Share

Luka Dalam Keheningan Malam

Penulis: NHOVIE EN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-06 10:03:04

Malam di Jakarta terasa dingin meski suhu di luar masih hangat. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu, dan Bastian masih terduduk di ruang tamu dengan pandangan kosong. Di tangan kirinya, ia memegang ponsel yang beberapa kali diangkat lalu diturunkan kembali tanpa menekan tombol panggil. Ia resah, tetapi enggan menunjukkan bahwa ia khawatir.

“Sudah larut malam. Maya belum juga pulang,” gumamnya pelan. Biasanya, ia tak ambil pusing dengan kebiasaan Maya yang kerap pulang lewat tengah malam. Namun malam ini berbeda. Tanpa alasan jelas, ada rasa khawatir yang mengusik pikirannya.

Di sisi lain kota, di sebuah klub malam, Maya tengah menikmati alunan musik yang menggelegar. Gelas anggur di tangannya sudah berkali-kali diisi ulang. Wajahnya tampak memerah, dan tawanya lepas seakan segala kekhawatiran sirna bersama irama musik yang menghentak. Malam seperti ini adalah cara Maya melarikan diri dari kenyataan pahit pernikahannya yang dingin dan tak bernyawa.

“Cheers, girls!” serunya, sam
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (24)
goodnovel comment avatar
Endah Spy
bas, kamu pasti kaget ya tiba2 mimpiin si rania, coba deh kamu pikir lagi siapa tahu mimpimu itu pembawa tanda agar kamu mencari rania sekarang ...
goodnovel comment avatar
Endah Spy
wajar sih ya maya kaya gtu ke bastian, sebagai perempuan juga kadang kalo blm di sentuh pasti mereka dirinya nggak di anggap. tapi perbuatan maya juga salah sih, nggak seharusnya malah sel!ngkuh dengan ronal harusnya kalo masih ky gini dibicarakan baik2 hubungannya dengan bastian ..
goodnovel comment avatar
Wiediajheng
mimpimu adalah pertanda jelas loh.. bas.. coba pikirkan telaah secara matang arti mimpinya itu.. bahwa kebahagiaan perlu diraih walau harus mengorbankan sesuatu hal besar dalam hidupmu...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Kenangan Di Atas Rooftop

    Di meja makan, Maya mengangkat wajahnya dengan lemah, menatap Bastian yang masih terdiam memandang kopi hitam di hadapannya.“Tidur di kamar lain lagi?” tanya Maya dingin, bibirnya tertekuk, mengisyaratkan keletihan yang tak sepenuhnya karena mabuk.Bastian menatapnya singkat, lalu menghela napas. “Kau mabuk tadi malam, Maya. Aku pikir sebaiknya kita beri ruang untuk diri masing-masing.”Maya tertawa sinis. “Kau selalu memikirkan ruang dan jarak, Bastian. Mungkin karena jarak itu terlalu nyaman untukmu?”“Kau tahu, aku memang bukan pria yang mudah mengungkapkan perasaan. Tapi ini bukan soal nyaman atau tidak, Maya.” Bastian terdiam sejenak, matanya menerawang seolah ingin menyampaikan sesuatu namun ditahannya. “Aku hanya ingin kau… berhati-hati.”Maya mendesah keras, menutup matanya. “Berhati-hati? Sungguh itu yang bisa kau katakan setelah satu malam penuh ketidakpedulianmu?” Suaranya sedikit pecah, namun ia berusaha menutupinya dengan menyandarkan tubuhnya di kursi, terlihat seakan ta

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Bertemu Rania

    Siang itu, matahari sudah tidak seterik biasanya. Udara di Jakarta terasa hangat, namun perlahan mereda. Farel sedang menyusuri jalan kota saat sebuah pesan singkat masuk di ponselnya. Pesan itu datang dari seorang kenalan yang memberitahunya bahwa Rania baru saja terlihat di sebuah toko grosir bunga sintesis. Farel tertegun sejenak, mencoba memastikan informasi yang baru saja ia terima.Tanpa berpikir dua kali, Farel segera melajukan mobilnya menuju toko tersebut. Ketika tiba, ia memarkirkan mobil dengan cepat dan langsung memasuki toko. Suasana toko yang dipenuhi aroma bunga sintesis bercampur dengan bau kertas dan plastik menambah kesan tenang, meskipun perasaan Farel sedang bergolak. Matanya menyapu setiap sudut, mencari sosok yang sudah lama ia rindukan.Dan di sana, di sudut toko, ia melihat Rania. Mengenakan dress panjang berwarna pastel yang longgar, rambutnya tergerai dan teratur. Ia tampak begitu anggun, bahkan di tengah kesederhanaan.“Rania…” panggil Farel dengan nada seten

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Kehangatan Tubuh Yang Semu

    Malam itu, langit diselimuti awan kelabu. Suara angin malam terdengar menderu-deru di luar, membuat suasana terasa lebih dingin dan sepi. Di taman belakang rumah mewah milik Bastian, hanya ada penerangan dari lampu taman yang membuat bayangan-bayangan memantul ke air kolam renang. Bastian duduk di kursi dengan tatapan kosong, menggenggam secangkir kopi yang sudah lama mendingin.Suara langkah kaki memecah keheningan malam. Bastian melirik ke belakang Ia bangkit, lalu meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Di sana berdiri Farel dengan wajah serius dan sedikit lelah.“Kamu datang?” ucap Bastian tanpa ekspresi, lalu mempersilakan sepupunya duduk di kursi berbeda. Farel melepas jaketnya dan meletakkannya di sandaran kursi.“Ya, ada yang ingin kubicarakan,” jawab Farel sambil duduk di kursi yang berbeda.Bastian mengikuti, mengambil tempat di hadapannya. “Maya sedang pergi ke luar kota,” katanya, seolah memberi tahu agar suasana percakapan mereka bisa lebih santai. “Urusan apa yang membua

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Kuatlah Bersama Ibu, Nak!

    Delapan bulan sudah berlalu sejak Bastian dan Maya mengucapkan janji suci di hadapan keluarga, sahabat, dan kerabat. Namun, waktu itu terasa hampa bagi Bastian. Pernikahan yang awalnya diharapkan menjadi babak baru yang bahagia dalam hidupnya berubah menjadi permainan perasaan yang melelahkan. Hari ini, kedua orang tua Bastian Bastian—Prakas dan Nora—memutuskan untuk datang ke rumah mereka. Rumor tentang keretakan hubungan Bastian dan Maya mulai terdengar dan membuat hati mereka resah.Malam perlahan beranjak, menyelimuti rumah Bastian dan Maya dalam keheningan yang mencekam. Di ruang tamu yang megah namun dingin, Prakas dan Nora duduk dengan raut wajah penuh kecemasan. Jam di dinding berdentang pelan, menandai pukul delapan malam. Bastian duduk di sofa berhadapan dengan orang tuanya, tubuh tegap namun pandangan kosong.Setelah berbasa-basi sebentar, Prakas segera memulai pembicaraan yang menjadi alasan kunjungan mereka. Pria itu tampak hati-hati, namun ada sekelebat perasaan marah yan

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Malam Di Bawah Langit Ancol

    Sonya memandangi dirinya di cermin sekali lagi, memastikan bahwa setiap helai rambut, riasan, dan pakaian serba hitam yang dipilih dengan teliti malam ini benar-benar sempurna. Malam ini, ia berulang tahun dan ingin merayakannya dengan suasana yang berkesan di salah satu restoran terbaik di Jakarta. Ia memilih bagian rooftop yang menghadap laut lepas di pesisir Pantai Ancol. Udara sejuk malam dan suara debur ombak yang lembut menciptakan suasana yang romantis dan menenangkan.Sekitar dua puluh tamu telah berkumpul, semuanya mengenakan pakaian hitam yang memberikan kesan dramatis sekaligus elegan. Sorak-sorai dan tawa memenuhi ruangan saat Sonya melangkah ke tengah, menyambut kehadiran tamu-tamunya. Di antara mereka, Farel berdiri dengan senyum hangat, mengenakan setelan hitam yang membuatnya tampak berbeda malam itu. Pandangannya sejenak bertemu dengan Sonya, membuat wanita itu sedikit salah tingkah.Acara dimulai dengan hidangan pembuka, diselingi candaan dan cerita-cerita yang membua

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Rasa dan Dilema

    Ketika pagi menjelang, Cahaya matahari yang mengintip malu-malu dari sela-sela gorden langsung menyorot wajah Farel, membangunkannya dari tidur yang seolah terlalu berat. Rasa kantuk perlahan menghilang ketika ia sadar akan situasi di sekitarnya. Matanya menyapu kamar apartemen Sonya—ruangan yang kini terasa sangat asing dan menyesakkan. Hawa dingin pagi bercampur dengan panas yang tiba-tiba meliputi tubuhnya saat ia menyadari sesuatu yang mengejutkan. Dirinya dan Sonya sama-sama tanpa busana.Perasaan Farel sangat berat. Kenyataan menghantam seperti palu besar. Tanpa sadar, ia mengepalkan tangan dan memejamkan matanya rapat-rapat, mencoba menenangkan pikiran yang berkecamuk. Apa yang baru saja mereka lakukan? Bagaimana ini akan mempengaruhi hubungan mereka ke depannya?Farel tercekat. Napasnya tertahan, membiarkan perasaan bingung dan rasa bersalah bergumul di dalam dirinya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Kenangan kabur dari malam sebelumnya menghantam pikirannya satu per satu—sen

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Kontraksi Tiba-tiba

    Malam itu, gerimis turun dengan lembut di Desa Lembang. Rintiknya mengiringi alunan angin dingin yang berhembus melalui celah-celah jendela, seolah bernyanyi dalam irama syahdu. Di dalam kamar bernuansa pastel, Rania duduk di kursi rotan dekat lemari kecil yang telah ia siapkan untuk bayi yang sebentar lagi akan hadir. Usia kandungannya kini sudah masuk minggu ke empat puluh—hanya tinggal hitungan hari. Wajahnya lembut, namun lelah terlihat jelas di sorot matanya.Satu per satu, Rania mengelus pakaian bayi berwarna cerah yang tergantung rapi di lemari. Ia menarik satu kaus mungil, meletakkannya di pangkuan, dan menghela napas panjang. Senyum kecil tersungging di bibirnya, tetapi air mata jatuh tanpa bisa ia bendung."Nak, kamu sudah sangat dekat dengan dunia ini. Ibu siap menunggumu," bisik Rania sambil mengelus perut yang kini terasa semakin berat.Rania berdiri perlahan, berjalan menuju rak tiga susun di sebelah lemari. Di rak itu, peralatan bayi telah tertata rapi. Popok sekali pak

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Rasa Yang Tak Terjelaskan

    Pagi itu, sinar matahari Jakarta menyusup masuk melalui jendela besar ruang makan. Pendaran cahayanya mempertegas nuansa modern di dalam rumah mewah milik Bastian dan Maya. Di atas meja makan, sarapan telah disusun dengan sempurna oleh chef pribadi mereka—telur dadar dengan taburan rempah, roti panggang, buah segar, serta secangkir kopi panas untuk Bastian dan teh hijau untuk Maya.Bastian duduk, mengenakan jas hitam yang rapi. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya serius. Pekerjaan di kantor menanti, namun pikirannya terasa jauh, melayang ke tempat yang tidak ia pahami. Tidak lama kemudian, Maya masuk, mengenakan blus formal warna putih dengan celana panjang berpotongan elegan. Sepasang anting berlian menghiasi telinganya. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Bastian tanpa sepatah kata.Keduanya seakan berada dalam dimensi yang berbeda. Hening terasa begitu menyesakkan. Dua asisten rumah tangga mereka, yang sedang memastikan semua hidangan terhidang sempurna, bergerak dengan tenang.

Bab terbaru

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Lepas Tangan

    Di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, Maya duduk dengan gelisah. Sesekali matanya melirik jam tangan emas yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa saat kemudian, Ronald masuk, mengenakan kemeja santai. Wajahnya tenang, hampir tanpa ekspresi, seperti tidak ada beban yang menghantuinya.“Kamu terlambat,” ujar Maya ketus saat Ronald mendekatinya.Ronald hanya tersenyum tipis, duduk di hadapan Maya dengan santai. “Santai saja, Sayang. Jadi, ada apa kali ini?”Maya mendesah berat, memutar cangkir kopinya tanpa minat. “Bastian sudah tahu. Dia mulai menyelidiki semuanya. Aku yakin dia sudah punya bukti cukup kuat soal dana yang aku selewengkan.”“Lalu?” Ronald bertanya santai, menyandarkan punggungnya di kursi.Maya menatap Ronald dengan tajam. “Kamu tidak takut sama sekali? Kalau aku kena, kamu juga pasti terseret. Aku bisa saja memberitahu Bastian semuanya.”Ronald tertawa keci

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Mengungkap Rahasia

    Malam itu, rumah besar Bastian terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam yang terdengar samar, mengiringi langkah pria itu memasuki ruang kerjanya. Pintu kayu besar berderit pelan saat Bastian menutupnya, seolah menyegel dirinya dari dunia luar. Dengan gerakan yang kasar, ia menjatuhkan dirinya di kursi kebesaran di belakang meja kerja. Tatapan matanya kosong, pikirannya penuh dengan bayangan wajah Rania dan tawa kecil Bintang. Naluri di hatinya berkecamuk, memunculkan pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. “Bintang…” gumamnya, hampir seperti bisikan. Ada sesuatu yang ia rasakan saat melihat bocah itu—sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia menggenggam sisi meja kerjanya dengan erat, mencoba menenangkan diri. Tapi, semakin ia berusaha, semakin kuat amarah yang meluap di hatinya. Ia marah karena Rania telah menikah dan memiliki anak tanpa pernah memberi tahu dirinya, tapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat pikirannya tak tenang—naluri emosional yang begitu mendalam

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Pertemuan Dengan Bintang

    Setelah percakapan emosional di taman belakang, Nora dan Maya kembali ke ruang makan. Prakas dan Bastian masih terlihat berbincang ringan sambil sesekali menyeruput teh hangat yang tersisa. Ketika keduanya melihat kedatangan Nora dan Maya, suasana perlahan berubah lebih serius. Nora duduk di kursinya dengan anggun, sementara Maya memilih tempat yang agak berjauhan dari Bastian, berusaha menghindari tatapan tajam suaminya. Keheningan menyelimuti ruangan sejenak sebelum Nora menghela napas panjang, mencoba mencairkan suasana. “Bastian, Papi…” Nora memulai dengan nada tenang. “Aku sudah berbicara dengan Maya di taman tadi. Dia mengakui kesalahannya dan benar-benar menyesal.” Bastian mendengus kecil, matanya menyipit. “Menyesal? Baru sekarang? Setelah semua bukti jelas di depan mata?” “Bastian, dengarkan dulu,” potong Nora dengan lembut. “Maya merasa tertekan. Dia merasa diabaikan olehmu, dan itu yang membuatnya bertindak di luar kendali. Mami tidak membenarkan apa yang dia lakukan, t

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Pertemuan Yang Memanas

    Siang itu, rumah megah milik keluarga Prakas terasa lebih tenang dari biasanya, meski ketegangan menggantung di udara. Di meja makan yang besar, tersaji hidangan lengkap mulai dari sup asparagus hingga steak salmon, yang semuanya tampak menggugah selera. Namun, tak satu pun dari mereka tampak benar-benar menikmati makanannya. Bastian duduk dengan ekspresi dingin di salah satu ujung meja, sementara Maya duduk di seberangnya dengan wajah yang terlihat penuh kepura-puraan. Nora, sang ibu, duduk di tengah-tengah mereka, sesekali melirik ke arah kedua belah pihak. Prakas, yang memimpin meja makan, akhirnya memecah keheningan. “Baiklah, semua sudah di sini. Mari kita makan dulu sebelum berbicara,” ujar Prakas, mencoba memberi nada netral pada situasi yang jelas tidak bersahabat. Bastian hanya mengangguk singkat. Ia sebenarnya tidak ingin berada di sini, namun rasa hormatnya pada kedua orang tuanya menahan keinginannya untuk pergi. Sementara itu, Maya, dengan senyuman kecil yang tampak di

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Mengharap Perlindungan

    Malam mulai merangkak, dan suasana di kantor Bastian terasa tegang. Di balik pintu ruangan pribadi yang tertutup rapat, suara-suara tinggi terdengar. Bastian yang biasanya tenang dan dingin kini berbeda. Ia berdiri dengan kedua tangan mengepal di samping tubuhnya, napasnya memburu karena amarah yang membara.“Jadi benar, Maya? Semua ini karena ulahmu?” Suara Bastian menggema di ruangan, tatapannya dingin seperti es yang siap membekukan segala sesuatu di sekitarnya.Maya duduk di kursi berlapis kulit di depannya, berusaha tetap terlihat tenang. Namun, getaran di tangannya menunjukkan sebaliknya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan nada datar, “Bastian, kamu salah paham. Aku bisa menjelaskan semuanya.”“Jangan berani-berani memutarbalikkan fakta, Maya!” Bastian membentak, suaranya penuh kekerasan. Ia memukul meja dengan keras, membuat berkas-berkas yang ada di atasnya melompat kecil. “Semua bukti menunjukkan bahwa kamu sudah menggelapkan dana perusahaan. Kamu bahkan teg

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Kenangan Tentang Impian

    Malam itu, Bastian berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas gelap yang disesuaikan dengan sempurna. Rambutnya tersisir rapi, dan wajahnya seperti biasa—tegas, dingin, tanpa ekspresi yang benar-benar terbaca. Di tengah kesibukannya memeriksa dasi, Maya muncul dari belakang. Wanita itu, dalam gaun malam yang mewah berwarna biru tua, melangkah perlahan mendekati suaminya sambil memerhatikan penampilannya.“Kau terlihat rapi sekali malam ini,” ucap Maya, nadanya terdengar datar, tapi ada sedikit nada sindiran di baliknya. “Untuk menghadiri pertunangan Farel?”Bastian menghela napas pendek, tetap memandang bayangan dirinya di cermin tanpa menoleh ke arah istrinya. “Ya. Itu penting.”“Kenapa harus begitu formal? Dia hanya—.” Maya berhenti, menelan kalimat yang ingin diucapkannya. Namun, matanya yang mencemooh berbicara lebih banyak daripada kata-katanya.“Dia hanya apa?” potong Bastian, suaranya tenang, tapi tegas. Ia menoleh, memandangi Maya dengan sorot mata tajam.“Farel hanya pri

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Rasa Yang Lelah

    Suasana malam itu di rumah Sonya perlahan-lahan mereda dari kesibukan menjadi hening penuh keletihan yang berbalut kehangatan. Rania melepaskan ikatan rambutnya dan mengusap wajahnya yang lelah, menatap hasil kerja kerasnya bersama tim dengan perasaan bangga bercampur lega. Pesta pertunangan besok akan berjalan dengan cantik sesuai harapan, dan itu adalah buah dari kerja keras tanpa henti yang mereka curahkan sepanjang hari.“Terima kasih, Icha,” Rania berkata dengan suara lembut, menggenggam tangan gadis muda itu yang ikut bersinar dengan kepuasan. “Tanpamu, aku tidak akan sanggup melakukannya.”Icha tersenyum lelah namun bahagia. “Mbak, aku justru yang berterima kasih. Ini pengalaman luar biasa,” katanya, nada suaranya penuh kehangatan. Keduanya tertawa kecil, melepaskan sebagian beban yang mereka rasakan.Sonya, dengan mata yang terlihat berusaha keras melawan kantuk, menghampiri mereka.“Nia,” sapanya seraya memaksa matanya tetap terbuka. “Hasil dekorasimu luar biasa. Aku benar-be

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Pertemuan Yang Tak Terduga

    Setibanya di lokasi sekitar pukul sepuluh pagi, Rania segera disambut suasana ramah dan hangat dari keluarga Sonya. Rumah berlantai satu yang terletak di tepi kota Jakarta itu akan disulap menjadi tempat pesta pertunangan yang megah dan elegan, sesuai harapan Sonya dan keluarganya. Halaman rumah yang cukup luas memberi banyak ruang bagi Rania dan timnya untuk berkreasi dengan dekorasi.Sonya dan keluarganya langsung menghampiri Rania begitu ia turun dari mobil bersama Icha, Arman, dan Doni. Senyuman merekah menghiasi wajah Sonya saat memperkenalkan Rania kepada beberapa anggota keluarganya. Setelah berbasa-basi sejenak, mereka membawa Rania dan tim ke meja yang sudah dipenuhi hidangan sarapan. Makanan lezat dan minuman hangat menjadi penyambutan yang membuat Rania merasa diterima layaknya sahabat lama.“Silakan, Nia,” ujar Sonya, panggilan akrab yang digunakan Rania di kalangan orang baru. “Kalian butuh energi untuk bekerja seharian.”Rania tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sela

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   PENTING!!

    Hai teman-teman ... Terima kasih yang sebesar-besarnya buat teman-teman yang sudah mampir ke cerita ini dan sudah support cerita ini. Terkhusus buat teman-teman yang sudah berkenan memberikan GEM serta rating yang baik untuk cerita ini, aku ucapkan TERIMA KASIH BANYAK. Hanya Tuhan yang bisa membalas semuanya ^_^Buat teman-teman yang belum support, mohon support ya, biar aku lebih semangat lagi nulisnya. Karena tanpa support dari teman-teman semuanya, aku bukan apa-apa. LUV ... ^_^Jika teman-teman berkenan, mohon bantu share cerita ini agar lebih banyak lagi teman-teman kita yang lain yang tahu perjuangan besar Rania di cerita ini, hehehe ... Buat teman-teman yang belum ikutan GA, yuk ikutan. Kayaknya DEADLINE akan diperpanjang sampai 31 Desember 2024. Yuk bantu ramaikan GA aku ya. Silahkan mampir ke akun pesbuq aku aja ya untuk mengikuti rulesnya ^_^Akhir kata, aku ucapkan Selamat Menikmati Lanjutan Cerita ini ya.Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ^_^

DMCA.com Protection Status