Share

Kontraksi Tiba-tiba

Penulis: NHOVIE EN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-11 11:02:17

Malam itu, gerimis turun dengan lembut di Desa Lembang. Rintiknya mengiringi alunan angin dingin yang berhembus melalui celah-celah jendela, seolah bernyanyi dalam irama syahdu. Di dalam kamar bernuansa pastel, Rania duduk di kursi rotan dekat lemari kecil yang telah ia siapkan untuk bayi yang sebentar lagi akan hadir. Usia kandungannya kini sudah masuk minggu ke empat puluh—hanya tinggal hitungan hari. Wajahnya lembut, namun lelah terlihat jelas di sorot matanya.

Satu per satu, Rania mengelus pakaian bayi berwarna cerah yang tergantung rapi di lemari. Ia menarik satu kaus mungil, meletakkannya di pangkuan, dan menghela napas panjang. Senyum kecil tersungging di bibirnya, tetapi air mata jatuh tanpa bisa ia bendung.

"Nak, kamu sudah sangat dekat dengan dunia ini. Ibu siap menunggumu," bisik Rania sambil mengelus perut yang kini terasa semakin berat.

Rania berdiri perlahan, berjalan menuju rak tiga susun di sebelah lemari. Di rak itu, peralatan bayi telah tertata rapi. Popok sekali pak
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (17)
goodnovel comment avatar
Fatimah Azzahra
nasib rania memang blm beruntung klo soal pasangan,tpi semoga bayinya bisa membri kekuatan untuk rania
goodnovel comment avatar
wieanton
eh ada hana ke toko bunga, udah nikah dia juga...untung ada mereka pas di tempat Rania pas kontraksi, jd ada yg nolongin antar ke tempat bersalin. selalu ada pertolongan di saat lg membutuhkan, meskipun hny sekedar di hantar ke bidan tp itu berarti banget, lg urgent.
goodnovel comment avatar
Adelia Chubby2499
typo Bastian maksudnya BKN kepastian ಥ⁠‿⁠ಥ
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Rasa Yang Tak Terjelaskan

    Pagi itu, sinar matahari Jakarta menyusup masuk melalui jendela besar ruang makan. Pendaran cahayanya mempertegas nuansa modern di dalam rumah mewah milik Bastian dan Maya. Di atas meja makan, sarapan telah disusun dengan sempurna oleh chef pribadi mereka—telur dadar dengan taburan rempah, roti panggang, buah segar, serta secangkir kopi panas untuk Bastian dan teh hijau untuk Maya.Bastian duduk, mengenakan jas hitam yang rapi. Rambutnya disisir ke belakang, wajahnya serius. Pekerjaan di kantor menanti, namun pikirannya terasa jauh, melayang ke tempat yang tidak ia pahami. Tidak lama kemudian, Maya masuk, mengenakan blus formal warna putih dengan celana panjang berpotongan elegan. Sepasang anting berlian menghiasi telinganya. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Bastian tanpa sepatah kata.Keduanya seakan berada dalam dimensi yang berbeda. Hening terasa begitu menyesakkan. Dua asisten rumah tangga mereka, yang sedang memastikan semua hidangan terhidang sempurna, bergerak dengan tenang.

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Perjuangan Seorang Ibu

    Enam jam telah berlalu, dan kontraksi yang dirasakan Rania semakin menguat. Napasnya terasa berat, setiap tarikan disertai dengan rasa sakit yang membuat tubuhnya lemah. Peluh bercucuran dari dahi hingga lehernya, membasahi bantal yang menopang kepalanya. Ketuban telah pecah, tanda bahwa momen besar sudah semakin dekat. Cucu tetap setia di sisinya, menggenggam tangan putrinya dengan erat, menyalurkan kekuatan dan ketenangan.“Kamu kuat, Nak. Ini semua akan segera berakhir,” ucap Cucu dengan suara bergetar, meskipun hatinya ikut merasakan penderitaan yang dialami putrinya.Rania menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan teriakan saat gelombang nyeri datang kembali. “Bu... terlalu sakit...” isaknya pelan. Tangannya mencengkeram selimut, seakan-akan itu adalah tali penyelamat yang bisa menahannya dari rasa sakit yang terus menghantam.Cucu menunduk, mencium dahi putrinya. “Maaf, sayang. Ibu tahu kamu kesakitan. Tapi kamu harus bertahan, demi bayimu.” Ia menghapus air mata yang jatuh dar

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Perasaan Yang Canggung

    Tiga minggu berlalu sejak malam yang mengubah segalanya antara Farel dan Sonya. Sejak saat itu, keakraban mereka terasa berbeda. Ada jarak tak kasatmata yang memisahkan, membuat percakapan yang sebelumnya ringan dan hangat berubah menjadi canggung dan penuh kehati-hatian.Di apartemennya yang berada di pusat kota Jakarta, Farel duduk di tepi ranjang. Matanya memandang langit malam yang tertutup awan gelap. Hujan mengguyur kota dengan deras, dan kilat sesekali menyambar, memantulkan cahaya di dinding kaca jendela apartemennya. Diiringi gemuruh petir, perasaannya terasa semakin gelisah."Kenapa semuanya jadi seperti ini?" gumam Farel lirih, seakan bertanya pada dirinya sendiri. Ia mencoba mematikan pikirannya dari kenangan tentang Rania, tetapi bayangan Sonya, malam itu, terus menghantui. Tatapan penuh kehangatan yang kemudian berubah menjadi kebisuan, sentuhan yang begitu nyata, semua itu menorehkan rasa yang tak bisa ia abaikan begitu saja.Hampir tiga minggu Farel menghindar, dengan

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Bibir Manyun Yang Lucu

    Pagi ini udara Jakarta tidak seperti biasanya. Walau Cahaya matahari bersinar terang, namun udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Mungkin karena semalam kota Jakarta diguyur hujan lebat hingga menyisakan kesejukan di sana.Farel kembali pada rutinitasnya di kantor. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan tumpukan pekerjaan yang menanti. Tapi, setiap kali ia mengambil jeda sejenak, wajah Sonya kembali muncul di benaknya. Ada perasaan hangat yang sulit ia abaikan, tapi di sisi lain, ada ketakutan yang perlahan menggerogoti.Siangnya, Farel memutuskan untuk menemui Bastian di ruangannya. Ia merasa perlu berbicara dengan sahabatnya, meskipun mungkin bukan tentang hal yang ingin ia ungkapkan seutuhnya. Setelah beberapa kali mengetuk, ia masuk ke dalam ruang kerja Bastian. Pria itu tengah duduk di meja kerjanya, tampak sibuk memeriksa beberapa dokumen.“Masuk saja,” ujar Bastian tanpa menoleh.Farel berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di depan Bastian. “Sedang sibuk?”Bastian akhirnya

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Sindiran Menyakitkan

    Rania melangkah perlahan melewati gerbang rumahnya, sambil menggenggam erat selimut yang melindungi bayi kecil dalam pelukannya. Udara siang itu terasa hangat, dan angin yang berembus membawa aroma pepohonan di sekitarnya. Rania menarik napas dalam-dalam, merasakan kelegaan luar biasa. Rumah adalah tempat di mana ia merasa aman, tempat di mana ia bisa mengistirahatkan pikiran dan hatinya yang masih dipenuhi kelelahan dan kegembiraan setelah proses kelahiran.Beberapa tetangga yang memang dekat dengan keluarganya berkumpul di halaman rumah. Mereka menyambut kepulangan Rania dengan senyum ramah dan ucapan selamat. "Alhamdulillah, selamat ya, Rania," ucap salah seorang ibu paruh baya sambil menatap bayi kecil yang terlelap di gendongannya. "Cantik sekali anakmu!"Rania tersenyum, mengucapkan terima kasih dengan nada lemah namun tulus. Ia tahu bahwa mereka ikut bahagia melihatnya pulang dengan selamat.“Dia ini laki-laki, Nek. Bukan Perempuan,” ucap Rania seraya menatap wajah putranya yan

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Kabar Duka

    Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai jendela apartemen Sonya. Ia bergegas mempersiapkan diri dengan hati-hati. Gaun hitam panjang yang ia kenakan terlihat sederhana, namun tetap elegan. Rambutnya yang biasanya tergerai dikepang sederhana, mencerminkan suasana hati yang hening. Di ruang tamu, Farel sudah menunggunya. Pria itu mengenakan kemeja hitam polos dan celana panjang yang senada."Sudah siap?" Farel bertanya sambil tersenyum lembut.Sonya mengangguk sambil merapikan tasnya. "Iya, maaf lama."Farel menggeleng, "Tidak apa-apa. Yang penting kita bisa berangkat sekarang."Di perjalanan menuju Lembang, udara terasa sejuk meskipun matahari sudah meninggi. Mobil Farel melaju pelan di jalan yang berliku, melewati pepohonan hijau yang melambai di sepanjang jalan. Sesekali, Sonya melirik ke luar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Suasana duka yang akan mereka hadapi nanti membuat hatinya sedikit berat."Bagaimana perasaanmu?" tanya Farel, memecah keheningan. Ia men

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Luka Dalam Kecemasan

    Malam itu, setelah seharian berurusan dengan pekerjaan di Bandung, Rania baru saja sampai di rumah. Langit malam yang gelap dan hujan deras seakan menambah beratnya langkah kakinya. Namun, ketika ia membuka pintu rumah, sebuah suasana yang tidak biasa menyambutnya. Cucu—ibu Rania—tengah duduk di ruang tamu dengan wajah khawatir, memandang ponsel yang tergeletak di atas meja. Ketika Rania melangkah masuk, ibu Rania langsung berdiri, matanya langsung menatap penuh kecemasan.Rania yang masih merasa lelah, meletakkan tasnya di atas kursi dan menghela napas. "Ada apa, Bu?" tanyanya, suara lelahnya terdengar jelas.Cucu menggelengkan kepala dan berkata dengan nada pelan, "Bintang, Nak... dia nggak mau menyusu sejak pagi tadi. Badannya juga panas tinggi, sampai ibu bawa ke bidan tadi, tapi nggak ada perubahan. Ibu khawatir. Dan ponselmu, kenapa nggak bisa dihubungi? Sudah berapa kali ibu coba telepon." Wajah Cucu tampak muram, dan setiap kata yang diucapkannya membuat hati Rania serasa dihim

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Secercah Harapan

    Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi ketika Rania memutuskan untuk tidak lagi memejamkan mata. Ruangan rumah sakit yang hening dan gelap terasa semakin menekan. Suara desahan napas Bintang yang tertidur dengan infus di tangannya, serta monitor detak jantung yang terdengar monoton, menyatu dalam keheningan malam itu. Bintang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuhnya yang kecil penuh dengan tabung dan alat medis. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan ibunya dengan genggaman lemah.Rania merasa seolah dunia ini begitu sunyi, meskipun di luar sana orang-orang lain mungkin sedang terlelap dalam tidur mereka. Ia menatap putranya yang tertidur dengan wajah yang memucat, rasa cemas semakin menyesakkan dadanya. Keputusan untuk tetap bangun malam ini bukan hanya karena tidak ingin meninggalkan Bintang, tapi juga karena hatinya terasa tercekik dengan perasaan yang campur aduk.Dengan pelan, Rania bangkit dari kursi yang telah setia ia duduki sepanjang malam. Ia pe

Bab terbaru

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Lepas Tangan

    Di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, Maya duduk dengan gelisah. Sesekali matanya melirik jam tangan emas yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa saat kemudian, Ronald masuk, mengenakan kemeja santai. Wajahnya tenang, hampir tanpa ekspresi, seperti tidak ada beban yang menghantuinya.“Kamu terlambat,” ujar Maya ketus saat Ronald mendekatinya.Ronald hanya tersenyum tipis, duduk di hadapan Maya dengan santai. “Santai saja, Sayang. Jadi, ada apa kali ini?”Maya mendesah berat, memutar cangkir kopinya tanpa minat. “Bastian sudah tahu. Dia mulai menyelidiki semuanya. Aku yakin dia sudah punya bukti cukup kuat soal dana yang aku selewengkan.”“Lalu?” Ronald bertanya santai, menyandarkan punggungnya di kursi.Maya menatap Ronald dengan tajam. “Kamu tidak takut sama sekali? Kalau aku kena, kamu juga pasti terseret. Aku bisa saja memberitahu Bastian semuanya.”Ronald tertawa keci

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Mengungkap Rahasia

    Malam itu, rumah besar Bastian terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam yang terdengar samar, mengiringi langkah pria itu memasuki ruang kerjanya. Pintu kayu besar berderit pelan saat Bastian menutupnya, seolah menyegel dirinya dari dunia luar. Dengan gerakan yang kasar, ia menjatuhkan dirinya di kursi kebesaran di belakang meja kerja. Tatapan matanya kosong, pikirannya penuh dengan bayangan wajah Rania dan tawa kecil Bintang. Naluri di hatinya berkecamuk, memunculkan pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. “Bintang…” gumamnya, hampir seperti bisikan. Ada sesuatu yang ia rasakan saat melihat bocah itu—sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia menggenggam sisi meja kerjanya dengan erat, mencoba menenangkan diri. Tapi, semakin ia berusaha, semakin kuat amarah yang meluap di hatinya. Ia marah karena Rania telah menikah dan memiliki anak tanpa pernah memberi tahu dirinya, tapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat pikirannya tak tenang—naluri emosional yang begitu mendalam

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Pertemuan Dengan Bintang

    Setelah percakapan emosional di taman belakang, Nora dan Maya kembali ke ruang makan. Prakas dan Bastian masih terlihat berbincang ringan sambil sesekali menyeruput teh hangat yang tersisa. Ketika keduanya melihat kedatangan Nora dan Maya, suasana perlahan berubah lebih serius. Nora duduk di kursinya dengan anggun, sementara Maya memilih tempat yang agak berjauhan dari Bastian, berusaha menghindari tatapan tajam suaminya. Keheningan menyelimuti ruangan sejenak sebelum Nora menghela napas panjang, mencoba mencairkan suasana. “Bastian, Papi…” Nora memulai dengan nada tenang. “Aku sudah berbicara dengan Maya di taman tadi. Dia mengakui kesalahannya dan benar-benar menyesal.” Bastian mendengus kecil, matanya menyipit. “Menyesal? Baru sekarang? Setelah semua bukti jelas di depan mata?” “Bastian, dengarkan dulu,” potong Nora dengan lembut. “Maya merasa tertekan. Dia merasa diabaikan olehmu, dan itu yang membuatnya bertindak di luar kendali. Mami tidak membenarkan apa yang dia lakukan, t

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Pertemuan Yang Memanas

    Siang itu, rumah megah milik keluarga Prakas terasa lebih tenang dari biasanya, meski ketegangan menggantung di udara. Di meja makan yang besar, tersaji hidangan lengkap mulai dari sup asparagus hingga steak salmon, yang semuanya tampak menggugah selera. Namun, tak satu pun dari mereka tampak benar-benar menikmati makanannya. Bastian duduk dengan ekspresi dingin di salah satu ujung meja, sementara Maya duduk di seberangnya dengan wajah yang terlihat penuh kepura-puraan. Nora, sang ibu, duduk di tengah-tengah mereka, sesekali melirik ke arah kedua belah pihak. Prakas, yang memimpin meja makan, akhirnya memecah keheningan. “Baiklah, semua sudah di sini. Mari kita makan dulu sebelum berbicara,” ujar Prakas, mencoba memberi nada netral pada situasi yang jelas tidak bersahabat. Bastian hanya mengangguk singkat. Ia sebenarnya tidak ingin berada di sini, namun rasa hormatnya pada kedua orang tuanya menahan keinginannya untuk pergi. Sementara itu, Maya, dengan senyuman kecil yang tampak di

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Mengharap Perlindungan

    Malam mulai merangkak, dan suasana di kantor Bastian terasa tegang. Di balik pintu ruangan pribadi yang tertutup rapat, suara-suara tinggi terdengar. Bastian yang biasanya tenang dan dingin kini berbeda. Ia berdiri dengan kedua tangan mengepal di samping tubuhnya, napasnya memburu karena amarah yang membara.“Jadi benar, Maya? Semua ini karena ulahmu?” Suara Bastian menggema di ruangan, tatapannya dingin seperti es yang siap membekukan segala sesuatu di sekitarnya.Maya duduk di kursi berlapis kulit di depannya, berusaha tetap terlihat tenang. Namun, getaran di tangannya menunjukkan sebaliknya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan nada datar, “Bastian, kamu salah paham. Aku bisa menjelaskan semuanya.”“Jangan berani-berani memutarbalikkan fakta, Maya!” Bastian membentak, suaranya penuh kekerasan. Ia memukul meja dengan keras, membuat berkas-berkas yang ada di atasnya melompat kecil. “Semua bukti menunjukkan bahwa kamu sudah menggelapkan dana perusahaan. Kamu bahkan teg

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Kenangan Tentang Impian

    Malam itu, Bastian berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas gelap yang disesuaikan dengan sempurna. Rambutnya tersisir rapi, dan wajahnya seperti biasa—tegas, dingin, tanpa ekspresi yang benar-benar terbaca. Di tengah kesibukannya memeriksa dasi, Maya muncul dari belakang. Wanita itu, dalam gaun malam yang mewah berwarna biru tua, melangkah perlahan mendekati suaminya sambil memerhatikan penampilannya.“Kau terlihat rapi sekali malam ini,” ucap Maya, nadanya terdengar datar, tapi ada sedikit nada sindiran di baliknya. “Untuk menghadiri pertunangan Farel?”Bastian menghela napas pendek, tetap memandang bayangan dirinya di cermin tanpa menoleh ke arah istrinya. “Ya. Itu penting.”“Kenapa harus begitu formal? Dia hanya—.” Maya berhenti, menelan kalimat yang ingin diucapkannya. Namun, matanya yang mencemooh berbicara lebih banyak daripada kata-katanya.“Dia hanya apa?” potong Bastian, suaranya tenang, tapi tegas. Ia menoleh, memandangi Maya dengan sorot mata tajam.“Farel hanya pri

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Rasa Yang Lelah

    Suasana malam itu di rumah Sonya perlahan-lahan mereda dari kesibukan menjadi hening penuh keletihan yang berbalut kehangatan. Rania melepaskan ikatan rambutnya dan mengusap wajahnya yang lelah, menatap hasil kerja kerasnya bersama tim dengan perasaan bangga bercampur lega. Pesta pertunangan besok akan berjalan dengan cantik sesuai harapan, dan itu adalah buah dari kerja keras tanpa henti yang mereka curahkan sepanjang hari.“Terima kasih, Icha,” Rania berkata dengan suara lembut, menggenggam tangan gadis muda itu yang ikut bersinar dengan kepuasan. “Tanpamu, aku tidak akan sanggup melakukannya.”Icha tersenyum lelah namun bahagia. “Mbak, aku justru yang berterima kasih. Ini pengalaman luar biasa,” katanya, nada suaranya penuh kehangatan. Keduanya tertawa kecil, melepaskan sebagian beban yang mereka rasakan.Sonya, dengan mata yang terlihat berusaha keras melawan kantuk, menghampiri mereka.“Nia,” sapanya seraya memaksa matanya tetap terbuka. “Hasil dekorasimu luar biasa. Aku benar-be

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   Pertemuan Yang Tak Terduga

    Setibanya di lokasi sekitar pukul sepuluh pagi, Rania segera disambut suasana ramah dan hangat dari keluarga Sonya. Rumah berlantai satu yang terletak di tepi kota Jakarta itu akan disulap menjadi tempat pesta pertunangan yang megah dan elegan, sesuai harapan Sonya dan keluarganya. Halaman rumah yang cukup luas memberi banyak ruang bagi Rania dan timnya untuk berkreasi dengan dekorasi.Sonya dan keluarganya langsung menghampiri Rania begitu ia turun dari mobil bersama Icha, Arman, dan Doni. Senyuman merekah menghiasi wajah Sonya saat memperkenalkan Rania kepada beberapa anggota keluarganya. Setelah berbasa-basi sejenak, mereka membawa Rania dan tim ke meja yang sudah dipenuhi hidangan sarapan. Makanan lezat dan minuman hangat menjadi penyambutan yang membuat Rania merasa diterima layaknya sahabat lama.“Silakan, Nia,” ujar Sonya, panggilan akrab yang digunakan Rania di kalangan orang baru. “Kalian butuh energi untuk bekerja seharian.”Rania tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sela

  • Menjadi Ibu Untuk Anak Sang Miliarder   PENTING!!

    Hai teman-teman ... Terima kasih yang sebesar-besarnya buat teman-teman yang sudah mampir ke cerita ini dan sudah support cerita ini. Terkhusus buat teman-teman yang sudah berkenan memberikan GEM serta rating yang baik untuk cerita ini, aku ucapkan TERIMA KASIH BANYAK. Hanya Tuhan yang bisa membalas semuanya ^_^Buat teman-teman yang belum support, mohon support ya, biar aku lebih semangat lagi nulisnya. Karena tanpa support dari teman-teman semuanya, aku bukan apa-apa. LUV ... ^_^Jika teman-teman berkenan, mohon bantu share cerita ini agar lebih banyak lagi teman-teman kita yang lain yang tahu perjuangan besar Rania di cerita ini, hehehe ... Buat teman-teman yang belum ikutan GA, yuk ikutan. Kayaknya DEADLINE akan diperpanjang sampai 31 Desember 2024. Yuk bantu ramaikan GA aku ya. Silahkan mampir ke akun pesbuq aku aja ya untuk mengikuti rulesnya ^_^Akhir kata, aku ucapkan Selamat Menikmati Lanjutan Cerita ini ya.Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ^_^

DMCA.com Protection Status