Aku tidak menyangka kalau akan bertemu Rama di perusahaan tempatku wawancara. Lebih terkejut lagi, ternyata Rama adalah manager pemasaran perusahaan tersebut, seseorang yang akan menjadi atasanku jika aku diterima bekerja di sana.
“Baik, Bu Rani, terima kasih sudah datang untuk wawancara! mengenai hasilnya, nanti akan kami kabarkan melalui surel Ibu.”
“Iya, terima kasih!”
Lega rasanya setelah keluar dari ruang wawancara. Aku tidak tahu apakah akan diterima atau ditolak.
Jika memang ditolak, aku tidak akan kecewa. Aku sudah cukup senang karena ternyata masih ada perusahaan yang mempertimbangkan daftar riwayat hidupku. Hal ini memicu kembali optimisku.
Pintu lift terbuka dan aku melangkah masuk. Namun, ketika pintu akan tertutup, tiba-tiba sebuah tangan menahannya.
Aku kaget—“Pak Rama?”
Rama tersenyum ramah padaku. Lalu, dia ikut masuk ke dalam lift.
“Kamu sudah mau pulang?” tanya Rama saat sama-sama di dalam lift.
“Iya, Pak,” jawabku.
“Saya antar.”
“Eh, gak usah, Pak!”—lagi-lagi aku dibuat kaget oleh orang ini.
“Saya ingin menjenguk suami kamu,” ungkap Rama, “sebelumnya, kami belum saling bertemu langsung dan mengobrol, jadi saya mau menjenguk beliau lagi.”
“Oh,”—aku bingung.
Rasanya jadi serba salah. Tidak enak kalau menerima, tapi juga tidak enak kalau menolak.
“Jadi, bagaimana? saya antar, ya! kebetulan setelah ini saya juga mau ada urusan di luar.”
“Ehm ...,”—berat, tapi mau tidak mau aku mengangguk—“ya sudah.”
Ketika sudah di dalam mobil, Rama banyak mengajakku bicara. Mungkin, agar suasana di antara kami tidak terlalu canggung.
“Jadi, kamu ini S1 management dan sebelumnya pernah jadi asisten manager?”
Aku sangat yakin Rama hanya basa-basi. Sebab, semua itu sudah tercantum dalam daftar riwayat hidup yang kupakai untuk melamar di perusahaannya, dan pasti saat wawancara tadi dia sudah membacanya. Meskipun demikian, aku tetap menjawab pertanyaan itu dengan sopan.
“Iya, tapi sudah dulu sekali sebelum saya punya anak.”
“Kenapa dulu berhenti dan gak kerja lagi? padahal, ‘kan, bisa saja ambil cuti dari kantor. Gak boleh sama suami, ya?” tanya Rama setelahnya.
“Eh, maaf! bukan maksudku mengusik ranah pribadi. Hanya saja, sayang rasanya kalau latar pendidikan dan riwayat pekerjaan kamu yang bagus itu diabaikan karena faktor usia. Sebagai pelaku di dunia kerja negara ini,
“Kita tentunya sama-sama tahu kalau usia juga menentukan nasip seseorang. Mau sebagus apapun CV, kalau mereka dianggap tidak lincah dan tidak bisa dibohongi, ya mereka tetap kalah.”
Iya, aku setuju dengan Rama mengenai hal ini. Realita tersebut memang benar adanya. Bahkan, saat membuat CV kali ini aku juga lumayan pesimis melihat usiaku yang sudah tergolong tidak produktif. Namun, setelah kupikir lagi, rasanya aku terlalu meremehkan kuasa Tuhan jika berpikir demikian.
Aku mencoba menjelaskan kepada Rama mengenai apa yang kuyakini itu. “Tidak apa, Pak, saya sangat paham dengan apa yang Pak Rama pikirkan. Dulu, saat saya menulis CV untuk pertama kali, saya juga merasa pesimis karena tidak memiliki pengalaman kerja yang dicari banyak perusahaan.
“Namun, pada akhirnya saya berhasil mendapatkan pekerjaan, yang mana sekarang bisa saya masukkan ke dalam daftar riwayat hidup. Hal yang tidak diduga lagi, sekalipun dianggap kurang mumpuni dari segi usia, saya tetap dipanggil wawancara oleh perusahaan Bapak. Bukankah hal ini cukup menunjukkan kebenaran tentang rezeki yang tidak akan salah tempat?”
“Wow! luar biasa pemikiran kamu!” seru Rama, “bijak, optimistis, cerdas, sangat sempurna menjadi perempuan,” pujinya.
Aku menyanggah, “Pak Rama berlebihan,”
“Tidak, saya serius,” ucap Rama, “kamu cuma punya satu kekurangan,” lanjutnya.
“Apa itu, Pak, kalau boleh saya tahu?” tanyaku dengan sedikit cemas, takut mungkin aku telah melakukan hal yang tidak seharusnya kulakukan.
“Kekurangan kamu itu,”—aku menanti—“kamu panggil saya Bapak.”
Aku menghela napas lega. “Astaga!” Kami berdua akhirnya sama-sama tertawa.
“Kita tidak sedang berada di kantor, jadi tidak perlu panggil pak dan bicara sangat formal. Aku pikir aku tidak setua itu untuk kamu panggil pak. Aku lebih senang kamu panggil mas seperti saat di rumah sakit, atau mungkin lebih baik kalau langsung panggil nama aja, Rama.”
“Oh, iya, maaf kalau mungkin Pak—eh, Mas Rama jadi risih karena panggilan itu. Jujur, aku sungkan. Siapa yang menyangka kalau Mas Rama itu manager di tempat aku melamar kerja?”
Perbincangan kami berdua pun mengalir lebih santai dari sebelumnya. Saking santainya, aku bahkan sampai bisa cerita tentang seperti apa pintar dan menggemaskannya anakku, Rico.
“Menyenangkan sepertinya kalau bisa bertemu dengan Rico. Sayang sekali kemarin aku ketemunya dalam kondisi yang tidak pas.”
Aku melihat jam tangan. “Sepertinya Mas Rama akan bisa bertemu Rico setelah ini, karena seharusnya dia sudah pulang sekolah.”
“Wah, jadi semakin tidak sabar ketemu sama jagoan kecilmu!”
Asyik mengobrol, tanpa sadar kami sudah dekat dengan gang rumahku. Aku segera memberi aba-aba kepada Rama.
“Mas Rama, maaf, nanti berhenti di depan gang depan sana!”
Kening Rama mengkerut—“Kenapa di depan gang?”
“Oh iya, aku belum bilang sama Mas kalau gang rumahku gak bisa dilewati mobil,” terangku. “Mas ... gak apa-apa, ‘kan, kalau jalan kaki sebentar masuk ke gang begitu? gak jauh kok, jalannya.”
“Santai! aku bukan orang yang malas jalan kaki atau anti masuk gang perkampungan,” jawab Rama.
Aku tersenyum lega—“Syukurlah kalau begitu!”
Tidak lama kemudian, Rama menghentikan mobilnya di depan gang rumahku. Kami berdua turun dari mobil lalu lanjut berjalan kaki sampai tiba di rumahku.
Sesampainya di rumah, Mas Arya yang sedang memperbaiki perkakas dapur di teras lantas menyambut kedatangan kami. Kulihat raut wajah Mas Arya yang sepertinya bingung melihatku pulang bersama Rama.
Sangat pantas jika Mas Arya kaget dan bingung. Sebab, aku tadi lupa memberi kabar padanya kalau Rama akan mengantarku pulang.
Aku tidak mau Mas Arya salah paham. Jadi, sebelum Mas Arya bertanya, aku sudah lebih dulu menjelaskan kronologi yang membuatku bisa pulang dengan Rama.
Meskipun suamiku bukan tipe suami yang gampang cemburu dan menuduh macam-macam, tetap saja aku merasa tidak tenang. Aku tidak mau sampai Mas Arya salah paham.
“Mas,”—kucium tangan Mas Arya.
Kukenalkan Rama pada Mas Arya. Kujelaskan siapa Rama padanya dan bagaimana kami bertemu hari ini sampai akhirnya aku diantar pulang. Setelah saling kenal dan tahu cerita lengkapnya, Mas Arya dan Rama pun saling mengobrol santai.
“Mas Arya, bagaimana keadaannya?” tanya Rama.
Mas Arya menjawab, “Ya ... seperti yang Mas Rama lihat, masih harus di kursi roda. Namun, syukurnya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.”
Rama juga sempat mengajak Rico mengobrol dan bercanda. Tidak kuduga, ternyata Rama sangat ramah dan bisa membaur dengan anak kecil seperti Rico.
“Oh iya, sampai lupa! masuk, Ram!” ucap Mas Arya mengajak Rama duduk di dalam rumah.
“Ah, gak usah, Mas! maaf, saya gak bisa lam—”
“Akhirnya kamu pulang juga, Rani!”—ibu tiba-tiba keluar dari dalam rumah sambil marah-marah—“beliin ibu HP baru! HP ibu rusak.”
“Ibu!”
Aku harap ibu paham dengan kodeku yang memintanya diam. Aku tidak enak dengan Rama. Namun, siapa sangka, yang dilakukan ibu setelahnya justru semakin membuatku melotot tidak percaya.
Aku memberi isyarat pada ibu agar dia diam. Aku tidak enak jika Rama melihat tingkah dan mendengar omelan ibuku.“Ibu!”“Apa, sih?”“Ibu masuk aja! iya, nanti Rani belikan HP baru, tapi sekarang ibu masuk dulu!”Ibu benar-benar tidak paham dengan kode yang kuberikan. Dia masih saja mengomel tentang ponselnya yang rusak dan banyak hal lainnya.Aku tidak bisa membuat ibu masuk ke dalam rumah. Sehingga, mau tidak mau aku yang harus membuat Rama segera pergi dari rumah kami. “E ... Mas Rama, terima kasih sudah mengantar dan juga mengunjungi Mas Arya!” ucapku pada Rama.Rama yang sepertinya paham dengan maksudku lantas segera menanggapi. “Oh, iya, kalau begitu ak—”“Siapa kamu?” tanya ibu tiba-tiba kepada Rama.Aku, Rama, dan Mas Arya saling menatap bergantian. Tidak lama setelahnya, Rama terlihat membenarkan jas serta dasinya. Dia berdehem terlebih dahulu sebelum akhirnya memperkenalkan diri. “Saya Rama, Ibu, kenalannya Mas Arya dan Rani,” jawab Rama.“Kenalan?”—aku melihat ibu memperh
Setelah kemarin menerima surel dari Glow Hardware dan mengetahui bahwa aku diterima menjadi Personal Asisten Rama yang merupakan manajer pemasaran di sana, hari ini aku kembali bertemu dengan kepala bidang pengembangan SDM untuk menanyakan tentang isi dari surel tersebut. “Semoga tidak bertemu dengan Rama!” Begitulah harapanku saat menginjakkan kaki di kantor Glow-H. Saat menyambangi bagian SDM, pada akhirnya aku tahu bahwa mereka tidak melakukan kesalahan. Aku sungguh diterima sebagai asisten Rama dan itu semua adalah permintaan dari Rama langsung.“Maaf, Bu, apa saya tidak bisa ganti ke posisi yang saya lamar saja?” tanyaku ke kepala SDM. “Maaf sekali, Rani, tapi posisi yang kamu lamar kemarin sudah diisi dengan orang lain. Jika kamu menolak untuk menjadi PA Pak Rama, artinya untuk saat ini kamu tidak bisa bergabung dengan perusahaan kami,” jelas wanita di hadapanku.Jika seperti ini, tentu saja aku sudah tidak bisa lagi berbuat apapun. Sekarang pilihanku hanya ada dua, bekerja
Aku kembali ke kamarku usai menidurkan Rico. Kulihat Mas Arya masih duduk bersandar di headboard sembari menggulir layar ponselnya. “Serius banget, lihat apa, sih?”“Ini loh, aku lagi cari kerja remote,” jawab Mas Arya.“Mas kenapa harus cari kerjaan lagi? bukannya udah buka jasa servis elektronik? Tuh, di ruang tamu masih ada Tv tetangga yang belum dibenerin.”“Ya gak apa, sambil kerja lainnya juga.”“Mas, aku udah dapat kerja yang lumayan bagus, gajinya juga lumayan walaupun gak besar banget, cukuplah kalau untuk kehidupan sehari-hari. Jadi, Mas gak harus banyak kerja yang berat-berat dulu.”“Gak berat, kok, Sayang. Cuma duduk sambil mainin HP apanya yang berat, coba? Lagipula, sebagai kepala keluarga mas juga gak bisa cuma diam saja. Mas harus bisa nafkahin kamu sama Rico.”Benar, sepertinya aku harus memahami posisi itu. “Iya-iya, ya sudah, Mas boleh cari kerja tambahan, tapi janji jangan sampai bikin tambah sakit.” “Iya, janji.” Aku naik ke tempat tidur dan masuk ke dalam selim
Mobil Rama memasuki area parkir basement sebuah apartemen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Glow-H.“Ayo turun!” ajak Rama usai memarkirkan mobilnya.“Kita kenapa ke sini, Pak?” tanyaku.“Bukannya tadi sudah kukatakan kalau aku mau ganti baju?”“Iya, aku tahu itu, tapi ... argh! Maksudku, kenapa aku harus ikut?” Keresahan batinku ini tentu saja tidak ku suarakan.“Rani, ayo turun!” ajak Rama lagi. “Memangnya kamu mau menunggu di mobil?”Aku reflek mengangguk ketika mendengar pertanyaan itu. Namun, Rama sungguh tidak membiarkanku melakukannya. Dia memaksaku turun dan mengikutinya hingga ke unit apartemennya. Tombol kunci pintu mulai berbunyi. Aku tidak sengaja melihat beberapa angka sandi kamar Rama.“Sandinya 7494.”“Ha?”“Sandi kamar apartemenku 7494, kamu ingat-ingat!”Aku kaget dan bingung. “Untuk apa?” tanyaku.“Agar sewaktu-waktu jika aku tidak bisa dihubungi kamu bisa mencariku ke sini,” jawab Rama. Aku masih tidak mengerti. Aku tidak tahu kalau sebagai PA aku perlu men
“Dikiranya diajak pindah ke Jakarta itu karena di sini sudah punya rumah gedongan, tahunya cuma rumah kecil di gang perkampungan kayak gini.”Sama seperti pagi sebelumnya, omelan pagi ini datang dari ibuku yang baru keluar dari kamarnya.“Mana listrik gampang padam, gak ada AC, kalau musim hujan banjir,” lanjut ibu. “Ibu!” panggilku, “sudah seminggu, loh, Ibu ngomel gini terus, gak capek apa, Bu? masih untung Mas Arya bisa kasih kita tempat tinggal layak, terlebih lagi ini bukan kontrakan tapi rumah kita sendiri, harusnya Ibu itu bersyukur!”“Idih, layak apanya kalau setiap musim hujan kebanjiran. Bersyukur-bersyukur, apanya yang mau disyukuri?” Panas, aku tidak tahan lagi. “Bersyukur karena sudah Rani dan Mas Arya ajak tinggal bersama di Jakarta, gak jadi gembel di Yogja,” sahutku.“Eh-eh-eh, kamu ini kasar ya, sama ibu, kenapa? gak ikhlas kamu ajak ibu ke sini? itu mulu diungkit-ungkit.”“Ibu juga itu mulu yang diungkit-ungkit,” gumamku pelan.Aku sudah muak mendengar ocehan ibu y
Aku setengah berlari memasuki rumah sakit. Aku yang buru-buru akhirnya tidak sengaja menabrak seseorang. “Maaf!” ucapku reflek. Aku hanya menatap sekilas orang yang bertabrakan denganku. “Iya, tidak ap—”“Maaf, saya buru-buru! sekali lagi, saya minta maaf!” ucapku dengan sedikit membungkuk, hingga kemudian kembali berlari ke UGD. Sesampainya di UGD ....“Ibun!”Hatiku yang sejak tadi tidak karuan seketika jadi lebih tenang setelah mendengar teriakan bocah laki-lakiku. Terlihat Rico dan Mas Arya berada di tempat tidur yang sama dengan tangan yang masih sama-sama diinfus. Kata perawat, Rico tadi menangis dan meminta satu tempat tidur dengan ayahnya.“Rico! Mas Arya!”—aku menghampiri mereka.“Ibun~”Rico langsung bangkit duduk dan memelukku. Sebisa mungkin kuberikan pelukan terhangatku berharap itu bisa memberinya rasa nyaman. Sementara Mas Arya, dia menatapku dengan senyuman di wajahnya. Aku tahu dia sedang berusaha menenangkanku dengan senyuman itu.Lega rasanya melihat kedua laki-
Mas Arya bekerja sebagai salah seorang teknisi di salah satu perusahaan. Salah satu orang yang bisa dikatakan beruntung karena bisa mendapat pekerjaan yang cukup bagus dengan persaingan keras di ibu kota. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat aku dan Mas Arya syukuri. Meskipun, tidak jarang suamiku mendapat perlakuan buruk serta fitnah dari rekan kerjanya sendiri. Tahu Mas Arya dipecat, aku tidak bisa menerimanya. Aku pergi ke tempat kerja Mas Arya untuk bertemu langsung dengan atasannya. Bisa-bisanya di saat kondiri pegawainya mengalami musibah, perusahaan justru membuangnya.Hanya saja, sesampainya di sana, aku justru semakin merasa kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja menemukan sebuah fakta menyakitkan, bahwa ternyata rekan-rekan kerja Mas Arya sendiri lah yang sudah menghasut atasan mereka untuk memecatnya. “Ungtung Pak Darko mau ikuti saran gue, jadinya itu orang sok suci dipecat juga sekarang!”“Iya, hahaha!” sahut orang-orang lainnya.Begitu aku melaporkan hal tersebut dan