Aku memberi isyarat pada ibu agar dia diam. Aku tidak enak jika Rama melihat tingkah dan mendengar omelan ibuku.
“Ibu!” “Apa, sih?” “Ibu masuk aja! iya, nanti Rani belikan HP baru, tapi sekarang ibu masuk dulu!” Ibu benar-benar tidak paham dengan kode yang kuberikan. Dia masih saja mengomel tentang ponselnya yang rusak dan banyak hal lainnya. Aku tidak bisa membuat ibu masuk ke dalam rumah. Sehingga, mau tidak mau aku yang harus membuat Rama segera pergi dari rumah kami. “E ... Mas Rama, terima kasih sudah mengantar dan juga mengunjungi Mas Arya!” ucapku pada Rama. Rama yang sepertinya paham dengan maksudku lantas segera menanggapi. “Oh, iya, kalau begitu ak—” “Siapa kamu?” tanya ibu tiba-tiba kepada Rama. Aku, Rama, dan Mas Arya saling menatap bergantian. Tidak lama setelahnya, Rama terlihat membenarkan jas serta dasinya. Dia berdehem terlebih dahulu sebelum akhirnya memperkenalkan diri. “Saya Rama, Ibu, kenalannya Mas Arya dan Rani,” jawab Rama. “Kenalan?”—aku melihat ibu memperhatikan Rama dari atas sampai bawah—“kenal di mana? kamu teman teknisinya Arya?” tanya ibu dengan ketus. “Oh, bukan, Bu, saya yang kemarin membantu Mas Arya waktu kecelakaan, terus tadi tidak sengaja bertemu Rani di kantor pas waktu wawancara kerja.” “Kamu juga lagi wawancara kerja?” tanya ibu lagi. Aku sungguh heran kenapa ibuku sangat usil dengan kehidupan orang lain. Padahal, kalau dia sendiri yang ditanya-tanya seperti itu juga pasti sudah marah-marah. “Bukan, Bu, saya manager di perusahaan tempat Rani wawancara.” Ibu terdiam setelah mendengar jawaban Rama, dan kembali bersuara beberapa saat kemudian. Kali ini nada bicara ibu sudah sangat berbeda dari sebelumnya. “Oh ... managernya Rani, toh!” “Bukan, Rani masih pelamar kerja di sana,” sahutku dengan mengucap tegas setiap katanya. “Ya gak apa-apa,” ucap ibu yang lantas beralih melihat Rama, “toh, setelah ini Rani pasti akan diterima kerja, ‘kan, Nak Rama?” Sok kenal, pakai panggilan ‘nak’ segala, batinku. Sementara itu, Rama terlihat sungkan-sungkan menjawabnya. “E-eh, iya, Bu.” “Tuh, ‘kan!” seru ibu. “Pokoknya, Nak Rama gak akan menyesal kalau menerima Rani bekerja di tempat Nak Rama, anak ibu ini rajin, ....” Sumpah, aku malu kepada Rama. Aku menutup mata, menarik napas dalam-dalam, lalu .... “Sebaiknya Mas Rama pergi sekarang!” Ucapanku mungkin terdengar tidak sopan. Namun, tidak ada pilihan lain. Aku tidak mau Rama semakin banyak mendengar hal-hal yang tidak seharusnya dia dengar. “Eh, iya Ran, aku pergi sekarang,” kata Rama. Sepertinya, dia paham dengan maksud tujuanku berkata demikian. “Ibu, saya permisi dulu!” pamitnya pada ibuku. “Eh, Nak Rama jangan buru-buru pulang dulu!” “Maaf, Bu! tapi saya memang sudah harus pergi karena sudah ada janji meeting.” “Oh, ... gitu?” “Iya, Bu, permisi!” ucap Rama, “Rani, Mas Arya, sampai ketemu lagi dan semoga cepat pulih, Mas!” “Iya, terima kasih! terima kasih juga sudah mau mengantar Rani!” balas Mas Arya. “Bukan apa-apa, Mas, kebetulan memang mau lewat sini juga,” sahut Rama. “Permisi, Mas, Bu, Ran!”—Rama menangkupkan kedua tangannya di depan dada sembari sedikit menundukkan kepala. “Iya, hati-hati, Nak Rama!” balas ibu, “kapan-kapan ke sini lagi! ajak jalan-jalan ibu juga boleh.” “Ibu!” “Apa sih! orang ibu cuma bercanda, iba-ibu terus kamu itu dari tadi. Emang salah kalau ibu mau diajak jalan-jalan? ibu, ‘kan, juga butuh refreshing.” Ibu kembali masuk ke dalam rumah dengan omelannya yang masih menggaung. Sudah tidak ada yang bisa kulakukan selain menghela napas. Aku terlampau lelah untuk berkata-kata. Energiku langsung habis setiap kali menghadapi tingkah ibu. “Sudah-sudah, sebaiknya kamu juga masuk ke rumah, mandi, makan, lalu istirahat! tadi mas coba masak, kamu rasain, gih! gak tahu apa masih enak kayak dulu atau gak.” “Kamu mana pernah gagal masak, sih, Mas! cuma dikasih garam aja masakanmu udah enak.” “Itu, sih, karena kamu yang bucin banget sama Mas, makanan kayak dikasih air laut aja masih kamu bilang enak,” seru Mas Arya. Aku dan Mas Arya sama-sama tertawa mengingat kejadian masa muda dulu. Tidak salah apa yang dikatakan Mas Arya, aku memang secinta itu padanya sampai lidahku saja buta rasa. “Ya sudah, aku masuk dulu, ya, Mas.” “Hem!” Setelah wawancara pagi tadi, sore harinya aku sudah langsung mendapatkan surel jawaban. Isinya membuatku menganga terkejut, karena ternyata aku diterima bekerja di kantor ritel itu. Hanya saja, ada hal yang membuatku heran. “Eh, kok posisinya bukan posisi yang kulamar?” Aku yang sebelumnya melamar untuk posisi staf managemen terkejut saat tahu bahwa aku diterima sebagai asisten manager. Artinya, aku akan menjadi asisten Rama yang selaku manager. Kuturunkan kembali pundakku dan kuhapus senyumanku. Aku bingung dengan yang terjadi sekarang. Berulang kali kubaca pesan elektronik itu, tapi tulisannya sungguh begitu dan aku sama sekali tidak salah baca. “Bagaimana, Sayang? sudah dapat balasan dari perusaan tempat kamu wawancara?” Aku kaget Mas Arya tiba-tiba masuk ke kamar dan bertanya demikian. “I-iya, Mas.” “Oh ya? terus, apa hasilnya?” Aku tidak mengerti kenapa rasanya begitu berat untuk mengatakannya. Aku bahkan sampai mengepalkan tangan dengan kuat hanya untuk berkata ... “Iya, aku diterima.” “Wah! selamat, Sayang!” ucap Mas Arya yang langsung meraih tanganku untuk digenggam. “Apa aku bilang, usia kamu itu tidak akan menutupi kualitas kamu, Sayang.” Kupaksa dua sudut bibirku untuk naik. “Iya, Mas.” Aku tahu bahwa ada yang salah dari ini. Namun, aku bingung bagaimana harus menyikapinya. Aku harus menanyakan kejelasannya lebih dulu. Takutnya, ini memang kesalahan teknis HRD. Tidak mungkin, bukan, Rama sengaja menempatkanku pada posisi ini? ... iya, tidak mungkin.Setelah kemarin menerima surel dari Glow Hardware dan mengetahui bahwa aku diterima menjadi Personal Asisten Rama yang merupakan manajer pemasaran di sana, hari ini aku kembali bertemu dengan kepala bidang pengembangan SDM untuk menanyakan tentang isi dari surel tersebut. “Semoga tidak bertemu dengan Rama!” Begitulah harapanku saat menginjakkan kaki di kantor Glow-H. Saat menyambangi bagian SDM, pada akhirnya aku tahu bahwa mereka tidak melakukan kesalahan. Aku sungguh diterima sebagai asisten Rama dan itu semua adalah permintaan dari Rama langsung.“Maaf, Bu, apa saya tidak bisa ganti ke posisi yang saya lamar saja?” tanyaku ke kepala SDM. “Maaf sekali, Rani, tapi posisi yang kamu lamar kemarin sudah diisi dengan orang lain. Jika kamu menolak untuk menjadi PA Pak Rama, artinya untuk saat ini kamu tidak bisa bergabung dengan perusahaan kami,” jelas wanita di hadapanku.Jika seperti ini, tentu saja aku sudah tidak bisa lagi berbuat apapun. Sekarang pilihanku hanya ada dua, bekerja
Aku kembali ke kamarku usai menidurkan Rico. Kulihat Mas Arya masih duduk bersandar di headboard sembari menggulir layar ponselnya. “Serius banget, lihat apa, sih?”“Ini loh, aku lagi cari kerja remote,” jawab Mas Arya.“Mas kenapa harus cari kerjaan lagi? bukannya udah buka jasa servis elektronik? Tuh, di ruang tamu masih ada Tv tetangga yang belum dibenerin.”“Ya gak apa, sambil kerja lainnya juga.”“Mas, aku udah dapat kerja yang lumayan bagus, gajinya juga lumayan walaupun gak besar banget, cukuplah kalau untuk kehidupan sehari-hari. Jadi, Mas gak harus banyak kerja yang berat-berat dulu.”“Gak berat, kok, Sayang. Cuma duduk sambil mainin HP apanya yang berat, coba? Lagipula, sebagai kepala keluarga mas juga gak bisa cuma diam saja. Mas harus bisa nafkahin kamu sama Rico.”Benar, sepertinya aku harus memahami posisi itu. “Iya-iya, ya sudah, Mas boleh cari kerja tambahan, tapi janji jangan sampai bikin tambah sakit.” “Iya, janji.” Aku naik ke tempat tidur dan masuk ke dalam selim
Mobil Rama memasuki area parkir basement sebuah apartemen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Glow-H.“Ayo turun!” ajak Rama usai memarkirkan mobilnya.“Kita kenapa ke sini, Pak?” tanyaku.“Bukannya tadi sudah kukatakan kalau aku mau ganti baju?”“Iya, aku tahu itu, tapi ... argh! Maksudku, kenapa aku harus ikut?” Keresahan batinku ini tentu saja tidak ku suarakan.“Rani, ayo turun!” ajak Rama lagi. “Memangnya kamu mau menunggu di mobil?”Aku reflek mengangguk ketika mendengar pertanyaan itu. Namun, Rama sungguh tidak membiarkanku melakukannya. Dia memaksaku turun dan mengikutinya hingga ke unit apartemennya. Tombol kunci pintu mulai berbunyi. Aku tidak sengaja melihat beberapa angka sandi kamar Rama.“Sandinya 7494.”“Ha?”“Sandi kamar apartemenku 7494, kamu ingat-ingat!”Aku kaget dan bingung. “Untuk apa?” tanyaku.“Agar sewaktu-waktu jika aku tidak bisa dihubungi kamu bisa mencariku ke sini,” jawab Rama. Aku masih tidak mengerti. Aku tidak tahu kalau sebagai PA aku perlu men
“Dikiranya diajak pindah ke Jakarta itu karena di sini sudah punya rumah gedongan, tahunya cuma rumah kecil di gang perkampungan kayak gini.”Sama seperti pagi sebelumnya, omelan pagi ini datang dari ibuku yang baru keluar dari kamarnya.“Mana listrik gampang padam, gak ada AC, kalau musim hujan banjir,” lanjut ibu. “Ibu!” panggilku, “sudah seminggu, loh, Ibu ngomel gini terus, gak capek apa, Bu? masih untung Mas Arya bisa kasih kita tempat tinggal layak, terlebih lagi ini bukan kontrakan tapi rumah kita sendiri, harusnya Ibu itu bersyukur!”“Idih, layak apanya kalau setiap musim hujan kebanjiran. Bersyukur-bersyukur, apanya yang mau disyukuri?” Panas, aku tidak tahan lagi. “Bersyukur karena sudah Rani dan Mas Arya ajak tinggal bersama di Jakarta, gak jadi gembel di Yogja,” sahutku.“Eh-eh-eh, kamu ini kasar ya, sama ibu, kenapa? gak ikhlas kamu ajak ibu ke sini? itu mulu diungkit-ungkit.”“Ibu juga itu mulu yang diungkit-ungkit,” gumamku pelan.Aku sudah muak mendengar ocehan ibu y
Aku setengah berlari memasuki rumah sakit. Aku yang buru-buru akhirnya tidak sengaja menabrak seseorang. “Maaf!” ucapku reflek. Aku hanya menatap sekilas orang yang bertabrakan denganku. “Iya, tidak ap—”“Maaf, saya buru-buru! sekali lagi, saya minta maaf!” ucapku dengan sedikit membungkuk, hingga kemudian kembali berlari ke UGD. Sesampainya di UGD ....“Ibun!”Hatiku yang sejak tadi tidak karuan seketika jadi lebih tenang setelah mendengar teriakan bocah laki-lakiku. Terlihat Rico dan Mas Arya berada di tempat tidur yang sama dengan tangan yang masih sama-sama diinfus. Kata perawat, Rico tadi menangis dan meminta satu tempat tidur dengan ayahnya.“Rico! Mas Arya!”—aku menghampiri mereka.“Ibun~”Rico langsung bangkit duduk dan memelukku. Sebisa mungkin kuberikan pelukan terhangatku berharap itu bisa memberinya rasa nyaman. Sementara Mas Arya, dia menatapku dengan senyuman di wajahnya. Aku tahu dia sedang berusaha menenangkanku dengan senyuman itu.Lega rasanya melihat kedua laki-
Mas Arya bekerja sebagai salah seorang teknisi di salah satu perusahaan. Salah satu orang yang bisa dikatakan beruntung karena bisa mendapat pekerjaan yang cukup bagus dengan persaingan keras di ibu kota. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat aku dan Mas Arya syukuri. Meskipun, tidak jarang suamiku mendapat perlakuan buruk serta fitnah dari rekan kerjanya sendiri. Tahu Mas Arya dipecat, aku tidak bisa menerimanya. Aku pergi ke tempat kerja Mas Arya untuk bertemu langsung dengan atasannya. Bisa-bisanya di saat kondiri pegawainya mengalami musibah, perusahaan justru membuangnya.Hanya saja, sesampainya di sana, aku justru semakin merasa kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja menemukan sebuah fakta menyakitkan, bahwa ternyata rekan-rekan kerja Mas Arya sendiri lah yang sudah menghasut atasan mereka untuk memecatnya. “Ungtung Pak Darko mau ikuti saran gue, jadinya itu orang sok suci dipecat juga sekarang!”“Iya, hahaha!” sahut orang-orang lainnya.Begitu aku melaporkan hal tersebut dan
Aku tidak menyangka kalau akan bertemu Rama di perusahaan tempatku wawancara. Lebih terkejut lagi, ternyata Rama adalah manager pemasaran perusahaan tersebut, seseorang yang akan menjadi atasanku jika aku diterima bekerja di sana.“Baik, Bu Rani, terima kasih sudah datang untuk wawancara! mengenai hasilnya, nanti akan kami kabarkan melalui surel Ibu.”“Iya, terima kasih!”Lega rasanya setelah keluar dari ruang wawancara. Aku tidak tahu apakah akan diterima atau ditolak.Jika memang ditolak, aku tidak akan kecewa. Aku sudah cukup senang karena ternyata masih ada perusahaan yang mempertimbangkan daftar riwayat hidupku. Hal ini memicu kembali optimisku.Pintu lift terbuka dan aku melangkah masuk. Namun, ketika pintu akan tertutup, tiba-tiba sebuah tangan menahannya.Aku kaget—“Pak Rama?”Rama tersenyum ramah padaku. Lalu, dia ikut masuk ke dalam lift.“Kamu sudah mau pulang?” tanya Rama saat sama-sama di dalam lift.“Iya, Pak,” jawabku.“Saya antar.”“Eh, gak usah, Pak!”—lagi-lagi aku di