“Ibu pikir, diajak pindah ke Jakarta itu karena di sini sudah punya rumah gedongan, tahunya cuma rumah kecil di gang kampung kayak gini.” Sama seperti pagi sebelumnya, omelan pagi ini datang dari ibuku yang baru keluar dari kamarnya. “Mana listrik gampang mati, gak ada AC, kalau musim hujan banjir.”
“Ibu!” tegurku, “sudah seminggu, loh, Ibu ngomel gini terus, gak capek apa? Masih untung Mas Arya bisa kasih kita tempat tinggal layak, terlebih lagi ini bukan kontrakan tapi rumah kita sendiri, harusnya Ibu itu bersyukur!” “Idih, layak apanya kalau setiap musim hujan kebanjiran. Bersyukur-bersyukur, apanya yang mau disyukuri?” Panas, aku tidak tahan lagi. “Bersyukur karena sudah kami ajak tinggal bersama di Jakarta, jadinya Ibu gak harus jadi gembel di Yogja.” “Eh-eh-eh, kamu ini kasar ya, sama ibu. Kenapa? Gak ikhlas kamu ajak ibu ke sini? Diungkit terus." “Ibu juga itu mulu yang diungkit-ungkit.” Aku sudah muak mendengar ocehan ibu yang sama dan terus diulang setiap harinya. Bukan salahku jika dia harus tinggal di rumah sederhana seperti ini bersama aku dan keluargaku. Semua ini salah ibuku sendiri. Sebelum Ibu datang, kehidupanku bersama suami dan juga anakku berlangsung cukup damai dan bahagia. Namun, tiba-tiba kami mendengar kabar bahwa rumah dan tanah peninggalan bapak di Yogjakarta disita oleh bank. Semua bermula dari ibu yang terlalu tamak dan mata duitan, sampai ia berani menggadai sertifikat rumah dan tanah demi arisan bodong. Suamiku yang tidak tega dan tidak enak jika ibu harus menumpang tinggal di rumah saudara akhirnya mengajak ibu tinggal di Jakarta. Pada saat itu ibu langsung mengiyakan karena gengsinya yang terlalu tinggi. Dia takut harga dirinya diinjak oleh adik-adiknya jika terus menumpang ataupun harus mengontrak rumah. Ingin sekali aku berteriak menyebutkan fakta tersebut di depan ibu. Namun, untungnya aku masih punya adab. Terlebih lagi, suamiku melarangku untuk membahas hal ini di depan ibu. Kata suamiku, takut ibu sakit hati, sedih, dan merasa bersalah. Padahal, kalau aku boleh bilang, ibu itu seperti tidak ada rasa bersalahnya. Sungguh, kalau dipikir-pikir, suamiku ke ibu itu tidak ada kurangnya. Namun, entah kenapa ibuku seperti sangat membencinya. “Coba saja, Ran, kamu itu dulu nikah sama anaknya pak Kades, pasti gak akan seperti ini kita sekarang.” “Bu, tolong jangan itu lagi!” “Loh, benar, ‘kan? Anaknya pak Kades itu kaya, tanahnya di mana-mana, dia pejabat pajak juga.” “Dia sudah punya istri.” “Ya, gak apa-apa, memangnya kenapa? yang penting kita gak melarat seperti sekarang.” Sudah cukup, aku sudah tidak bisa sabar lagi. “Bu, stop!” Pada akhirnya nada tinggiku keluar. “Rani itu sudah sangat bahagia dengan pernikahan Rani, punya suami seperti Mas Arya yang sayang dan bertanggung jawab sama anak istri itu sudah sangat cukup, Rani gak perlu orang lain.” Aku banting pisau dan sawi yang awalnya ingin kupotong. Kutinggalkan dapur dan berjalan ke depan, menuju teras rumah untuk menghirup udara segar. Baru satu langkah kakiku meninggalkan dapur, aku dikejutkan oleh sosok Mas Arya yang sedang berdiri di dekat pintu dapur. “Astaga! Mas Arya!” Mas Arya tersenyum padaku. “Maaf! Mas ngagetin, ya?” “M-Mas, kok, masih di sini? Bukannya tadi sudah berangkat?” tanyaku gugup. Sepertinya Mas Arya sudah mendengar semuanya. Pertengkaranku dengan ibu, terlebih kata-kata kasar ibu yang ditujukan kepadanya. “Mas lupa bawa bekal dari kamu, maaf, ya!” kata Mas Arya. Sungguh, orang selembut mas Arya, bagaimana bisa ibuku tidak menyukainya. “Iya, Mas gak perlu minta maaf! Sebentar, biar Rani saja yang ambilkan bekalnya.” Tidak akan kubiarkan Mas Arya bertemu langsung dengan ibu. Aku tidak mau pagi Mas Arya diisi oleh muka masam ibu. Setelah beberapa saat, kuberikan kotak bekal yang biasa dibawa Mas Arya ke kantor. “Ini, Mas.” “Iya, terima kasih, ya, Sayang!” CUP! Kecupan kedua di keningku pagi ini kudapat dari Mas Arya. Sudah Tujuh tahun kami menikah dan kebiasaan seperti itu selalu kami lakukan setiap harinya, tapi tidak sedikit pun aku merasa bosan. Justru, yang kurasakan setiap harinya adalah perasaan cinta yang terus bertambah. “Hati-hati, Mas!” “Iya, kamu juga jangan terlalu stress! Yang sabar. Lusa kita jalan-jalan bertiga.” Mas Arya memang selalu tahu apa yang aku butuhkan. Dia selalu bisa mengembalikan mood bahagia dan membuatku tersenyum lagi. Aku sungguh beruntung menikah dengan Mas Arya. Dulu, banyak orang yang menentang hubunganku dengan Mas Arya karena latar belakangnya yang tidak jelas. Sebab, Mas Arya berasal dari panti asuhan dan tidak diketahui siapa orang tuanya. Orang-orang bilang aku akan menyesal suatu hari nanti. Namun, nyatanya yang kurasakan saat ini berbanding terbalik dengan prediksi mereka. Aku sama sekali tidak merasakan penyesalan apapun. Aku justru bersyukur karena sudah mempertahankan Mas Arya. Aku sangat bahagia menjadi istri Mas Arya. Sudah sekitar 30 menit setelah Mas Arya pergi. Ponselku tiba-tiba berdering dan menampakkan nama ‘Suamiku’ di layarnya. Perasaanku sedikit tidak enak. Tidak biasanya Mas Arya menelepon saat tiba di tempat kerja. Biasanya dia hanya akan mengirim pesan saja. “Iya Mas, kenapa? Ada yang ketinggalan lagi?” tanyaku setelah menerima panggilan telepon tersebut. “Maaf, benar ini dengan istri yang punya nomor ini?” Aku kaget karena bukan suara Mas Arya yang menjawab. “Hallo, ini siapa, ya? Suami saya mana?” “Itu, maaf sebelumnya! Suami Ibu mengalami kecelakaan dan saat ini masih dalam perjalanan ke rumah sakit, suami sama anak Ibu tidak sadarkan diri.” “Ha?” Lemas, aku langsung mendudukkan diri di tepi tempat tidur.Aku memasuki rumah sakit dengan sedikit berlari. Dan aku yang tengah terburu-buru pada akhirnya tidak sengaja menabrak seseorang. “Maaf!” ucapku reflek. Aku hanya menatap sekilas orang yang bertabrakan denganku. “Iya, tidak ap—” “Maaf, saya buru-buru! Sekali lagi, saya minta maaf!” ucapku dengan sedikit membungkukkan badan. Setelahnya, aku kembali berlari ke UGD. Sesampainya di UGD .... “Ibun!” panggil Rico. Hatiku yang sejak tadi tidak karuan seketika jadi lebih tenang setelah mendengar suara putraku. Terlihat Rico dan Mas Arya berada di tempat tidur yang sama dengan tangan yang masih sama-sama diinfus. Kata perawat, Rico tadi menangis dan meminta satu tempat tidur dengan ayahnya. Aku menghampiri mereka. “Rico! Mas Arya!” “Ibun~” Rico langsung bangkit duduk dan memelukku. Sebisa mungkin kuberikan pelukanku yang paling hangat untuk anak semata wayangku itu. Aku berharap hal tersebut bisa memberinya rasa nyaman. Sementara Mas Arya, dia menatapku dengan senyuman di
Mas Arya bekerja sebagai salah seorang teknisi di salah satu pabrik. Seseorang yang bisa dikatakan beruntung karena bisa mendapat pekerjaan yang cukup bagus dengan persaingan keras di ibu kota. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat aku dan Mas Arya syukuri. Meskipun, tidak jarang suamiku mendapat perlakuan buruk serta fitnah dari rekan kerjanya sendiri. Tahu Mas Arya dipecat, aku tidak bisa menerimanya. Aku pergi ke tempat kerja Mas Arya untuk bertemu langsung dengan sang atasan. Bisa-bisanya di saat kondisi pegawainya mengalami musibah, perusahaan justru membuangnya. Hanya saja, sesampainya di sana, aku justru semakin merasa kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja menemukan sebuah fakta menyakitkan, bahwa ternyata rekan-rekan kerja Mas Arya sendiri lah yang sudah menghasut atasan mereka agar memecat Mas Arya. “Ungtung Pak Darko mau ikuti saran gue, jadinya itu orang sok suci dipecat juga sekarang!” “Iya, hahaha!” sahut orang-orang lainnya. Begitu aku melaporkan hal terse
Aku tidak menyangka kalau akan bertemu Rama di perusahaan tempatku wawancara. Lebih terkejut lagi, ternyata Rama adalah manager pemasaran perusahaan tersebut, seseorang yang akan menjadi atasanku jika aku diterima bekerja di sana. “Baik, Bu Rani, terima kasih sudah datang untuk wawancara! mengenai hasilnya, nanti akan kami kabarkan melalui surel Ibu.” “Iya, terima kasih!” Lega rasanya setelah keluar dari ruang wawancara. Aku tidak tahu apakah akan diterima atau ditolak. Jika memang ditolak, aku tidak akan kecewa. Aku sudah cukup senang karena ternyata masih ada perusahaan yang mempertimbangkan daftar riwayat hidupku. Hal ini memicu kembali optimisku. Pintu lift terbuka dan aku melangkah masuk. Namun, ketika pintu akan tertutup, tiba-tiba sebuah tangan menahannya. Aku kaget—“Pak Rama?” Rama tersenyum ramah padaku. Lalu, dia ikut masuk ke dalam lift. “Kamu sudah mau pulang?” tanya Rama setelah kami sama-sama di dalam lift. “Iya, Pak.” “Saya antar.” “Eh, gak usah, Pak!” Lagi-l
Aku memberi isyarat pada ibu agar dia diam. Aku tidak enak jika Rama melihat tingkah dan mendengar omelan ibuku. “Ibu!” “Apa, sih?” “Ibu masuk aja! iya, nanti Rani belikan HP baru, tapi sekarang ibu masuk dulu!” Ibu benar-benar tidak paham dengan kode yang kuberikan. Dia masih saja mengomel tentang ponselnya yang rusak dan banyak hal lainnya. Aku tidak bisa membuat ibu masuk ke dalam rumah. Sehingga, mau tidak mau aku yang harus membuat Rama segera pergi dari rumah kami. “E ... Rama, terima kasih sudah mengantar dan juga mengunjungi Mas Arya!” ucapku pada Rama. Rama yang sepertinya paham dengan maksudku lantas segera menanggapi. “Oh, iya, kalau begitu ak—” “Siapa kamu?” tanya ibu tiba-tiba kepada Rama. Aku, Rama, dan Mas Arya saling menatap bergantian. Tidak lama setelahnya, Rama terlihat membenarkan jas serta dasinya. Dia berdehem terlebih dahulu sebelum akhirnya memperkenalkan diri. “Saya Rama, Ibu, kenalannya Mas Arya dan Rani,” jawab Rama. “Kenalan?
Setelah kemarin menerima surel dari Glow Hardware dan mengetahui bahwa aku diterima menjadi Personal Asisten Rama yang merupakan manajer pemasaran di sana, hari ini aku kembali bertemu dengan kepala bidang pengembangan SDM untuk menanyakan tentang isi dari surel tersebut. “Semoga tidak bertemu dengan Rama!” Begitulah harapanku saat menginjakkan kaki di kantor Glow-H. Saat menyambangi bagian SDM, pada akhirnya aku tahu bahwa mereka tidak melakukan kesalahan. Aku sungguh diterima sebagai asisten Rama dan itu semua adalah permintaan dari Rama langsung.“Maaf, Bu, apa saya tidak bisa ganti ke posisi yang saya lamar saja?” tanyaku ke kepala SDM. “Maaf sekali, Rani, tapi posisi yang kamu lamar kemarin sudah diisi dengan orang lain. Jika kamu menolak untuk menjadi PA Pak Rama, artinya untuk saat ini kamu tidak bisa bergabung dengan perusahaan kami,” jelas wanita di hadapanku.Jika seperti ini, tentu saja aku sudah tidak bisa lagi berbuat apapun. Sekarang pilihanku hanya ada dua, bekerja
Aku kembali ke kamarku usai menidurkan Rico. Kulihat Mas Arya masih duduk bersandar di headboard sembari menggulir layar ponselnya. “Serius banget, lihat apa, sih?” “Ini loh, aku lagi cari kerja remote,” jawab Mas Arya. “Mas kenapa harus cari kerjaan lagi? bukannya udah buka jasa servis elektronik? Tuh, di ruang tamu masih ada Tv tetangga yang belum dibenerin.” “Ya gak apa, sambil kerja lainnya juga.” “Mas, aku udah dapat kerja yang lumayan bagus, gajinya juga lumayan walaupun gak besar banget, cukuplah kalau untuk kehidupan sehari-hari. Jadi, Mas gak harus banyak kerja yang berat-berat dulu.” “Gak berat, kok, Sayang. Cuma duduk sambil mainin HP apanya yang berat, coba? Lagipula, sebagai kepala keluarga mas juga gak bisa cuma diam saja. Mas harus bisa nafkahin kamu sama Rico.” Benar, sepertinya aku harus memahami posisi itu. “Iya-iya, ya sudah, Mas boleh cari kerja tambahan, tapi janji jangan sampai bikin tambah sakit.” “Iya, janji.” Aku naik ke tempat tidur dan
Mobil Rama memasuki area parkir basement sebuah apartemen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Glow-H.“Ayo turun!” ajak Rama usai memarkirkan mobilnya.“Kita kenapa ke sini, Pak?” tanyaku.“Bukannya tadi sudah kukatakan kalau aku mau ganti baju?”“Iya, aku tahu itu, tapi ... argh! Maksudku, kenapa aku harus ikut?” Keresahan batinku ini tentu saja tidak ku suarakan.“Rani, ayo turun!” ajak Rama lagi. “Memangnya kamu mau menunggu di mobil?”Aku reflek mengangguk ketika mendengar pertanyaan itu. Namun, Rama sungguh tidak membiarkanku melakukannya. Dia memaksaku turun dan mengikutinya hingga ke unit apartemennya. Tombol kunci pintu mulai berbunyi. Aku tidak sengaja melihat beberapa angka sandi kamar Rama.“Sandinya 7494.”“Ha?”“Sandi kamar apartemenku 7494, kamu ingat-ingat!”Aku kaget dan bingung. “Untuk apa?” tanyaku.“Agar sewaktu-waktu jika aku tidak bisa dihubungi kamu bisa mencariku ke sini,” jawab Rama. Aku masih tidak mengerti. Aku tidak tahu kalau sebagai PA aku perlu men
Setelah drama yang kualami pagi ini, pada akhirnya aku sampai juga di kantor. Dan di hari pertamaku bekerja, aku sudah akan langsung menemani Rama rapat dengan direktur. Setibanya di depan ruangan direktur ....“Ibu di dalam?” tanya Rama kepada seorang perempuan muda.“Iya. Silakan masuk, Pak! Bapak sudah ditunggu Bu Velin di dalam.”Perempuan itu mengantar dan membukakan pintu ruangan direktur untuk kami. Ruangan milik Velinda Rusli, putri ketiga komisaris utama Glow-H, Rusli Samid Saddam. Dengan kata lain, wanita yang saat ini kami temui, dia adalah kakak tiri Rama.“Oh, kamu sudah datang,” ucap Bu Velin begitu melihat eksistensi Rama di ruangannya.Rama tidak mengatakan apapun. Dia hanya menundukkan kepala sebagai tanda penghormatannya.Bu Velin bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan menuju sofa yang ada di tengah ruangan. “Duduklah!” perintahnya kepada Rama.Masih tanpa mengatakan apapun, Rama mengikuti perintahnya. Dia duduk di sofa dengan posisi berseberangan dengan si direkt
Setelah mendapat pesan dari Mas Arya, kini pikiranku tidak bisa lagi fokus pada rapat. Ketika melihat foto perabotan-perabotan renovasi kamar Rico yang dikirim oleh Mas Arya, aku sadar akan sesuatu.Aku tidak bisa menjelaskan banyak hal ke Mas Arya. Hanya bisa menghindarinya untuk sementara waktu dan menjadikan rapat sebagai alasan. Setelah rapat selesai, aku menyanding Rama, mengikuti langkahnya dan berjalan disampingnya. Aku tunjukkan foto dari Mas Arya kepada Rama. “Pak, Bapak yang kirim ini ke rumah saya?”Rama melihat foto itu. “Oh, sudah datang?”Aku sontak menatap Rama. Aku tidak mengerti. “Pak ... untuk apa?”“Bukannya kamu bilang Rico menyukai itu?”“I-iya, tapi ... tapi kenapa Bapak membelikannya?” “Tentu saja sebagai hadiah dari saya untuk Rico.” Rama lantas menghentikan langkahnya dan berbalik menghhadapku. “Saya harap kamu ataupun Mas Arya gak menolaknya. Saya tulus mau kasih hadiah ke Rico. Saya mau Rico senang.”Kami saling menatap mata satu sama lain cukup lama dan
Aku berbisik di dekat telinga Mas Arya. “Bersiaplah Mas ....” Lalu, kulumat mesra cupingnya.Ah, aku bisa mendengar helaan napas Mas Arya yang begitu sexy. Aku rindu, rasanya seperti sudah cukup lama tidak mendengarnya.Aku lepas lumatanku dan menjauhkan kepalaku darinya dengan posisi masih menduduki tubuh Mas Arya yang terbaring. Kupandangi wajahnya yang ada di bawahku. “Ternyata aku kangen banget sama kamu, Mas.”“Mas juga kangen sama kamu, Ran.”Kami sama-sama tersenyum. Aku tahu kami saling menginginkan satu sama lain. Sehingga, tanpa menunda lagi akhirnya kukecup bibir Mas Arya.Tidak cukup sekali, aku mengecupnya berkali-kali hingga lambat laun kecupan itu menjadi jauh lebih panas dan berubah jadi lumatan yang penuh gairah. Tanganku pun dengan reflek menarik tangan Mas Arya, menggenggam dan menjatuhkannya di samping kanan-kiri kepalanya. Malam ini ... aku yang memegang kendali.Puas dengan saling melumat di bibir, kini aku mulai menginginkan lebih. Aku mulai bergerak di atas Mas
Anakku, Rico, berlari menghampiriku dan memelukku. Dia lantas bertanya, “Ibun, Ibun kenapa makan di sini?”Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Kulihat Mas Arya hanya diam sambil menatapku.“Ibun ....” Baru aku mau mencoba memberi alasan, Mas Arya sudah lebih dulu menyela.“Rico, katanya mau es krim, ayo kita beli! Biar ibun di sini dulu selesaikan makannya.”“Iya, Yah,” ucap Rico pada Mas Arya. Setelah itu, dia kembali menatapku dan bicara. “Ibun, Rico beli es krim sama ayah dulu, ya. Ayo, Yah!” Mas Arya mengangguk sambil tersenyum. “Ayo.” Sementara Rico sudah berlari memasuki toko, Mas Arya berkata padaku, “Kamu habiskan dulu saja makananmu, gak usah buru-buru, aku tunggu. Nanti kita pulang bareng.”“Iya, Mas,” sahutku.Mas Arya berlalu meninggalkanku, menyusul Rico masuk ke dalam toko. “Sial!” umpatku dalam batin, “kenapa harus ketahuan?”Sepanjang perjalanan pulang sampai kami tiba di rumah, Mas Arya terlihat tidak banyak bicara. Dia bahkan hanya diam ketika kami hanya be
Sambil menikmati makan siang, Rama bercerita cukup banyak mengenai keluarganya. Hal itu membuatku tahu seperti apa posisi Rama di keluarga Saddam Rusli yang sebenarnya serta seperti apa hubungannya dengan Ashle. Mengenai status Rama di keluarga Rusli, semuanya persis seperti yang sebelumnya pernah diceritakan Amel padaku. Dan mengenai Ashle, dia adalah adik kandung Rama. Setelah meninggalkan keluarga Rusli, beberapa tahun kemudian mama Rama menikah dengan orang asing dan meninggalkan Indonesia. Dari pernikahan itulah Rama lantas memiliki Ashle sebagai adik perempuannya.Saat bercerai, kedua orang tua Rama sepakat bahwa Rama akan ikut mamanya. Meskipun papa Rama tidak setuju, tapi pada akhirnya dia membiarkan mantan istri keduanya membawa putra mereka. Barulah setelah mama Rama meninggal, Rama yang saat itu berusia belasan kembali diambil sang Papa dan dibawa pulang ke Indonesia. Keluarga besar Rusli tentu saja tidak sepenuhnya menerima kedatangan Rama. Walaupun pernikahan kedua ora
Mobil Rama sudah kembali terparkir di depan salah satu toko penjualan milik Glow-H. Ini adalah toko kedua yang kami datangi hari ini. “Ayo!” ajak Rama untuk turun dari mobil.“Rama, ini kita masih harus pura-pura jadi suami istri seperti tadi?” tanyaku. Rama pun mengangguk. “Tidak bisa kah kita pura-pura jadi saudara saja? atau, kalau tidak, kita sebagai diri sendiri saja, sebagai teman.”“Saudara dan teman macam apa yang ke store peralatan rumah tangga seperti ini?” balas Rama bertanya, “orang justru bisa curiga kalau kita sedang menyamar, atau mungkin mereka akan berpikir kita ini dua orang yang sedang berselingkuh dan tengah merencanakan tinggal bersama.”Perkataan Rama membuatku bergidik. Kalimat itu terdengar sangat menyeramkan. Namun, apa yang dikatakan Rama memang masuk akal. Jika aku jadi pelayan tokonya, mungkin aku juga akan berpikir bahwa kami adalah pasangan. Jika bukan pasangan sah, maka artinya pasangan selingkuh.“Sudah, ayo turun!” ajak Rama lagi.Kali ini aku tidak b
“Ibu pulang!”“Ibu!”Aku tiba di rumah dan langsung disambut oleh pelukan putra tersayangku. Sepertinya, situasi saat ini yang mengharuskanku meninggalkan rumah hampir setengah hari, sama-sama terasa asing untuk kami berdua yang biasa bersama hampir sehari penuh.Aku yang biasanya menemani Rico bermain, yang biasanya menemani dia tidur siang, dan yang biasa mengejarnya agar segera mandi sore tiba-tiba saja tidak melakukannya. Rasanya aneh, seperti aku telah kehilangan sesuatu. Mungkinkah Rico juga merasakan perasaan aneh yang sama seperti yang kurasakan?“Anak ibu sudah makan malam belum?”—aku mengangkat kantung plastik yang kubawa—“ini, ibu bawa makanan Jepang buat Rico sama ayah, buat nenek juga.”“Yeay! Makanan Jepang!” Rico berseru senang, tapi tidak lama kemudian dia tampak berpikir. “Kayak gimana itu, Bu, rasanya makanan Jepang?” tanyanya kemudian.Aku dan Mas Arya tertawa karena gemas. Hanya saja, di balik tawa itu aku merasa sedikit sedih. Rico belum pernah mencoba berbagai m
Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul empat. Artinya, sekarang aku sudah bisa pulang. Aku menoleh ke ruang kerja Rama dan di balik dinding kaca terlihat atasanku itu masih fokus menatap layar tabletnya. Hal tersebut membuatku ingat pada pesan Amel yang menyebut bahwa Rama adalah orang yang gila kerja dan harus sering-sering diingatkan untuk berhenti.Pada awalnya aku ragu untuk menegur Rama dan menyuruhnya pulang. Namun, setelah tiga puluh menit berlalu dan dia masih bergeming di ruangannya, aku pun menghampirinya. “Pak, sudah waktunya pulang,” ucapku mengingatkan.Rama memutus pandangannya dari layar tablet dan langsung menoleh ke arahku. “Oh, benarkah?” Rama lantas melihat jam tangannya kemudian beralih menatap jendela di salah satu sisi ruangan. “Ah, benar. Baiklah, kamu bisa pulang, Rani.”“Lalu Bapak?” tanyaku.“Oh, ... aku akan tinggal sebentar lagi. Tidak apa, kamu pulanglah dulu.”“Saya tidak akan pulang kalau Bapak tidak pulang.”Rama menghela napas. “Ternyata kamu s
Setelah drama yang kualami pagi ini, pada akhirnya aku sampai juga di kantor. Dan di hari pertamaku bekerja, aku sudah akan langsung menemani Rama rapat dengan direktur. Setibanya di depan ruangan direktur ....“Ibu di dalam?” tanya Rama kepada seorang perempuan muda.“Iya. Silakan masuk, Pak! Bapak sudah ditunggu Bu Velin di dalam.”Perempuan itu mengantar dan membukakan pintu ruangan direktur untuk kami. Ruangan milik Velinda Rusli, putri ketiga komisaris utama Glow-H, Rusli Samid Saddam. Dengan kata lain, wanita yang saat ini kami temui, dia adalah kakak tiri Rama.“Oh, kamu sudah datang,” ucap Bu Velin begitu melihat eksistensi Rama di ruangannya.Rama tidak mengatakan apapun. Dia hanya menundukkan kepala sebagai tanda penghormatannya.Bu Velin bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan menuju sofa yang ada di tengah ruangan. “Duduklah!” perintahnya kepada Rama.Masih tanpa mengatakan apapun, Rama mengikuti perintahnya. Dia duduk di sofa dengan posisi berseberangan dengan si direkt
Mobil Rama memasuki area parkir basement sebuah apartemen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Glow-H.“Ayo turun!” ajak Rama usai memarkirkan mobilnya.“Kita kenapa ke sini, Pak?” tanyaku.“Bukannya tadi sudah kukatakan kalau aku mau ganti baju?”“Iya, aku tahu itu, tapi ... argh! Maksudku, kenapa aku harus ikut?” Keresahan batinku ini tentu saja tidak ku suarakan.“Rani, ayo turun!” ajak Rama lagi. “Memangnya kamu mau menunggu di mobil?”Aku reflek mengangguk ketika mendengar pertanyaan itu. Namun, Rama sungguh tidak membiarkanku melakukannya. Dia memaksaku turun dan mengikutinya hingga ke unit apartemennya. Tombol kunci pintu mulai berbunyi. Aku tidak sengaja melihat beberapa angka sandi kamar Rama.“Sandinya 7494.”“Ha?”“Sandi kamar apartemenku 7494, kamu ingat-ingat!”Aku kaget dan bingung. “Untuk apa?” tanyaku.“Agar sewaktu-waktu jika aku tidak bisa dihubungi kamu bisa mencariku ke sini,” jawab Rama. Aku masih tidak mengerti. Aku tidak tahu kalau sebagai PA aku perlu men