakhir,” ucap Cucu dengan suara bergetar, meskipun hatinya ikut merasakan penderitaan yang dialami putrinya.Rania menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan teriakan saat gelombang nyeri datang kembali. “Bu... terlalu sakit...” isaknya pelan. Tangannya mencengkeram selimut, seakan-akan itu adalah tali penyelamat yang bisa menahannya dari rasa sakit yang terus menghantam.Cucu menunduk, mencium dahi putrinya. “Maaf, sayang. Ibu tahu kamu kesakitan. Tapi kamu harus bertahan, demi bayimu.” Ia menghapus air mata yang jatuh dar
Baca selengkapnya

Perasaan Yang Canggung

Tiga minggu berlalu sejak malam yang mengubah segalanya antara Farel dan Sonya. Sejak saat itu, keakraban mereka terasa berbeda. Ada jarak tak kasatmata yang memisahkan, membuat percakapan yang sebelumnya ringan dan hangat berubah menjadi canggung dan penuh kehati-hatian.Di apartemennya yang berada di pusat kota Jakarta, Farel duduk di tepi ranjang. Matanya memandang langit malam yang tertutup awan gelap. Hujan mengguyur kota dengan deras, dan kilat sesekali menyambar, memantulkan cahaya di dinding kaca jendela apartemennya. Diiringi gemuruh petir, perasaannya terasa semakin gelisah."Kenapa semuanya jadi seperti ini?" gumam Farel lirih, seakan bertanya pada dirinya sendiri. Ia mencoba mematikan pikirannya dari kenangan tentang Rania, tetapi bayangan Sonya, malam itu, terus menghantui. Tatapan penuh kehangatan yang kemudian berubah menjadi kebisuan, sentuhan yang begitu nyata, semua itu menorehkan rasa yang tak bisa ia abaikan begitu saja.Hampir tiga minggu Farel menghindar, dengan
Baca selengkapnya

Bibir Manyun Yang Lucu

Pagi ini udara Jakarta tidak seperti biasanya. Walau Cahaya matahari bersinar terang, namun udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Mungkin karena semalam kota Jakarta diguyur hujan lebat hingga menyisakan kesejukan di sana.Farel kembali pada rutinitasnya di kantor. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan tumpukan pekerjaan yang menanti. Tapi, setiap kali ia mengambil jeda sejenak, wajah Sonya kembali muncul di benaknya. Ada perasaan hangat yang sulit ia abaikan, tapi di sisi lain, ada ketakutan yang perlahan menggerogoti.Siangnya, Farel memutuskan untuk menemui Bastian di ruangannya. Ia merasa perlu berbicara dengan sahabatnya, meskipun mungkin bukan tentang hal yang ingin ia ungkapkan seutuhnya. Setelah beberapa kali mengetuk, ia masuk ke dalam ruang kerja Bastian. Pria itu tengah duduk di meja kerjanya, tampak sibuk memeriksa beberapa dokumen.“Masuk saja,” ujar Bastian tanpa menoleh.Farel berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di depan Bastian. “Sedang sibuk?”Bastian akhirnya
Baca selengkapnya

Sindiran Menyakitkan

Rania melangkah perlahan melewati gerbang rumahnya, sambil menggenggam erat selimut yang melindungi bayi kecil dalam pelukannya. Udara siang itu terasa hangat, dan angin yang berembus membawa aroma pepohonan di sekitarnya. Rania menarik napas dalam-dalam, merasakan kelegaan luar biasa. Rumah adalah tempat di mana ia merasa aman, tempat di mana ia bisa mengistirahatkan pikiran dan hatinya yang masih dipenuhi kelelahan dan kegembiraan setelah proses kelahiran.Beberapa tetangga yang memang dekat dengan keluarganya berkumpul di halaman rumah. Mereka menyambut kepulangan Rania dengan senyum ramah dan ucapan selamat. "Alhamdulillah, selamat ya, Rania," ucap salah seorang ibu paruh baya sambil menatap bayi kecil yang terlelap di gendongannya. "Cantik sekali anakmu!"Rania tersenyum, mengucapkan terima kasih dengan nada lemah namun tulus. Ia tahu bahwa mereka ikut bahagia melihatnya pulang dengan selamat.“Dia ini laki-laki, Nek. Bukan Perempuan,” ucap Rania seraya menatap wajah putranya yan
Baca selengkapnya

Kabar Duka

Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai jendela apartemen Sonya. Ia bergegas mempersiapkan diri dengan hati-hati. Gaun hitam panjang yang ia kenakan terlihat sederhana, namun tetap elegan. Rambutnya yang biasanya tergerai dikepang sederhana, mencerminkan suasana hati yang hening. Di ruang tamu, Farel sudah menunggunya. Pria itu mengenakan kemeja hitam polos dan celana panjang yang senada."Sudah siap?" Farel bertanya sambil tersenyum lembut.Sonya mengangguk sambil merapikan tasnya. "Iya, maaf lama."Farel menggeleng, "Tidak apa-apa. Yang penting kita bisa berangkat sekarang."Di perjalanan menuju Lembang, udara terasa sejuk meskipun matahari sudah meninggi. Mobil Farel melaju pelan di jalan yang berliku, melewati pepohonan hijau yang melambai di sepanjang jalan. Sesekali, Sonya melirik ke luar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Suasana duka yang akan mereka hadapi nanti membuat hatinya sedikit berat."Bagaimana perasaanmu?" tanya Farel, memecah keheningan. Ia men
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status