Semua Bab PERNIKAHAN (Rahasia Kelam Seorang Istri): Bab 151 - Bab 160

197 Bab

151. Gila-gilaan 3

"Sampai kapan kita begini, In?""Sampai kita merasa harus kembali atau lebih baik berpisah, Mas.""Kamu belum bisa memaafkanku?""Sudah kumaafkan.""Lalu tunggu apa lagi?""Kita cari waktu untuk fokus bicara berdua saja. Kasihan kalau Naina sampai mendengarnya."Akhirnya tidak ada kesepakatan lagi. Mereka pulang ke rumah yang berbeda. Indah juga mempertimbangkan tawaran pekerjaan dari seorang rekannya. Ini yang membuat Irwan galau. Naina pun sudah mulai terbiasa dengan keadaan sekarang ini. Dia enjoy dan bahagia. Apalagi di desa sana, memiliki banyak teman yang sebaya. Kalau tinggal di perumahan, Naina tidak mempunyai teman. Berkumpul dengan teman-temannya pas sekolah atau mengaji di TPQ."Kalau istrimu nggak juga mau berdamai, untuk apa kamu bertahan. Jika ingin pisah, ya kabulkan saja. Ribet." Papanya marah tadi sore.Tapi sang mama yang selalu memberinya semangat dan masukkan untuk terus bertahan."Jangan dengerin papamu. Kamu sadar kan kalau kamu yang salah. Kamu itu egois. Dengan
Baca selengkapnya

152. Menjemput Asa 1

PERNIKAHAN- Menjemput Asa Kembali ke meja makan, tidak ada yang bertanya pada Bram. Bagi mereka, urusan dengan Dahlan pasti masalah pekerjaan.Ngobrol dilanjutkan tentang calon anggota keluarga baru. Sony sudah tidak sabar untuk menunggu adiknya lahir. Anak itu memang suka sekali adik bayi. Kalau bermain ke rumah teman-temannya, tak segan dia mengajak bermain atau menggendong adik dari temannya."Untuk sementara, Puspa nggak usah ngelakuin pekerjaan apapun. Banyakin istirahat sampai trimester pertama terlewati. Ingat pengalaman kemarin. Jangan sampai terjadi sesuatu lagi." Bu Dewi menasehati."Ya, Ma."Selesai makan, anak-anak langsung ke ruang depan karena sebentar lagi guru les mereka datang. Bu Dewi kembali ke rumah. Puspa duduk di ruang santai sambil membuka laptop. Mencari artikel parenting, new mom, dan berbagai artikel tentang kehamilan. Sementara Bram pamitan untuk keluar sebentar. Dia menemui sang mama di rumahnya."Ada apa?" Bu Dewi menghampiri Bram yang duduk di joglo.
Baca selengkapnya

153. Menjemput Asa 2

Bu Harso sudah bisa duduk dan bertegur sapa sejenak dengan Bu Dewi. "Terima kasih sudah sudi datang, Bu.""Semoga Bu Harso lekas sembuh.""Mama sebenarnya hanya demam biasa, Tante. Tapi kepikiran banget sama Vanya dan Sony, jadinya malah ngedrop."Bram terusik dengan ucapan mantan adik iparnya. Seolah mengatakan karena kangen pada dua cucunya membuat sakit Bu Harso makin parah. "Bu Harso, nggak usah terlalu mikirin anak-anak. Mereka kan tinggal sama papanya. Vanya dan Sony baik-baik saja. Nggak kurang satu apapun. Mereka sehat. Puspa sangat perhatian dan sayang terhadap anak-anak. Jadi, Bu Harso nggak usah khawatir." Bu Dewi menjawab seraya memandang Bu Harso. Ucapannya pelan, tapi cukup mengena. Membalas ucapan Santi yang sok tahu tentang keadaan Vanya dan Sony."Bener, Nek. Bunda baik kok. Sebentar lagi Sony dan Kak Vanya mau punya adik." Sony menyambung perkataan sang nenek dengan netra berbinar-binar. Padahal apa yang dikatakannya cukup melukai perasaan nenek dan tantenya.Santi
Baca selengkapnya

154. Menjemput Asa 3

Pertanyaan-pertanyaan Naina yang sulit dijawab oleh Indah. "Nduk, cobalah sholat istikharah. Mau sampai kapan kamu dan Irwan begini. Ayah nggak keberatan jika kamu ingin kembali.""Ayah, nggak sakit hati dengan ucapan Mas Irwan. Itu tuduhan, Yah. Bukan sekedar ucapan biasa.""Ayah ngerti. Irwan sudah meminta maaf dan berjanji akan berubah.""Dan Ayah sudah memaafkan?""Sesakit apapun, ayah bisa berdamai dengan Dikri yang sudah menodai adikmu. Sedangkan kesalahan Irwan hanya karena ucapan. Ayah nggak boleh egois mementingkan rasa sakit dalam hati sendiri. Sementara ada anak yang masih membutuhkan kasih sayang papanya."Kamu, terutama Naina, masih memiliki perjalanan yang panjang. Sedangkan ayah, hanya menikmati sisa usia. Ayah nggak ingin Naina yang nggak tahu apa-apa, menjadi korban perceraian kalian. Ayah sudah nggak ada, tapi Naina bisa saja akan membawa trauma perceraian kedua orang tuanya seumur hidup. "Selagi Irwan mau berubah. Nggak ada salahnya kamu kasih kesempatan, In. Kali
Baca selengkapnya

155. Menunggu Kabar 1

PERNIKAHAN- Menunggu Kabar"Kenapa? Apa terlalu cepat?" Irwan menenung Indah yang masih terdiam.Sebenarnya tidak terlalu cepat. Wajar dua bulan tidak ada physical touch, bagi pria yang sudah menikah pasti bukan hal mudah. Apalagi mereka sebenarnya sering sekali bertemu. Indah sendiri juga mengakui, kalau merindukan momen itu. Di mana selama menikah mereka tidak pernah melewatkan waktu bersama meski siangnya ada perdebatan karena sesuatu hal."In, aku tahu ini mungkin terdengar egois, tapi aku benar-benar ingin menghabiskan waktu bersamamu malam ini. Aku merindukanmu. Dua bulan ini rasanya seperti bertahun-tahun." Irwan menatap Indah dengan penuh harap, seperti seseorang yang kembali menemukan rumah setelah tersesat terlalu lama. Ia mengulurkan tangannya di atas meja, berharap Indah akan menyambutnya. Setelah beberapa detik dalam keraguan, Indah akhirnya meletakkan tangannya di atas tangan sang suami. Irwan langsung menggenggamnya. Sentuhan itu terasa begitu hangat.Sambutan tangan
Baca selengkapnya

156. Menunggu Kabar 2

Vanya dan Sony bergegas menaiki tangga. Sedangkan Bram melepaskan jaket lantas mencium kening istrinya. "Kamu tidak capek. Kenapa belum tidur?""Sengaja aku nunggu Mas dan anak-anak. Mama, mana?""Mama langsung aku antar ke rumah." Bram menurunkan sang mama di halaman rumahnya sendiri. Karena Mak Siti sudah menunggunya di teras depan.Bram merangkul sang istri untuk diajak naik ke kamar mereka. Puspa menyiapkan kaus dan celana pendek saat Bram membersihkan diri di kamar mandi."Bagaimana keadaan Bu Harso, Mas?" tanya Puspa setelah mereka berbaring di ranjang."Sudah mendingan.""Kapan boleh pulang?""Mas tidak tanya tadi.""Beliau sakit apa?""Karena faktor usia, Sayang. Beliau sudah sepuh. Untuk urusan mereka, tidak perlu kamu pikirkan. Mas tidak ingin terjadi apa-apa lagi sama kamu dan anak kita." Bram mengusap perut Puspa yang masih rata. "Kamu harus sehat, anak kita pun lahir dengan selamat," lanjutnya.Puspa mengangguk haru. Tiap hamil perasaannya memang sensitif begini. Selegowo
Baca selengkapnya

157. Menunggu Kabar 3

Irwan termenung sejenak setelah istrinya turun dari mobil. Dia kepikiran Denik. Kasihan sekali adik sepupunya itu. Semoga lahirannya dipermudah. Mereka tidak ada lagi tempat bersandar. Mamanya juga belum kembali pulih kendati sudah beberapa kali ke psikiater. Kemudian Irwan turun dan menemui anaknya di kamar. Bocah perempuan itu sangat bahagia saat terbangun, papanya sudah ada di dekatnya.***L***Suara ponsel Bu Lurah berdering saat mereka tengah sarapan bersama. Indah yang berdiri untuk mengambilkan ponsel milik ibunya."Siapa yang nelpon, In?" tanya Bu Lurah."Puspa, Bu." Indah memberikan ponsel pada ibunya.Wanita itu segera menjawab telepon dari si bungsu. Wajahnya spontan berubah berbinar-binar dengan senyum menghiasi bibirnya. "Alhamdulillah," ucapnya.Pak Lurah, Indah, juga Irwan memperhatikan dan heran. "Ada apa, Bu?" tanya Pak Lurah tak sabar setelah Bu Lurah meletakkan ponselnya di meja."Alhamdulillah, Yah. Puspa hamil enam minggu." Bu Lurah tidak bisa menyembunyikan keb
Baca selengkapnya

158. Perjalanan Malam Itu 1

PERNIKAHAN - Perjalanan Malam ItuDikri memeluk erat tubuh yang terdiam di atas brankar. Tangisnya pecah sambil memanggil nama sang adik. "Jangan pergi, Dek," raungnya begitu keras."Lihat anakmu. Dia butuh kamu. Lihat dia sangat tampan dan menggemaskan, Den. Bangunlah!" Dikri mengguncang tubuh Denik sekuat tenaga. Namun wajah pucat itu tetap diam. Rasa sakit, sesal, kehilangan, mengobrak ngabrik jiwanya. Tangis Dikri sampai tidak bersuara. Lelaki itu limbung terduduk di samping brankar sang adik. Sedangkan mamanya mendapatkan perawatan karena tidak sadarkan diri.Segala proses terus berjalan. Dikri akhirnya memutuskan untuk membawa pulang sang adik meski hanya tinggal jasad dan nama. Kenapa adiknya harus pergi. Kenapa Denik yang menanggung segala dosa kedua orang tuanya dan juga dirinya. Ini takdir atau kah karma?Setelah sadar, Bu Ira menangis dalam dekapan putranya. Nafasnya tercekik dan membuat tubuhnya terguncang. Dia sampai tidak bisa bersuara menahan rasa sakit dan kehilanga
Baca selengkapnya

159. Perjalanan Malam Itu 2

Puspa lebih beruntung karena memiliki orang tua yang baik. Yang selalu mendoakan dan memberikan support. Mempunyai suami dan mertua yang pengertian. Berbeda dengan Denik yang seolah berjuang sendirian dengan banyak beban. Hanya Dikri yang menjadi support system baginya. Kedua orang tua setengah hati dalam membelanya.Suara deru mesin mobil di luar, membuat Pak Lurah bangkit dari duduknya. "Bram sudah sampai. Ayah pergi dulu.""Hati-hati." Bu Lurah mengantarkan sang suami hingga ke pintu depan. Wanita itu mengangguk pada sang menantu yang tersenyum dan mengangguk hormat padanya.Mobil Bram pergi, Bu Lurah kembali ke dalam untuk menemani Naina. Bu Lurah tadi sempat dilema dan melarang suaminya pergi takziah. Tapi Denik ini kerabat dari menantu mereka. Apa salahnya ikut datang berbela sungkawa. Sore tadi, Irwan dari kantor langsung pulang ke rumah mereka untuk mengabari Indah. Akhirnya Indah pun ikut ke Malang.***L***Malam itu suasana duka begitu mendalam di pemakaman. Hawa dingin ya
Baca selengkapnya

160. Perjalanan Malam Itu 3

Pak Maksum ganti menghampiri Dikri untuk meminta maaf. Dikri hanya mengangguk pelan. Kemudian mendekati kakaknya. Memeluk Pak Wanto sambil menangis. Dua bersaudara itu berpelukan erat, sebelum kemudian petugas kembali mengingatkan kalau Pak Maksum harus kembali.Lelaki itu divonis penjara satu tahun. Dan sekarang masih sisa beberapa bulan lagi mejalani masa tahanan."Kita pulang, Ma." Dikri menghampiri mamanya."Adikmu sendirian, Dik.""Ma, kita doakan Denik saja. Biar dia jauh lebih tenang di sana daripada bersama kita."Dengan langkah gontai dan dipapah oleh sang anak, akhirnya Bu Maksum meninggalkan pemakaman. Mereka pulang ke rumah naik mobilnya Irwan. Sebab mobil Dikri masih di Malang. Dia tadi pulang ikut mobil jenasah yang membawa almarhumah Denik."Dik, malam ini juga aku langsung ke Malang," ujar Irwan setelah selesai mencuci kaki dan tangan di kran depan rumah. "Kamu sendirian?""Pakdhe yang akan menemani," sahut Pak Wanto."Makasih, Pakdhe. Aku titip bayinya Denik, Mas.""
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1415161718
...
20
DMCA.com Protection Status