Semua Bab Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder: Bab 21 - Bab 30

54 Bab

Makan Malam Bersama Sonya

Suasana di salah satu koridor Gedung apartemen itu sesaat menjadi hening. Farel ingin menjawab namun ia kehilangan kata-kata, sebab dalam otaknya saat ini hanya ada satu nama yaitu Rania. Itu sangat menganggu pikirannya.Harusnya saat ini Farel bahagia karena bertemu lagi dengan sahabat lamanya. Seseorang yang dulu begitu berarti baginya. Selalu menjadi teman bercengkrama dan bercerita. Namun sayang, suasananya sekarang berbeda.Sonya memandang Farel sejenak lalu berkata, “Kalau kamu tidak sibuk, bagaimana kalau kita makan malam bersama? Sudah lama sekali kita tidak ngobrol. Banyak cerita yang belum sempat kita bagi’kan?”Farel terdiam sejenak. Ia ingin menolak karena perasaannya masih kalut setelah pertemuannya dengan Jihan beberapa waktu lalu. Namun, ia merasa segan. Sonya memang selalu menjadi teman baik yang penuh perhatian sejak dulu, dan ia tidak ingin mengecewakannya.“Aku… sebenarnya, aku tidak ingin keluar malam ini,” kata Farel ragu.Sonya tersenyum penuh pengertian. “Tak ap
Baca selengkapnya

Jawaban Menyakitkan Dari Bastian

Sudah satu bulan berlalu sejak kepergian Rania dari perusahaan milik Bastian. Hotel bintang lima yang dulunya terasa hidup dengan semangat dan dedikasi yang dibawa Rania kini terasa berbeda. Rania bukan hanya seorang manajer pemasaran yang andal, namun juga sosok yang selalu bisa memberikan energi positif di lingkungan kerja. Setelah ia pergi, ada kehampaan yang tak dapat diisi oleh siapa pun.Bastian berjalan menyusuri koridor hotel dengan wajah tanpa ekspresi. Karyawan-karyawan menyapanya dengan hati-hati, menyadari aura dingin yang semakin kuat sejak beberapa bulan terakhir. Keseharian Bastian seolah berjalan dalam autopilot, dipenuhi rutinitas yang tidak membawa kebahagiaan apa pun. Pernikahannya dengan Maya—wanita yang diinginkan orang tuanya—terasa seperti ikatan kosong yang hanya menyisakan kehampaan di hatinya.Pernikahan mereka sudah memasuki bulan kedua, namun kehangatan rumah tangga yang diharapkan Bastian tidak kunjung muncul. Sebenarnya, Bastian tahu bahwa Maya adalah sos
Baca selengkapnya

Pergolakan Batin Maya

Maya melangkah keluar dari ruangan Bastian, mencoba menahan air mata yang hampir pecah. Wajahnya tetap dingin, kaku, dan penuh wibawa saat ia melangkah melewati para karyawan yang sedang beraktivitas di kantor. Sebagai direktris di perusahaan milik suaminya, Maya sudah terbiasa menyembunyikan emosi di balik sikap angkuhnya, menjaga setiap penampilan agar tidak ada yang menyadari betapa rapuh hatinya sesungguhnya. Ia tahu, jika air mata itu jatuh di depan orang lain, ia akan terlihat lemah—sesuatu yang sangat ia hindari.Sebenarnya, Maya punya sisi lemah yang sulit ia kendalikan, terutama ketika menyangkut perasaan dan cinta. Namun, ia menutupi semua itu dengan sikap dingin dan arogan. Jika ada yang menyapanya dengan ramah, ia hanya menjawab dengan gumaman, bahkan sering hanya memberi anggukan kecil tanpa sepatah kata pun. Tak jarang, para karyawan yang berusaha mendekatinya segera mundur teratur, menyadari bahwa Maya bukanlah sosok yang mudah didekati.Setelah be
Baca selengkapnya

Membangun Hidup Baru

Dua bulan lebih sudah berlalu sejak Rania meninggalkan Jakarta, dan perlahan-lahan ia mulai terbiasa menjalani hari-hari di kampung halamannya. Udara segar, pemandangan hijau, dan ketenangan di desa memberikan rasa damai yang sudah lama ia rindukan. Kehidupan di kampung memang tidak sekeras di kota besar. Segala sesuatunya lebih sederhana dan menyenangkan. Waktu terasa bergerak lebih lambat, memberi ruang bagi Rania untuk pulih dari segala tekanan yang telah ia rasakan selama bertahun-tahun di Jakarta.Kehadiran sang ibu yang selalu ada di sisinya juga menjadi penguat. Setiap pagi, ibunya menyiapkan sarapan sederhana untuk mereka berdua, dan setelah itu, mereka akan duduk di teras rumah, menikmati pagi sambil minum teh hangat. Ibunya tidak pernah menanyakan tentang masa lalu Rania atau tentang siapa ayah dari bayi yang kini tumbuh di dalam kandungannya. Baginya, Rania adalah prioritas. Ia hanya ingin Rania bahagia dan melupakan segala kesedihan yang telah ia alami.Usia kandungan Rani
Baca selengkapnya

Dibalik Kesepian

Hari-hari Rania di Lembang terasa penuh warna. Setiap pagi, ia bangun dengan semangat baru, menyusun bunga-bunga segar, merangkai buket yang memancarkan keindahan, dan berinteraksi dengan pelanggan yang ramah. Rutinitas ini menjadi semacam terapi bagi Rania. Perlahan, ia mulai menemukan kedamaian dalam kesederhanaan hidup di desa, dan kenangan tentang Bastian pun mulai memudar seiring berjalannya waktu. Kehidupannya kini tak lagi berpusat pada ambisi dan karir, melainkan pada kehidupan sederhana dan menyenangkan di kampung halaman.“Bu, hari ini aku dapat pesanan buket untuk ulang tahun lagi,” kata Rania sembari melirik ibunya yang sedang membantu merapikan bunga.Ibunya tersenyum lebar. “Syukurlah, Nak. Lihatlah, ini baru awal tapi pelanggan sudah mulai percaya pada rangkaian bungamu.”“Iya, Bu. Aku sangat bersyukur. Ini adalah rezeki si kecil.” Rania mengelus perutnya yang sedikit mulai membuncit.“Iya… Setiap anak itu membawa keberkahan dan rezekinya masing-masing,” jawab sang ibu.
Baca selengkapnya

Di Goda Pria Tua?

"Sedang apa kalian di sini?" suara Maya terdengar dingin dan tajam. Segerombolan karyawan yang tengah membicarakan sesuatu, menarik perhatian Maya.Para karyawan itu langsung terdiam. Salah satu dari mereka, seorang pria muda yang tampak gugup, menjawab, “Maaf, Bu Maya. Kami hanya berbicara tentang sebuah kasus yang sedang viral di media sosial.”Ya, pria itu memang berbohong. Sebenarnya mereka baru saja membicarakan direktris baru mereka itu. Direktris yang baru beberapa bulan, tepatnya sejak ia menikah dengan CEO Perusahaan itu.Maya menatap mereka penuh kecurigaan, lipatan di dahinya semakin dalam. “Kasus viral?” tanyanya sambil menaikkan sebelah alis. “Kasus apa?”Si pria, dengan suara yang bergetar, menjawab, “Iya, Bu. Tentang seorang korban penyiraman air keras yang mendapatkan bantuan dana untuk pengobatan. Tapi ternyata, uang itu malah digunakan untuk berfoya-foya.”“Oh,” Maya mendengus. Pandangannya tetap tajam, tapi bibirnya tersenyum sinis. “Orang-orang memang tidak bisa dip
Baca selengkapnya

Luka Dalam Keheningan Malam

Malam di Jakarta terasa dingin meski suhu di luar masih hangat. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu, dan Bastian masih terduduk di ruang tamu dengan pandangan kosong. Di tangan kirinya, ia memegang ponsel yang beberapa kali diangkat lalu diturunkan kembali tanpa menekan tombol panggil. Ia resah, tetapi enggan menunjukkan bahwa ia khawatir.“Sudah larut malam. Maya belum juga pulang,” gumamnya pelan. Biasanya, ia tak ambil pusing dengan kebiasaan Maya yang kerap pulang lewat tengah malam. Namun malam ini berbeda. Tanpa alasan jelas, ada rasa khawatir yang mengusik pikirannya.Di sisi lain kota, di sebuah klub malam, Maya tengah menikmati alunan musik yang menggelegar. Gelas anggur di tangannya sudah berkali-kali diisi ulang. Wajahnya tampak memerah, dan tawanya lepas seakan segala kekhawatiran sirna bersama irama musik yang menghentak. Malam seperti ini adalah cara Maya melarikan diri dari kenyataan pahit pernikahannya yang dingin dan tak bernyawa.“Cheers, girls!” serunya, sam
Baca selengkapnya

Kenangan Di Atas Rooftop

Di meja makan, Maya mengangkat wajahnya dengan lemah, menatap Bastian yang masih terdiam memandang kopi hitam di hadapannya.“Tidur di kamar lain lagi?” tanya Maya dingin, bibirnya tertekuk, mengisyaratkan keletihan yang tak sepenuhnya karena mabuk.Bastian menatapnya singkat, lalu menghela napas. “Kau mabuk tadi malam, Maya. Aku pikir sebaiknya kita beri ruang untuk diri masing-masing.”Maya tertawa sinis. “Kau selalu memikirkan ruang dan jarak, Bastian. Mungkin karena jarak itu terlalu nyaman untukmu?”“Kau tahu, aku memang bukan pria yang mudah mengungkapkan perasaan. Tapi ini bukan soal nyaman atau tidak, Maya.” Bastian terdiam sejenak, matanya menerawang seolah ingin menyampaikan sesuatu namun ditahannya. “Aku hanya ingin kau… berhati-hati.”Maya mendesah keras, menutup matanya. “Berhati-hati? Sungguh itu yang bisa kau katakan setelah satu malam penuh ketidakpedulianmu?” Suaranya sedikit pecah, namun ia berusaha menutupinya dengan menyandarkan tubuhnya di kursi, terlihat seakan ta
Baca selengkapnya

Bertemu Rania

Siang itu, matahari sudah tidak seterik biasanya. Udara di Jakarta terasa hangat, namun perlahan mereda. Farel sedang menyusuri jalan kota saat sebuah pesan singkat masuk di ponselnya. Pesan itu datang dari seorang kenalan yang memberitahunya bahwa Rania baru saja terlihat di sebuah toko grosir bunga sintesis. Farel tertegun sejenak, mencoba memastikan informasi yang baru saja ia terima.Tanpa berpikir dua kali, Farel segera melajukan mobilnya menuju toko tersebut. Ketika tiba, ia memarkirkan mobil dengan cepat dan langsung memasuki toko. Suasana toko yang dipenuhi aroma bunga sintesis bercampur dengan bau kertas dan plastik menambah kesan tenang, meskipun perasaan Farel sedang bergolak. Matanya menyapu setiap sudut, mencari sosok yang sudah lama ia rindukan.Dan di sana, di sudut toko, ia melihat Rania. Mengenakan dress panjang berwarna pastel yang longgar, rambutnya tergerai dan teratur. Ia tampak begitu anggun, bahkan di tengah kesederhanaan.“Rania…” panggil Farel dengan nada seten
Baca selengkapnya

Kehangatan Tubuh Yang Semu

Malam itu, langit diselimuti awan kelabu. Suara angin malam terdengar menderu-deru di luar, membuat suasana terasa lebih dingin dan sepi. Di taman belakang rumah mewah milik Bastian, hanya ada penerangan dari lampu taman yang membuat bayangan-bayangan memantul ke air kolam renang. Bastian duduk di kursi dengan tatapan kosong, menggenggam secangkir kopi yang sudah lama mendingin.Suara langkah kaki memecah keheningan malam. Bastian melirik ke belakang Ia bangkit, lalu meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Di sana berdiri Farel dengan wajah serius dan sedikit lelah.“Kamu datang?” ucap Bastian tanpa ekspresi, lalu mempersilakan sepupunya duduk di kursi berbeda. Farel melepas jaketnya dan meletakkannya di sandaran kursi.“Ya, ada yang ingin kubicarakan,” jawab Farel sambil duduk di kursi yang berbeda.Bastian mengikuti, mengambil tempat di hadapannya. “Maya sedang pergi ke luar kota,” katanya, seolah memberi tahu agar suasana percakapan mereka bisa lebih santai. “Urusan apa yang membua
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status