Tiga minggu berlalu sejak malam yang mengubah segalanya antara Farel dan Sonya. Sejak saat itu, keakraban mereka terasa berbeda. Ada jarak tak kasatmata yang memisahkan, membuat percakapan yang sebelumnya ringan dan hangat berubah menjadi canggung dan penuh kehati-hatian.Di apartemennya yang berada di pusat kota Jakarta, Farel duduk di tepi ranjang. Matanya memandang langit malam yang tertutup awan gelap. Hujan mengguyur kota dengan deras, dan kilat sesekali menyambar, memantulkan cahaya di dinding kaca jendela apartemennya. Diiringi gemuruh petir, perasaannya terasa semakin gelisah."Kenapa semuanya jadi seperti ini?" gumam Farel lirih, seakan bertanya pada dirinya sendiri. Ia mencoba mematikan pikirannya dari kenangan tentang Rania, tetapi bayangan Sonya, malam itu, terus menghantui. Tatapan penuh kehangatan yang kemudian berubah menjadi kebisuan, sentuhan yang begitu nyata, semua itu menorehkan rasa yang tak bisa ia abaikan begitu saja.Hampir tiga minggu Farel menghindar, dengan
Pagi ini udara Jakarta tidak seperti biasanya. Walau Cahaya matahari bersinar terang, namun udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Mungkin karena semalam kota Jakarta diguyur hujan lebat hingga menyisakan kesejukan di sana.Farel kembali pada rutinitasnya di kantor. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan tumpukan pekerjaan yang menanti. Tapi, setiap kali ia mengambil jeda sejenak, wajah Sonya kembali muncul di benaknya. Ada perasaan hangat yang sulit ia abaikan, tapi di sisi lain, ada ketakutan yang perlahan menggerogoti.Siangnya, Farel memutuskan untuk menemui Bastian di ruangannya. Ia merasa perlu berbicara dengan sahabatnya, meskipun mungkin bukan tentang hal yang ingin ia ungkapkan seutuhnya. Setelah beberapa kali mengetuk, ia masuk ke dalam ruang kerja Bastian. Pria itu tengah duduk di meja kerjanya, tampak sibuk memeriksa beberapa dokumen.“Masuk saja,” ujar Bastian tanpa menoleh.Farel berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di depan Bastian. “Sedang sibuk?”Bastian akhirnya
Rania melangkah perlahan melewati gerbang rumahnya, sambil menggenggam erat selimut yang melindungi bayi kecil dalam pelukannya. Udara siang itu terasa hangat, dan angin yang berembus membawa aroma pepohonan di sekitarnya. Rania menarik napas dalam-dalam, merasakan kelegaan luar biasa. Rumah adalah tempat di mana ia merasa aman, tempat di mana ia bisa mengistirahatkan pikiran dan hatinya yang masih dipenuhi kelelahan dan kegembiraan setelah proses kelahiran.Beberapa tetangga yang memang dekat dengan keluarganya berkumpul di halaman rumah. Mereka menyambut kepulangan Rania dengan senyum ramah dan ucapan selamat. "Alhamdulillah, selamat ya, Rania," ucap salah seorang ibu paruh baya sambil menatap bayi kecil yang terlelap di gendongannya. "Cantik sekali anakmu!"Rania tersenyum, mengucapkan terima kasih dengan nada lemah namun tulus. Ia tahu bahwa mereka ikut bahagia melihatnya pulang dengan selamat.“Dia ini laki-laki, Nek. Bukan Perempuan,” ucap Rania seraya menatap wajah putranya yan
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai jendela apartemen Sonya. Ia bergegas mempersiapkan diri dengan hati-hati. Gaun hitam panjang yang ia kenakan terlihat sederhana, namun tetap elegan. Rambutnya yang biasanya tergerai dikepang sederhana, mencerminkan suasana hati yang hening. Di ruang tamu, Farel sudah menunggunya. Pria itu mengenakan kemeja hitam polos dan celana panjang yang senada."Sudah siap?" Farel bertanya sambil tersenyum lembut.Sonya mengangguk sambil merapikan tasnya. "Iya, maaf lama."Farel menggeleng, "Tidak apa-apa. Yang penting kita bisa berangkat sekarang."Di perjalanan menuju Lembang, udara terasa sejuk meskipun matahari sudah meninggi. Mobil Farel melaju pelan di jalan yang berliku, melewati pepohonan hijau yang melambai di sepanjang jalan. Sesekali, Sonya melirik ke luar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Suasana duka yang akan mereka hadapi nanti membuat hatinya sedikit berat."Bagaimana perasaanmu?" tanya Farel, memecah keheningan. Ia men
Malam itu, setelah seharian berurusan dengan pekerjaan di Bandung, Rania baru saja sampai di rumah. Langit malam yang gelap dan hujan deras seakan menambah beratnya langkah kakinya. Namun, ketika ia membuka pintu rumah, sebuah suasana yang tidak biasa menyambutnya. Cucu—ibu Rania—tengah duduk di ruang tamu dengan wajah khawatir, memandang ponsel yang tergeletak di atas meja. Ketika Rania melangkah masuk, ibu Rania langsung berdiri, matanya langsung menatap penuh kecemasan.Rania yang masih merasa lelah, meletakkan tasnya di atas kursi dan menghela napas. "Ada apa, Bu?" tanyanya, suara lelahnya terdengar jelas.Cucu menggelengkan kepala dan berkata dengan nada pelan, "Bintang, Nak... dia nggak mau menyusu sejak pagi tadi. Badannya juga panas tinggi, sampai ibu bawa ke bidan tadi, tapi nggak ada perubahan. Ibu khawatir. Dan ponselmu, kenapa nggak bisa dihubungi? Sudah berapa kali ibu coba telepon." Wajah Cucu tampak muram, dan setiap kata yang diucapkannya membuat hati Rania serasa dihim
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi ketika Rania memutuskan untuk tidak lagi memejamkan mata. Ruangan rumah sakit yang hening dan gelap terasa semakin menekan. Suara desahan napas Bintang yang tertidur dengan infus di tangannya, serta monitor detak jantung yang terdengar monoton, menyatu dalam keheningan malam itu. Bintang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuhnya yang kecil penuh dengan tabung dan alat medis. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan ibunya dengan genggaman lemah.Rania merasa seolah dunia ini begitu sunyi, meskipun di luar sana orang-orang lain mungkin sedang terlelap dalam tidur mereka. Ia menatap putranya yang tertidur dengan wajah yang memucat, rasa cemas semakin menyesakkan dadanya. Keputusan untuk tetap bangun malam ini bukan hanya karena tidak ingin meninggalkan Bintang, tapi juga karena hatinya terasa tercekik dengan perasaan yang campur aduk.Dengan pelan, Rania bangkit dari kursi yang telah setia ia duduki sepanjang malam. Ia pe
Jakarta, kediaman Bastian.Pagi itu, Jakarta masih diselimuti kabut tipis. Matahari baru saja mengintip di balik gedung-gedung pencakar langit, menandakan awal hari yang sibuk. Di dalam kediaman Bastian, suasana pagi tampak sepi. Hanya suara detakan jam yang terletak di meja kerja dan gemerisik angin di luar jendela yang menemani keheningan itu.Bastian berdiri dengan wajah serius di depan meja rias, menatap Maya yang sedang asyik merias wajahnya di depan cermin besar. Maya, yang sedang memoleskan bedak di wajahnya, tidak menyadari kehadiran Bastian yang berdiri menatapnya dengan tatapan tajam. Tiba-tiba, Bastian melemparkan sebuah berkas ke atas meja rias dengan keras. Berkas itu jatuh tepat di samping tempat Maya berdiri, membuatnya terkejut."Ada apa, Bastian?" tanya Maya, suaranya sedikit tercekat karena kaget. Ia menatap Bastian yang tampak begitu marah. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajah suaminya.Selama hidup bersama, Maya sudah sangat mengenal ekspresi Bastian yang sa
Sepeninggal Bastian, Maya pun bergegas meninggalkan rumahnya. Tujuannya hanya satu, apartemen Ronald. Ia sedang tidak bersemangat ke kantor pagi ini. Apa lagi harus bertemu dengan Bastian yang kini menaruh kecurigaan sangat besar kepadanya.Sesampai di apartemen Ronald, Maya menutup pintu apartemen Ronald dengan desah napas panjang yang penuh beban. Tangannya gemetar saat ia meraba dinding, mencari kekuatan untuk tetap berdiri. Sementara itu, suara dentingan jam di ruangan itu terdengar seperti detik-detik menuju kehancurannya. Ronald, pria dengan senyum memikat dan tatapan yang selalu penuh percaya diri, menghampirinya dengan langkah ringan.“Sayang, akhirnya kau datang,” sapa Ronald dengan nada hangat yang biasanya bisa melelehkan hati Maya. Ia meraih pinggang Maya dan mengecup bibirnya dengan lembut. Namun, hari ini berbeda. Maya menoleh, memalingkan wajah, dan melepaskan pelukan Ronald dengan tegas.“Ronald, aku tidak bisa,” Maya berg
Hari masih pagi ketika Boby, Rita, dan Rania tiba di Surabaya. Perjalanan ini bukan perjalanan biasa, ada misi besar yang ingin mereka selesaikan. Bersama mereka, hadir seorang pengacara andal yang dipercaya Boby untuk menangani kasus ini dengan cermat.Berkat koneksi Boby, mereka dengan mudah mendapatkan akses untuk berbicara dengan salah satu tahanan—wanita yang menjadi otak di balik penyekapan Rania. Suasana di ruangan khusus tempat pertemuan berlangsung terasa dingin dan penuh ketegangan. Wanita itu duduk di seberang mereka, dengan raut wajah keras yang menggambarkan pengalaman hidup penuh lika-liku.“Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?” tanya wanita itu, memecah keheningan dengan nada menantang.Boby duduk dengan tenang, memperhatikan wanita itu dengan tatapan tajam. “Kami ingin tahu kebenaran. Siapa yang menyuruhmu mencelakai putriku?”Wanita itu mendengus, mengalihkan pandangannya. “Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.”Rita menghela napas, mencoba pendekatan yang lebih
Suasana malam itu masih hening. Boby dan Rita masih saling pandang seraya memerhatikan putri mereka yang terlihat banyak menyimpan luka.Rita kemudian meraih tangan Rania, menggenggamnya dengan lembut. “Kami tidak ingin memaksa, sayang. Apa pun keputusanmu, kami akan mendukungmu. Tapi jika suatu saat kamu merasa siap untuk menghadapi Bastian, kami akan ada di sisimu.”Rania menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Ma. Aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan semuanya.”Boby berdiri, berjalan mendekati putrinya. Ia menepuk pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Yang penting kamu bahagia, Rania. Itu yang paling utama.”Malam itu, Rania mencoba merenung di kamarnya. Ia tahu bahwa menghindari Bastian selamanya bukanlah solusi. Namun, hatinya masih terlalu terluka untuk kembali membuka pintu bagi pria itu. Kini, yang ia butuhkan adalah waktu—waktu untuk menemukan kembali kekuatannya, waktu untuk menyembuhkan lukanya, dan waktu untuk menentukan langkah berikutnya dalam hidu
Dua bulan berlalu, dan kehidupan Rania berubah drastis. Kini ia bukan lagi gadis sederhana yang hidup di Lembang, melainkan seorang wanita anggun yang memancarkan pesona luar biasa. Perubahan itu begitu kentara, dari caranya berbicara hingga kepercayaan diri yang perlahan tumbuh. Namun, selama dua bulan terakhir, Rania memilih menghindar dari dunia luar, termasuk dari Bastian. Ia memutuskan untuk fokus pada dirinya, mempersiapkan diri menjadi sosok yang baru.Hari ini adalah hari besar. Untuk pertama kalinya, Rania akan diperkenalkan kepada keluarga besar dan kolega Boby serta Rita. Sebuah acara istimewa digelar di ballroom mewah salah satu hotel bintang lima di Bandung.Sore itu, ballroom tersebut dipenuhi oleh dekorasi elegan bernuansa emas dan putih. Meja-meja bundar ditata sempurna, dikelilingi tamu undangan dari keluarga besar hingga kolega bisnis Boby. Semua hadir dengan antusias, tak sabar menyaksikan kejutan malam itu.Rania berdiri di balik pintu utama ballroom, mengenakan ga
Setelah keheningan sejenak yang terasa membebani di pikiran Rania, Rania pun akhirnya membuka suara. Ia pandangi wajah Rita dan Boby bergantian, mencoba meyakinkan hati kalau memang sudah saatnya ia jujur.Pada akhirnya, Rania menghela napas panjang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menceritakan semuanya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bersuara.“Bastian…” Rania memulai dengan suara yang gemetar. Ia menatap Rita dan Boby bergantian, mencari keberanian di mata mereka yang penuh perhatian. “Dia adalah… ayah kandung Bintang.”Rita yang tadinya tenang kini sedikit terkejut. Matanya membulat, tapi ia tetap menjaga ekspresinya agar tidak membuat Rania merasa terhakimi. Boby pun mengernyit, namun tetap sabar menunggu penjelasan lebih lanjut.“Hubungan kami dulu sangat rumit,” lanjut Rania dengan suara yang mulai bergetar. “Kami sempat berpacaran ketika masih kuliah. Kami sempat punya Impian untuk hi
Udara malam di taman belakang rumah Boby dan Rita terasa sejuk, dihiasi gemerlap bintang di langit yang cerah. Gemericik air dari kolam kecil di tengah taman memberikan ketenangan tersendiri. Rania duduk di salah satu kursi taman, ditemani secangkir cokelat hangat yang mengepul di tangannya. Boby dan Rita duduk di seberangnya, masing-masing dengan secangkir cokelat dan sepiring brownies di atas meja kecil di antara mereka.Setelah Bintang terlelap, mereka memutuskan ini waktu yang tepat untuk berbincang lebih dalam. Boby membuka percakapan dengan suara lembut namun penuh ketegasan.“Rania,” katanya, menatap putrinya dengan penuh haru, “Ada hal yang selama ini belum sempat kami ceritakan. Kami ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dulu.”Rania memandang ayah kandungnya dengan ekspresi campur aduk. Ia tahu percakapan ini penting, namun ia tidak menyangka akan langsung membahas masa lalu.“Dulu,” Boby melanjutkan, &l
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika sebuah mobil SUV hitam berhenti perlahan di depan rumah kecil yang dulunya dihuni oleh Rania di Lembang. Lampu depan mobil itu memancar terang, menerangi halaman yang tampak sunyi. Dari dalam mobil, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah yang memancarkan ketegasan turun. Itu adalah Bastian.Langkahnya mantap menuju pintu utama. Tangannya mengetuk dengan sopan, berharap suara ketukan itu akan memanggil seseorang dari dalam. Namun, alih-alih melihat Rania atau Cucu, seorang gadis muda yang tak dikenalnya membuka pintu.“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” Gadis itu menyapa ramah, menatap Bastian dengan sedikit rasa heran.“Selamat malam,” Bastian menjawab sambil melirik ke dalam rumah yang terlihat berbeda dari yang ia ingat. “Rania dan Bintang ada di rumah?” tanyanya langsung.Gadis itu tersenyum kecil. “Oh, maaf, mbak Rania dan keluarganya sudah pindah ke Band
Setelah hari-hari penuh pertimbangan dan renungan, Rania akhirnya mantap dengan keputusannya. Pagi ini, ia, Bintang, dan Cucu bersiap meninggalkan rumah kecil mereka di Lembang untuk memulai babak baru di Bandung. Udara pagi Lembang terasa sejuk seperti biasa, namun ada rasa haru yang mengiringi kepergian mereka.Mobil SUV putih yang dikemudikan sopir pribadi Rita sudah menunggu di depan rumah. Tidak banyak barang yang mereka bawa, hanya koper kecil berisi pakaian dan beberapa barang penting. Rita sudah menyiapkan segalanya di rumah baru mereka, memastikan Rania dan Bintang tidak perlu repot membawa banyak hal.Mobil pick up milik Rania pun ikut menanti mereka. Mobil itu sudah penuh dengan barang-barang milik Bintang. Mainan baru yang sangat banyak. Tidak hanya dari nenek dan kakeknya, tapi juga dari Bastian. Awalnya Rita meminta agar barang-barang itu ditinggalkan saja, Rita akan belikan yang baru di Bandung. Namun Rania menolak, ia sudah terbiasa hidup sederhana. Jadi Rania tidak ma
Pagi ini, langit Lembang tampak gelap, awan-awan kelabu menggantung rendah, seolah siap menumpahkan air kapan saja. Saat mobil SUV putih yang membawa Rita dan Emma mendekati rumah Rania, hujan deras mulai turun, membasahi jalanan dan membuat suhu udara semakin dingin.“Bu, coat ini sudah saya siapkan,” kata Emma sambil menyerahkan coat tebal berwarna krem pada majikannya.“Terima kasih, Emma,” ucap Rita sambil tersenyum. Ia mengenakan coat itu dengan hati-hati. Udara Lembang memang menusuk, tapi semangat Rita untuk bertemu Rania dan Bintang menghangatkannya.Mobil berhenti tepat di depan rumah Rania. Sopir dengan sigap membuka payung besar untuk melindungi Rita dan Emma dari hujan lebat. Mereka berjalan menuju pintu rumah Rania, langkah-langkah mereka tergesa karena derasnya hujan.Cucu yang mendengar suara mobil langsung membuka pintu, menyambut mereka dengan wajah penuh senyum. “Bu Rita, silakan masuk. Maaf, cuaca kurang bersahabat,” ujar Cucu ramah, sambil menyingkirkan beberapa ge
Di Bandung, di sebuah kamar mewah yang terletak di lantai dua, Rita duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang berlarian. Matanya memandang jendela kaca besar yang menghadap taman belakang, namun hatinya masih tertuju pada Rania dan Bintang. Ia mencoba memejamkan mata beberapa kali, tetapi bayangan wajah putrinya terus saja muncul di benaknya.“Masih belum bisa tidur?” Suara Boby terdengar lembut dari sisi lain ranjang.Rita menoleh dan menggeleng pelan. “Tidak, Mas. Aku masih tidak percaya semua ini nyata. Rania... Clarissa kita... dia begitu cantik. Perpaduan wajahmu dan wajahku. Aku tidak pernah menyangka dia akan tumbuh menjadi wanita yang begitu jelita.”Boby tersenyum kecil, mendekat dan duduk di samping Rita. “Itu artinya, perjuanganmu selama ini tidak sia-sia, Sayang. Doamu dijawab oleh Tuhan.”“Tapi aku masih rindu, Mas.” Suara Rita mulai bergetar. “Rasanya ingin kembali ke sana sekarang juga, melihat wajahnya, mendengar tawanya. Dan Bintang... oh, Mas, cucu kita begitu mengge