PERNIKAHAN- Menunggu Kabar"Kenapa? Apa terlalu cepat?" Irwan menenung Indah yang masih terdiam.Sebenarnya tidak terlalu cepat. Wajar dua bulan tidak ada physical touch, bagi pria yang sudah menikah pasti bukan hal mudah. Apalagi mereka sebenarnya sering sekali bertemu. Indah sendiri juga mengakui, kalau merindukan momen itu. Di mana selama menikah mereka tidak pernah melewatkan waktu bersama meski siangnya ada perdebatan karena sesuatu hal."In, aku tahu ini mungkin terdengar egois, tapi aku benar-benar ingin menghabiskan waktu bersamamu malam ini. Aku merindukanmu. Dua bulan ini rasanya seperti bertahun-tahun." Irwan menatap Indah dengan penuh harap, seperti seseorang yang kembali menemukan rumah setelah tersesat terlalu lama. Ia mengulurkan tangannya di atas meja, berharap Indah akan menyambutnya. Setelah beberapa detik dalam keraguan, Indah akhirnya meletakkan tangannya di atas tangan sang suami. Irwan langsung menggenggamnya. Sentuhan itu terasa begitu hangat.Sambutan tangan
Vanya dan Sony bergegas menaiki tangga. Sedangkan Bram melepaskan jaket lantas mencium kening istrinya. "Kamu tidak capek. Kenapa belum tidur?""Sengaja aku nunggu Mas dan anak-anak. Mama, mana?""Mama langsung aku antar ke rumah." Bram menurunkan sang mama di halaman rumahnya sendiri. Karena Mak Siti sudah menunggunya di teras depan.Bram merangkul sang istri untuk diajak naik ke kamar mereka. Puspa menyiapkan kaus dan celana pendek saat Bram membersihkan diri di kamar mandi."Bagaimana keadaan Bu Harso, Mas?" tanya Puspa setelah mereka berbaring di ranjang."Sudah mendingan.""Kapan boleh pulang?""Mas tidak tanya tadi.""Beliau sakit apa?""Karena faktor usia, Sayang. Beliau sudah sepuh. Untuk urusan mereka, tidak perlu kamu pikirkan. Mas tidak ingin terjadi apa-apa lagi sama kamu dan anak kita." Bram mengusap perut Puspa yang masih rata. "Kamu harus sehat, anak kita pun lahir dengan selamat," lanjutnya.Puspa mengangguk haru. Tiap hamil perasaannya memang sensitif begini. Selegowo
Irwan termenung sejenak setelah istrinya turun dari mobil. Dia kepikiran Denik. Kasihan sekali adik sepupunya itu. Semoga lahirannya dipermudah. Mereka tidak ada lagi tempat bersandar. Mamanya juga belum kembali pulih kendati sudah beberapa kali ke psikiater. Kemudian Irwan turun dan menemui anaknya di kamar. Bocah perempuan itu sangat bahagia saat terbangun, papanya sudah ada di dekatnya.***L***Suara ponsel Bu Lurah berdering saat mereka tengah sarapan bersama. Indah yang berdiri untuk mengambilkan ponsel milik ibunya."Siapa yang nelpon, In?" tanya Bu Lurah."Puspa, Bu." Indah memberikan ponsel pada ibunya.Wanita itu segera menjawab telepon dari si bungsu. Wajahnya spontan berubah berbinar-binar dengan senyum menghiasi bibirnya. "Alhamdulillah," ucapnya.Pak Lurah, Indah, juga Irwan memperhatikan dan heran. "Ada apa, Bu?" tanya Pak Lurah tak sabar setelah Bu Lurah meletakkan ponselnya di meja."Alhamdulillah, Yah. Puspa hamil enam minggu." Bu Lurah tidak bisa menyembunyikan keb
PERNIKAHAN - Perjalanan Malam ItuDikri memeluk erat tubuh yang terdiam di atas brankar. Tangisnya pecah sambil memanggil nama sang adik. "Jangan pergi, Dek," raungnya begitu keras."Lihat anakmu. Dia butuh kamu. Lihat dia sangat tampan dan menggemaskan, Den. Bangunlah!" Dikri mengguncang tubuh Denik sekuat tenaga. Namun wajah pucat itu tetap diam. Rasa sakit, sesal, kehilangan, mengobrak ngabrik jiwanya. Tangis Dikri sampai tidak bersuara. Lelaki itu limbung terduduk di samping brankar sang adik. Sedangkan mamanya mendapatkan perawatan karena tidak sadarkan diri.Segala proses terus berjalan. Dikri akhirnya memutuskan untuk membawa pulang sang adik meski hanya tinggal jasad dan nama. Kenapa adiknya harus pergi. Kenapa Denik yang menanggung segala dosa kedua orang tuanya dan juga dirinya. Ini takdir atau kah karma?Setelah sadar, Bu Ira menangis dalam dekapan putranya. Nafasnya tercekik dan membuat tubuhnya terguncang. Dia sampai tidak bisa bersuara menahan rasa sakit dan kehilanga
Puspa lebih beruntung karena memiliki orang tua yang baik. Yang selalu mendoakan dan memberikan support. Mempunyai suami dan mertua yang pengertian. Berbeda dengan Denik yang seolah berjuang sendirian dengan banyak beban. Hanya Dikri yang menjadi support system baginya. Kedua orang tua setengah hati dalam membelanya.Suara deru mesin mobil di luar, membuat Pak Lurah bangkit dari duduknya. "Bram sudah sampai. Ayah pergi dulu.""Hati-hati." Bu Lurah mengantarkan sang suami hingga ke pintu depan. Wanita itu mengangguk pada sang menantu yang tersenyum dan mengangguk hormat padanya.Mobil Bram pergi, Bu Lurah kembali ke dalam untuk menemani Naina. Bu Lurah tadi sempat dilema dan melarang suaminya pergi takziah. Tapi Denik ini kerabat dari menantu mereka. Apa salahnya ikut datang berbela sungkawa. Sore tadi, Irwan dari kantor langsung pulang ke rumah mereka untuk mengabari Indah. Akhirnya Indah pun ikut ke Malang.***L***Malam itu suasana duka begitu mendalam di pemakaman. Hawa dingin ya
Pak Maksum ganti menghampiri Dikri untuk meminta maaf. Dikri hanya mengangguk pelan. Kemudian mendekati kakaknya. Memeluk Pak Wanto sambil menangis. Dua bersaudara itu berpelukan erat, sebelum kemudian petugas kembali mengingatkan kalau Pak Maksum harus kembali.Lelaki itu divonis penjara satu tahun. Dan sekarang masih sisa beberapa bulan lagi mejalani masa tahanan."Kita pulang, Ma." Dikri menghampiri mamanya."Adikmu sendirian, Dik.""Ma, kita doakan Denik saja. Biar dia jauh lebih tenang di sana daripada bersama kita."Dengan langkah gontai dan dipapah oleh sang anak, akhirnya Bu Maksum meninggalkan pemakaman. Mereka pulang ke rumah naik mobilnya Irwan. Sebab mobil Dikri masih di Malang. Dia tadi pulang ikut mobil jenasah yang membawa almarhumah Denik."Dik, malam ini juga aku langsung ke Malang," ujar Irwan setelah selesai mencuci kaki dan tangan di kran depan rumah. "Kamu sendirian?""Pakdhe yang akan menemani," sahut Pak Wanto."Makasih, Pakdhe. Aku titip bayinya Denik, Mas.""
PERNIKAHAN - Nasib Baby Boy "Hei, kenapa?" Bram menarik kursi dan duduk di sebelah Puspa, di ruang santai sore itu.Buru-buru Puspa mengusap air mata yang luruh ke pipinya. Dia tersenyum pada sang suami seraya meletakkan pakan ikan di atas meja. "Aku hanya sedih dengan nasibnya Denik, Mas. Tragis banget ya. Aku benar-benar bisa ngerasain apa yang dia lalui. Dia juga harus pergi meninggalkan bayinya yang baru lahir. Tak terbayang bagaimana sedihnya."Bisa dikatakan aku lebih beruntung dari dia. Setelah peristiwa itu, aku nggak sampai hamil. Orang tuaku memberikan dukungan. Aku juga memiliki suami yang baik. Membantuku memulihkan mental dan rasa percaya diriku." Puspa memandang suaminya."Apapun yang pernah kuhadapi waktu itu, akhirnya bisa kulewati dengan dukungan Mas, Mama, dan keluargaku. Hingga aku seberuntung ini sekarang. Jujur saja, aku sangat sedih dengan nasibnya Denik dan baby-nya." Mata Puspa kembali basah."Doakan saja yang terbaik untuknya. Semoga Denik husnul khotimah. D
"Dik, mumpung kita ngumpul di sini. Aku mau ngomong sesuatu." Irwan berkata setelah beberapa menit mereka dalam kebisuan."Ya, Mas.""Seharian tadi kami ngobrol berempat. Aku dan Indah berniat merawat anaknya Denik. Tentu saja dengan persetujuanmu dan Tante Ira. Bagaimana?"Dikri menarik napas panjang. Sebenarnya soal perawatan anaknya Denik, sejak semalam sudah menjadi pemikirannya. Sang mama sudah jelas tidak akan bisa merawat bayi baru lahir itu. Apalagi dirinya. Mana mungkin dia bisa, karena harus bekerja dan belum pernah merawat anak. Andai membayar baby sitter, mungkin dengan keadaan terpaksa, Dikri masih bisa. Namun ia tidak tega, khawatir keponakannya kenapa-napa.Sekarang ada solusi yang membuatnya lega. Di dalam asuhan Irwan dan Indah, bayi itu berada di tangan yang tepat. Dikri tahu betul bagaimana Indah. Dia istri dan ibu yang baik."Anak itu akan dirawat dengan baik oleh Irwan dan Indah, Dik. Kamu juga bisa fokus bekerja dan memulihkan mamamu. Bayi itu akan memiliki ident
"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat
"Sudah kubilang kalau itu bukan masalah bagiku. Kamu nggak harus berkata panjang lebar, May. Cukup bilang, ya atau tidak. Aku sudah mengerti." Dikri memandang Maya. Sedangkan Maya memandang gerimis di hadapannya. Pemandangan sore ini begitu indah. Wanita itu menoleh pada lelaki di sebelahnya. "Ya," ucapnya pasti.Senyum Dikri merekah,terlihat sangat lega. Kali ini sesuai seperti apa yang ia harapkan. "Aku akan membicarakannya dengan papa dan mama. Sudah pasti dalam waktu dekat ini, aku akan datang untuk melamarmu.""Aku ingin acara yang sederhana saja.""Aku setuju. Bagaimana kalau hari Minggu ini kami ke rumahmu.""Minggu ini?" Maya kaget. Dia pikir tidak akan secepat ini meski pun sudah mengiyakan."Iya.""Dik, aku belum ngabarin Mas Bayu. Belum tentu kalau dadakan gini dia bisa pulang. Dia yang sekarang menjadi waliku setelah papa tiada.""Ya, aku ngerti. Kalau gitu, kutunggu kabar darimu. Tapi nanti aku ingin ketemu mamamu sebentar saja.""Oke." Keduanya saling pandang. Kemudian
"Kita bisa berjuang bersama-sama, May. Jangan lagi menyesali masa lalu. Kita buka lembaran baru.""Dik, kasih aku waktu untuk bicara dengan mamaku.""Apa aku perlu bicara langsung dengan beliau sekarang.""Jangan. Biar aku saja. Besok sepulang kerja kita bisa ketemuan. Aku sudah merasa lebih baik, jadi besok bisa masuk kerja."Dikri mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu, aku pamit pulang. Aku mau pamitan sama mamamu." Dikri memandang pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang belakang."Bentar." Maya bangkit dari duduknya dan mencari mamanya di belakang.Bu Anang muncul seraya tersenyum. "Mau balik, Nak Dikri?""Ya, Bu. Terima kasih untuk makan malamnya. Saya ke sini malah ngerepotin.""Nggak ngerepotin. Hati-hati ya! Salam buat Pak Maksum dan Bu Ira.""Iya, Bu." Dikri mencium tangan Bu Anang, kemudian melangkah keluar di antar oleh Maya hingga ke teras. "Besok pagi kujemput. Kuantar ke tempat kerjamu. Biar sorenya kita bisa ketemuan.""Nggak usah. Aku bisa berangkat bareng temanku.""Ok
PERNIKAHAN - Mendadak NikahMaya spontan membeku dan bertambah pucat. Apa dia tidak salah dengar. Namun lelaki di hadapannya ini tampak sangat serius. Maya menghela nafas panjang untuk menghilangkan debaran dalam dada."Dik, kemarin dokter bilang aku hanya kecapekan, sekarang kamu ingin membuatku jantungan? Jangan bercanda, deh!""Aku nggak bercanda, May. Sumpah!"Suhu tubuh Maya yang mulai normal, kini rasanya kembali panas dingin. Sama sekali dia tidak kepikiran lagi bisa kembali bersama Dikri, meski hubungan mereka membaik belakangan ini."Aku serius, May."Maya serasa menggigil. Dia memang mencintai Dikri, tapi sejak putusnya pertunangan mereka dan Maya menikah dengan laki-laki lain, ia berusaha melupakan perasaan itu. Mengubur harapannya. Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Maya tentang Dikri. Di mana lelaki itu tidak begitu peduli dengan hubungan mereka disaat masih terikat pertunangan. Maya pun sebenarnya merasakan hal itu, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengun