Besok siangnya, Denny sudah dibawa pulang ke rumah Dikri. Bu Ira menangis tersedu-sedu melihat cucunya. Setelah tenang, Dikri memberitahu niat baiknya Irwan dan Indah. Dengan kesadaran, Bu Ira setuju. Sebab dia sadar kalau tidak mungkin bisa merawat cucunya dengan baik. Emosinya juga tidak stabil. Apalagi hubungannya dengan Pak Maksum dalam ketegangan yang belum mereda. Dan Denny berhak mendapatkan perhatian dan perawatan yang semestinya."Tante Ira, bisa menjenguknya kapan saja. Tante, juga bisa menginap di rumah kami kalau rindu dengan Denny," kata Irwan."Ya. Makasih, Wan. Tante titip Denny." Bu Ira terisak-isak."Kalau gitu. Aku sama Indah mau keluar sebentar. Belanja sekalian ke rumah mertua. Kami akan bicara sama ayah dan ibu. Juga memberitahu Naina. Dia pasti seneng punya adik. Nanti kami mampir juga menemui Puspa dan suaminya," pamit Irwan."Iya," jawab Bu Ira."Kalian pergilah. Mama akan jagain Denny dulu di sini," ujar Bu Wanto."Iya, Ma. Kami juga akan beresin rumah sebelu
PERNIKAHAN - Terkejut Vanya sangat antusias membantu Puspa membungkus kado untuk baby Denny. Sepulang sekolah dia dijemput papanya, kemudian langsung mampir beli kado. Bram memang tidak mengizinkan istrinya ikut, cukup di video call saja, barang mana yang ia pilih. Untuk menyentuhnya saja Bram sangat menahan diri, makanya dia tidak mengizinkan sang istri ikut berkeliling mencari kado."Bagus kan, Bun. So cute." Vanya memegang sepatu mungil di tangannya. Itu tadi pilihan Vanya sendiri."Iya. Tapi masih kebesaran itu, Kak. Nanti Denny umur tiga bulanan baru bisa dipakai.""Biar disimpan sama Tante Indah dulu, Bun. Oh ya, kita mau ke sana pas acara aqiqah?""Besok saja, Kak. Kan siang tadi baby-nya sudah dibawa pulang sama Tante Indah. Besok kita jenguk ke sana. Pas acara aqiqah, kakak, Sony, sama papa yang ke sana. Bunda di rumah saja," jawab Puspa seraya sibuk melipat baju dan menatanya di kotak kado."Kenapa, Bun?" Vanya penasaran."Selama hamil ini, bunda pusing kalau bertemu orang
Dikri menghela nafas panjang. Denny sudah menjadi bagian dari keluarga Puspa, tapi pada saat yang bersamaan dirinya juga harus sadar diri, entah sampai kapan akan terus menghindari wanita itu jika kebetulan bertemu.Beberapa waktu kemarin tidak sulit baginya, tapi sekarang, bagaimana? Ada Denny yang membuatnya sering ke rumah sepupunya."Kenapa duduk di sini?" tegur Irwan muncul dari pintu dan mengangetkan Dikri yang tengah melamun."Nggak apa-apa, Mas. Aku sedang merokok. Nggak boleh mendekati Denny.""Bukan itu saja alasannya.""Syukurlah kalau Mas Irwan tahu. Aku memang pantas mendapatkan hal ini."Hati Irwan tersentuh. Dia bisa merasakan apa yang tengah dialami Dikri sekarang. Dia tidak lupa dengan pertemuan sore itu di rumah mertuanya. Sekarang Irwan memang harus bisa membawa diri, antara saudara dan mertuanya. Di mana mereka telah berbesar hati memberikan peluang untuk dirinya kembali bersama Indah dan ikhlas menerima Denny.Sang istri juga dengan kerelaan hati mau merawat kepon
"Mereka les kalau habis maghrib, Mbak. Nanti saja pas acara aqiqah Denny, mereka ikut papanya ke sini."Indah mengangguk-angguk.Jam setengah sembilan malam Bram mengajak istrinya pulang. Seperti biasa, Bram mengendarai mobil sangat lamban. Sampai Puspa bisa ketiduran karena kelamaan di jalan. Padahal perjalanan mereka masih di kota yang sama.Indah menidurkan Denny di baby crip yang ada di kamarnya. Sehabis itu menemani Naina gosok gigi dan cuci tangan karena harus segera tidur, Irwan melangkah ke belakang menemui adik sepupunya."Dik, ayo masuk!" Dikri bangkit dari duduknya. Dia tadi sebenarnya mendengar mobil Bram yang meninggalkan halaman rumah."Kamu makan dulu. Ini mbak buatin teh panas." Indah menyiapkan makanan di meja. "Makasih, Mbak," ucap Dikri menarik kursi lantas duduk."Kamu mau nginap atau pulang?""Pulang, Mbak. Mama sudah bolak-balik telepon ini."Indah melangkah ke dapur untuk mengambil botol susunya Denny yang sudah disiapkan oleh ART-nya. Dia harus berdamai denga
PERNIKAHAN- Lima Bulan Kemudian "Nggak apa-apa." Dikri tersenyum getir. Tubuhnya susah digerakkan. Dia membeku menatap jalanan depan rumah.Satu kenyataan terungkap. Telah menghancurkan hubungan yang hampir terbina. Dia bisa merasakan bagaimana terlukanya hati Rayyan. Kian menambah deretan sesal yang beberapa bulan ini menyiksanya."Aku pernah mampir ke rumah orang tuanya, Mas. Kebetulan bertemu dia dan suaminya. Dia sudah bahagia sekarang." Rayyan berkata seraya memandang langit sore yang kelabu. Seperti perasaannya saat itu."Dia gadis yang kukenal sangat baik. Dia periang dan suka membantu temannya. Namun berubah drastis, setelah beberapa waktu menghindariku. Aku nggak menyangka sama sekali, dia mengalami nasib seburuk itu. Yang lebih kusesali, aku sama sekali nggak tahu. Andai saja aku tahu ...."Tidak hanya Rayyan, napas Dikri pun serasa berhenti di tenggorokan. Berat sekali rasanya. Terbayang jelas, betapa sulitnya Puspa melalui semua itu. Tidak bunuh diri saja, sudah untung.
Dikri bersimpuh di atas sajadah di lantai kamarnya. Rasa gemetar masih dirasakan meski Rayyan sudah pergi. Apa setelah ini dia masih sanggup berteman dengan lelaki itu. Menatap wajahnya dengan tegak. Ngobrol tentang banyak hal. Rayyan adalah teman bicara yang baik.Dia tidak mungkin mengundang Rayyan di acara aqiqahnya Denny. Rasanya tidak sanggup rahasia pahitnya akan terbongkar. Apalagi di acara sakral sang keponakan. Dikri tidak ingin merusak momen itu.Andai Rayyan tahu bahwa orang yang telah menghancurkan hubungannya dengan Puspa adalah dirinya, apa yang akan dilakukan cowok itu padanya? Meski sudah hampir dua tahun yang lalu, tapi rasa bersalahnya semakin kuat dan menyesakkan. Apalagi setelah dia kehilangan Denik. Sesalnya tiada bertepi. Tubuh Dikri kian melengkung dalam tangis di antara doa-doanya. Bagaimana dia menebus semua ini. Sedangkan gadis itu kini sudah memiliki kehidupan baru bersama pria lain, dia bingung bagaimana menunjukkan penyesalannya tanpa mengganggu kebahagi
Sementara di rumah Irwan dan Indah, suasana begitu meriah. Para kerabat sudah datang sejak sore tadi. Juga beberapa teman dan tetangga perumahan hadir memenuhi undangan. Tetangga dan rekan kerja Irwan sebenarnya juga kaget, tidak tahu Indah hamil, tiba-tiba sudah melahirkan. Kalau mereka bertanya, Irwan akan memberitahu. Namun jika tidak, Irwan sekeluarga juga diam.Kakak perempuan satu-satunya dari Irwan yang tinggal di Semarang, kemarin juga sudah datang."Wan, adikmu kok belum datang?" tanya Bu Ira yang gelisah menunggu putranya. Sedangkan wanita itu sudah sejak tadi pagi di rumah Irwan."Nanti saya teleponnya, Tan," jawab Irwan. Tantenya mungkin tidak tahu apa yang telah dibicarakan Dikri dan Puspa waktu itu."Dikri belum datang, Mas?" Ganti Indah yang berbisik di telinga sang suami."Belum.""Mas, telepon dia suruh ke sini segera. Bilang kalau Puspa nggak datang."Irwan mengangguk kemudian melangkah ke belakang untuk menelepon. Panggilan langsung dijawab di seberang."Dik, kamu d
PERNIKAHAN - Setelah Bertemu "Papa, mau nambah nasi?" tanya Dikri pada Pak Maksum yang duduk berhadapan dengannya. Setelah menjemput sang papa, Dikri mengajaknya mampir dulu ke restoran."Nggak, Dik. Papa sudah kenyang." Lelaki itu menatap keluar lewat jendela kaca rumah makan. Angkasa mulai tertutup awan kelabu. Sepertinya musim penghujan kali ini lebih panjang dari biasanya. Seharusnya Pak Maksum bahagia di hari kebebasan. Namun yang ada tambah nelangsa. Sebab sudah kehilangan semuanya. Harta dan keluarganya. Serasa tak ada bedanya, berada di bui atau pun hidup bebas. Apa masih sanggup bertembung muka dengan keluarga besarnya, keluarga dari istrinya, juga rekan-rekan yang dulu begitu akrab dengannya.Pak Maksum menghela nafas berat. Setelah Denik meninggal, setiap malam ia meratapi kepergian putrinya. Penyesalan dan kehilangan yang luar biasa."Nanti antarkan papa ke makamnya Denik, Dik""Oke. Semoga nggak hujan, Pa.""Sekarang Denny sudah bisa apa?"Dikri membuka galeri ponseln
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant