Aku setengah berlari memasuki rumah sakit. Aku yang buru-buru akhirnya tidak sengaja menabrak seseorang.
“Maaf!” ucapku reflek. Aku hanya menatap sekilas orang yang bertabrakan denganku. “Iya, tidak ap—” “Maaf, saya buru-buru! sekali lagi, saya minta maaf!” ucapku dengan sedikit membungkuk, hingga kemudian kembali berlari ke UGD. Sesampainya di UGD .... “Ibun!” Hatiku yang sejak tadi tidak karuan seketika jadi lebih tenang setelah mendengar teriakan bocah laki-lakiku. Terlihat Rico dan Mas Arya berada di tempat tidur yang sama dengan tangan yang masih sama-sama diinfus. Kata perawat, Rico tadi menangis dan meminta satu tempat tidur dengan ayahnya. “Rico! Mas Arya!”—aku menghampiri mereka. “Ibun~” Rico langsung bangkit duduk dan memelukku. Sebisa mungkin kuberikan pelukan terhangatku berharap itu bisa memberinya rasa nyaman. Sementara Mas Arya, dia menatapku dengan senyuman di wajahnya. Aku tahu dia sedang berusaha menenangkanku dengan senyuman itu. Lega rasanya melihat kedua laki-laki yang kucintai masih membuka mata mereka untukku. Namun, kulihat kaki Mas Arya disangkah oleh alat. “Kalian baik-baik saja? ... Mas?” tanyaku menuntut jawab. “Mas gak apa-apa, Sayang, ini buktinya Mas masih hidup,” jawab Mas Arya. “Ish! gak lucu!” protesku. “Aku serius, Mas. Bagaimana kata dokter?” tanyaku lagi. Kali ini Mas Arya menjawab pertanyaanku dengan serius. Katanya, dia harus dioperasi karena tulang kaki kirinya patah. Hatiku seolah meluruh mendengarnya. “Cobaan apa lagi?” pikirku. “Kamu tenang aja, ya!” kata Mas Arya, “operasiku bakal dicover kantor, dan untuk kebutuhan hidup beberapa waktu ke depan ... gak apa, ‘kan, kalau pakai uang tabungan kita dulu?” “Astaga, Mas, kamu masih aja pikirin biaya, kamu gak usah pikirin itu! yang penting sekarang kamu operasi terus sembuh. Masalah uang nanti kita bisa cari lagi.” Mas Arya kembali tersenyum. “Iya, terima kasih, ya, Sayang!” “Terima kasih buat apa, sih, Mas?” tanyaku kesal. “Terima kasih sudah jadi istriku yang baik dan manis!” “Dih, masih aja!” sahutku. Mas Arya pun tersenyum. Aku tidak tahu, tapi sepertinya pipiku saat ini merona. Mungkin orang yang melihat kami seperti ini akan berpikir bahwa aku dan Mas Arya berlebihan, sebab di usia kami yang sudah semakin dekat dengan ‘kepala’ empat tingkahnya kadang masih seperti remaja baru pacaran. Namun, ya sudah, aku tidak peduli karena aku senang dengan kebiasaan seperti ini. Beberapa saat kemudian .... Aku melihat lampu di atas pintu ruang operasi masih menyala merah. Tandanya, Mas Arya belum selesai dioperasi. “Maaf, permisi!” Seseorang laki-laki menghampiriku lalu menyapa. Aku tidak mengenalnya, akan tetapi wajahnya seperti pernah kulihat sebelumnya. “Iya, Mas siapa, ya?” tanyaku. “Oh, perkenalkan!”—pria itu mengulurkan tangannya—“saya Rama, orang yang pagi tadi membawa Mas Arya ke sini. Saya tahu dari receptionis kalau Mas Arya saat ini sedang operasi, jadi saya ke sini.” “Oh,”—aku menjabat tangan laki-laki bernama Rama itu—“Rani,” sebutku. Setelah perkenalan itu, pada akhirnya kami berdua sedikit berbincang. Mulai dari bagaimana Rama bisa bertemu dan membawa Mas Arya ke rumah sakit hingga tabrakan kecil kami pagi tadi. Ternyata, Rama adalah orang yang tadi pagi bertabrakan badan denganku di depan pintu masuk UGD. Tidak hanya itu, dia juga merupakan orang yang menolong Mas Arya dan membantu membawanya ke rumah sakit. Kecelakaan Mas Arya tadi pagi adalah kecelakaan tunggal. Rama hanya orang yang tidak sengaja ada di mobil di belakang Mas Arya. “Maaf tadi saya tinggal pergi! saya sudah ditunggu rapat di kantor,” ucap Rama. “Oh, iya, tidak apa-apa. Saya yang seharusnya berterima kasih karena Mas Rama sudah membawa suami saya ke rumah sakit.” “Ehm ... bagaimana dengan anak Mbak?” “Dia masih sedikit syok, tapi untungnya kata dokter dia baik-baik saja. Sudah dipindah ke ruang rawat inap juga dan sekarang sedang tidur ditemani ibu saya.” “Ah, syukurlah, kalau begitu!” ucap Rama. “Jadi, Mas Rama yang pagi tadi telepon saya?” “Bukan, itu bukan saya,” jawab Rama, “itu tadi orang setempat yang ikut bantu, saya minta beliau menelepon Mbak pakai HP Mas Arya.” “Oh~ begitu!” “Iya.” Percakapanku dan Rama pun berlanjut tidak lama. Sebab, setelah itu lampu ruang operasi sudah berubah warna. “Sepertinya operasinya sudah selesai,” kata Rama. “Iya,” sahutku. “Ehm ... Rani, kalau begitu saya pamit dulu, saya masih ada acara,” lanjut Rama. “Eh, iya. Terima kasih banyak sudah mau mengunjungi Mas Arya! nanti saya sampaikan ke suami saya kalau Mas Rama berkunjung.” Rama tidak mengatakan apapun. Dia hanya mengangguk dan tersenyum. Namun, tidak lama setelah itu, sebelum pergi dia lebih dulu menyodoriku selembar kartu kecil. “Ini kartu namaku, jika ada sesuatu jangan sungkan untuk menghubungiku!” jelas Rama. Aku menerima kartu tersebut dan sekilas melihat nama yang tertera di sana sambil mengangguk. Setelahnya, kami pun berpisah. Aku mengikuti Mas Arya yang dibawa ke ruang inap. Sedangkan Rama, dia berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Aku berani berkata bahwa Rama adalah orang yang baik. Jarang di zaman sekarang bisa bertemu dengan orang yang mau menolong orang lain seperti dia. Aku bersyukur Mas Arya dipertemukan dengan orang baik seperti Rama. Ku simpan kartu nama tadi lalu kembali fokus pada pengobatan dan pemulihan Mas Arya serta Rico. Setelah tiga hari di rumah sakit, pada akhirnya Mas Rama diizinkan pulang, sehari setelah Rico pulang lebih dulu. Kami pulang dengan menngunakan becak motor. Aku tidak bisa membawa pulang Mas Arya dengan motor kami karena sekarang motor itu sudah rusak parah. “Hati-hati, Mas!” Aku bantu Mas Arya turun dari becak, lalu kutuntun dia masuk ke dalam rumah. Baru kaki ini melangkah melewati pintu, gendang telingaku sudah dengan cepat disapa oleh kata-kata tidak mengenakkan dari ibu. “Berangkat kerja bukannya balik bawa uang, eh, malah ngabisin uang.” Aku menghela napas jengah. “Biarlah, uang-uang Mas Arya sendiri ini,” sahutku lirih. “Hush!” tegur Mas Arya kepadaku. “Maaf, Bu, Arya kena musibah, memang harusnya Arya lebih hati-hati.” “Sudah tahu miskin, gegayaan gak hati-hati di jalan. Kalau lukamu parah, mau bayar biaya rumah sakit pakai apa kamu? daun?” Mas Arya menjawab pertanyaan ibu sambil tersenyum. “Arya dapat asuransi dari perusahaan, kok, Bu.” “Halah! asuransi gak bisa buat makan aja dibanggain,” ucap ibu sebelum akhirnya kembali masuk ke kamar. Aku sudah ingin berkata-kata kasar. Jika saja aku tidak ingat di rumah ada Rico dan tidak ingat yang bicara tadi adalah ibuku, mungkin sekarang rumah kami sudah ramai dengan pertengkaran. “Sudah, Sayang, kita ke kamar saja!” Mas Arya mengusap lembut tanganku sambil tersenyum hangat. Aku tidak bisa tidak luluh jika sudah diperlakukan seperti itu. Hingga akhirnya, aku pun melupakan perlakuan ibu tadi dan membawa Mas Arya ke kamar. “Baringan aja, Mas!” pintaku sembari membantu Mas Arya naik ke tempat tidur. “Ran, bisa minta tolong ambilkan HP mas? sudah dua hari ini mas tidak tahu kabar di tempat kerja. Mas tidak tenang.” “Iya, Mas, sebentar.” Aku ambilkan HP Mas Arya dan memberikannya ke sang pemilik. Kutinggalkan dia sebentar untuk mengeluarkan beberapa barang dari tas dan meletakkan pakaian-pakaian kotor ke belakang. Namun, saat kembali ke kamar, aku melihat raut wajah Mas Arya sudah berbeda. Aku khawatir—“Ada apa, Mas?” Mas Arya yang sebelumnya menatap lurus ke depan, kini menoleh menatapku. “Mas dipecat.”Mas Arya bekerja sebagai salah seorang teknisi di salah satu perusahaan. Salah satu orang yang bisa dikatakan beruntung karena bisa mendapat pekerjaan yang cukup bagus dengan persaingan keras di ibu kota. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat aku dan Mas Arya syukuri. Meskipun, tidak jarang suamiku mendapat perlakuan buruk serta fitnah dari rekan kerjanya sendiri. Tahu Mas Arya dipecat, aku tidak bisa menerimanya. Aku pergi ke tempat kerja Mas Arya untuk bertemu langsung dengan atasannya. Bisa-bisanya di saat kondiri pegawainya mengalami musibah, perusahaan justru membuangnya.Hanya saja, sesampainya di sana, aku justru semakin merasa kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja menemukan sebuah fakta menyakitkan, bahwa ternyata rekan-rekan kerja Mas Arya sendiri lah yang sudah menghasut atasan mereka untuk memecatnya. “Ungtung Pak Darko mau ikuti saran gue, jadinya itu orang sok suci dipecat juga sekarang!”“Iya, hahaha!” sahut orang-orang lainnya.Begitu aku melaporkan hal tersebut dan
Aku tidak menyangka kalau akan bertemu Rama di perusahaan tempatku wawancara. Lebih terkejut lagi, ternyata Rama adalah manager pemasaran perusahaan tersebut, seseorang yang akan menjadi atasanku jika aku diterima bekerja di sana.“Baik, Bu Rani, terima kasih sudah datang untuk wawancara! mengenai hasilnya, nanti akan kami kabarkan melalui surel Ibu.”“Iya, terima kasih!”Lega rasanya setelah keluar dari ruang wawancara. Aku tidak tahu apakah akan diterima atau ditolak.Jika memang ditolak, aku tidak akan kecewa. Aku sudah cukup senang karena ternyata masih ada perusahaan yang mempertimbangkan daftar riwayat hidupku. Hal ini memicu kembali optimisku.Pintu lift terbuka dan aku melangkah masuk. Namun, ketika pintu akan tertutup, tiba-tiba sebuah tangan menahannya.Aku kaget—“Pak Rama?”Rama tersenyum ramah padaku. Lalu, dia ikut masuk ke dalam lift.“Kamu sudah mau pulang?” tanya Rama saat sama-sama di dalam lift.“Iya, Pak,” jawabku.“Saya antar.”“Eh, gak usah, Pak!”—lagi-lagi aku di
Aku memberi isyarat pada ibu agar dia diam. Aku tidak enak jika Rama melihat tingkah dan mendengar omelan ibuku.“Ibu!”“Apa, sih?”“Ibu masuk aja! iya, nanti Rani belikan HP baru, tapi sekarang ibu masuk dulu!”Ibu benar-benar tidak paham dengan kode yang kuberikan. Dia masih saja mengomel tentang ponselnya yang rusak dan banyak hal lainnya.Aku tidak bisa membuat ibu masuk ke dalam rumah. Sehingga, mau tidak mau aku yang harus membuat Rama segera pergi dari rumah kami. “E ... Mas Rama, terima kasih sudah mengantar dan juga mengunjungi Mas Arya!” ucapku pada Rama.Rama yang sepertinya paham dengan maksudku lantas segera menanggapi. “Oh, iya, kalau begitu ak—”“Siapa kamu?” tanya ibu tiba-tiba kepada Rama.Aku, Rama, dan Mas Arya saling menatap bergantian. Tidak lama setelahnya, Rama terlihat membenarkan jas serta dasinya. Dia berdehem terlebih dahulu sebelum akhirnya memperkenalkan diri. “Saya Rama, Ibu, kenalannya Mas Arya dan Rani,” jawab Rama.“Kenalan?”—aku melihat ibu memperh
Setelah kemarin menerima surel dari Glow Hardware dan mengetahui bahwa aku diterima menjadi Personal Asisten Rama yang merupakan manajer pemasaran di sana, hari ini aku kembali bertemu dengan kepala bidang pengembangan SDM untuk menanyakan tentang isi dari surel tersebut. “Semoga tidak bertemu dengan Rama!” Begitulah harapanku saat menginjakkan kaki di kantor Glow-H. Saat menyambangi bagian SDM, pada akhirnya aku tahu bahwa mereka tidak melakukan kesalahan. Aku sungguh diterima sebagai asisten Rama dan itu semua adalah permintaan dari Rama langsung.“Maaf, Bu, apa saya tidak bisa ganti ke posisi yang saya lamar saja?” tanyaku ke kepala SDM. “Maaf sekali, Rani, tapi posisi yang kamu lamar kemarin sudah diisi dengan orang lain. Jika kamu menolak untuk menjadi PA Pak Rama, artinya untuk saat ini kamu tidak bisa bergabung dengan perusahaan kami,” jelas wanita di hadapanku.Jika seperti ini, tentu saja aku sudah tidak bisa lagi berbuat apapun. Sekarang pilihanku hanya ada dua, bekerja
Aku kembali ke kamarku usai menidurkan Rico. Kulihat Mas Arya masih duduk bersandar di headboard sembari menggulir layar ponselnya. “Serius banget, lihat apa, sih?”“Ini loh, aku lagi cari kerja remote,” jawab Mas Arya.“Mas kenapa harus cari kerjaan lagi? bukannya udah buka jasa servis elektronik? Tuh, di ruang tamu masih ada Tv tetangga yang belum dibenerin.”“Ya gak apa, sambil kerja lainnya juga.”“Mas, aku udah dapat kerja yang lumayan bagus, gajinya juga lumayan walaupun gak besar banget, cukuplah kalau untuk kehidupan sehari-hari. Jadi, Mas gak harus banyak kerja yang berat-berat dulu.”“Gak berat, kok, Sayang. Cuma duduk sambil mainin HP apanya yang berat, coba? Lagipula, sebagai kepala keluarga mas juga gak bisa cuma diam saja. Mas harus bisa nafkahin kamu sama Rico.”Benar, sepertinya aku harus memahami posisi itu. “Iya-iya, ya sudah, Mas boleh cari kerja tambahan, tapi janji jangan sampai bikin tambah sakit.” “Iya, janji.” Aku naik ke tempat tidur dan masuk ke dalam selim
Mobil Rama memasuki area parkir basement sebuah apartemen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Glow-H.“Ayo turun!” ajak Rama usai memarkirkan mobilnya.“Kita kenapa ke sini, Pak?” tanyaku.“Bukannya tadi sudah kukatakan kalau aku mau ganti baju?”“Iya, aku tahu itu, tapi ... argh! Maksudku, kenapa aku harus ikut?” Keresahan batinku ini tentu saja tidak ku suarakan.“Rani, ayo turun!” ajak Rama lagi. “Memangnya kamu mau menunggu di mobil?”Aku reflek mengangguk ketika mendengar pertanyaan itu. Namun, Rama sungguh tidak membiarkanku melakukannya. Dia memaksaku turun dan mengikutinya hingga ke unit apartemennya. Tombol kunci pintu mulai berbunyi. Aku tidak sengaja melihat beberapa angka sandi kamar Rama.“Sandinya 7494.”“Ha?”“Sandi kamar apartemenku 7494, kamu ingat-ingat!”Aku kaget dan bingung. “Untuk apa?” tanyaku.“Agar sewaktu-waktu jika aku tidak bisa dihubungi kamu bisa mencariku ke sini,” jawab Rama. Aku masih tidak mengerti. Aku tidak tahu kalau sebagai PA aku perlu men
“Dikiranya diajak pindah ke Jakarta itu karena di sini sudah punya rumah gedongan, tahunya cuma rumah kecil di gang perkampungan kayak gini.”Sama seperti pagi sebelumnya, omelan pagi ini datang dari ibuku yang baru keluar dari kamarnya.“Mana listrik gampang padam, gak ada AC, kalau musim hujan banjir,” lanjut ibu. “Ibu!” panggilku, “sudah seminggu, loh, Ibu ngomel gini terus, gak capek apa, Bu? masih untung Mas Arya bisa kasih kita tempat tinggal layak, terlebih lagi ini bukan kontrakan tapi rumah kita sendiri, harusnya Ibu itu bersyukur!”“Idih, layak apanya kalau setiap musim hujan kebanjiran. Bersyukur-bersyukur, apanya yang mau disyukuri?” Panas, aku tidak tahan lagi. “Bersyukur karena sudah Rani dan Mas Arya ajak tinggal bersama di Jakarta, gak jadi gembel di Yogja,” sahutku.“Eh-eh-eh, kamu ini kasar ya, sama ibu, kenapa? gak ikhlas kamu ajak ibu ke sini? itu mulu diungkit-ungkit.”“Ibu juga itu mulu yang diungkit-ungkit,” gumamku pelan.Aku sudah muak mendengar ocehan ibu y