Aku tidak menyangka kalau akan bertemu Rama di perusahaan tempatku wawancara. Lebih terkejut lagi, ternyata Rama adalah manager pemasaran perusahaan tersebut, seseorang yang akan menjadi atasanku jika aku diterima bekerja di sana.
“Baik, Bu Rani, terima kasih sudah datang untuk wawancara! mengenai hasilnya, nanti akan kami kabarkan melalui surel Ibu.” “Iya, terima kasih!” Lega rasanya setelah keluar dari ruang wawancara. Aku tidak tahu apakah akan diterima atau ditolak. Jika memang ditolak, aku tidak akan kecewa. Aku sudah cukup senang karena ternyata masih ada perusahaan yang mempertimbangkan daftar riwayat hidupku. Hal ini memicu kembali optimisku. Pintu lift terbuka dan aku melangkah masuk. Namun, ketika pintu akan tertutup, tiba-tiba sebuah tangan menahannya. Aku kaget—“Pak Rama?” Rama tersenyum ramah padaku. Lalu, dia ikut masuk ke dalam lift. “Kamu sudah mau pulang?” tanya Rama setelah kami sama-sama di dalam lift. “Iya, Pak.” “Saya antar.” “Eh, gak usah, Pak!” Lagi-lagi aku dibuat kaget oleh orang ini. “Saya ingin menjenguk Mas Arya,” ungkap Rama. “Sebelumnya kami belum saling bertemu langsung dan mengobrol, jadi saya mau menjenguk beliau lagi.” “Oh,”—aku bingung. Rasanya jadi serba salah. Tidak enak kalau menerima, tapi juga tidak enak kalau menolak. “Jadi, bagaimana? Saya antar, ya! Kebetulan setelah ini saya juga mau ada urusan di luar.” “Ehm ...,”—berat, tapi mau tidak mau aku mengangguk—“ya sudah.” Ketika sudah di dalam mobil, Rama banyak mengajakku bicara. Mungkin, agar suasana di antara kami tidak terlalu canggung. “Jadi, Mbak Rani ini S1 management dan sebelumnya pernah jadi asisten manajer?” Aku sangat yakin Rama hanya basa-basi. Sebab, semua itu sudah tercantum dalam daftar riwayat hidup yang kupakai untuk melamar di perusahaannya, dan pasti saat wawancara tadi dia sudah membacanya. Meskipun demikian, aku tetap menjawab pertanyaan itu dengan sopan. “Iya, tapi sudah dulu sekali sebelum saya punya anak.” “Kenapa dulu berhenti dan gak kerja lagi? Padahal, ‘kan, bisa saja ambil cuti dari kantor. Gak boleh sama suami, ya?” tanya Rama setelahnya. “Eh, maaf! bukan maksudku mengusik ranah pribadi. Hanya saja, sayang rasanya kalau latar pendidikan dan riwayat pekerjaan kamu yang bagus itu diabaikan karena faktor usia. Sebagai pelaku di dunia kerja negara ini, “Kita tentunya sama-sama tahu kalau usia juga menentukan nasip seseorang. Mau sebagus apapun CV, kalau mereka dianggap tidak lincah dan tidak bisa dibohongi, ya mereka tetap kalah.” Iya, aku setuju dengan Rama mengenai hal ini. Realita tersebut memang benar adanya. Bahkan, saat membuat CV kali ini aku juga lumayan pesimis melihat usiaku yang sudah tergolong tidak produktif. Namun, setelah kupikir lagi, rasanya aku terlalu meremehkan kuasa Tuhan jika berpikir demikian. Aku mencoba menjelaskan kepada Rama mengenai apa yang kuyakini itu. “Tidak apa, Pak, saya sangat paham dengan apa yang Pak Rama pikirkan. Dulu, saat saya menulis CV untuk pertama kali, saya juga merasa pesimis karena tidak memiliki pengalaman kerja yang dicari banyak perusahaan. “Namun, pada akhirnya saya berhasil mendapatkan pekerjaan, yang mana sekarang bisa saya masukkan ke dalam daftar riwayat hidup. Hal yang tidak diduga lagi, sekalipun dianggap kurang mumpuni dari segi usia, saya tetap dipanggil wawancara oleh perusahaan Bapak. Bukankah hal ini cukup menunjukkan kebenaran tentang rezeki yang tidak akan salah tempat?” “Wow! Luar biasa ternyata pemikiran Mbak Rani ini. Bijak, optimistis, cerdas, sangat sempurna menjadi perempuan,” puji Rama. Aku menyanggah, “Pak Rama berlebihan.” “Tidak, saya serius,” ucap Rama. “Sayangnya, ada satu kekurangan.” “Apa itu kalau boleh saya tahu?” tanyaku dengan sedikit cemas, takut mungkin aku telah mengatakan atau melakukan hal yang tidak seharusnya. “Kekurangan Mbak Rani itu,”—aku menanti—“karena memanggil saya bapak.” Aku menghela napas lega. “Astaga!” Kami berdua akhirnya sama-sama tertawa. “Setelah melihat CV kamu tadi, ternyata kita seumuran. Jadi, jangan panggil saya bapak!" perintah Rama. "Bagaimana kalau agar lebih akrab, kita pakai bahasa yang lebih santai saja? tidak perlu pakai panggilan pak, mas, atau mbak. Cukup langsung panggil nama saja." Aku ragu. "Apa tidak apa-apa? Kok, rasanya seperti tidak sopan." Rama menjawab, "Sama sekali tidak masalah. Selama kita tidak sedang berada di kantor dan di depan karyawan lain.” Aku merasa sedikit aneh dengan kalimat tersebut. Rama berkata demikian seolah kami akan benar-benar sekantor saja. “Iya, baiklah, ... Rama.” "Nice! Terdengar lebih nyaman masuk telinga." Perbincangan kami berdua akhirnya mengalir lebih santai dari sebelumnya. Saking santainya, aku bahkan sampai bisa bercerita tentang keluarga kecilku. “Menyenangkan sepertinya kalau bisa bertemu dengan Rico. Sayang sekali kemarin aku ketemunya dalam kondisi yang tidak pas.” Aku melihat jam tangan. “Sepertinya kamu akan bisa bertemu Rico setelah ini, karena seharusnya sekarang dia sudah pulang sekolah.” “Wah, jadi semakin tidak sabar ketemu sama jagoan kecilmu!” Asyik mengobrol, tanpa sadar kami sudah dekat dengan gang rumahku. Aku segera memberi aba-aba kepada Rama. “Rama, maaf, nanti berhenti di depan gang depan sana!” Kening Rama mengkerut—“Kenapa di depan gang?” “Oh iya, aku belum bilang sama kamu kalau gang rumahku gak bisa dilewati mobil,” terangku. “Kamu ... gak apa-apa, ‘kan, kalau jalan kaki sebentar masuk ke gang begitu? Gak jauh kok, jalannya.” “Santai! aku bukan orang yang malas jalan kaki atau anti masuk gang perkampungan,” jawab Rama. Aku tersenyum lega—“Syukurlah kalau begitu!” Tidak lama kemudian, Rama menghentikan mobilnya di depan gang rumahku. Kami berdua turun dari mobil lalu lanjut berjalan kaki sampai tiba di rumahku. Sesampainya di rumah, Mas Arya yang sedang memperbaiki perkakas dapur di teras lantas menyambut kedatangan kami. Kulihat raut wajah Mas Arya yang sepertinya bingung melihatku pulang bersama Rama. Sangat pantas jika Mas Arya kaget dan bingung. Sebab, aku tadi lupa memberi kabar padanya kalau Rama akan mengantarku pulang. Aku tidak mau Mas Arya salah paham. Jadi, sebelum Mas Arya bertanya, aku sudah lebih dulu menjelaskan kronologi yang membuatku bisa pulang dengan Rama. Meskipun suamiku bukan tipe suami yang gampang cemburu dan menuduh macam-macam, tetap saja aku merasa tidak tenang. Aku tidak mau sampai Mas Arya salah paham. “Mas,”—kucium tangan Mas Arya. Kukenalkan Rama pada Mas Arya. Kujelaskan siapa Rama padanya dan bagaimana kami bertemu hari ini sampai akhirnya aku diantar pulang. Setelah saling kenal dan tahu cerita lengkapnya, Mas Arya dan Rama pun saling mengobrol santai. “Mas Arya, bagaimana keadaannya?” tanya Rama. Mas Arya menjawab, “Ya seperti yang Mas Rama lihat, masih harus pakai tongkat. Namun, syukurnya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.” Rama juga sempat mengajak Rico mengobrol dan bercanda. Tidak kuduga, ternyata Rama sangat ramah dan bisa membaur dengan anak kecil seperti Rico. “Oh iya, sampai lupa. Silakan masuk, Mas Rama!” ucap Mas Arya mengajak Rama duduk di dalam rumah. “Ah, gak usah, Mas! Maaf, saya gak bisa lam—” “Akhirnya kamu pulang juga, Rani!”—ibu tiba-tiba keluar dari dalam rumah sambil marah-marah—“beliin ibu HP baru! HP ibu rusak.” “Ibu!” Aku harap ibu paham dengan kodeku yang memintanya diam. Aku tidak enak dengan Rama. Namun, siapa sangka, yang dilakukan ibu setelahnya justru semakin membuatku melotot tidak percaya.Aku memberi isyarat pada ibu agar dia diam. Aku tidak enak jika Rama melihat tingkah dan mendengar omelan ibuku. “Ibu!” “Apa, sih?” “Ibu masuk aja! iya, nanti Rani belikan HP baru, tapi sekarang ibu masuk dulu!” Ibu benar-benar tidak paham dengan kode yang kuberikan. Dia masih saja mengomel tentang ponselnya yang rusak dan banyak hal lainnya. Aku tidak bisa membuat ibu masuk ke dalam rumah. Sehingga, mau tidak mau aku yang harus membuat Rama segera pergi dari rumah kami. “E ... Rama, terima kasih sudah mengantar dan juga mengunjungi Mas Arya!” ucapku pada Rama. Rama yang sepertinya paham dengan maksudku lantas segera menanggapi. “Oh, iya, kalau begitu ak—” “Siapa kamu?” tanya ibu tiba-tiba kepada Rama. Aku, Rama, dan Mas Arya saling menatap bergantian. Tidak lama setelahnya, Rama terlihat membenarkan jas serta dasinya. Dia berdehem terlebih dahulu sebelum akhirnya memperkenalkan diri. “Saya Rama, Ibu, kenalannya Mas Arya dan Rani,” jawab Rama. “Kenalan?
Setelah kemarin menerima surel dari Glow Hardware dan mengetahui bahwa aku diterima menjadi Personal Asisten Rama yang merupakan manajer pemasaran di sana, hari ini aku kembali bertemu dengan kepala bidang pengembangan SDM untuk menanyakan tentang isi dari surel tersebut. “Semoga tidak bertemu dengan Rama!” Begitulah harapanku saat menginjakkan kaki di kantor Glow-H. Saat menyambangi bagian SDM, pada akhirnya aku tahu bahwa mereka tidak melakukan kesalahan. Aku sungguh diterima sebagai asisten Rama dan itu semua adalah permintaan dari Rama langsung.“Maaf, Bu, apa saya tidak bisa ganti ke posisi yang saya lamar saja?” tanyaku ke kepala SDM. “Maaf sekali, Rani, tapi posisi yang kamu lamar kemarin sudah diisi dengan orang lain. Jika kamu menolak untuk menjadi PA Pak Rama, artinya untuk saat ini kamu tidak bisa bergabung dengan perusahaan kami,” jelas wanita di hadapanku.Jika seperti ini, tentu saja aku sudah tidak bisa lagi berbuat apapun. Sekarang pilihanku hanya ada dua, bekerja
Aku kembali ke kamarku usai menidurkan Rico. Kulihat Mas Arya masih duduk bersandar di headboard sembari menggulir layar ponselnya. “Serius banget, lihat apa, sih?” “Ini loh, aku lagi cari kerja remote,” jawab Mas Arya. “Mas kenapa harus cari kerjaan lagi? bukannya udah buka jasa servis elektronik? Tuh, di ruang tamu masih ada Tv tetangga yang belum dibenerin.” “Ya gak apa, sambil kerja lainnya juga.” “Mas, aku udah dapat kerja yang lumayan bagus, gajinya juga lumayan walaupun gak besar banget, cukuplah kalau untuk kehidupan sehari-hari. Jadi, Mas gak harus banyak kerja yang berat-berat dulu.” “Gak berat, kok, Sayang. Cuma duduk sambil mainin HP apanya yang berat, coba? Lagipula, sebagai kepala keluarga mas juga gak bisa cuma diam saja. Mas harus bisa nafkahin kamu sama Rico.” Benar, sepertinya aku harus memahami posisi itu. “Iya-iya, ya sudah, Mas boleh cari kerja tambahan, tapi janji jangan sampai bikin tambah sakit.” “Iya, janji.” Aku naik ke tempat tidur dan
Mobil Rama memasuki area parkir basement sebuah apartemen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Glow-H.“Ayo turun!” ajak Rama usai memarkirkan mobilnya.“Kita kenapa ke sini, Pak?” tanyaku.“Bukannya tadi sudah kukatakan kalau aku mau ganti baju?”“Iya, aku tahu itu, tapi ... argh! Maksudku, kenapa aku harus ikut?” Keresahan batinku ini tentu saja tidak ku suarakan.“Rani, ayo turun!” ajak Rama lagi. “Memangnya kamu mau menunggu di mobil?”Aku reflek mengangguk ketika mendengar pertanyaan itu. Namun, Rama sungguh tidak membiarkanku melakukannya. Dia memaksaku turun dan mengikutinya hingga ke unit apartemennya. Tombol kunci pintu mulai berbunyi. Aku tidak sengaja melihat beberapa angka sandi kamar Rama.“Sandinya 7494.”“Ha?”“Sandi kamar apartemenku 7494, kamu ingat-ingat!”Aku kaget dan bingung. “Untuk apa?” tanyaku.“Agar sewaktu-waktu jika aku tidak bisa dihubungi kamu bisa mencariku ke sini,” jawab Rama. Aku masih tidak mengerti. Aku tidak tahu kalau sebagai PA aku perlu men
Setelah drama yang kualami pagi ini, pada akhirnya aku sampai juga di kantor. Dan di hari pertamaku bekerja, aku sudah akan langsung menemani Rama rapat dengan direktur. Setibanya di depan ruangan direktur ....“Ibu di dalam?” tanya Rama kepada seorang perempuan muda.“Iya. Silakan masuk, Pak! Bapak sudah ditunggu Bu Velin di dalam.”Perempuan itu mengantar dan membukakan pintu ruangan direktur untuk kami. Ruangan milik Velinda Rusli, putri ketiga komisaris utama Glow-H, Rusli Samid Saddam. Dengan kata lain, wanita yang saat ini kami temui, dia adalah kakak tiri Rama.“Oh, kamu sudah datang,” ucap Bu Velin begitu melihat eksistensi Rama di ruangannya.Rama tidak mengatakan apapun. Dia hanya menundukkan kepala sebagai tanda penghormatannya.Bu Velin bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan menuju sofa yang ada di tengah ruangan. “Duduklah!” perintahnya kepada Rama.Masih tanpa mengatakan apapun, Rama mengikuti perintahnya. Dia duduk di sofa dengan posisi berseberangan dengan si direkt
Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul empat. Artinya, sekarang aku sudah bisa pulang. Aku menoleh ke ruang kerja Rama dan di balik dinding kaca terlihat atasanku itu masih fokus menatap layar tabletnya. Hal tersebut membuatku ingat pada pesan Amel yang menyebut bahwa Rama adalah orang yang gila kerja dan harus sering-sering diingatkan untuk berhenti.Pada awalnya aku ragu untuk menegur Rama dan menyuruhnya pulang. Namun, setelah tiga puluh menit berlalu dan dia masih bergeming di ruangannya, aku pun menghampirinya. “Pak, sudah waktunya pulang,” ucapku mengingatkan.Rama memutus pandangannya dari layar tablet dan langsung menoleh ke arahku. “Oh, benarkah?” Rama lantas melihat jam tangannya kemudian beralih menatap jendela di salah satu sisi ruangan. “Ah, benar. Baiklah, kamu bisa pulang, Rani.”“Lalu Bapak?” tanyaku.“Oh, ... aku akan tinggal sebentar lagi. Tidak apa, kamu pulanglah dulu.”“Saya tidak akan pulang kalau Bapak tidak pulang.”Rama menghela napas. “Ternyata kamu s
“Ibu pulang!”“Ibu!”Aku tiba di rumah dan langsung disambut oleh pelukan putra tersayangku. Sepertinya, situasi saat ini yang mengharuskanku meninggalkan rumah hampir setengah hari, sama-sama terasa asing untuk kami berdua yang biasa bersama hampir sehari penuh.Aku yang biasanya menemani Rico bermain, yang biasanya menemani dia tidur siang, dan yang biasa mengejarnya agar segera mandi sore tiba-tiba saja tidak melakukannya. Rasanya aneh, seperti aku telah kehilangan sesuatu. Mungkinkah Rico juga merasakan perasaan aneh yang sama seperti yang kurasakan?“Anak ibu sudah makan malam belum?”—aku mengangkat kantung plastik yang kubawa—“ini, ibu bawa makanan Jepang buat Rico sama ayah, buat nenek juga.”“Yeay! Makanan Jepang!” Rico berseru senang, tapi tidak lama kemudian dia tampak berpikir. “Kayak gimana itu, Bu, rasanya makanan Jepang?” tanyanya kemudian.Aku dan Mas Arya tertawa karena gemas. Hanya saja, di balik tawa itu aku merasa sedikit sedih. Rico belum pernah mencoba berbagai m
Mobil Rama sudah kembali terparkir di depan salah satu toko penjualan milik Glow-H. Ini adalah toko kedua yang kami datangi hari ini. “Ayo!” ajak Rama untuk turun dari mobil.“Rama, ini kita masih harus pura-pura jadi suami istri seperti tadi?” tanyaku. Rama pun mengangguk. “Tidak bisa kah kita pura-pura jadi saudara saja? atau, kalau tidak, kita sebagai diri sendiri saja, sebagai teman.”“Saudara dan teman macam apa yang ke store peralatan rumah tangga seperti ini?” balas Rama bertanya, “orang justru bisa curiga kalau kita sedang menyamar, atau mungkin mereka akan berpikir kita ini dua orang yang sedang berselingkuh dan tengah merencanakan tinggal bersama.”Perkataan Rama membuatku bergidik. Kalimat itu terdengar sangat menyeramkan. Namun, apa yang dikatakan Rama memang masuk akal. Jika aku jadi pelayan tokonya, mungkin aku juga akan berpikir bahwa kami adalah pasangan. Jika bukan pasangan sah, maka artinya pasangan selingkuh.“Sudah, ayo turun!” ajak Rama lagi.Kali ini aku tidak b
Setelah mendapat pesan dari Mas Arya, kini pikiranku tidak bisa lagi fokus pada rapat. Ketika melihat foto perabotan-perabotan renovasi kamar Rico yang dikirim oleh Mas Arya, aku sadar akan sesuatu.Aku tidak bisa menjelaskan banyak hal ke Mas Arya. Hanya bisa menghindarinya untuk sementara waktu dan menjadikan rapat sebagai alasan. Setelah rapat selesai, aku menyanding Rama, mengikuti langkahnya dan berjalan disampingnya. Aku tunjukkan foto dari Mas Arya kepada Rama. “Pak, Bapak yang kirim ini ke rumah saya?”Rama melihat foto itu. “Oh, sudah datang?”Aku sontak menatap Rama. Aku tidak mengerti. “Pak ... untuk apa?”“Bukannya kamu bilang Rico menyukai itu?”“I-iya, tapi ... tapi kenapa Bapak membelikannya?” “Tentu saja sebagai hadiah dari saya untuk Rico.” Rama lantas menghentikan langkahnya dan berbalik menghhadapku. “Saya harap kamu ataupun Mas Arya gak menolaknya. Saya tulus mau kasih hadiah ke Rico. Saya mau Rico senang.”Kami saling menatap mata satu sama lain cukup lama dan
Aku berbisik di dekat telinga Mas Arya. “Bersiaplah Mas ....” Lalu, kulumat mesra cupingnya.Ah, aku bisa mendengar helaan napas Mas Arya yang begitu sexy. Aku rindu, rasanya seperti sudah cukup lama tidak mendengarnya.Aku lepas lumatanku dan menjauhkan kepalaku darinya dengan posisi masih menduduki tubuh Mas Arya yang terbaring. Kupandangi wajahnya yang ada di bawahku. “Ternyata aku kangen banget sama kamu, Mas.”“Mas juga kangen sama kamu, Ran.”Kami sama-sama tersenyum. Aku tahu kami saling menginginkan satu sama lain. Sehingga, tanpa menunda lagi akhirnya kukecup bibir Mas Arya.Tidak cukup sekali, aku mengecupnya berkali-kali hingga lambat laun kecupan itu menjadi jauh lebih panas dan berubah jadi lumatan yang penuh gairah. Tanganku pun dengan reflek menarik tangan Mas Arya, menggenggam dan menjatuhkannya di samping kanan-kiri kepalanya. Malam ini ... aku yang memegang kendali.Puas dengan saling melumat di bibir, kini aku mulai menginginkan lebih. Aku mulai bergerak di atas Mas
Anakku, Rico, berlari menghampiriku dan memelukku. Dia lantas bertanya, “Ibun, Ibun kenapa makan di sini?”Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Kulihat Mas Arya hanya diam sambil menatapku.“Ibun ....” Baru aku mau mencoba memberi alasan, Mas Arya sudah lebih dulu menyela.“Rico, katanya mau es krim, ayo kita beli! Biar ibun di sini dulu selesaikan makannya.”“Iya, Yah,” ucap Rico pada Mas Arya. Setelah itu, dia kembali menatapku dan bicara. “Ibun, Rico beli es krim sama ayah dulu, ya. Ayo, Yah!” Mas Arya mengangguk sambil tersenyum. “Ayo.” Sementara Rico sudah berlari memasuki toko, Mas Arya berkata padaku, “Kamu habiskan dulu saja makananmu, gak usah buru-buru, aku tunggu. Nanti kita pulang bareng.”“Iya, Mas,” sahutku.Mas Arya berlalu meninggalkanku, menyusul Rico masuk ke dalam toko. “Sial!” umpatku dalam batin, “kenapa harus ketahuan?”Sepanjang perjalanan pulang sampai kami tiba di rumah, Mas Arya terlihat tidak banyak bicara. Dia bahkan hanya diam ketika kami hanya be
Sambil menikmati makan siang, Rama bercerita cukup banyak mengenai keluarganya. Hal itu membuatku tahu seperti apa posisi Rama di keluarga Saddam Rusli yang sebenarnya serta seperti apa hubungannya dengan Ashle. Mengenai status Rama di keluarga Rusli, semuanya persis seperti yang sebelumnya pernah diceritakan Amel padaku. Dan mengenai Ashle, dia adalah adik kandung Rama. Setelah meninggalkan keluarga Rusli, beberapa tahun kemudian mama Rama menikah dengan orang asing dan meninggalkan Indonesia. Dari pernikahan itulah Rama lantas memiliki Ashle sebagai adik perempuannya.Saat bercerai, kedua orang tua Rama sepakat bahwa Rama akan ikut mamanya. Meskipun papa Rama tidak setuju, tapi pada akhirnya dia membiarkan mantan istri keduanya membawa putra mereka. Barulah setelah mama Rama meninggal, Rama yang saat itu berusia belasan kembali diambil sang Papa dan dibawa pulang ke Indonesia. Keluarga besar Rusli tentu saja tidak sepenuhnya menerima kedatangan Rama. Walaupun pernikahan kedua ora
Mobil Rama sudah kembali terparkir di depan salah satu toko penjualan milik Glow-H. Ini adalah toko kedua yang kami datangi hari ini. “Ayo!” ajak Rama untuk turun dari mobil.“Rama, ini kita masih harus pura-pura jadi suami istri seperti tadi?” tanyaku. Rama pun mengangguk. “Tidak bisa kah kita pura-pura jadi saudara saja? atau, kalau tidak, kita sebagai diri sendiri saja, sebagai teman.”“Saudara dan teman macam apa yang ke store peralatan rumah tangga seperti ini?” balas Rama bertanya, “orang justru bisa curiga kalau kita sedang menyamar, atau mungkin mereka akan berpikir kita ini dua orang yang sedang berselingkuh dan tengah merencanakan tinggal bersama.”Perkataan Rama membuatku bergidik. Kalimat itu terdengar sangat menyeramkan. Namun, apa yang dikatakan Rama memang masuk akal. Jika aku jadi pelayan tokonya, mungkin aku juga akan berpikir bahwa kami adalah pasangan. Jika bukan pasangan sah, maka artinya pasangan selingkuh.“Sudah, ayo turun!” ajak Rama lagi.Kali ini aku tidak b
“Ibu pulang!”“Ibu!”Aku tiba di rumah dan langsung disambut oleh pelukan putra tersayangku. Sepertinya, situasi saat ini yang mengharuskanku meninggalkan rumah hampir setengah hari, sama-sama terasa asing untuk kami berdua yang biasa bersama hampir sehari penuh.Aku yang biasanya menemani Rico bermain, yang biasanya menemani dia tidur siang, dan yang biasa mengejarnya agar segera mandi sore tiba-tiba saja tidak melakukannya. Rasanya aneh, seperti aku telah kehilangan sesuatu. Mungkinkah Rico juga merasakan perasaan aneh yang sama seperti yang kurasakan?“Anak ibu sudah makan malam belum?”—aku mengangkat kantung plastik yang kubawa—“ini, ibu bawa makanan Jepang buat Rico sama ayah, buat nenek juga.”“Yeay! Makanan Jepang!” Rico berseru senang, tapi tidak lama kemudian dia tampak berpikir. “Kayak gimana itu, Bu, rasanya makanan Jepang?” tanyanya kemudian.Aku dan Mas Arya tertawa karena gemas. Hanya saja, di balik tawa itu aku merasa sedikit sedih. Rico belum pernah mencoba berbagai m
Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul empat. Artinya, sekarang aku sudah bisa pulang. Aku menoleh ke ruang kerja Rama dan di balik dinding kaca terlihat atasanku itu masih fokus menatap layar tabletnya. Hal tersebut membuatku ingat pada pesan Amel yang menyebut bahwa Rama adalah orang yang gila kerja dan harus sering-sering diingatkan untuk berhenti.Pada awalnya aku ragu untuk menegur Rama dan menyuruhnya pulang. Namun, setelah tiga puluh menit berlalu dan dia masih bergeming di ruangannya, aku pun menghampirinya. “Pak, sudah waktunya pulang,” ucapku mengingatkan.Rama memutus pandangannya dari layar tablet dan langsung menoleh ke arahku. “Oh, benarkah?” Rama lantas melihat jam tangannya kemudian beralih menatap jendela di salah satu sisi ruangan. “Ah, benar. Baiklah, kamu bisa pulang, Rani.”“Lalu Bapak?” tanyaku.“Oh, ... aku akan tinggal sebentar lagi. Tidak apa, kamu pulanglah dulu.”“Saya tidak akan pulang kalau Bapak tidak pulang.”Rama menghela napas. “Ternyata kamu s
Setelah drama yang kualami pagi ini, pada akhirnya aku sampai juga di kantor. Dan di hari pertamaku bekerja, aku sudah akan langsung menemani Rama rapat dengan direktur. Setibanya di depan ruangan direktur ....“Ibu di dalam?” tanya Rama kepada seorang perempuan muda.“Iya. Silakan masuk, Pak! Bapak sudah ditunggu Bu Velin di dalam.”Perempuan itu mengantar dan membukakan pintu ruangan direktur untuk kami. Ruangan milik Velinda Rusli, putri ketiga komisaris utama Glow-H, Rusli Samid Saddam. Dengan kata lain, wanita yang saat ini kami temui, dia adalah kakak tiri Rama.“Oh, kamu sudah datang,” ucap Bu Velin begitu melihat eksistensi Rama di ruangannya.Rama tidak mengatakan apapun. Dia hanya menundukkan kepala sebagai tanda penghormatannya.Bu Velin bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan menuju sofa yang ada di tengah ruangan. “Duduklah!” perintahnya kepada Rama.Masih tanpa mengatakan apapun, Rama mengikuti perintahnya. Dia duduk di sofa dengan posisi berseberangan dengan si direkt
Mobil Rama memasuki area parkir basement sebuah apartemen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Glow-H.“Ayo turun!” ajak Rama usai memarkirkan mobilnya.“Kita kenapa ke sini, Pak?” tanyaku.“Bukannya tadi sudah kukatakan kalau aku mau ganti baju?”“Iya, aku tahu itu, tapi ... argh! Maksudku, kenapa aku harus ikut?” Keresahan batinku ini tentu saja tidak ku suarakan.“Rani, ayo turun!” ajak Rama lagi. “Memangnya kamu mau menunggu di mobil?”Aku reflek mengangguk ketika mendengar pertanyaan itu. Namun, Rama sungguh tidak membiarkanku melakukannya. Dia memaksaku turun dan mengikutinya hingga ke unit apartemennya. Tombol kunci pintu mulai berbunyi. Aku tidak sengaja melihat beberapa angka sandi kamar Rama.“Sandinya 7494.”“Ha?”“Sandi kamar apartemenku 7494, kamu ingat-ingat!”Aku kaget dan bingung. “Untuk apa?” tanyaku.“Agar sewaktu-waktu jika aku tidak bisa dihubungi kamu bisa mencariku ke sini,” jawab Rama. Aku masih tidak mengerti. Aku tidak tahu kalau sebagai PA aku perlu men