“Dikiranya diajak pindah ke Jakarta itu karena di sini sudah punya rumah gedongan, tahunya cuma rumah kecil di gang perkampungan kayak gini.”
Sama seperti pagi sebelumnya, omelan pagi ini datang dari ibuku yang baru keluar dari kamarnya. “Mana listrik gampang padam, gak ada AC, kalau musim hujan banjir,” lanjut ibu. “Ibu!” panggilku, “sudah seminggu, loh, Ibu ngomel gini terus, gak capek apa, Bu? masih untung Mas Arya bisa kasih kita tempat tinggal layak, terlebih lagi ini bukan kontrakan tapi rumah kita sendiri, harusnya Ibu itu bersyukur!” “Idih, layak apanya kalau setiap musim hujan kebanjiran. Bersyukur-bersyukur, apanya yang mau disyukuri?” Panas, aku tidak tahan lagi. “Bersyukur karena sudah Rani dan Mas Arya ajak tinggal bersama di Jakarta, gak jadi gembel di Yogja,” sahutku. “Eh-eh-eh, kamu ini kasar ya, sama ibu, kenapa? gak ikhlas kamu ajak ibu ke sini? itu mulu diungkit-ungkit.” “Ibu juga itu mulu yang diungkit-ungkit,” gumamku pelan. Aku sudah muak mendengar ocehan ibu yang sama dan terus diulang setiap harinya. Bukan salahku jika dia harus tinggal di rumah sederhana seperti ini bersama kami. Semua ini salah ibuku sendiri. Sebelumnya, kehidupanku bersama suami dan juga anakku berlangsung cukup damai dan bahagia sebelum ibu datang. Lalu, tiba-tiba kami mendengar kabar bahwa rumah dan tanah peninggalan bapak di Yogjakarta disita oleh bank. Semua itu bermula dari ibu yang terlalu tamak dan mata duitan, sampai ia berani menggadai sertifikat rumah dan tanah demi arisan bodong. Suamiku yang tidak tega dan tidak enak jika ibu harus menumpang tinggal di rumah saudara akhirnya mengajak ibu tinggal di Jakarta. Pada saat itu ibu langsung mengiyakan karena gengsinya yang terlalu tinggi. Dia takut harga dirinya diinjak oleh adik-adiknya jika terus menumpang ataupun harus mengontrak rumah. Ingin sekali aku berteriak menyebutkan fakta tersebut di depan ibu. Namun, untungnya aku masih punya adab, terlebih suamiku melarangku untuk bahas hal itu lagi di depan ibu. Kata suamiku, takut ibu sakit hati, sedih, dan merasa bersalah. Padahal, kalau aku boleh bilang, ibu itu seperti tidak ada rasa bersalahnya. Sungguh, kalau dipikir-pikir, sebenarnya suamiku ke ibuku itu tidak ada kurangnya. Namun, entah kenapa ibuku seperti sangat membencinya. “Coba saja, Ran, kamu itu dulu nikah sama anaknya pak Kades, pasti gak akan seperti ini kita sekarang.” “Bu, tolong jangan itu lagi!” “Loh, benar, ‘kan? anaknya pak Kades itu kaya, tanahnya di mana-mana, dia pejabat pajak juga.” “Dia sudah punya istri.” “Ya, gak apa-apa, memangnya kenapa? yang penting kita gak melarat seperti sekarang.” Sudah cukup, aku sudah tidak bisa sabar lagi. “Bu, stop!”—pada akhirnya nada tinggiku keluar—“Rani itu sudah sangat bahagia dengan pernikahan Rani, punya Mas Arya yang sayang dan sangat-sangat bertanggung jawab sama Rani dan Rico itu sudah sangat cukup untuk Rani, Rani gak perlu orang lain.” Aku banting pisau dan sawi yang awalnya ingin kupotong. Kutinggalkan dapur dan berjalan ke depan, menuju teras rumah untuk menghirup udara segar. Namun, aku terkejut saat berbelok melewati pintu dapur, di sana kudapati Mas Arya sedang berdiri sambil tersenyum padaku. “Astaga! Mas Arya?” “Hehe,” cengir Mas Arya. “M-Mas, kok, di sini, bukannya tadi sudah berangkat?” tanyaku gugup. Sepertinya Mas Arya sudah mendengar semuanya. Pertengkaranku dengan ibu, terlabih kata-kata kasar ibu ke beliau. “Mas lupa bawa bekal dari kamu, maaf, ya!” kata Mas Arya. “Sungguh, orang selembut mas Arya, bagaimana bisa ibu tidak menyukainya?” batinku, “Iya, Mas gak perlu minta maaf! sebentar, biar Rani saja yang ambilkan bekalnya.” Tidak akan kubiarkan Mas Arya bertemu langsung dengan ibu. Aku tidak mau pagi Mas Arya diisi oleh muka masam ibu. Setelah beberapa saat, kuberikan kotak bekal yang biasa dibawa Mas Arya ke kantor. “Ini, Mas.” “Iya, terima kasih, ya, Sayang!” CUP! Kecupan kedua di keningku pagi ini kudapat dari Mas Arya. Sudah Tujuh tahun kami menikah dan kebiasaan seperti itu selalu kami lakukan setiap harinya, tapi tidak sedikit pun aku merasa bosan dan merasa tindakan tersebut basi atau klise. Justru, yang kurasakan setiap harinya ialah perasaan cinta yang terus bertambah. “Hati-hati, Mas!” “Iya, kamu juga jangan terlalu stress! yang sabar! lusa kita jalan-jalan bertiga.” Sungguh, Mas Arya tahu apa yang aku butuhkan. Dia selalu bisa mengembalikan mood bahagia dan membuatku tersenyum lagi. Aku sungguh beruntung menikah dengan Mas Arya. Dulu, banyak orang yang menentang hubunganku dengan Mas Arya hanya karena latar belakang Mas Arya yang berasal dari panti asuhan. Mereka bilang aku akan menyesal suatu hari nanti. Namun, sekarang aku berani dengan lantang berkata pada mereka bahwa aku sama sekali tidak merasakan penyesalan. Sebaliknya, aku justru bersyukur karena sudah mempertahankan Mas Arya. Aku sangat bahagia menjadi istri Mas Arya. Sudah sekitar 20 menit setelah Mas Arya mengambil bekal, tiba-tiba ponselku berdering dan menampakkan nama ‘Suamiku’ di layar. Menurutku ini sedikit aneh karena tidak biasanya Mas Arya akan menelepon jika sudah sampai kantor. Biasanya dia hanya akan mengirim pesan. “Hallo, Mas, kenapa? ada yang ketinggalan lagi?” tebakku. “Maaf, benar ini dengan istri yang punya nomor ini?” Aku kaget bukan suara Mas Arya yang ada di ujung telepon. “Hallo, ini siapa, ya? suami saya mana?” “Itu, maaf sebelumnya! suami Ibu mengalami kecelakaan dan saat ini masih dalam perjalanan ke rumah sakit, suami sama anak Ibu tidak sadarkan diri.” “Ha?” Lemas, aku langsung mendudukkan diri di tepi tempat tidur.Aku setengah berlari memasuki rumah sakit. Aku yang buru-buru akhirnya tidak sengaja menabrak seseorang. “Maaf!” ucapku reflek. Aku hanya menatap sekilas orang yang bertabrakan denganku. “Iya, tidak ap—”“Maaf, saya buru-buru! sekali lagi, saya minta maaf!” ucapku dengan sedikit membungkuk, hingga kemudian kembali berlari ke UGD. Sesampainya di UGD ....“Ibun!”Hatiku yang sejak tadi tidak karuan seketika jadi lebih tenang setelah mendengar teriakan bocah laki-lakiku. Terlihat Rico dan Mas Arya berada di tempat tidur yang sama dengan tangan yang masih sama-sama diinfus. Kata perawat, Rico tadi menangis dan meminta satu tempat tidur dengan ayahnya.“Rico! Mas Arya!”—aku menghampiri mereka.“Ibun~”Rico langsung bangkit duduk dan memelukku. Sebisa mungkin kuberikan pelukan terhangatku berharap itu bisa memberinya rasa nyaman. Sementara Mas Arya, dia menatapku dengan senyuman di wajahnya. Aku tahu dia sedang berusaha menenangkanku dengan senyuman itu.Lega rasanya melihat kedua laki-
Mas Arya bekerja sebagai salah seorang teknisi di salah satu perusahaan. Salah satu orang yang bisa dikatakan beruntung karena bisa mendapat pekerjaan yang cukup bagus dengan persaingan keras di ibu kota. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat aku dan Mas Arya syukuri. Meskipun, tidak jarang suamiku mendapat perlakuan buruk serta fitnah dari rekan kerjanya sendiri. Tahu Mas Arya dipecat, aku tidak bisa menerimanya. Aku pergi ke tempat kerja Mas Arya untuk bertemu langsung dengan atasannya. Bisa-bisanya di saat kondiri pegawainya mengalami musibah, perusahaan justru membuangnya.Hanya saja, sesampainya di sana, aku justru semakin merasa kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja menemukan sebuah fakta menyakitkan, bahwa ternyata rekan-rekan kerja Mas Arya sendiri lah yang sudah menghasut atasan mereka untuk memecatnya. “Ungtung Pak Darko mau ikuti saran gue, jadinya itu orang sok suci dipecat juga sekarang!”“Iya, hahaha!” sahut orang-orang lainnya.Begitu aku melaporkan hal tersebut dan
Aku tidak menyangka kalau akan bertemu Rama di perusahaan tempatku wawancara. Lebih terkejut lagi, ternyata Rama adalah manager pemasaran perusahaan tersebut, seseorang yang akan menjadi atasanku jika aku diterima bekerja di sana.“Baik, Bu Rani, terima kasih sudah datang untuk wawancara! mengenai hasilnya, nanti akan kami kabarkan melalui surel Ibu.”“Iya, terima kasih!”Lega rasanya setelah keluar dari ruang wawancara. Aku tidak tahu apakah akan diterima atau ditolak.Jika memang ditolak, aku tidak akan kecewa. Aku sudah cukup senang karena ternyata masih ada perusahaan yang mempertimbangkan daftar riwayat hidupku. Hal ini memicu kembali optimisku.Pintu lift terbuka dan aku melangkah masuk. Namun, ketika pintu akan tertutup, tiba-tiba sebuah tangan menahannya.Aku kaget—“Pak Rama?”Rama tersenyum ramah padaku. Lalu, dia ikut masuk ke dalam lift.“Kamu sudah mau pulang?” tanya Rama saat sama-sama di dalam lift.“Iya, Pak,” jawabku.“Saya antar.”“Eh, gak usah, Pak!”—lagi-lagi aku di
Aku memberi isyarat pada ibu agar dia diam. Aku tidak enak jika Rama melihat tingkah dan mendengar omelan ibuku.“Ibu!”“Apa, sih?”“Ibu masuk aja! iya, nanti Rani belikan HP baru, tapi sekarang ibu masuk dulu!”Ibu benar-benar tidak paham dengan kode yang kuberikan. Dia masih saja mengomel tentang ponselnya yang rusak dan banyak hal lainnya.Aku tidak bisa membuat ibu masuk ke dalam rumah. Sehingga, mau tidak mau aku yang harus membuat Rama segera pergi dari rumah kami. “E ... Mas Rama, terima kasih sudah mengantar dan juga mengunjungi Mas Arya!” ucapku pada Rama.Rama yang sepertinya paham dengan maksudku lantas segera menanggapi. “Oh, iya, kalau begitu ak—”“Siapa kamu?” tanya ibu tiba-tiba kepada Rama.Aku, Rama, dan Mas Arya saling menatap bergantian. Tidak lama setelahnya, Rama terlihat membenarkan jas serta dasinya. Dia berdehem terlebih dahulu sebelum akhirnya memperkenalkan diri. “Saya Rama, Ibu, kenalannya Mas Arya dan Rani,” jawab Rama.“Kenalan?”—aku melihat ibu memperh
Setelah kemarin menerima surel dari Glow Hardware dan mengetahui bahwa aku diterima menjadi Personal Asisten Rama yang merupakan manajer pemasaran di sana, hari ini aku kembali bertemu dengan kepala bidang pengembangan SDM untuk menanyakan tentang isi dari surel tersebut. “Semoga tidak bertemu dengan Rama!” Begitulah harapanku saat menginjakkan kaki di kantor Glow-H. Saat menyambangi bagian SDM, pada akhirnya aku tahu bahwa mereka tidak melakukan kesalahan. Aku sungguh diterima sebagai asisten Rama dan itu semua adalah permintaan dari Rama langsung.“Maaf, Bu, apa saya tidak bisa ganti ke posisi yang saya lamar saja?” tanyaku ke kepala SDM. “Maaf sekali, Rani, tapi posisi yang kamu lamar kemarin sudah diisi dengan orang lain. Jika kamu menolak untuk menjadi PA Pak Rama, artinya untuk saat ini kamu tidak bisa bergabung dengan perusahaan kami,” jelas wanita di hadapanku.Jika seperti ini, tentu saja aku sudah tidak bisa lagi berbuat apapun. Sekarang pilihanku hanya ada dua, bekerja
Aku kembali ke kamarku usai menidurkan Rico. Kulihat Mas Arya masih duduk bersandar di headboard sembari menggulir layar ponselnya. “Serius banget, lihat apa, sih?”“Ini loh, aku lagi cari kerja remote,” jawab Mas Arya.“Mas kenapa harus cari kerjaan lagi? bukannya udah buka jasa servis elektronik? Tuh, di ruang tamu masih ada Tv tetangga yang belum dibenerin.”“Ya gak apa, sambil kerja lainnya juga.”“Mas, aku udah dapat kerja yang lumayan bagus, gajinya juga lumayan walaupun gak besar banget, cukuplah kalau untuk kehidupan sehari-hari. Jadi, Mas gak harus banyak kerja yang berat-berat dulu.”“Gak berat, kok, Sayang. Cuma duduk sambil mainin HP apanya yang berat, coba? Lagipula, sebagai kepala keluarga mas juga gak bisa cuma diam saja. Mas harus bisa nafkahin kamu sama Rico.”Benar, sepertinya aku harus memahami posisi itu. “Iya-iya, ya sudah, Mas boleh cari kerja tambahan, tapi janji jangan sampai bikin tambah sakit.” “Iya, janji.” Aku naik ke tempat tidur dan masuk ke dalam selim
Mobil Rama memasuki area parkir basement sebuah apartemen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Glow-H.“Ayo turun!” ajak Rama usai memarkirkan mobilnya.“Kita kenapa ke sini, Pak?” tanyaku.“Bukannya tadi sudah kukatakan kalau aku mau ganti baju?”“Iya, aku tahu itu, tapi ... argh! Maksudku, kenapa aku harus ikut?” Keresahan batinku ini tentu saja tidak ku suarakan.“Rani, ayo turun!” ajak Rama lagi. “Memangnya kamu mau menunggu di mobil?”Aku reflek mengangguk ketika mendengar pertanyaan itu. Namun, Rama sungguh tidak membiarkanku melakukannya. Dia memaksaku turun dan mengikutinya hingga ke unit apartemennya. Tombol kunci pintu mulai berbunyi. Aku tidak sengaja melihat beberapa angka sandi kamar Rama.“Sandinya 7494.”“Ha?”“Sandi kamar apartemenku 7494, kamu ingat-ingat!”Aku kaget dan bingung. “Untuk apa?” tanyaku.“Agar sewaktu-waktu jika aku tidak bisa dihubungi kamu bisa mencariku ke sini,” jawab Rama. Aku masih tidak mengerti. Aku tidak tahu kalau sebagai PA aku perlu men