Share

Suamiku Anak Buangan Kaya Raya
Suamiku Anak Buangan Kaya Raya
Author: Nooraya

Rutinitas Pagi

“Dikiranya diajak pindah ke Jakarta itu karena di sini sudah punya rumah gedongan, tahunya cuma rumah kecil di gang perkampungan kayak gini.”

Sama seperti pagi sebelumnya, omelan pagi ini datang dari ibuku yang baru keluar dari kamarnya.

“Mana listrik gampang padam, gak ada AC, kalau musim hujan banjir,” lanjut ibu.

“Ibu!” panggilku, “sudah seminggu, loh, Ibu ngomel gini terus, gak capek apa, Bu? masih untung Mas Arya bisa kasih kita tempat tinggal layak, terlebih lagi ini bukan kontrakan tapi rumah kita sendiri, harusnya Ibu itu bersyukur!”

“Idih, layak apanya kalau setiap musim hujan kebanjiran. Bersyukur-bersyukur, apanya yang mau disyukuri?”

Panas, aku tidak tahan lagi. “Bersyukur karena sudah Rani dan Mas Arya ajak tinggal bersama di Jakarta, gak jadi gembel di Yogja,” sahutku.

“Eh-eh-eh, kamu ini kasar ya, sama ibu, kenapa? gak ikhlas kamu ajak ibu ke sini? itu mulu diungkit-ungkit.”

“Ibu juga itu mulu yang diungkit-ungkit,” gumamku pelan.

Aku sudah muak mendengar ocehan ibu yang sama dan terus diulang setiap harinya. Bukan salahku jika dia harus tinggal di rumah sederhana seperti ini bersama kami. Semua ini salah ibuku sendiri.

Sebelumnya, kehidupanku bersama suami dan juga anakku berlangsung cukup damai dan bahagia sebelum ibu datang. Lalu, tiba-tiba kami mendengar kabar bahwa rumah dan tanah peninggalan bapak di Yogjakarta disita oleh bank.

Semua itu bermula dari ibu yang terlalu tamak dan mata duitan, sampai ia berani menggadai sertifikat rumah dan tanah demi arisan bodong. Suamiku yang tidak tega dan tidak enak jika ibu harus menumpang tinggal di rumah saudara akhirnya mengajak ibu tinggal di Jakarta.

Pada saat itu ibu langsung mengiyakan karena gengsinya yang terlalu tinggi. Dia takut harga dirinya diinjak oleh adik-adiknya jika terus menumpang ataupun harus mengontrak rumah.

Ingin sekali aku berteriak menyebutkan fakta tersebut di depan ibu. Namun, untungnya aku masih punya adab, terlebih suamiku melarangku untuk bahas hal itu lagi di depan ibu.

Kata suamiku, takut ibu sakit hati, sedih, dan merasa bersalah. Padahal, kalau aku boleh bilang, ibu itu seperti tidak ada rasa bersalahnya.

Sungguh, kalau dipikir-pikir, sebenarnya suamiku ke ibuku itu tidak ada kurangnya. Namun, entah kenapa ibuku seperti sangat membencinya.

“Coba saja, Ran, kamu itu dulu nikah sama anaknya pak Kades, pasti gak akan seperti ini kita sekarang.”

“Bu, tolong jangan itu lagi!”

“Loh, benar, ‘kan? anaknya pak Kades itu kaya, tanahnya di mana-mana, dia pejabat pajak juga.”

“Dia sudah punya istri.”

“Ya, gak apa-apa, memangnya kenapa? yang penting kita gak melarat seperti sekarang.”

Sudah cukup, aku sudah tidak bisa sabar lagi. “Bu, stop!”—pada akhirnya nada tinggiku keluar—“Rani itu sudah sangat bahagia dengan pernikahan Rani, punya Mas Arya yang sayang dan sangat-sangat bertanggung jawab sama Rani dan Rico itu sudah sangat cukup untuk Rani, Rani gak perlu orang lain.”

Aku banting pisau dan sawi yang awalnya ingin kupotong. Kutinggalkan dapur dan berjalan ke depan, menuju teras rumah untuk menghirup udara segar. Namun, aku terkejut saat berbelok melewati pintu dapur, di sana kudapati Mas Arya sedang berdiri sambil tersenyum padaku.

“Astaga! Mas Arya?”

“Hehe,” cengir Mas Arya.

“M-Mas, kok, di sini, bukannya tadi sudah berangkat?” tanyaku gugup.

Sepertinya Mas Arya sudah mendengar semuanya. Pertengkaranku dengan ibu, terlabih kata-kata kasar ibu ke beliau.

“Mas lupa bawa bekal dari kamu, maaf, ya!” kata Mas Arya.

“Sungguh, orang selembut mas Arya, bagaimana bisa ibu tidak menyukainya?” batinku, “Iya, Mas gak perlu minta maaf! sebentar, biar Rani saja yang ambilkan bekalnya.”

Tidak akan kubiarkan Mas Arya bertemu langsung dengan ibu. Aku tidak mau pagi Mas Arya diisi oleh muka masam ibu.

Setelah beberapa saat, kuberikan kotak bekal yang biasa dibawa Mas Arya ke kantor. “Ini, Mas.”

“Iya, terima kasih, ya, Sayang!”

CUP!

Kecupan kedua di keningku pagi ini kudapat dari Mas Arya. Sudah Tujuh tahun kami menikah dan kebiasaan seperti itu selalu kami lakukan setiap harinya, tapi tidak sedikit pun aku merasa bosan dan merasa tindakan tersebut basi atau klise. Justru, yang kurasakan setiap harinya ialah perasaan cinta yang terus bertambah.

“Hati-hati, Mas!”

“Iya, kamu juga jangan terlalu stress! yang sabar! lusa kita jalan-jalan bertiga.”

Sungguh, Mas Arya tahu apa yang aku butuhkan. Dia selalu bisa mengembalikan mood bahagia dan membuatku tersenyum lagi. Aku sungguh beruntung menikah dengan Mas Arya.

Dulu, banyak orang yang menentang hubunganku dengan Mas Arya hanya karena latar belakang Mas Arya yang berasal dari panti asuhan.

Mereka bilang aku akan menyesal suatu hari nanti. Namun, sekarang aku berani dengan lantang berkata pada mereka bahwa aku sama sekali tidak merasakan penyesalan.

Sebaliknya, aku justru bersyukur karena sudah mempertahankan Mas Arya. Aku sangat bahagia menjadi istri Mas Arya.

Sudah sekitar 20 menit setelah Mas Arya mengambil bekal, tiba-tiba ponselku berdering dan menampakkan nama ‘Suamiku’ di layar.

Menurutku ini sedikit aneh karena tidak biasanya Mas Arya akan menelepon jika sudah sampai kantor. Biasanya dia hanya akan mengirim pesan.

“Hallo, Mas, kenapa? ada yang ketinggalan lagi?” tebakku.

“Maaf, benar ini dengan istri yang punya nomor ini?”

Aku kaget bukan suara Mas Arya yang ada di ujung telepon. “Hallo, ini siapa, ya? suami saya mana?”

“Itu, maaf sebelumnya! suami Ibu mengalami kecelakaan dan saat ini masih dalam perjalanan ke rumah sakit, suami sama anak Ibu tidak sadarkan diri.”

“Ha?”

Lemas, aku langsung mendudukkan diri di tepi tempat tidur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status