Aku memasuki rumah sakit dengan sedikit berlari. Dan aku yang tengah terburu-buru pada akhirnya tidak sengaja menabrak seseorang.
“Maaf!” ucapku reflek. Aku hanya menatap sekilas orang yang bertabrakan denganku. “Iya, tidak ap—” “Maaf, saya buru-buru! Sekali lagi, saya minta maaf!” ucapku dengan sedikit membungkukkan badan. Setelahnya, aku kembali berlari ke UGD. Sesampainya di UGD .... “Ibun!” panggil Rico. Hatiku yang sejak tadi tidak karuan seketika jadi lebih tenang setelah mendengar suara putraku. Terlihat Rico dan Mas Arya berada di tempat tidur yang sama dengan tangan yang masih sama-sama diinfus. Kata perawat, Rico tadi menangis dan meminta satu tempat tidur dengan ayahnya. Aku menghampiri mereka. “Rico! Mas Arya!” “Ibun~” Rico langsung bangkit duduk dan memelukku. Sebisa mungkin kuberikan pelukanku yang paling hangat untuk anak semata wayangku itu. Aku berharap hal tersebut bisa memberinya rasa nyaman. Sementara Mas Arya, dia menatapku dengan senyuman di wajahnya. Aku tahu dia sedang berusaha menenangkanku dengan senyuman itu. Lega rasanya melihat kedua laki-laki yang kucintai masih membuka mata mereka untukku. Namun, sedih rasanya saat melihat kaki Mas Arya yang harus disanggah oleh alat. “Kalian baik-baik saja? ... Mas?” tanyaku yang menuntut jawab. Mas Arya menjawab, “Mas gak apa-apa, Sayang, ini buktinya Mas masih hidup.” “Ish! Gak lucu!” protesku. “Aku serius, Mas. Bagaimana kata dokter?” Mas Arya menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku dengan serius. "Tulang kaki mas patah dan harus dioperasi. Harus dipasang pen." Hatiku seolah meluruh mendengarnya. “Cobaan apa lagi ini?” pikirku. “Kamu tenang aja, ya!” kata Mas Arya, “operasiku bakal dicover kantor. Lalu, untuk kebutuhan hidup kita beberapa waktu ke depan ... gak apa, ‘kan, kalau kita pakai uang tabungan dulu?” “Astaga, Mas, kamu masih aja pikirin biaya. Kamu gak usah pikirin itu. Sekarang, yang paling penting itu kamu operasi terus sembuh. Masalah uang nanti kita bisa cari lagi.” Mas Arya kembali tersenyum. “Iya, terima kasih, ya, Sayang!” Aku kesal mendengar kalimat itu. “Terima kasih buat apa, sih, Mas?” “Terima kasih karena sudah jadi istriku yang baik dan manis.” “Dih, masih saja!” sahutku, yang mana hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Mas Arya. Aku tidak tahu, tapi sepertinya pipiku saat ini sedang merona. Mungkin, jika ada orang yang melihat kami seperti ini, mereka akan berpikir bahwa kami berlebihan. Sebab, di usia yang sudah 'berkepala’ tiga, tingkah kami kadang masih seperti remaja baru pacaran. Malam harinya .... Aku melihat lampu di atas pintu ruang operasi masih menyala merah. Tandanya, Mas Arya masih belum selesai dioperasi. “Maaf, permisi!” Seorang laki-laki menghampiriku lalu menyapa. Aku tidak mengenalnya, akan tetapi wajahnya seperti pernah kulihat sebelumnya. “Iya, siapa ya?” tanyaku. “Oh, perkenalkan,”—pria itu mengulurkan tangannya—“saya Rama, orang yang pagi tadi membawa Mas Arya ke sini. Saya tahu dari receptionis kalau Mas Arya saat ini sedang operasi, jadi saya ke sini.” “Oh,”—aku menjabat tangan laki-laki bernama Rama itu—“Rani,” sebutku. Setelah perkenalan itu, pada akhirnya kami berdua mulai berbincang. Ternyata, Rama adalah orang yang tadi pagi bertabrakan badan denganku di depan pintu masuk UGD. Tidak hanya itu, dia juga merupakan orang yang menolong Mas Arya dan membantu membawanya ke rumah sakit. Kecelakaan Mas Arya tadi pagi adalah kecelakaan tunggal. Rama hanya orang yang tidak sengaja ada di mobil di belakang Mas Arya. “Maaf kalau tadi saya tinggal pergi, tadi saya sudah ditunggu untuk rapat di kantor,” terang Rama. “Oh, iya, tidak apa-apa. Saya yang seharusnya berterima kasih karena Mas Rama sudah membawa suami saya ke rumah sakit.” “Ehm ... bagaimana dengan anak Mbak?” “Dia masih sedikit syok, tapi untungnya kata dokter dia baik-baik saja. Sudah dipindah ke ruang rawat inap juga dan sekarang sedang tidur ditemani ibu saya.” “Ah, syukurlah, kalau begitu!” ucap Rama. “Jadi, Mas Rama yang pagi tadi telepon saya?” “Bukan, itu bukan saya. Itu tadi orang setempat yang ikut bantu, saya minta beliau menelepon Mbak pakai HP Mas Arya.” “Oh~ begitu!” “Iya.” Percakapanku dan Rama pun berlanjut tidak lama. Sebab, setelah itu lampu ruang operasi sudah berubah warna. “Sepertinya operasinya sudah selesai,” kata Rama. “Iya.” “Ehm ... Mbak Rani, kalau begitu saya pamit dulu, saya masih ada acara,” lanjut Rama. “Eh, iya. Terima kasih banyak sudah mau mengunjungi Mas Arya! Nanti saya sampaikan ke suami saya kalau Mas Rama berkunjung.” Rama tidak mengatakan apapun. Dia hanya mengangguk dan tersenyum. Namun, tidak lama setelah itu, sebelum pergi dia lebih dulu menyodoriku selembar kartu kecil. “Ini kartu nama saya, jika ada sesuatu jangan sungkan untuk menghubungiku!” jelas Rama. Aku menerima kartu tersebut dan sekilas melihat nama yang tertera di sana sambil mengangguk. Setelahnya, kami pun berpisah. Aku mengikuti Mas Arya yang dibawa ke ruang inap. Sedangkan Rama, dia berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Aku berani berkata bahwa Rama adalah orang yang baik. Jarang di zaman sekarang bisa bertemu dengan orang yang mau menolong orang lain seperti dia. Aku bersyukur Mas Arya dipertemukan dengan orang baik seperti Rama. Ku simpan kartu nama tadi lalu kembali fokus pada pengobatan dan pemulihan Mas Arya serta Rico. Setelah tiga hari di rumah sakit, pada akhirnya Mas Rama diizinkan pulang, sehari setelah Rico pulang lebih dulu. Kami pulang dengan menngunakan becak motor. Aku tidak bisa membawa pulang Mas Arya dengan motor kami karena sekarang motor itu sudah rusak parah. “Hati-hati, Mas!” Aku bantu Mas Arya turun dari becak, lalu kutuntun dia masuk ke dalam rumah. Baru kaki ini melangkah melewati pintu, gendang telingaku sudah dengan cepat disapa oleh kata-kata tidak mengenakkan dari ibu. “Berangkat kerja bukannya balik bawa uang, eh, malah ngabisin uang.” Aku menghela napas jengah. “Biarlah, uang-uang Mas Arya sendiri ini,” sahutku lirih. “Hush!” tegur Mas Arya kepadaku. “Maaf, Bu, Arya kena musibah, memang harusnya Arya lebih hati-hati.” “Sudah tahu miskin, gegayaan gak hati-hati di jalan. Kalau lukamu parah, mau bayar biaya rumah sakit pakai apa kamu? Daun?” Mas Arya menjawab pertanyaan ibu sambil tersenyum. “Arya dapat asuransi dari perusahaan, kok, Bu.” “Halah! Asuransi gak bisa buat makan aja dibanggain,” ucap ibu sebelum akhirnya kembali masuk ke kamar. Aku sudah ingin berkata-kata kasar. Jika saja aku tidak ingat di rumah ada Rico dan tidak ingat yang bicara tadi adalah ibuku, mungkin sekarang rumah kami sudah ramai dengan pertengkaran. “Sudah, Sayang, kita ke kamar saja!” Mas Arya mengusap lembut tanganku sambil tersenyum hangat. Aku tidak bisa tidak luluh jika sudah diperlakukan seperti itu. Hingga akhirnya, aku pun melupakan perlakuan ibu tadi dan membawa Mas Arya ke kamar. “Baringan aja, Mas!” pintaku sembari membantu Mas Arya naik ke tempat tidur. “Ran, bisa minta tolong ambilkan HP mas? sudah dua hari ini mas tidak tahu kabar di tempat kerja. Mas tidak tenang.” “Iya, Mas, sebentar.” Aku ambilkan HP Mas Arya dan memberikannya ke sang pemilik. Kutinggalkan dia sebentar untuk mengeluarkan beberapa barang dari tas dan meletakkan pakaian-pakaian kotor ke belakang. Namun, saat kembali ke kamar, aku melihat raut wajah Mas Arya sudah berbeda. Aku khawatir—“Ada apa, Mas?” Mas Arya yang sebelumnya menatap lurus ke depan, kini menoleh menatapku. “Mas dipecat.”Mas Arya bekerja sebagai salah seorang teknisi di salah satu pabrik. Seseorang yang bisa dikatakan beruntung karena bisa mendapat pekerjaan yang cukup bagus dengan persaingan keras di ibu kota. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat aku dan Mas Arya syukuri. Meskipun, tidak jarang suamiku mendapat perlakuan buruk serta fitnah dari rekan kerjanya sendiri. Tahu Mas Arya dipecat, aku tidak bisa menerimanya. Aku pergi ke tempat kerja Mas Arya untuk bertemu langsung dengan sang atasan. Bisa-bisanya di saat kondisi pegawainya mengalami musibah, perusahaan justru membuangnya. Hanya saja, sesampainya di sana, aku justru semakin merasa kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja menemukan sebuah fakta menyakitkan, bahwa ternyata rekan-rekan kerja Mas Arya sendiri lah yang sudah menghasut atasan mereka agar memecat Mas Arya. “Ungtung Pak Darko mau ikuti saran gue, jadinya itu orang sok suci dipecat juga sekarang!” “Iya, hahaha!” sahut orang-orang lainnya. Begitu aku melaporkan hal terse
Aku tidak menyangka kalau akan bertemu Rama di perusahaan tempatku wawancara. Lebih terkejut lagi, ternyata Rama adalah manager pemasaran perusahaan tersebut, seseorang yang akan menjadi atasanku jika aku diterima bekerja di sana. “Baik, Bu Rani, terima kasih sudah datang untuk wawancara! mengenai hasilnya, nanti akan kami kabarkan melalui surel Ibu.” “Iya, terima kasih!” Lega rasanya setelah keluar dari ruang wawancara. Aku tidak tahu apakah akan diterima atau ditolak. Jika memang ditolak, aku tidak akan kecewa. Aku sudah cukup senang karena ternyata masih ada perusahaan yang mempertimbangkan daftar riwayat hidupku. Hal ini memicu kembali optimisku. Pintu lift terbuka dan aku melangkah masuk. Namun, ketika pintu akan tertutup, tiba-tiba sebuah tangan menahannya. Aku kaget—“Pak Rama?” Rama tersenyum ramah padaku. Lalu, dia ikut masuk ke dalam lift. “Kamu sudah mau pulang?” tanya Rama setelah kami sama-sama di dalam lift. “Iya, Pak.” “Saya antar.” “Eh, gak usah, Pak!” Lagi-l
Aku memberi isyarat pada ibu agar dia diam. Aku tidak enak jika Rama melihat tingkah dan mendengar omelan ibuku. “Ibu!” “Apa, sih?” “Ibu masuk aja! iya, nanti Rani belikan HP baru, tapi sekarang ibu masuk dulu!” Ibu benar-benar tidak paham dengan kode yang kuberikan. Dia masih saja mengomel tentang ponselnya yang rusak dan banyak hal lainnya. Aku tidak bisa membuat ibu masuk ke dalam rumah. Sehingga, mau tidak mau aku yang harus membuat Rama segera pergi dari rumah kami. “E ... Rama, terima kasih sudah mengantar dan juga mengunjungi Mas Arya!” ucapku pada Rama. Rama yang sepertinya paham dengan maksudku lantas segera menanggapi. “Oh, iya, kalau begitu ak—” “Siapa kamu?” tanya ibu tiba-tiba kepada Rama. Aku, Rama, dan Mas Arya saling menatap bergantian. Tidak lama setelahnya, Rama terlihat membenarkan jas serta dasinya. Dia berdehem terlebih dahulu sebelum akhirnya memperkenalkan diri. “Saya Rama, Ibu, kenalannya Mas Arya dan Rani,” jawab Rama. “Kenalan?
Setelah kemarin menerima surel dari Glow Hardware dan mengetahui bahwa aku diterima menjadi Personal Asisten Rama yang merupakan manajer pemasaran di sana, hari ini aku kembali bertemu dengan kepala bidang pengembangan SDM untuk menanyakan tentang isi dari surel tersebut. “Semoga tidak bertemu dengan Rama!” Begitulah harapanku saat menginjakkan kaki di kantor Glow-H. Saat menyambangi bagian SDM, pada akhirnya aku tahu bahwa mereka tidak melakukan kesalahan. Aku sungguh diterima sebagai asisten Rama dan itu semua adalah permintaan dari Rama langsung.“Maaf, Bu, apa saya tidak bisa ganti ke posisi yang saya lamar saja?” tanyaku ke kepala SDM. “Maaf sekali, Rani, tapi posisi yang kamu lamar kemarin sudah diisi dengan orang lain. Jika kamu menolak untuk menjadi PA Pak Rama, artinya untuk saat ini kamu tidak bisa bergabung dengan perusahaan kami,” jelas wanita di hadapanku.Jika seperti ini, tentu saja aku sudah tidak bisa lagi berbuat apapun. Sekarang pilihanku hanya ada dua, bekerja
Aku kembali ke kamarku usai menidurkan Rico. Kulihat Mas Arya masih duduk bersandar di headboard sembari menggulir layar ponselnya. “Serius banget, lihat apa, sih?” “Ini loh, aku lagi cari kerja remote,” jawab Mas Arya. “Mas kenapa harus cari kerjaan lagi? bukannya udah buka jasa servis elektronik? Tuh, di ruang tamu masih ada Tv tetangga yang belum dibenerin.” “Ya gak apa, sambil kerja lainnya juga.” “Mas, aku udah dapat kerja yang lumayan bagus, gajinya juga lumayan walaupun gak besar banget, cukuplah kalau untuk kehidupan sehari-hari. Jadi, Mas gak harus banyak kerja yang berat-berat dulu.” “Gak berat, kok, Sayang. Cuma duduk sambil mainin HP apanya yang berat, coba? Lagipula, sebagai kepala keluarga mas juga gak bisa cuma diam saja. Mas harus bisa nafkahin kamu sama Rico.” Benar, sepertinya aku harus memahami posisi itu. “Iya-iya, ya sudah, Mas boleh cari kerja tambahan, tapi janji jangan sampai bikin tambah sakit.” “Iya, janji.” Aku naik ke tempat tidur dan
Mobil Rama memasuki area parkir basement sebuah apartemen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Glow-H.“Ayo turun!” ajak Rama usai memarkirkan mobilnya.“Kita kenapa ke sini, Pak?” tanyaku.“Bukannya tadi sudah kukatakan kalau aku mau ganti baju?”“Iya, aku tahu itu, tapi ... argh! Maksudku, kenapa aku harus ikut?” Keresahan batinku ini tentu saja tidak ku suarakan.“Rani, ayo turun!” ajak Rama lagi. “Memangnya kamu mau menunggu di mobil?”Aku reflek mengangguk ketika mendengar pertanyaan itu. Namun, Rama sungguh tidak membiarkanku melakukannya. Dia memaksaku turun dan mengikutinya hingga ke unit apartemennya. Tombol kunci pintu mulai berbunyi. Aku tidak sengaja melihat beberapa angka sandi kamar Rama.“Sandinya 7494.”“Ha?”“Sandi kamar apartemenku 7494, kamu ingat-ingat!”Aku kaget dan bingung. “Untuk apa?” tanyaku.“Agar sewaktu-waktu jika aku tidak bisa dihubungi kamu bisa mencariku ke sini,” jawab Rama. Aku masih tidak mengerti. Aku tidak tahu kalau sebagai PA aku perlu men
Setelah drama yang kualami pagi ini, pada akhirnya aku sampai juga di kantor. Dan di hari pertamaku bekerja, aku sudah akan langsung menemani Rama rapat dengan direktur. Setibanya di depan ruangan direktur ....“Ibu di dalam?” tanya Rama kepada seorang perempuan muda.“Iya. Silakan masuk, Pak! Bapak sudah ditunggu Bu Velin di dalam.”Perempuan itu mengantar dan membukakan pintu ruangan direktur untuk kami. Ruangan milik Velinda Rusli, putri ketiga komisaris utama Glow-H, Rusli Samid Saddam. Dengan kata lain, wanita yang saat ini kami temui, dia adalah kakak tiri Rama.“Oh, kamu sudah datang,” ucap Bu Velin begitu melihat eksistensi Rama di ruangannya.Rama tidak mengatakan apapun. Dia hanya menundukkan kepala sebagai tanda penghormatannya.Bu Velin bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan menuju sofa yang ada di tengah ruangan. “Duduklah!” perintahnya kepada Rama.Masih tanpa mengatakan apapun, Rama mengikuti perintahnya. Dia duduk di sofa dengan posisi berseberangan dengan si direkt
Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul empat. Artinya, sekarang aku sudah bisa pulang. Aku menoleh ke ruang kerja Rama dan di balik dinding kaca terlihat atasanku itu masih fokus menatap layar tabletnya. Hal tersebut membuatku ingat pada pesan Amel yang menyebut bahwa Rama adalah orang yang gila kerja dan harus sering-sering diingatkan untuk berhenti.Pada awalnya aku ragu untuk menegur Rama dan menyuruhnya pulang. Namun, setelah tiga puluh menit berlalu dan dia masih bergeming di ruangannya, aku pun menghampirinya. “Pak, sudah waktunya pulang,” ucapku mengingatkan.Rama memutus pandangannya dari layar tablet dan langsung menoleh ke arahku. “Oh, benarkah?” Rama lantas melihat jam tangannya kemudian beralih menatap jendela di salah satu sisi ruangan. “Ah, benar. Baiklah, kamu bisa pulang, Rani.”“Lalu Bapak?” tanyaku.“Oh, ... aku akan tinggal sebentar lagi. Tidak apa, kamu pulanglah dulu.”“Saya tidak akan pulang kalau Bapak tidak pulang.”Rama menghela napas. “Ternyata kamu s
Setelah mendapat pesan dari Mas Arya, kini pikiranku tidak bisa lagi fokus pada rapat. Ketika melihat foto perabotan-perabotan renovasi kamar Rico yang dikirim oleh Mas Arya, aku sadar akan sesuatu.Aku tidak bisa menjelaskan banyak hal ke Mas Arya. Hanya bisa menghindarinya untuk sementara waktu dan menjadikan rapat sebagai alasan. Setelah rapat selesai, aku menyanding Rama, mengikuti langkahnya dan berjalan disampingnya. Aku tunjukkan foto dari Mas Arya kepada Rama. “Pak, Bapak yang kirim ini ke rumah saya?”Rama melihat foto itu. “Oh, sudah datang?”Aku sontak menatap Rama. Aku tidak mengerti. “Pak ... untuk apa?”“Bukannya kamu bilang Rico menyukai itu?”“I-iya, tapi ... tapi kenapa Bapak membelikannya?” “Tentu saja sebagai hadiah dari saya untuk Rico.” Rama lantas menghentikan langkahnya dan berbalik menghhadapku. “Saya harap kamu ataupun Mas Arya gak menolaknya. Saya tulus mau kasih hadiah ke Rico. Saya mau Rico senang.”Kami saling menatap mata satu sama lain cukup lama dan
Aku berbisik di dekat telinga Mas Arya. “Bersiaplah Mas ....” Lalu, kulumat mesra cupingnya.Ah, aku bisa mendengar helaan napas Mas Arya yang begitu sexy. Aku rindu, rasanya seperti sudah cukup lama tidak mendengarnya.Aku lepas lumatanku dan menjauhkan kepalaku darinya dengan posisi masih menduduki tubuh Mas Arya yang terbaring. Kupandangi wajahnya yang ada di bawahku. “Ternyata aku kangen banget sama kamu, Mas.”“Mas juga kangen sama kamu, Ran.”Kami sama-sama tersenyum. Aku tahu kami saling menginginkan satu sama lain. Sehingga, tanpa menunda lagi akhirnya kukecup bibir Mas Arya.Tidak cukup sekali, aku mengecupnya berkali-kali hingga lambat laun kecupan itu menjadi jauh lebih panas dan berubah jadi lumatan yang penuh gairah. Tanganku pun dengan reflek menarik tangan Mas Arya, menggenggam dan menjatuhkannya di samping kanan-kiri kepalanya. Malam ini ... aku yang memegang kendali.Puas dengan saling melumat di bibir, kini aku mulai menginginkan lebih. Aku mulai bergerak di atas Mas
Anakku, Rico, berlari menghampiriku dan memelukku. Dia lantas bertanya, “Ibun, Ibun kenapa makan di sini?”Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Kulihat Mas Arya hanya diam sambil menatapku.“Ibun ....” Baru aku mau mencoba memberi alasan, Mas Arya sudah lebih dulu menyela.“Rico, katanya mau es krim, ayo kita beli! Biar ibun di sini dulu selesaikan makannya.”“Iya, Yah,” ucap Rico pada Mas Arya. Setelah itu, dia kembali menatapku dan bicara. “Ibun, Rico beli es krim sama ayah dulu, ya. Ayo, Yah!” Mas Arya mengangguk sambil tersenyum. “Ayo.” Sementara Rico sudah berlari memasuki toko, Mas Arya berkata padaku, “Kamu habiskan dulu saja makananmu, gak usah buru-buru, aku tunggu. Nanti kita pulang bareng.”“Iya, Mas,” sahutku.Mas Arya berlalu meninggalkanku, menyusul Rico masuk ke dalam toko. “Sial!” umpatku dalam batin, “kenapa harus ketahuan?”Sepanjang perjalanan pulang sampai kami tiba di rumah, Mas Arya terlihat tidak banyak bicara. Dia bahkan hanya diam ketika kami hanya be
Sambil menikmati makan siang, Rama bercerita cukup banyak mengenai keluarganya. Hal itu membuatku tahu seperti apa posisi Rama di keluarga Saddam Rusli yang sebenarnya serta seperti apa hubungannya dengan Ashle. Mengenai status Rama di keluarga Rusli, semuanya persis seperti yang sebelumnya pernah diceritakan Amel padaku. Dan mengenai Ashle, dia adalah adik kandung Rama. Setelah meninggalkan keluarga Rusli, beberapa tahun kemudian mama Rama menikah dengan orang asing dan meninggalkan Indonesia. Dari pernikahan itulah Rama lantas memiliki Ashle sebagai adik perempuannya.Saat bercerai, kedua orang tua Rama sepakat bahwa Rama akan ikut mamanya. Meskipun papa Rama tidak setuju, tapi pada akhirnya dia membiarkan mantan istri keduanya membawa putra mereka. Barulah setelah mama Rama meninggal, Rama yang saat itu berusia belasan kembali diambil sang Papa dan dibawa pulang ke Indonesia. Keluarga besar Rusli tentu saja tidak sepenuhnya menerima kedatangan Rama. Walaupun pernikahan kedua ora
Mobil Rama sudah kembali terparkir di depan salah satu toko penjualan milik Glow-H. Ini adalah toko kedua yang kami datangi hari ini. “Ayo!” ajak Rama untuk turun dari mobil.“Rama, ini kita masih harus pura-pura jadi suami istri seperti tadi?” tanyaku. Rama pun mengangguk. “Tidak bisa kah kita pura-pura jadi saudara saja? atau, kalau tidak, kita sebagai diri sendiri saja, sebagai teman.”“Saudara dan teman macam apa yang ke store peralatan rumah tangga seperti ini?” balas Rama bertanya, “orang justru bisa curiga kalau kita sedang menyamar, atau mungkin mereka akan berpikir kita ini dua orang yang sedang berselingkuh dan tengah merencanakan tinggal bersama.”Perkataan Rama membuatku bergidik. Kalimat itu terdengar sangat menyeramkan. Namun, apa yang dikatakan Rama memang masuk akal. Jika aku jadi pelayan tokonya, mungkin aku juga akan berpikir bahwa kami adalah pasangan. Jika bukan pasangan sah, maka artinya pasangan selingkuh.“Sudah, ayo turun!” ajak Rama lagi.Kali ini aku tidak b
“Ibu pulang!”“Ibu!”Aku tiba di rumah dan langsung disambut oleh pelukan putra tersayangku. Sepertinya, situasi saat ini yang mengharuskanku meninggalkan rumah hampir setengah hari, sama-sama terasa asing untuk kami berdua yang biasa bersama hampir sehari penuh.Aku yang biasanya menemani Rico bermain, yang biasanya menemani dia tidur siang, dan yang biasa mengejarnya agar segera mandi sore tiba-tiba saja tidak melakukannya. Rasanya aneh, seperti aku telah kehilangan sesuatu. Mungkinkah Rico juga merasakan perasaan aneh yang sama seperti yang kurasakan?“Anak ibu sudah makan malam belum?”—aku mengangkat kantung plastik yang kubawa—“ini, ibu bawa makanan Jepang buat Rico sama ayah, buat nenek juga.”“Yeay! Makanan Jepang!” Rico berseru senang, tapi tidak lama kemudian dia tampak berpikir. “Kayak gimana itu, Bu, rasanya makanan Jepang?” tanyanya kemudian.Aku dan Mas Arya tertawa karena gemas. Hanya saja, di balik tawa itu aku merasa sedikit sedih. Rico belum pernah mencoba berbagai m
Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul empat. Artinya, sekarang aku sudah bisa pulang. Aku menoleh ke ruang kerja Rama dan di balik dinding kaca terlihat atasanku itu masih fokus menatap layar tabletnya. Hal tersebut membuatku ingat pada pesan Amel yang menyebut bahwa Rama adalah orang yang gila kerja dan harus sering-sering diingatkan untuk berhenti.Pada awalnya aku ragu untuk menegur Rama dan menyuruhnya pulang. Namun, setelah tiga puluh menit berlalu dan dia masih bergeming di ruangannya, aku pun menghampirinya. “Pak, sudah waktunya pulang,” ucapku mengingatkan.Rama memutus pandangannya dari layar tablet dan langsung menoleh ke arahku. “Oh, benarkah?” Rama lantas melihat jam tangannya kemudian beralih menatap jendela di salah satu sisi ruangan. “Ah, benar. Baiklah, kamu bisa pulang, Rani.”“Lalu Bapak?” tanyaku.“Oh, ... aku akan tinggal sebentar lagi. Tidak apa, kamu pulanglah dulu.”“Saya tidak akan pulang kalau Bapak tidak pulang.”Rama menghela napas. “Ternyata kamu s
Setelah drama yang kualami pagi ini, pada akhirnya aku sampai juga di kantor. Dan di hari pertamaku bekerja, aku sudah akan langsung menemani Rama rapat dengan direktur. Setibanya di depan ruangan direktur ....“Ibu di dalam?” tanya Rama kepada seorang perempuan muda.“Iya. Silakan masuk, Pak! Bapak sudah ditunggu Bu Velin di dalam.”Perempuan itu mengantar dan membukakan pintu ruangan direktur untuk kami. Ruangan milik Velinda Rusli, putri ketiga komisaris utama Glow-H, Rusli Samid Saddam. Dengan kata lain, wanita yang saat ini kami temui, dia adalah kakak tiri Rama.“Oh, kamu sudah datang,” ucap Bu Velin begitu melihat eksistensi Rama di ruangannya.Rama tidak mengatakan apapun. Dia hanya menundukkan kepala sebagai tanda penghormatannya.Bu Velin bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan menuju sofa yang ada di tengah ruangan. “Duduklah!” perintahnya kepada Rama.Masih tanpa mengatakan apapun, Rama mengikuti perintahnya. Dia duduk di sofa dengan posisi berseberangan dengan si direkt
Mobil Rama memasuki area parkir basement sebuah apartemen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Glow-H.“Ayo turun!” ajak Rama usai memarkirkan mobilnya.“Kita kenapa ke sini, Pak?” tanyaku.“Bukannya tadi sudah kukatakan kalau aku mau ganti baju?”“Iya, aku tahu itu, tapi ... argh! Maksudku, kenapa aku harus ikut?” Keresahan batinku ini tentu saja tidak ku suarakan.“Rani, ayo turun!” ajak Rama lagi. “Memangnya kamu mau menunggu di mobil?”Aku reflek mengangguk ketika mendengar pertanyaan itu. Namun, Rama sungguh tidak membiarkanku melakukannya. Dia memaksaku turun dan mengikutinya hingga ke unit apartemennya. Tombol kunci pintu mulai berbunyi. Aku tidak sengaja melihat beberapa angka sandi kamar Rama.“Sandinya 7494.”“Ha?”“Sandi kamar apartemenku 7494, kamu ingat-ingat!”Aku kaget dan bingung. “Untuk apa?” tanyaku.“Agar sewaktu-waktu jika aku tidak bisa dihubungi kamu bisa mencariku ke sini,” jawab Rama. Aku masih tidak mengerti. Aku tidak tahu kalau sebagai PA aku perlu men