“Dikiranya diajak pindah ke Jakarta itu karena di sini sudah punya rumah gedongan, tahunya cuma rumah kecil di gang perkampungan kayak gini.”Sama seperti pagi sebelumnya, omelan pagi ini datang dari ibuku yang baru keluar dari kamarnya.“Mana listrik gampang padam, gak ada AC, kalau musim hujan banjir,” lanjut ibu. “Ibu!” panggilku, “sudah seminggu, loh, Ibu ngomel gini terus, gak capek apa, Bu? masih untung Mas Arya bisa kasih kita tempat tinggal layak, terlebih lagi ini bukan kontrakan tapi rumah kita sendiri, harusnya Ibu itu bersyukur!”“Idih, layak apanya kalau setiap musim hujan kebanjiran. Bersyukur-bersyukur, apanya yang mau disyukuri?” Panas, aku tidak tahan lagi. “Bersyukur karena sudah Rani dan Mas Arya ajak tinggal bersama di Jakarta, gak jadi gembel di Yogja,” sahutku.“Eh-eh-eh, kamu ini kasar ya, sama ibu, kenapa? gak ikhlas kamu ajak ibu ke sini? itu mulu diungkit-ungkit.”“Ibu juga itu mulu yang diungkit-ungkit,” gumamku pelan.Aku sudah muak mendengar ocehan ibu y
Read more